Minggu, 20 Oktober 2019

Resesi Sudah Dekat


Ekonomi AS yang dinilai akan mengalami resesi tahun depan diakui akan memberi guncangan ke perekonomian nasional. Pemerintah sudah mengakuinya dan mulai menyiapkan mitigasinya.

Lebih dari dua dekade lalu, pemerintah sejatinya sudah melihat adanya tanda-tanda krisis moneter ketika defisit transaksi berjalan meningkat tajam bersamaan dengan utang luar negeri yang meningkat. Ketika mata uang negara tetangga merosot, banyak pembuat kebijakan yang masih percaya diri bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat. Namun kenyataan berkata lain dan krisis pun meledak pada paro kedua 1997.
Kini muncul pertanda resesi di AS ketika pada Agustus lalu imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor lebih pendek meningkat dan melampaui imbal hasil obligasi jangka  panjang. Sebelumnya kondisi itu juga pada Maret tahun lalu yang mana hal itu terjadi pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade belakangan.
                Normalnya yield obligasi AS jangka pendek memang selalu lebih rendah dibanding yang berjangka panjang. Inversi, atau pembalikan ini, baru terjadi lagi setelah terakhir kalinya muncul pada Juni 2007 yang kemudian setahun setelahnya terjadi krisis subprime mortgage AS. Negara Paman Sam itu kemudian terjerembab dalam resesi yang menular ke ekonomi negara-negara lain.
Resesi ekonomi adalah kondisi di mana perekonomian yang tercermin dari Produk Domestik Bruto (PDB) menurun dan pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Belajar dari pengalaman 1997 lalu, pemerintah kali ini tidak mau gegabah untuk bilang bahwa kondisi itu tidak akan berdampak pada perekonomian. Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, Indonesia harus mewaspadai ancaman resesi yang kian nyata ini. "Jadi kalau ada orang yang bilang Indonesia jauh dari ancaman resesi, jauh apanya? Coba cek. Suka enggak suka kita harus waspada (resesi),” kata dia, September.
                Kementerian Koordinator Perekonomian tentu menjadi pihak yang paling memahami bagaimana ancaman ini memang nyata bagi Indonesia. Apalagi sebelumnya Bank Dunia juga sudah mengeluarkan laporan bertajuk "Global economic risks and implications for Indonesia" dan sudah dipresentasikan di hadapan Presiden Joko Widodo.
                Kata laporan itu, Indonesia akan terkena dampak resesi karena pertumbuhan ekonomi global terus melambat dan kemungkinan resesi terlihat semakin besar. Kesimpulan itu berdasarkan pertanda pembalikan yield obligasi AS; mesin ekonomi Eropa, yaitu Jerman dan Inggris, yang makin melambat; dan pelemahan di China.
Faktor lain yang akan membuat ekonomi RI terdampak resesi adalah makin intensifnya perang dagang AS-China dan juga risiko geopolitik lainnya. Dua negara ekonomi terbesar dunia telah ‘memproklamirkan’ perseteruannya pada triwulan kedua tahun lalu. Perang tarif antara keduanya tak pelak membuat negara-negara lain di dunia mendapat pukulan yang tak ringan.
Bank Dunia dalam laporannya juga menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih lamban akan terus merosot bersama pelemahan ekonomi global. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus menurun karena produktivitas yang lemah dan pertumbuhan angkatan kerja yang melambat,” kata Laporan itu. “Pelemahan global yang menyebabkan harga komoditas menurun akan semakin menekan pertumbuhan PDB Indonesia.”
Setiap 1 persen penurunan ekonomi China, lanjut Laporan itu, berdampak pada penurunan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 persen. Pada resesi 2009, misalnya, pertumbuhan ekonomi global turun hingga 6,2 persen dari tahun 2007, disertai dengan harga komoditas yang jatuh. Saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melambat 1,7 persen.
Akibat konflik dagang, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia akan semakin melemah. Bahkan lembaga itu meyakini bahwa pertumbuhan dunia tahun ini akan menjadi yang terlemah sejak krisis keuangan global pada 2008-2009. Diperkirakan pertumbuhan akan melambat dari 3,6 persen pada 2018, menjadi 2,9 persen di 2019 dan 3,0 persen di 2020.
Tak kurang dari Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde mengkhawatirkan kondisi ini. Lagarde, yang akan menggantikan Mario Draghi memimpin ECB per 1 November nanti, mengatakan konflik dagang bakal memangkas 0,8 persen dari pertumbuhan ekonomi global di 2020. "Itu jumlah yang sangat besar," kata Lagarde dalam sebuah wawancara. "Saya pikir perdagangan (ancaman terhadap perdagangan saat ini) adalah rintangan terbesar bagi ekonomi global, ya, memang,".

Kondisi Indonesia
                Perihal dampak resesi global ke Indonesia, untuk kali ini pemerintah memang meresponsnya cukup serius, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Misalnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Resesi ekonomi global, kata dia, tidak bisa dinafikan lagi. Namun yang terpenting menurut perempuan yang pernah menjadi pejabat penting di Bank Dunia ini, adalah menyiapkan strategi untuk menghadapinya.
                Ani, panggilan akrabnya, mengatakan pemerintah telah memiliki strategi atau kebijakan countercylical dari sisi fiskal untuk mengantisipasi adanya potensi resesi ekonomi. “Paling penting dari sisi makroekonomi adalah melakukan countercylical policy sesuai kebutuhan. Itu berarti kami melihat apakah APBN kita sehat dan punya space untuk melakukan," kata dia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga mendaku tengah mengatur strategi untuk memperkuat ekonomi dalam negeri di tengah risiko resesi ekonomi global. Strategi yang disusun pemerintah, ditujukan agar ekonomi nasional tak terkena imbas gejolak ekonomi global, sehingga masih bisa tumbuh positif. “Ada atau tidak resesi, kami harus mempersiapkan diri, membenahinya. Ibaratnya, sedia payung sebelum hujan,” ujar Darmin.
Kendati demikian, ia enggan merinci berbagai jurus yang sedang disiapkan. Yang pasti, ia menekankan jurus tersebut merupakan kombinasi kebijakan yang melibatkan regulator industri keuangan, seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sementara itu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro menyatakan pembangunan Ibu Kota baru bisa menangkal risiko resesi yang kini juga sedang dihadapi oleh sejumlah negara. "Saya harapkan kami coba mengarahkan pembangunan ibu kota baru adalah countercyclical (penyangga) untuk menghadapi resesi tahun depan," kata dia.
Pembangunan Ibu Kota baru tentu akan mendatangkan banyak investasi, khususnya di sektor properti. Dari investasi inilah, Bambang berharap dapat membantu mendorong ekonomi nasional. "Kebetulan Ibu Kota baru bukan banyak di sektor manufaktur, tapi properti. Bicara properti bukan sekadar sektor kekinian, pengusaha properti berpikir jauh," jelasnya.
Dalam simulasi yang dilakukan oleh Bappenas, pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur (Kaltim) bisa mendorong investasi hingga 47,7 persen di kawasan itu. Sementara, di Pulau Kalimantan sendiri akan menambah sekitar 34,5 persen dan untuk Indonesia 4,7 persen.
"(Ibu kota baru) ini dibangun untuk 1,5 juta orang. Nah, otomatis pembangunan ibu kota baru menjadi salah satu kota terbesar di Kalimantan Timur, sehingga wajar kalau investasi riil naik hampir 50 persen," ujar Bambang.
Sepanjang lima tahun belakangan ini, perekonomian Indonesia selalu dibekap angka pertumbuhan yang rendah sehingga pemerintah gagal mewujudkan target PDB yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Pada 2014, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1 persen padahal targetnya adalah 5,5 persen. Setahun setelah itu, angkanya bahkan hanya mencapai 4,79 persen ketika sebelumnya ditargetkan mencapai 5,7 persen.
Pada 2016 dan 2017 pertumbuhan ditargetkan sama-sama mencapai 5,2 persen namun di akhir tahun masing-masing hanya mencapai 5,0 dan 5,07 persen. Pada 2018, terutama di kuartal kedua, harapan seketika membuncah sewaktu angka pertumbuhan mencapai 5,27 persen, tertinggi di masa Jokowi. Tetapi di akhir tahun pemerintah harus puas dengan angka 5,17 persen, sedangkan targetnya dipatok sebesar 5,4 persen.
Melihat respons pemerintah setidaknya publik memiliki sedikit harapan bahwa guncangan resesi global akan dihadapi dengan persiapan yang mumpuni. Karena jika ingin menyelesaikan masalah sangat penting untuk mengakui bahwa memang ada masalah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar