Konsumsi tampaknya akan menjadi panglima dalam menyelamatkan
perekonomian Indonesia yang tengah dihantui oleh kemandekan pertumbuhan.
Angkanya yang cenderung menurun akan segera dipantulkan dengan cara apapun.
Sekira satu dasawarsa lalu, Indonesia tengah memasuki tahap
baru dalam pertumbuhan ekonominya, terutama terkait dengan kelas menengah. Menurut
catatan Bank Dunia persentase penduduk dengan pengeluaran di atas 4 dollar AS
per hari meningkat dari 5 persen pada 2003 menjadi 18 persen pada 2010. Artinya
dalam tujuh tahun muncul 30 juta orang kaya baru yang masuk dalam golong kelas
menengah.
Kemungkinan
itulah yang menjelaskan pada masa itu ribuan orang mengantre untuk membeli
telepon genggam baru yang pada waktu itu tenar yaitu BlackBerry dan Iphone
edisi terbaru. Atau ketika berbondong-bondong orang memadati konser-konser
penyanyi asing yang harga tiketnya cukup menguras kantong kebanyakan orang
waktu itu.
Tahun
ini jumlah kelas menengah sudah hampir mencapai 25 persen. Mereka kini
tampaknya tengah memegang kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apa pasal? Porsi
pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ini memang didominasi oleh
konsumsi, yang angkanya mencapai 56 persen dari PDB. Jadi jika saat ini
pertumbuhan kita sebesar 5 persen, artinya sebagian besarnya disumbang oleh
konsumsi rumah tangga.
Nah, kelas menengah yang menguasai
sektor konsumsi dinilai tengah memegang kunci pertumbuhan karena saat ini
mereka tengah mengurangi belanja yang dinilai membuat ekonomi agak mandek.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kelompok 20 persen berpengeluaran
tinggi memiliki porsi pengeluaran terhadap total konsumsi rumah tangga di
Indonesia di atas 45 persen. Dan mereka diketahui tengah mengurangi belanja
pada barang-barang sekunder dan tersier.
Menurut
kalangan pengamat, kondisi belanja kelas menengah yang tertahan sudah
berlangsung sejak tahun lalu ketika perhelatan politik dimulai dan berlangsung
hingga menjelang pemilihan presiden.
Bhima
Yudhistira Adhinegara, peneliti Indef mengatakan bahwa keputusan menahan
konsumsi oleh kelas menengah salah satunya didorong oleh kebijakan perpajakan
yang dianggap makin mengancam. Kemudian ada juga faktor tekanan-tekanan dari
sisi administered price.
“Untuk kelas menengah ke bawah,
ada beberapa tekanan, seperti kenaikan tarif listrik, BBM dan BPJS. Jadi mereka
berjaga-jaga dari sekarang dengan lebih berhemat. Ini efeknya bahaya, karena 57
persen ekonomi Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga,” jelas Bhima.
Saat ini ada beberapa pajak yang
tengah dibahas seperti pajak perdagangan elektronik (e-commerce) dan juga omnibus law. Malahan sebagian, tambah dia, ada
yang menunggu soal keputusan pemindahan Ibu Kota. Omnibus Law merupakan sebuah
undang-undang yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara.
Bahkan kemungkinan mencabut atau mengubah beberapa undang-undang.
Bahkan pertumbuhan ekonomi
kuartal kedua yang seharusnya bisa terdongkrak karena ada momen puasa dan
Lebaran, tidak mampu mengungkit angka konsumsi rumah tangga. "Pertumbuhan ekonomi lambat di kuartal
dua, khususnya menjelang Lebaran, padahal itu titik tertinggi dalam satu tahun
di mana konsumsi rumah tangga harusnya mencapai di atas 5,2 atau 5,3 persen.
Tapi kelas menengah atas justru menahan belanja, mungkin khawatir soal
kebijakan perpajakan," kata Bhima.
Jawaban
senada juga diungkapkan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics Piter
Abdullah Redjalam. Menurut dia konsumsi kelas menengah akan tetap melemah
lantaran pemerintah masih memburu pajak kalangan atas meski telah mengikuti
program pengampunan pajak. Padahal, kelompok kelas atas yang telah patuh
berharap adanya kesetaraan.
Imbasnya, masyarakat menengah
atas menahan konsumsi dan mengalihkan hartanya di tempat lain. Piter juga
menduga, harta kelas menengah atas dialihkan ke negara lain. "Kesannya
yang patuh pajak menjadi sasaran. Yang tidak patuh, tidak mendapatkan punishment. Ini membuat kelas menengah
atas tidak nyaman melakukan konsumsi," ujarnya.
Menurut BPS, pertumbuhan konsumsi
rumah tangga pada triwulan pertama 2019 sebesar 5,01 persen atau naik tipis
dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,94 persen. Tertahannya konsumsi
kelas menengah atas tercermin dari penjualan mobil yang menurun. Penjualan
mobil secara wholesale (penjualan sampai tingkat dealer) pada triwulan itu
turun 13,07 persen secara tahunan, dengan angka 253.863 unit.
Tren Penurunan
Menurut Tim Riset Stabilitas
penyebab perlambatan konsumsi rumah tangga adalah stagnasi pertumbuhan konsumsi
makanan dan minuman, selain restoran. Kesemua itu memiliki porsi terhadap
konsumsi rumah tangga sebesar 37,45 persen (2018).
Sejak tahun 2011 hingga akhir
2015, angka pertumbuhannya melesat dari 3,95 persen di kuartal pertama 2012
menjadi 5,62 persen di kuartal kedua 2015. Memasuki tahun 2016, angka
pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman selain restoran hanya berkisar antara
4,7 persen hingga 5,52 persen.
Penyebab
lainnya adalah perlambatan pada konsumsi sektor perumahan dan peralatan rumah
tangga. Selama 2011-2019, pertumbuhan tertinggi belanja pos ini terjadi pada
triwulan I 2013 dengan pertumbuhan 6,9 persen (yoy). Memasuki 2014 hingga 2019,
pertumbuhannya terus menunjukkan tren perlambatan dengan pertumbuhan terendah
sebesar 3,82 persen ada triwulan ketiga
2014. Selain porsi konsumsi belanja yang besar terhadap total belanja
rumah tangga (13,66 persen di tahun 2018), sektor perumahan memiliki angka
pengganda perekonomian yang tidak kecil.
Data
yang lain juga mengonfirmasi adanya penurunan konsumsi
Bank Indonesia mencatat, penyaluran kredit perbankan tumbuh
melambat, yakni dari 8,7 persen secara tahunan pada Agustus 2019 menjadi 8
persen pada September. Perlambatan terutama terjadi pada kredit modal kerja dan
kredit konsumsi. Padahal, BI telah menurunkan suku bunga acuannya, BI 7 days
reverse repo rate, sebesar 100 basis poin (bps) sepanjang 2019.
Pertumbuhan kredit modal kerja
(KMK) juga melambat dari 7,5 persen menjadi 6,1 persen. Perlambatan terutama
terjadi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran dari 6 persen menjadi 5
persen dan industri pengolahan dari 11,2 persen menjadi 7,2 persen. Sementara
itu, pertumbuhan kredit konsumsi melambat dari 7 persen menjadi 6,9 persen
dengan total penyaluran mencapai Rp 1.580,2 triliun. Perlambatan terutama terjadi
pada kredit kendaraan bermotor dari 3,1 persen menjadi 1 persen. Sementara itu,
kredit pemilikan rumah (KPR) melambat dari 11,3 persen menjadi 10,8 persen.
Tren pertumbuhan kredit konsumsi
sejalan dengan kecenderungan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tujuh
bulan berturut-turut sejak April 2019. Berdasarkan survei konsumen BI per
Oktober 2019 terindikasikan bahwa optimisme konsumen melemah dibandingkan
bulan-bulan sebelumnya, tercermin dari penurunan IKK dari 121,8 pada bulan
September 2019 menjadi 118,4 per Oktober 2019. Penurunan IKK tersebut
dipengaruhi oleh penurunan dua indeks pembentuknya yaitu Indeks Ekonomi Saat
ini (IKE) turun sebesar -2,7 poin dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) turun
sebesar -4,2 poin.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan pemerintah harus segera bergerak cepat
untuk mengamankan besaran konsumsi masyarakat ini jika ingin mempertahankan
pertumbuhan. “Oleh karena itu, pemerintah perlu mempercepat berbagai program
yang bisa mendukung masyarakat bisa mempertahankan konsumsinya," kata Halim
di sebuah acara perbankan di Jakarta.
Bank Indonesia telah beberapa
kali menurunkan suku bunga acuan untuk memberikan ruang bagi perbankan untuk
meningkatkan penyaluran kreditnya dan mendorong konsumsi masyarakat.
Selanjutnya BI dinilai akan kembali mengeluarkan kebijakan relaksasi pada
sektor kredit konsumsi.
Namun demikian, kebijakan moneter
tersebut, kata Josua Pardede, ekonom Bank Permata tidaklah cukup tanpa ada
stimulus fiskal. Salah satu bentuk stimulus yang dapat diberikan adalah dengan
menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga mereka dapat melakukan
kegiatan konsumsi tanpa harus menarik kredit.
“Pemberlakuan kebijakan ini juga
akan mengimbangi kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan cukai rokok yang akan
berlaku tahun depan serta kenaikan inflasi. Kombinasi kedua stimulus akan
membuat masyarakat memiliki tambahan uang dari pendapatan per bulan,” ujar dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar