Senin, 24 Februari 2020

Kelas Menengah, Sang Pemegang Kunci

Saat ini konsumsi disebut-sebut sebagai sektor penopang yang bisa menyelamatkan pertumbuhan ekonomi dari keterpurukan. Pelambatan ekonomi yang berlarut-larut –pertumbuhan yang hanya di kisaran 5 persen dalam enam tahun terakhir, dikhawatirkan akan berubah menjadi kemandekan ekonomi ketika konsumsi enggan bergerak. Dan akhir-akhir ini situasi itu dinilai mulai mengemuka.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Tim Riset Stabilitas, di sepanjang triwulan kedua 2011 sampai triwulan kedua 2019, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pernah mencapai 5,89 persen yaitu di triwulan kedua 2011. Akan tetapi, angka tersebut terus melambat hingga triwulan ketiga 2019 berbarengan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Terakhir, pada triwulan pertama 2019, pertumbuhan sektor rumah tangga hanya sebesar 5,01 persen, angka terendah dalam hampir satu dasawarsa terakhir.
Jika ditilik lebih lanjut, dalam sektor rumah tangga itu, ternyata yang menyebabkan konsumsi mengalami perlambatan adalah mereka-mereka yang termasuk di dalam kelompok 20 persen berpengeluaran tertinggi. Mereka inilah yang kerap disebut kelas menengah. Seperti diketahui, kelompok 20 persen berpengeluaran tinggi memiliki porsi pengeluaran terhadap total konsumsi rumah tangga di Indonesia di atas 45 persen.
Mereka dinilai menahan belanjanya –terutama pada sektor sekunder dan tersier –karena beragam alasan. Di antaranya yang sering diungkapkan pengamat adalah karena menunggu kepastian ekonomi dan kebijakan pemerintah dalam meresponsnya. Atau rencana pemerintah yang ingin menaikkan iuran-iuran wajib yang sudah dibebankan ke masyarakat, atau juga pencabutan subsidi listrik. Bahkan ada di antara kelompok menengah ini yang menunggu kepastian dari kebijakan pemerintah yang ingin memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan.
Lalu siapa sih kelompok menengah ini? Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), kelompok  ini dikenali melalui jumlah uang yang dikeluarkan setiap harinya. Middle class atau kelas menengah masyarakat biasa berpengeluaran per harinya mencapai antara 2- 4 dollar AS. Namun begitu, lembaga itu juga mengklasifikasikan kelas menengah atas untuk membedakan mereka yang mengeluarkan uang sebesar 10 -20 dollar AS per hari.
Jika dikaitkan dengan kurs dollar AS akhir-akhir ini, maka kategori pertama membelanjakan antara Rp30 ribu hingga Rp60 ribu per hari, sedangkan kategori kedua menghabiskan antara Rp150 ribu hingga Rp300 ribu per hari. Atau kalau dihitung secara bulanan konsumsi mereka adalah antara Rp900 ribu dan Rp1,8 juta untuk kategori pertama, dan antara Rp4,5 juta hingga Rp9 juta untuk kategori kedua.
Kelas menengah dengan “daya jajan” mumpuni ini disebut-sebut sebagai kelas konsumen baru. Mereka adalah orang-orang yang beberapa tahun belakangan rela antre untuk mendapatkan telepon genggam keluaran terbaru dari Iphone, atau sekadar berbaris untuk mendapatkan tiket konser penyanyi asing.
Kelas ini juga kerap disebut sebagai modal utama perekonomian sebuah negara bertransformasi ke jajaran elit global,seperti yang terjadi dengan Jepang dan Korea Selatan. Namun begitu, kelas ini juga menyimpan daya jebak, jika pemerintah tidak pintar-pintar mengelola kelompok ini.
Nah, saat ini mereka dianggap sedang memegang “kunci pertumbuhan”. Oleh karena itu pemerintah dan otoritas terlihat sangat berkepentingan untuk tetap menjaga belanja mereka tetap stabil demi bergeraknya roda perekonomian.
Golongan ini, akan tetapi, dinilai sebagai golongan yang susah diarahkan bahkan oleh insentif karena merasa independen dalam penghasilan hidup. Dalam diskusi sosial-politik kelas menengah ini juga sering disebut sebagai kelas yang menikmati kemapanan dan menghindari risiko perubahan sosial-politik. Namun begitu, kelompok ini dinilai berguna untuk meredakan sisi buruk dari kelas atas dan kelas pekerja.
Kenapa kelompok ini dianggap pemegang “kunci pertumbuhan”? Tak kurang karena sifat dan daya konsumsi mereka. Daya beli masyarakat kelas menengah menjadi peluang bagi kalangan pengusaha untuk menggarap potensi bisnis. Perluasan bidang usaha dari para konglomerat dengan sendirinya juga membuka lapangan kerja dan akan semakin lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Selama ini kontribusi dari transaksi masyarakat kelas menengah telah terbukti sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Karena dengan terdongkraknya konsumsi rumah tangga, selain pendapatan pajak juga akan meningkat, sektor-sektor produksi juga bergerak.
Untuk mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat kelas menengah, pemerintah juga harus serius dalam merancang konsep perencanaan pembangunan dan ekonomi. Diperlukan adanya kondisi ekonomi dan infrastruktur yang memadai, kemudahan dan kepastian hukum, serta kenyamanan berbelanja.
Akan tetapi belum apa-apa pemerintah sudah membuat keinginannya sendiri tertahan. Adalah kebijakan pajak agresif yang diwacanakan pemerintah, yang tergambar pada rencana pemberlakuan omnibus law, yaitu kebijakan membuat satu Undang-Undang baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Belum lagi persoalan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan yang terbilang membingungkan. Hal ini tentu membuat kalangan menengah menjadi tambah bingung.

(dipublikasikan November 2019) 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar