Senin, 24 Februari 2020

GCG Perbankan dalam Ancaman


Praktik tata kelola di perbankan Tanah Air masih belum bisa memutus tren pemburukan jika dilihat sejak pertama kali kewajiban itu diterapkan. Tantangan makin berat ketika pada 2020 pelemahan ekonomi global dan ancaman resesi justru akan meningkatkan risk appetite pelaku usaha.

  
Tata kelola Perusahaan yang Baik tetap menjadi barang mahal di Indonesia. Bahkan setelah diperkenalkan pada dua dasawarsa lalu, kepatuhan untuk mengadopsi ketentuan tersebut dinilai masih minim.
Penerapan good corporate governance (GCG) di Indonesia memang baru dimulai pada 1999, setelah ekonomi Indonesia porak poranda dihantam krisis moneter setahun sebelumnya. Namun demikian, setelah hampir 20 tahun berlalu, praktik itu belum menemukan hasil sepadan. Setidaknya itulah yang ditemukan oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), sebuah institusi terkemuka di bidang pelatihan, konsultansi, dan riset untuk industri keuangan.
                Berdasarkan hasil riset LPPI, nilai rata-rata praktik GCG dalam beberapa tahun belakangan memang terlihat membaik. Pada 2016, nilainya berada di level 2,16, setahun setelahnya berada di level 2,07 dan data terakhir 2018 berada di level 2,02. Makin mendekati 1, maka praktik GCG sebuah bank dinilai makin baik.
                Akan tetapi jika dilihat secara tren sejak 2007 hingga 2018, maka bisa disimpulkan bahwa praktik GCG di perbankan Indonesia tidak mengalami perbaikan, alias terus memburuk. Jika ditelisik lebih lanjut hasil riset tersebut, dapat disimpulkan bahwa makin besar modal sebuah bank maka makin bagus praktik GCG-nya.
                Bank BUKU 4 mendapatkan nilai komposit 1,40, tertinggi dibanding bank BUKU lainnya. disusul berturut-turut oleh bank BUKU 3, BUKU 2 dan BUKU 1. “Nilai rata-rata GCG BUKU 4 memiliki PK (Predikat Komposit) antara BAIK dan SANGAT BAIK. Dan dari enam bank penghuni BUKU 4, separo berada di atas rata-rata, sisanya di bawah rata-rata. Sedangkan dibandingkan terhadap rata-rata industri semua bank BUKU 4 berada di bawah rata-rata, yang artinya lebih bagus,” kata Kepala Divisi Riset LPPI Lando Simatupang kepada Stabilitas.
                Sementara itu, jika dilihat dari kepemilikan saham, bank-bank milik negara memiliki nilai GCG tertinggi. Berdasarkan analisis deskriptif dari riset tersebut, bank BUMN berada di bawah rata-rata industri dengan PK SANGAT BAIK. Sedangkan bank swasta nasional dan bank asing memiliki nilai di bawah rata-rata industri dan PK BAIK. Sementara BPD memiliki rata-rata nilai komposit di atas rata-rata industri dengan PK BAIK, alias yang paling buruk di industri.
Sejak 2006, perbankan nasional, telah diwajibkan menjalankan GCG berdasarkan aturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Kemudian sejak 2016, peraturan mengenai GCG merujuk kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 55/POJK.03/2016 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) No. 13/SEOJK.03/2017 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum.
Dalam aturan itu, setiap bank umum yang beroperasi di Indonesia harus menilai sendiri GCG-nya (self assessment) dengan menggunakan suatu ukuran tertentu, paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun. Hasil self assessment ini kemudian dilaporkan kepada otoritas.
Riset LPPI didasarkan pada survei laporan GCG bank, dan situs resmi dari 108 bank, atau 97 persen dari total bank yang ada. Jika telusuri tahun demi tahun sejak kewajiban penerapan GCG tersebut diberlakukan, terlihat adanya penurunan kualitas governance. Dalam riset,disebutkan ketika pertama kali diterapkan pada 2006, nilai rata-rata GCG industri perbankan berada di kisaran 1, yang berarti sangat baik (lihat tabel).
Kondisi itu, akan tetapi, hanya berlangsung setahun. Malah, setelah melewati fase perbaikan sepanjang periode 2008-2010, nilai rata-rata GCG kembali memburuk dan mencapai puncaknya pada 2015. Ya, tahun 2010 adalah puncaknya penerapan GCG di Indonesia ketika nilai kompositnya mencapai 1,85. Setelah itu, berturut-turut nilai komposit industri perbankan menurun dengan nilai komposit yang terus cenderung membesar.
Jika ditelusuri ke belakang, hasil kajian tersebut memang tidak berbohong. Pada 2011, kita ingat ada kasus besar di industri perbankan ketika kasus pembobolan Citibank oleh pegawai private banking-nya menyeruak. Pada 2012 juga ada kasus besar yaitu pembobolan dana yang dilakukan pegawai Bank Mega terhadap simpanan dari Elnusa, perusahaan sektor minyak dan gas milik negara, yang kasusnya berlarut-larut hingga 2013.
Pada 2014 ada kasus pembobolan dana dan juga skimming kartu debit dan kredit yang menimpa Bank Mandiri. Total dana yang dicuri berjumlah puluhan miliar rupiah. Kemudian pada 2015, mencuat kasus besar yang menimpa Bank BTPN ketika dana Rp22 miliar milik Pemerintah Kota Semarang raib dari deposito yang dikelola bank itu. Pemkot menyimpan uang sebesar Rp 22 miliar yang didepositokan ke BTPN sejak 2007, dalam bentuk rekening koran.

Tantangan 2020
Pada tahun ini, penerapan GCG akan menghadapi tantangan yang lebih berat ketika perekonomian global tengah terancam resesi dan juga kisruh keamanan global. Bahkan berdasarkan laporan tiga lembaga ekonomi global terkemuka yaitu Fitch Rating, Moody's dan McKinsey, tantangan ekonomi 2020 justru akan membuat risk appetite pelaku di sektor keuangan meningkat.
Menurut Mas Ahmad Daniri, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), hal itu memang lazim. “Prospek bisnis yang menantang dan memburuk justru akan memicu kecenderungan para pengelola bisnis untuk berani menabrak-nabrak  aturan. Tetapi pada akhirnya nanti yang berjaya adalah mereka yang komit menerapkan GCG,” jelas dia kepada Stabilitas.
Sementara itu di dalam negeri, lanjut Daniri, tantangan penerapan GCG pada 2020 akan bergantung pada praktik-praktik governance yang dilakukan oleh stake holder. “Penerapan GCG akan bergantung pada pihak-pihak terkait. Seperti profesi penilai, reglator, auditor dan lain-lain. Juga dari sisi internal misalnya direksi atau komisaris,” kata dia.
Praktik GCG di industri perbankan diakui Daniri, lebih baik ketimbang sektor lain. Namun demikian ancaman praktik menelikung GCG tetap berpotensi muncul. “Misalnya, karena dijanjikan bonus besar jika profit, maka direksi atau komisaris merekayasa pencapaian profit perusahaannya aga mendapatkan bonus tersebut,” lanjut dia.
Saat ini publik memang tengah menyoroti praktik GCG pada perusahaan-perusahaan BUMN tak terkecual di bidang perbankan. Meski begitu, secara umum, kata Daniri, praktik di bank-bank BUMN cenderung lebih baik, karena bank diawasi oleh lebih banyak regulator. “Bank BUMN pengawasannya lebih ketat, karena diawasi oleh regulator  bank, regulator pasar modal dan regulator BUMN,” tukas Daniri.
                Memang berdasarkan kajian LPPI, praktik GCG di bank-bank milik negara terlihat paling bagus tahun 2018 dengan nilai komposit 1,46. Sementara untuk bank swasta memiliki nilai komposit 1,96, bank asing memiliki nilai 1,90, dan bank-bank daerah di level 2,27.
                Sementara itu, Wilson Arafat, praktisi GCG yang bekerja di sebuah bank mengatakan bahwa pada 2020, dalam konteks praktik GCG, ada dua hal yang perlu ditegakkan. Pertama, etika bisnis harus yang dituangkan dalam code of conduct perbankan. “Integritas harus dijadikan panglima sehingga mampu menepis benturan kepentingan, praktik haram gratifikasi yang pada gilirannya menjadikan kepentingan perusahaan diutamakan di atas kepentingan golongan, apalagi pribadi,” kata dia.
                Kedua, penerapan praktik combined assurance atau GRC (governance, risk management dan compliance) harus menancap di perusahaan, minimal pada proses bisnis utama. “Praktik itu ditopang people, IT dan teknologi digital terkini, sehingga mampu mewujudkan proses bisnis best in class,” ujar Wilson. “Jika hal ini mampu di wujudkan program zero fraud bukan tidak mungkin dapat segera terwujud.”











Komposit Self Assessment GCG
Nilai Komposit
Predikat Komposit
PK
Nilai Komposit < 1,50
Sangat Baik
1
1,5 ≤ Nilai Komposit < 2,5
Baik
2
2,5 ≤ Nilai Komposit < 3,5
Cukup
3
3,5 ≤ Nilai Komposit < 4,5
Kurang Baik
4
4,5 ≤ Nilai Komposit < 5,0
Tidak Baik
5
Sumber: SE OJK No. 13/SEOJK.03/2017




(dipublikasikan Desember 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar