Minggu, 13 Oktober 2019

1.000 Startup dan Cerita 1001 Malam


Sebagian besar dari kita mungkin pernah mendengar Kisah 1001 malam. Akan tetapi tidak semua mengetahui bahwa dongeng itu adalah rangkuman dari cerita-cerita yang dilantunkan seorang istri raja untuk mengulur waktu kematiannya. Sang Ratu yang bernama Scheherazade, yang baru dipersunting oleh Raja Shahryar, mengetahui bahwa suaminya itu memiliki kebiasaan membunuh istrinya setelah melewati malam pertama. Untuk menunda eksekusi itu, sang istri terus menerus menceritakan dongeng kepada suami hingga suaminya terlelap dan alpa untuk membunuhnya malam itu.       
Dalam dongeng itu sendiri tidak ada kisah tentang kuda bersayap yang memiliki tanduk tunggal di dahinya atau biasa disebut Unicorn. Akan tetapi Unicorn kini menjadi mimpi dari banyak anak muda saat ini, entah memiliki perusahaan seperti Unicorn, atau setidaknya bekerja di perusahaan Unicorn.             
Indonesia, saat ini setidaknya, memiliki empat Unicorn dalam diri Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Namun belakangan jumlahnya bertambah satu lagi setelah dimasukkan nama Grab, meskipun secara orisinal startup itu mengawali bisnisnya di Singapura. Jadi keputusan untuk mengadopsi Grab menjadi Unicorn Nusantara masih menyimpan pertanyaan besar untuk dijawab.
Memang tidak mudah mencetak Unicorn yang memiliki nilai di atas 1 miliar dollar AS, atau jika dirupiahkan bisa mencapai Rp14 triliun lebih. Namun bukan berarti kita mencari jalan pintas mengadopsi startup luar hanya karena mereka membuka markas atau pusat pelayanan di sini.
Harus ada rencana dan proses serta tahap pengembangan yang serius untuk mencetak satu Unicorn. Pemerintah memang sudah punya langkah pertama dengan meluncurkan Gerakan Nasional 1.000 Startup pada 2016, yang harus sudah tercapai paling lambat 2020.
Dilihat dari situs resminya, 1000startupdigital.id, baru ada lima startup yang dianggap sudah oke dan memberikan dampak positif ke masyarakat. Tetapi menurut Kementerian Komunikasi dan Informastika, sampai paro pertama tahun ini sudah ada 500-an startup yang dianggap bisa mengorbit. Kementerian bahkan melakukan rebranding dari gerakan tersebut menjadi Program The Next 1000++ Digital Startups.
Tetapi seharusnya juga ada langkah lanjutan yaitu program mencetak 5 Unicorn lagi dalam lima tahun setelah itu. Karena prestasi dan prestisenya justru terletak di situ.
Mimpi itu tentu tidak mudah diwujudkan. Dukungan, terutama dalam hal pendanaan karena startup sangat bergantung kepada promosi dan publikasi yang jor-joran, sangat dibutuhkan dan harus terintegrasi. Sokongan dari pemerintah tentu sudah ada, terlihat dari beberapa lembaga negara yang menyiapkan dana hibah untuk usaha-usaha rintisan terpilih. Namun dukungan yang masif dari lembaga keuangan (yang artinya jika dilihat dari mekanisme pasar, tindakan itu menguntungkan) lebih penting ketimbang hanya bergantung kepada pemerintah.
Dalam iklim perubahan saat ini, mimpi itu membutuhkan banyak keberuntungan. Usaha dan rencana yang matang dan dukungan yang cukup, namun demikian , tetap harus menjadi modal dasar mimpi itu. Saat ini, perusahaan rintisan di Indonesia masih kesulitan untuk mendapatkan pendanaan, bahkan bagi mereka yang aplikasinya sudah banyak diunduh ribuan orang.
Lembaga keuangan di Indonesia masih belum berani mengambil risiko memupuk startup-startup untuk kemudian memetik keberhasilan dari beberapa dari mereka. Ibarat menanam pohon, biaya pemupukan untuk disebarkan beberapa startup, bisa jadi tidak membuat semua startup bertahan. Namun satu atau dua startup yang bertahan itu nantinya bisa mengompensasi keseluruhan biaya ‘pupuk’ yang disebarkan.
Bank yang memiliki dana yang paling melimpah, tentu menjadi lembaga yang diharapkan untuk bisa memupuk banyak startup di Indonesia. Tetapi lembaga itu pula yang paling banyak memilik barriers yang menghalanginya memberikan pendanaan bagi startup.
Harapan beralih ke modal ventura, sebagai lembaga yang paling berpotensi membiayai perusahaan startup, seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Namun karena lembaga ini dinilai masih minim pengalaman, maka peran itu akhirnya banyak dijalankan oleh perusahaan asing.
Lihat saja di jajaran Unicorn Tanah Air. Berdasarkan data Tech-Crunch, GoJek dimiliki oleh beberapa penyandang dana seperti Google, JD.com, dan Tencent.Hanya ada dua perusahaan dari dalam negeri, yakni Astra International Tbk (Indonesia) dan Global Digital Niaga, anak perusahaan modal ventura Global Digital Prima (GDP) milik Djarum Group.
Kemudian Tokopedia, hanya ada satu investor lokal, yaitu Indonusa Dwitama, di antara sembilan perusahaan yang terdata oleh crunchbase.com. Startup ini disuntik dana oleh Alibaba Group (China) dan Softbank Vision Fund (Inggris).
Unicorn lokal lain, Traveloka, juga berkembang dengan kucuran dana dari investor AS, China, Jepang, dan India. Tak tercatat satu pun investor lokal di perusahaan agregasi jasa perjalanan online ini.
Sementara itu, untuk saham Bukalapak masih dikuasai PT Emtek, melalui anak perusahaannya, PT Kreatif Media Karya (KMK). Investor lainnya adalah Batavia Incubator, perusahaan join Corfina Group dengan mitranya, Rebright Partners, spesialis inkubator dari Jepang. Dari lima investor asing Bukalapak, tiga perusahaan dari Jepang, satu dari AS, dan satu perusahaan Korea Selatan.
Maka tidak heran kalau beberapa waktu lalu, pejabat pemerintah ‘keceplosan’ kalau deretan Unicorn itu sejatinya milik asing bukan milik Indonesia. Jika sudah begitu, apakah kita tidak khawatir kalau nanti seribuan startup yang mulai kita pupuk saat ini pada akhirnya justru dipanen oleh asing. Dan yang tersisa buat kita cuma mimpi atau cerita pengantar tidur.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar