Berdasarkan kajian yang dilakukan
Tim Riset Stabilitas, di sepanjang triwulan kedua 2011 sampai triwulan kedua
2019, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pernah mencapai 5,89 persen yaitu di
triwulan kedua 2011. Akan tetapi, angka tersebut terus melambat hingga triwulan
ketiga 2019 berbarengan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Terakhir, pada
triwulan pertama 2019, pertumbuhan sektor rumah tangga hanya sebesar 5,01
persen, angka terendah dalam hampir satu dasawarsa terakhir.
Jika ditilik lebih lanjut, dalam
sektor rumah tangga itu, ternyata yang menyebabkan konsumsi mengalami
perlambatan adalah mereka-mereka yang termasuk di dalam kelompok 20 persen
berpengeluaran tertinggi. Mereka inilah yang kerap disebut kelas menengah.
Seperti diketahui, kelompok 20 persen berpengeluaran tinggi memiliki porsi
pengeluaran terhadap total konsumsi rumah tangga di Indonesia di atas 45
persen.
Mereka dinilai menahan belanjanya
–terutama pada sektor sekunder dan tersier –karena beragam alasan. Di antaranya
yang sering diungkapkan pengamat adalah karena menunggu kepastian ekonomi dan
kebijakan pemerintah dalam meresponsnya. Atau rencana pemerintah yang ingin
menaikkan iuran-iuran wajib yang sudah dibebankan ke masyarakat, atau juga
pencabutan subsidi listrik. Bahkan ada di antara kelompok menengah ini yang
menunggu kepastian dari kebijakan pemerintah yang ingin memindahkan Ibu Kota ke
Kalimantan.
Lalu siapa sih kelompok menengah ini? Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB),
kelompok ini dikenali melalui jumlah
uang yang dikeluarkan setiap harinya. Middle
class atau kelas menengah masyarakat biasa berpengeluaran per harinya
mencapai antara 2- 4 dollar AS. Namun begitu, lembaga itu juga
mengklasifikasikan kelas menengah atas untuk membedakan mereka yang
mengeluarkan uang sebesar 10 -20 dollar AS per hari.
Jika dikaitkan dengan kurs dollar
AS akhir-akhir ini, maka kategori pertama membelanjakan antara Rp30 ribu hingga
Rp60 ribu per hari, sedangkan kategori kedua menghabiskan antara Rp150 ribu
hingga Rp300 ribu per hari. Atau kalau dihitung secara bulanan konsumsi mereka
adalah antara Rp900 ribu dan Rp1,8 juta untuk kategori pertama, dan antara
Rp4,5 juta hingga Rp9 juta untuk kategori kedua.
Kelas menengah dengan “daya
jajan” mumpuni ini disebut-sebut sebagai kelas konsumen baru. Mereka adalah
orang-orang yang beberapa tahun belakangan rela antre untuk mendapatkan telepon
genggam keluaran terbaru dari Iphone, atau sekadar berbaris untuk mendapatkan
tiket konser penyanyi asing.
Kelas ini juga kerap disebut
sebagai modal utama perekonomian sebuah negara bertransformasi ke jajaran elit
global,seperti yang terjadi dengan Jepang dan Korea Selatan. Namun begitu,
kelas ini juga menyimpan daya jebak, jika pemerintah tidak pintar-pintar
mengelola kelompok ini.
Nah, saat ini mereka dianggap sedang memegang “kunci pertumbuhan”.
Oleh karena itu pemerintah dan otoritas terlihat sangat berkepentingan untuk
tetap menjaga belanja mereka tetap stabil demi bergeraknya roda perekonomian.
Golongan ini, akan tetapi,
dinilai sebagai golongan yang susah diarahkan bahkan oleh insentif karena
merasa independen dalam penghasilan hidup. Dalam diskusi sosial-politik kelas
menengah ini juga sering disebut sebagai kelas yang menikmati kemapanan dan
menghindari risiko perubahan sosial-politik. Namun begitu, kelompok ini dinilai
berguna untuk meredakan sisi buruk dari kelas atas dan kelas pekerja.
Kenapa kelompok ini dianggap
pemegang “kunci pertumbuhan”? Tak kurang karena sifat dan daya konsumsi mereka.
Daya beli masyarakat kelas menengah menjadi peluang bagi kalangan pengusaha
untuk menggarap potensi bisnis. Perluasan bidang usaha dari para konglomerat
dengan sendirinya juga membuka lapangan kerja dan akan semakin lebih banyak
menyerap tenaga kerja.
Selama ini kontribusi dari
transaksi masyarakat kelas menengah telah terbukti sangat berkaitan dengan
pertumbuhan ekonomi nasional. Karena dengan terdongkraknya konsumsi rumah
tangga, selain pendapatan pajak juga akan meningkat, sektor-sektor produksi
juga bergerak.
Untuk mendorong pertumbuhan konsumsi
masyarakat kelas menengah, pemerintah juga harus serius dalam merancang konsep
perencanaan pembangunan dan ekonomi. Diperlukan adanya kondisi ekonomi dan
infrastruktur yang memadai, kemudahan dan kepastian hukum, serta kenyamanan
berbelanja.
Akan tetapi belum apa-apa
pemerintah sudah membuat keinginannya sendiri tertahan. Adalah kebijakan pajak
agresif yang diwacanakan pemerintah, yang tergambar pada rencana pemberlakuan omnibus law, yaitu kebijakan membuat
satu Undang-Undang baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Belum lagi
persoalan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan yang terbilang
membingungkan. Hal ini tentu membuat kalangan menengah menjadi tambah bingung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar