Senin, 24 Februari 2020

Konsumsi oh Konsumsi...


Konsumsi tampaknya akan menjadi panglima dalam menyelamatkan perekonomian Indonesia yang tengah dihantui oleh kemandekan pertumbuhan. Angkanya yang cenderung menurun akan segera dipantulkan dengan cara apapun.

Sekira satu dasawarsa lalu, Indonesia tengah memasuki tahap baru dalam pertumbuhan ekonominya, terutama terkait dengan kelas menengah. Menurut catatan Bank Dunia persentase penduduk dengan pengeluaran di atas 4 dollar AS per hari meningkat dari 5 persen pada 2003 menjadi 18 persen pada 2010. Artinya dalam tujuh tahun muncul 30 juta orang kaya baru yang masuk dalam golong kelas menengah.
                Kemungkinan itulah yang menjelaskan pada masa itu ribuan orang mengantre untuk membeli telepon genggam baru yang pada waktu itu tenar yaitu BlackBerry dan Iphone edisi terbaru. Atau ketika berbondong-bondong orang memadati konser-konser penyanyi asing yang harga tiketnya cukup menguras kantong kebanyakan orang waktu itu.
                Tahun ini jumlah kelas menengah sudah hampir mencapai 25 persen. Mereka kini tampaknya tengah memegang kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apa pasal? Porsi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ini memang didominasi oleh konsumsi, yang angkanya mencapai 56 persen dari PDB. Jadi jika saat ini pertumbuhan kita sebesar 5 persen, artinya sebagian besarnya disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
                Nah, kelas menengah yang menguasai sektor konsumsi dinilai tengah memegang kunci pertumbuhan karena saat ini mereka tengah mengurangi belanja yang dinilai membuat ekonomi agak mandek. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kelompok 20 persen berpengeluaran tinggi memiliki porsi pengeluaran terhadap total konsumsi rumah tangga di Indonesia di atas 45 persen. Dan mereka diketahui tengah mengurangi belanja pada barang-barang sekunder dan tersier.
                Menurut kalangan pengamat, kondisi belanja kelas menengah yang tertahan sudah berlangsung sejak tahun lalu ketika perhelatan politik dimulai dan berlangsung hingga menjelang pemilihan presiden.
                Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti Indef mengatakan bahwa keputusan menahan konsumsi oleh kelas menengah salah satunya didorong oleh kebijakan perpajakan yang dianggap makin mengancam. Kemudian ada juga faktor tekanan-tekanan dari sisi administered price.
“Untuk kelas menengah ke bawah, ada beberapa tekanan, seperti kenaikan tarif listrik, BBM dan BPJS. Jadi mereka berjaga-jaga dari sekarang dengan lebih berhemat. Ini efeknya bahaya, karena 57 persen ekonomi Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga,” jelas Bhima.
Saat ini ada beberapa pajak yang tengah dibahas seperti pajak perdagangan elektronik (e-commerce) dan juga omnibus law. Malahan sebagian, tambah dia, ada yang menunggu soal keputusan pemindahan Ibu Kota. Omnibus Law merupakan sebuah undang-undang yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Bahkan kemungkinan mencabut atau mengubah beberapa undang-undang.
Bahkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua yang seharusnya bisa terdongkrak karena ada momen puasa dan Lebaran, tidak mampu mengungkit angka konsumsi rumah tangga.  "Pertumbuhan ekonomi lambat di kuartal dua, khususnya menjelang Lebaran, padahal itu titik tertinggi dalam satu tahun di mana konsumsi rumah tangga harusnya mencapai di atas 5,2 atau 5,3 persen. Tapi kelas menengah atas justru menahan belanja, mungkin khawatir soal kebijakan perpajakan," kata Bhima.
                Jawaban senada juga diungkapkan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam. Menurut dia konsumsi kelas menengah akan tetap melemah lantaran pemerintah masih memburu pajak kalangan atas meski telah mengikuti program pengampunan pajak. Padahal, kelompok kelas atas yang telah patuh berharap adanya kesetaraan.
Imbasnya, masyarakat menengah atas menahan konsumsi dan mengalihkan hartanya di tempat lain. Piter juga menduga, harta kelas menengah atas dialihkan ke negara lain. "Kesannya yang patuh pajak menjadi sasaran. Yang tidak patuh, tidak mendapatkan punishment. Ini membuat kelas menengah atas tidak nyaman melakukan konsumsi," ujarnya.
Menurut BPS, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan pertama 2019 sebesar 5,01 persen atau naik tipis dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,94 persen. Tertahannya konsumsi kelas menengah atas tercermin dari penjualan mobil yang menurun. Penjualan mobil secara wholesale (penjualan sampai tingkat dealer) pada triwulan itu turun 13,07 persen secara tahunan, dengan angka 253.863 unit.

Tren Penurunan
Menurut Tim Riset Stabilitas penyebab perlambatan konsumsi rumah tangga adalah stagnasi pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman, selain restoran. Kesemua itu memiliki porsi terhadap konsumsi rumah tangga sebesar 37,45 persen (2018).
Sejak tahun 2011 hingga akhir 2015, angka pertumbuhannya melesat dari 3,95 persen di kuartal pertama 2012 menjadi 5,62 persen di kuartal kedua 2015. Memasuki tahun 2016, angka pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman selain restoran hanya berkisar antara 4,7 persen hingga 5,52 persen.
                Penyebab lainnya adalah perlambatan pada konsumsi sektor perumahan dan peralatan rumah tangga. Selama 2011-2019, pertumbuhan tertinggi belanja pos ini terjadi pada triwulan I 2013 dengan pertumbuhan 6,9 persen (yoy). Memasuki 2014 hingga 2019, pertumbuhannya terus menunjukkan tren perlambatan dengan pertumbuhan terendah sebesar 3,82 persen ada triwulan ketiga  2014. Selain porsi konsumsi belanja yang besar terhadap total belanja rumah tangga (13,66 persen di tahun 2018), sektor perumahan memiliki angka pengganda perekonomian yang tidak kecil.
                Data yang lain juga mengonfirmasi adanya penurunan konsumsi
Bank Indonesia mencatat, penyaluran kredit perbankan tumbuh melambat, yakni dari 8,7 persen secara tahunan pada Agustus 2019 menjadi 8 persen pada September. Perlambatan terutama terjadi pada kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Padahal, BI telah menurunkan suku bunga acuannya, BI 7 days reverse repo rate, sebesar 100 basis poin (bps) sepanjang 2019.
Pertumbuhan kredit modal kerja (KMK) juga melambat dari 7,5 persen menjadi 6,1 persen. Perlambatan terutama terjadi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran dari 6 persen menjadi 5 persen dan industri pengolahan dari 11,2 persen menjadi 7,2 persen. Sementara itu, pertumbuhan kredit konsumsi melambat dari 7 persen menjadi 6,9 persen dengan total penyaluran mencapai Rp 1.580,2 triliun. Perlambatan terutama terjadi pada kredit kendaraan bermotor dari 3,1 persen menjadi 1 persen. Sementara itu, kredit pemilikan rumah (KPR) melambat dari 11,3 persen menjadi 10,8 persen.
Tren pertumbuhan kredit konsumsi sejalan dengan kecenderungan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tujuh bulan berturut-turut sejak April 2019. Berdasarkan survei konsumen BI per Oktober 2019 terindikasikan bahwa optimisme konsumen melemah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya, tercermin dari penurunan IKK dari 121,8 pada bulan September 2019 menjadi 118,4 per Oktober 2019. Penurunan IKK tersebut dipengaruhi oleh penurunan dua indeks pembentuknya yaitu Indeks Ekonomi Saat ini (IKE) turun sebesar -2,7 poin dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) turun sebesar -4,2 poin.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan pemerintah harus segera bergerak cepat untuk mengamankan besaran konsumsi masyarakat ini jika ingin mempertahankan pertumbuhan. “Oleh karena itu, pemerintah perlu mempercepat berbagai program yang bisa mendukung masyarakat bisa mempertahankan konsumsinya," kata Halim di sebuah acara perbankan di Jakarta.
Bank Indonesia telah beberapa kali menurunkan suku bunga acuan untuk memberikan ruang bagi perbankan untuk meningkatkan penyaluran kreditnya dan mendorong konsumsi masyarakat. Selanjutnya BI dinilai akan kembali mengeluarkan kebijakan relaksasi pada sektor kredit konsumsi.
Namun demikian, kebijakan moneter tersebut, kata Josua Pardede, ekonom Bank Permata tidaklah cukup tanpa ada stimulus fiskal. Salah satu bentuk stimulus yang dapat diberikan adalah dengan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga mereka dapat melakukan kegiatan konsumsi tanpa harus menarik kredit.
“Pemberlakuan kebijakan ini juga akan mengimbangi kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan cukai rokok yang akan berlaku tahun depan serta kenaikan inflasi. Kombinasi kedua stimulus akan membuat masyarakat memiliki tambahan uang dari pendapatan per bulan,” ujar dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar