Senin, 24 Februari 2020

Mulailah Perhatikan Tata Kelola


Awal tahun adalah waktu yang biasanya dipenuhi optimisme dari seluruh pelaku usaha. Ini adalah waktu untuk memperbaiki kinerja yang tahun lalu belum optimal dan sekaligus memulai langkah demi mencapai kinerja yang lebih baik tahun ini.
Meki begitu, seringkali harapan yang membuncah yang mengiringi langkah di awal tahun membuat orang abai terhadap ancaman. Untuk perusahaan, ancaman itu kerap datang dari fraud atau kejahatan yang memang menunggu saat orang-orang masih terbawa suasana santai, sisa-sisa liburan akhir tahun.
Dalam beberapa tahun terakhir sepanjang dekade ini, beberapa bank sempat terkena guncangan fraud yang kemudian membuat catatan buruk bagi reputasi perusahaan. Tidak cuma pada bank-bank kecil, pembobolan di awal-awal tahun ketika bank belum sepenuhnya sigap juga menimpa pada bank-bank dengan size besar.
Persoalan good corporate governance (GCG) saat ini memang tengah tertuju pada perusahaan-perusahaan non bank. Jiwasraya, asuransi negara tertua, tengah menjadi sorotan publik karena terhempas kasus gagal bayar dari kebijakan investasinya yang terbilang tidak prudent.
Namun demikian, di sektor perbankan permasalahan GCG juga tidak sepi. Yang masih terngiang di ingatan publik adalah ketika pada pertengahan tahun lalu Bank Mandiri mengalami eror dalam sistem teknologi dan informasi. Akibat kejadian itu banyak dana-dana nasabah yang berpindah tempat, sebagian terkuras sebagian bertambah, yang membuat manajemen harus menyiapkan uang ganti rugi.
GCG memang kerap kali dinafikan, dan dikorbankan demi mencapai kinerja keuangan yang optimal. Akan tetapi pada akhirnya karena dipinggirkannya praktik GCG, perusahaan –terutama bank justru harus menerima kenyataan kinerja yang memburuk, bahkan kolaps.
Sejarah di industri keuangan memang membuktikan bahwa jarang sekali ada lembaga keuangan yang bangkrut atau terhapus dari sejarah karena meningkatnya risiko kredit, alias kredit macet. Akan tetapi, banyak lembaga keuangan yang hilang dari peredaran karena reputasinya yang amblas yang dikarenakan praktik GCG yang buruk.
Berdasarkan regulasi dari otoritas perbankan, penerapan GCG memiliki lima pilar yaitu. transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab (responsibility), kemandirian (independency), dan kesetaraan (fairness).
Kelima unsur itu memiliki tantangan yang tak ringan ketika saat ini bank-bank menghadapi kondisi bisnis yang didominasi oleh praktik digital. Pada pilar Transparansi, perusahaan harus paham benar manfaat dan risiko dari munculnya era Industri 4.0. Perusahaan harus menjelaskan ke stake holder terutama publik dimana posisi perusahaan dalam revolusi Industri ke empat ini. Terutama apa yang akan dilakukan perusahaan ketika menghadapi era digital ini.
Pada pilar Akuntabilitas, perusahaan harus memastikan bahwa pengurus telah efektif menjalankan tugasnya. Misalnya, Dewan Komisaris dan Direksi menyatakan telah memiliki kesadaran pentingnya inovasi dan paham Industri yang sedang dialami perusahaan. 
Pada pilar Tanggung jawab, perusahaan diharapkan mampu mempertanggungjawabkan unsur kepatuhan berdasarkan prinsip korporasi yang sehat, yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, khususnya tentang fenomena Industri 4.0. Tujuannya agar para pemangku kepentingan terinformasi dengan baik. 
Pada pilar Kemandirian, bank harus terus berpegang pada asas profesionalitas tanpa adanya benturan kepentingan. Misalnya ketika bank ingin mengakuisisi perusahaan fintech maka harus dipastikan hal itu dilandasi oleh tujuan bisnis dan tidak tidak melanggar peraturan. 
Kesetaraan. Pada pilar ini setiap kali melakukan aksi korporasi, perusahaan  selalu menjaga hak pemegang saham minoritas. Jangan sampai ada satu stake holder pun yang dikorbankan.
Memasuki dasawarsa kedua di abad milenium ini, penerapan GCG di industri perbankan akan menghadapi tantangan yang makin berat. Ketika perekonomian mulai melambat, persaingan usaha semakin ketat, bisnis semakin susah, biasanya muncul praktik-praktik bisnis yang lebih berani menabrak aturan. Singkatnya pada saat itu, risk appetite meningkat dan jumlah risk taker juga bertambah.
Hal itu bahkan dikonfirmasi oleh laporan yang diterbitkan oleh tiga lembaga ekonomi global terkemuka, yaitu Fitch Rating, Moody’s, dan McKinsey. Dalam laporan jelang akhir tahun lalu lembaga pemeringkat Fitch menyebut industri perbankan global, termasuk memiliki prospek negatif lantaran dihadapkan pada tantangan kualitas aset. Hal ini dipicu oleh adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut, tingkat suku bunga yang rendah, dan masih adanya kompetisi yang tinggi.
Akan tetapi Kondisi tersebut, kata laporan itu, justru akan meningkatkan potensi risk appetite pada 2020. Peningkatan risk appetite ini terjadi, didongkrak oleh keinginan pelaku bisnis untuk tetap mencetak laba di tengah suku bunga redah, tertekannya marjin bunga bersih (NIM), perlambatan pertumbuhan, kompetisi ketat, dan biaya yang masih tinggi.
Bagi pelaku bisnis dan juga regulator, ekspektasi itu harus dijadikan sebagai sinyal agar kewaspadaan pada risiko di industri keuangan segara ditingkatkan. Berdasarkan pengalaman krisis menyakitkan dua dekade lalu, kewaspadaan itu bisa dimulai dari penerapan praktik GCG di industri perbankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar