Praktik tata kelola di perbankan Tanah Air masih belum bisa
memutus tren pemburukan jika dilihat sejak pertama kali kewajiban itu
diterapkan. Tantangan makin berat ketika pada 2020 pelemahan ekonomi global dan
ancaman resesi justru akan meningkatkan risk
appetite pelaku usaha.
Tata kelola Perusahaan yang Baik tetap menjadi barang mahal
di Indonesia. Bahkan setelah diperkenalkan pada dua dasawarsa lalu, kepatuhan
untuk mengadopsi ketentuan tersebut dinilai masih minim.
Penerapan good corporate governance (GCG) di Indonesia memang baru dimulai
pada 1999, setelah ekonomi Indonesia porak poranda dihantam krisis moneter
setahun sebelumnya. Namun demikian, setelah hampir 20 tahun berlalu, praktik
itu belum menemukan hasil sepadan. Setidaknya itulah yang ditemukan oleh
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), sebuah institusi terkemuka di
bidang pelatihan, konsultansi, dan riset untuk industri keuangan.
Berdasarkan
hasil riset LPPI, nilai rata-rata praktik GCG dalam beberapa tahun belakangan memang
terlihat membaik. Pada 2016, nilainya berada di level 2,16, setahun setelahnya
berada di level 2,07 dan data terakhir 2018 berada di level 2,02. Makin
mendekati 1, maka praktik GCG sebuah bank dinilai makin baik.
Akan
tetapi jika dilihat secara tren sejak 2007 hingga 2018, maka bisa disimpulkan
bahwa praktik GCG di perbankan Indonesia tidak mengalami perbaikan, alias terus
memburuk. Jika ditelisik lebih lanjut hasil riset tersebut, dapat disimpulkan
bahwa makin besar modal sebuah bank maka makin bagus praktik GCG-nya.
Bank
BUKU 4 mendapatkan nilai komposit 1,40, tertinggi dibanding bank BUKU lainnya.
disusul berturut-turut oleh bank BUKU 3, BUKU 2 dan BUKU 1. “Nilai rata-rata
GCG BUKU 4 memiliki PK (Predikat Komposit) antara BAIK dan SANGAT BAIK. Dan
dari enam bank penghuni BUKU 4, separo berada di atas rata-rata, sisanya di
bawah rata-rata. Sedangkan dibandingkan terhadap rata-rata industri semua bank BUKU
4 berada di bawah rata-rata, yang artinya lebih bagus,” kata Kepala Divisi
Riset LPPI Lando Simatupang kepada Stabilitas.
Sementara
itu, jika dilihat dari kepemilikan saham, bank-bank milik negara memiliki nilai
GCG tertinggi. Berdasarkan analisis deskriptif dari riset tersebut, bank BUMN
berada di bawah rata-rata industri dengan PK SANGAT BAIK. Sedangkan bank swasta
nasional dan bank asing memiliki nilai di bawah rata-rata industri dan PK BAIK.
Sementara BPD memiliki rata-rata nilai komposit di atas rata-rata industri dengan
PK BAIK, alias yang paling buruk di industri.
Sejak 2006, perbankan nasional, telah
diwajibkan menjalankan GCG berdasarkan aturan Bank Indonesia tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Kemudian sejak 2016,
peraturan mengenai GCG merujuk kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
No. 55/POJK.03/2016 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) No.
13/SEOJK.03/2017 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum.
Dalam aturan itu, setiap bank
umum yang beroperasi di Indonesia harus menilai sendiri GCG-nya (self assessment) dengan menggunakan
suatu ukuran tertentu, paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun. Hasil self assessment ini kemudian dilaporkan
kepada otoritas.
Riset LPPI didasarkan pada survei
laporan GCG bank, dan situs resmi dari 108 bank, atau 97 persen dari total bank
yang ada. Jika telusuri tahun demi tahun sejak kewajiban penerapan GCG tersebut
diberlakukan, terlihat adanya penurunan kualitas governance. Dalam riset,disebutkan ketika pertama kali diterapkan
pada 2006, nilai rata-rata GCG industri perbankan berada di kisaran 1, yang
berarti sangat baik (lihat tabel).
Kondisi itu, akan tetapi, hanya
berlangsung setahun. Malah, setelah melewati fase perbaikan sepanjang periode
2008-2010, nilai rata-rata GCG kembali memburuk dan mencapai puncaknya pada
2015. Ya, tahun 2010 adalah puncaknya penerapan GCG di Indonesia ketika nilai
kompositnya mencapai 1,85. Setelah itu, berturut-turut nilai komposit industri
perbankan menurun dengan nilai komposit yang terus cenderung membesar.
Jika ditelusuri ke belakang,
hasil kajian tersebut memang tidak berbohong. Pada 2011, kita ingat ada kasus
besar di industri perbankan ketika kasus pembobolan Citibank oleh pegawai private banking-nya menyeruak. Pada 2012
juga ada kasus besar yaitu pembobolan dana yang dilakukan pegawai Bank Mega
terhadap simpanan dari Elnusa, perusahaan sektor minyak dan gas milik negara,
yang kasusnya berlarut-larut hingga 2013.
Pada 2014 ada kasus pembobolan
dana dan juga skimming kartu debit
dan kredit yang menimpa Bank Mandiri. Total dana yang dicuri berjumlah puluhan
miliar rupiah. Kemudian pada 2015, mencuat kasus besar yang menimpa Bank BTPN
ketika dana Rp22 miliar milik Pemerintah Kota Semarang raib dari deposito yang
dikelola bank itu. Pemkot menyimpan uang sebesar Rp 22 miliar yang
didepositokan ke BTPN sejak 2007, dalam bentuk rekening koran.
Tantangan 2020
Pada tahun ini, penerapan GCG
akan menghadapi tantangan yang lebih berat ketika perekonomian global tengah
terancam resesi dan juga kisruh keamanan global. Bahkan berdasarkan laporan
tiga lembaga ekonomi global terkemuka yaitu Fitch Rating, Moody's dan McKinsey,
tantangan ekonomi 2020 justru akan membuat risk
appetite pelaku di sektor keuangan meningkat.
Menurut Mas Ahmad Daniri, Ketua
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), hal itu memang lazim. “Prospek
bisnis yang menantang dan memburuk justru akan memicu kecenderungan para
pengelola bisnis untuk berani menabrak-nabrak aturan. Tetapi pada akhirnya nanti yang
berjaya adalah mereka yang komit menerapkan GCG,” jelas dia kepada Stabilitas.
Sementara itu di dalam negeri,
lanjut Daniri, tantangan penerapan GCG pada 2020 akan bergantung pada
praktik-praktik governance yang
dilakukan oleh stake holder.
“Penerapan GCG akan bergantung pada pihak-pihak terkait. Seperti profesi
penilai, reglator, auditor dan lain-lain. Juga dari sisi internal misalnya
direksi atau komisaris,” kata dia.
Praktik GCG di industri perbankan
diakui Daniri, lebih baik ketimbang sektor lain. Namun demikian ancaman praktik
menelikung GCG tetap berpotensi muncul. “Misalnya, karena dijanjikan bonus
besar jika profit, maka direksi atau komisaris merekayasa pencapaian profit
perusahaannya aga mendapatkan bonus tersebut,” lanjut dia.
Saat ini publik memang tengah
menyoroti praktik GCG pada perusahaan-perusahaan BUMN tak terkecual di bidang
perbankan. Meski begitu, secara umum, kata Daniri, praktik di bank-bank BUMN
cenderung lebih baik, karena bank diawasi oleh lebih banyak regulator. “Bank
BUMN pengawasannya lebih ketat, karena diawasi oleh regulator bank, regulator pasar modal dan regulator
BUMN,” tukas Daniri.
Memang
berdasarkan kajian LPPI, praktik GCG di bank-bank milik negara terlihat paling
bagus tahun 2018 dengan nilai komposit 1,46. Sementara untuk bank swasta
memiliki nilai komposit 1,96, bank asing memiliki nilai 1,90, dan bank-bank
daerah di level 2,27.
Sementara
itu, Wilson Arafat, praktisi GCG yang bekerja di sebuah bank mengatakan bahwa
pada 2020, dalam konteks praktik GCG, ada dua hal yang perlu ditegakkan. Pertama, etika bisnis harus yang
dituangkan dalam code of conduct
perbankan. “Integritas harus dijadikan panglima sehingga mampu menepis benturan
kepentingan, praktik haram gratifikasi yang pada gilirannya menjadikan
kepentingan perusahaan diutamakan di atas kepentingan golongan, apalagi
pribadi,” kata dia.
Kedua, penerapan praktik combined assurance atau GRC (governance, risk management dan compliance) harus menancap di
perusahaan, minimal pada proses bisnis utama. “Praktik itu ditopang people, IT dan teknologi digital terkini,
sehingga mampu mewujudkan proses bisnis best
in class,” ujar Wilson. “Jika hal ini mampu di wujudkan program zero fraud bukan tidak mungkin dapat
segera terwujud.”
Komposit Self Assessment GCG
Nilai Komposit
|
Predikat Komposit
|
PK
|
Nilai Komposit
< 1,50
|
Sangat Baik
|
1
|
1,5 ≤ Nilai
Komposit < 2,5
|
Baik
|
2
|
2,5 ≤ Nilai
Komposit < 3,5
|
Cukup
|
3
|
3,5 ≤ Nilai
Komposit < 4,5
|
Kurang Baik
|
4
|
4,5 ≤ Nilai
Komposit < 5,0
|
Tidak Baik
|
5
|
Sumber: SE OJK No. 13/SEOJK.03/2017
|
(dipublikasikan Desember 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar