Sebagian besar dari kita mungkin pernah mendengar Kisah 1001
malam. Akan tetapi tidak semua mengetahui bahwa dongeng itu adalah rangkuman
dari cerita-cerita yang dilantunkan seorang istri raja untuk mengulur waktu
kematiannya. Sang Ratu yang bernama Scheherazade, yang baru dipersunting oleh
Raja Shahryar, mengetahui bahwa suaminya itu memiliki kebiasaan membunuh istrinya
setelah melewati malam pertama. Untuk menunda eksekusi itu, sang istri terus
menerus menceritakan dongeng kepada suami hingga suaminya terlelap dan alpa
untuk membunuhnya malam itu.
Dalam dongeng itu sendiri tidak
ada kisah tentang kuda bersayap yang memiliki tanduk tunggal di dahinya atau
biasa disebut Unicorn. Akan tetapi Unicorn kini menjadi mimpi dari banyak anak
muda saat ini, entah memiliki perusahaan seperti Unicorn, atau setidaknya bekerja di perusahaan Unicorn.
Indonesia, saat ini setidaknya,
memiliki empat Unicorn dalam diri Gojek,
Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Namun belakangan jumlahnya bertambah satu
lagi setelah dimasukkan nama Grab, meskipun secara orisinal startup itu mengawali bisnisnya di
Singapura. Jadi keputusan untuk mengadopsi Grab menjadi Unicorn Nusantara masih menyimpan pertanyaan besar untuk dijawab.
Memang tidak mudah mencetak Unicorn yang memiliki nilai di atas 1
miliar dollar AS, atau jika dirupiahkan bisa mencapai Rp14 triliun lebih. Namun
bukan berarti kita mencari jalan pintas mengadopsi startup luar hanya karena mereka membuka markas atau pusat
pelayanan di sini.
Harus ada rencana dan proses
serta tahap pengembangan yang serius untuk mencetak satu Unicorn. Pemerintah memang sudah punya langkah pertama dengan
meluncurkan Gerakan Nasional 1.000 Startup
pada 2016, yang harus sudah tercapai paling lambat 2020.
Dilihat dari situs resminya, 1000startupdigital.id, baru ada lima startup yang dianggap sudah oke dan
memberikan dampak positif ke masyarakat. Tetapi menurut Kementerian Komunikasi
dan Informastika, sampai paro pertama tahun ini sudah ada 500-an startup yang dianggap bisa mengorbit.
Kementerian bahkan melakukan rebranding
dari gerakan tersebut menjadi Program The Next 1000++ Digital Startups.
Tetapi seharusnya juga ada
langkah lanjutan yaitu program mencetak 5 Unicorn
lagi dalam lima tahun setelah itu. Karena prestasi dan prestisenya justru
terletak di situ.
Mimpi itu tentu tidak mudah
diwujudkan. Dukungan, terutama dalam hal pendanaan karena startup sangat bergantung kepada promosi dan publikasi yang
jor-joran, sangat dibutuhkan dan harus terintegrasi. Sokongan dari pemerintah
tentu sudah ada, terlihat dari beberapa lembaga negara yang menyiapkan dana
hibah untuk usaha-usaha rintisan terpilih. Namun dukungan yang masif dari
lembaga keuangan (yang artinya jika dilihat dari mekanisme pasar, tindakan itu
menguntungkan) lebih penting ketimbang hanya bergantung kepada pemerintah.
Dalam iklim perubahan saat ini,
mimpi itu membutuhkan banyak keberuntungan. Usaha dan rencana yang matang dan
dukungan yang cukup, namun demikian , tetap harus menjadi modal dasar mimpi
itu. Saat ini, perusahaan rintisan di Indonesia masih kesulitan untuk
mendapatkan pendanaan, bahkan bagi mereka yang aplikasinya sudah banyak diunduh
ribuan orang.
Lembaga keuangan di Indonesia
masih belum berani mengambil risiko memupuk startup-startup
untuk kemudian memetik keberhasilan dari beberapa dari mereka. Ibarat menanam
pohon, biaya pemupukan untuk disebarkan beberapa startup, bisa jadi tidak membuat semua startup bertahan. Namun satu atau dua startup yang bertahan itu nantinya bisa mengompensasi keseluruhan
biaya ‘pupuk’ yang disebarkan.
Bank yang memiliki dana yang
paling melimpah, tentu menjadi lembaga yang diharapkan untuk bisa memupuk
banyak startup di Indonesia. Tetapi
lembaga itu pula yang paling banyak memilik barriers
yang menghalanginya memberikan pendanaan bagi startup.
Harapan beralih ke modal ventura,
sebagai lembaga yang paling berpotensi membiayai perusahaan startup, seperti yang dipraktikkan
negara-negara maju. Namun karena lembaga ini dinilai masih minim pengalaman,
maka peran itu akhirnya banyak dijalankan oleh perusahaan asing.
Lihat saja di jajaran Unicorn Tanah Air. Berdasarkan data
Tech-Crunch, GoJek dimiliki oleh beberapa penyandang dana seperti Google,
JD.com, dan Tencent.Hanya ada dua perusahaan dari dalam negeri, yakni Astra
International Tbk (Indonesia) dan Global Digital Niaga, anak perusahaan modal
ventura Global Digital Prima (GDP) milik Djarum Group.
Kemudian Tokopedia, hanya ada
satu investor lokal, yaitu Indonusa Dwitama, di antara sembilan perusahaan yang
terdata oleh crunchbase.com. Startup
ini disuntik dana oleh Alibaba Group (China) dan Softbank Vision Fund
(Inggris).
Unicorn lokal lain, Traveloka, juga berkembang dengan kucuran dana
dari investor AS, China, Jepang, dan India. Tak tercatat satu pun investor
lokal di perusahaan agregasi jasa perjalanan online ini.
Sementara itu, untuk saham
Bukalapak masih dikuasai PT Emtek, melalui anak perusahaannya, PT Kreatif Media
Karya (KMK). Investor lainnya adalah Batavia Incubator, perusahaan join Corfina
Group dengan mitranya, Rebright Partners, spesialis inkubator dari Jepang. Dari
lima investor asing Bukalapak, tiga perusahaan dari Jepang, satu dari AS, dan
satu perusahaan Korea Selatan.
Maka tidak heran kalau beberapa
waktu lalu, pejabat pemerintah ‘keceplosan’ kalau deretan Unicorn itu sejatinya milik asing bukan milik Indonesia. Jika sudah
begitu, apakah kita tidak khawatir kalau nanti seribuan startup yang mulai kita pupuk saat ini pada akhirnya justru dipanen
oleh asing. Dan yang tersisa buat kita cuma mimpi atau cerita pengantar tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar