Senin, 19 Agustus 2013

Early Warning

Era suku bunga kredit pemilikan rumah single digit tampaknya akan segera berakhir. Selain itu, naiknya suku bunga acuan juga bisa memicu kredit bermasalah di sektor perumahan. 

Memang seperti telah menjadi hukum alam, maka setelah jalan yang melandai dan menurun selalu ada jalan yang menanjak. Setelah ada hal-hal yang menyenangkan, selalu saja muncul hal-hal yang membuat kita khawatir. Pengumuman kenaikan suku bunga acuan bulan lalu sepertinya merupakan batas antara kondisi yang menyenangkan dengan yang bakal membuat khawatir. Seperti yang sudah-sudah, kenaikan BI Rate akan langsung direspons bank dengan menaikkan suku bunga kredit (berbeda dengan jika BI Rate turun bank tidak langsung meresponsnya). Yang paling khawatir dengan perkembangan itu tentu adalah nasabah kredit terutama yang pembeli rumah. Biasanya jenis kredit inilah yang akan langsung dikerek bank jika suku bunga induk dari Bank Indonesia naik. Selain karena karena banyak peminat, kredit sektor ini dianggap tak pernah ‘ada matinya’. BI mencatat hingga akhir 2012, sebanyak 80 persen masyarakat masih menggunakan skema kredit kepemilikan rumah (KPR) sebagai sumber pembiayaan membeli rumah. Sedangkan 11,33 persen menggunakan metode tunai bertahap dan 8,67 persen tunai keras (hard cash). Tingginya minat KPR juga bisa dilihat dari portofolio KPR yang tumbuh secara signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Jika pada 2002 outstansing portofolio KPR di Indonesia masih sebesar Rp11 triliun, maka pada akhir 2012 angkanya naik 20 kali lipat dan menyentuh angka Rp222 triliun. Rasio KPR terhadap total kredit perbankan juga terus mengalami kenaikan. Pada 2002, rasio KPR terhadap total kredit perbankan berada di posisi 2,91 persen, dan pada 2012 rasionya sudah mencapai 8,21 persen. Peningkatan outstanding portofolio KPR dan rasio KPR terhadap total kredit tidak terlepas dari tren penurunan bunga KPR dalam beberapa tahun terakhir. Malahan dalam tiga tahun terakhir, nasabah KPR sudah merasakan suku bunga single digit. Maka dari itu tidak berlebihan jika banyak pihak menganggap bahwa langkah Gubernur BI Agus Martowardojo menaikkan BI Rate sebagai akhir dari era suku bunga rendah yang diusung pendahulunya: Darmin Nasution. Agus, mantan Menteri Keuangan yang baru pertama kali memimpin rapat dewan gubernur di BI menaikkan bunga 25 basis poin menjadi 6 persen. Langkah itu juga pertama kalinya BI Rate dinaikkan setelah bertahan selama 15 bulan. Padahal Gubernur BI sebelumnya, Darmin Nasution sudah memulai rezim suku bunga rendah, salah satunya dengan mewajibkan bank mengumumkan suku bunga dasar kredit (SBDK) kepada publik. BI juga mendesak agar perbankan melakukan efisiensi, sementara BI sendiri mengupayakan pengendalian inflasi yang efektif bersama dengan pemerintah. Dengan itu, perlahan tapi pasti beberapa bank sudah berani menawarkan bunga KPR di bawah 1 persen, yang dimulai oleh BCA sejak 2010. Saat ini bahkan beberapa bank sangat agresif menawarkan bunga KPR rendah sampai kisaran 6-7 persen. Sebagai contoh Bank Mandiri. Bank beraset terbesar itu menawarkan suku bunga pembiayaan perumahaan sebesar 6,75 persen dengan skema effective fixed rate selama dua tahun. Pada tahun ketiga, suku bunga yang ditawarkan tetap berada pada 9,75 persen dengan skema fixed. Tak mau kalah, Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga terus gencar memberikan suku bunga KPR yang kompetitif. Bank berlaba terbesar itu menawarkan bunga kredit properti 7,11 persen dengan skema fixed rate selama tiga tahun. Bank CIMB Niaga juga menunjang pertumbuhan KPR-nya dengan tingkat bunga tetap di level 7,99 persen sepanjang tiga tahun, dan 8,99 persen selama 5 tahun. Langkah yang sama dilakukan juga oleh PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang tetap mengandalkan KPR untuk bisnis konsumer, dengan menyiapkan berbagai program bunga tetap sampai lima tahun. Bahkan atas strateginya itu porsi KPR telah mendominasi kredit konsumer BCA. Dengan kompetitifnya suku bunga, laju kredit properti pun semakin tinggi. Pertumbuhan rata-rata kredit perumahaan berdasarkan data BI pada April 2013, tumbuh 40 persen dalam setahun terakhir. Angka ini jauh di atas rata-rata kredit perbankan secara umum yang tumbuh 21,9 persen secara tahunan. Sementara KPR untuk rumah di atas 70 meter persegi yang menguasai pangsa pasarnya 37 persen terhadap total KPR tumbuh sebesar 45,1 persen. Kemudian untuk kredit pemilikan apartemen di atas 70 meter persegi tumbuh 71,4 persen. Pertumbuhan KPR di atas tipe 70m2, tertinggi pada wilayah Sumatera Selatan 74 persen, disusul Banten (66 persen). Kemudian wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan pertumbuhan 42 persen, dan DKI Jakarta 31 persen.

Penuh Gimmick
Sebelum BI Rate dinaikkan, bank-bank bersaing sengit menawarkan kredi propertinya. Bahkan beberapa di antaranya memberikan penawaran dengan menggabungkan KPR dengan kredit sektor lain. Salah satunya Bank Mandiri. Menurut Tardi, Executive Vice Presiden Consumer Finance, sengitnya persaingan membuat pihaknya harus terus berinovasi memberikan layanan kepada nasabah. Maka dari itu, bank beraset terbesar itu memberikan penawaran lainnya untuk menarik minat masyarakat, seperti bebas biaya provisi dan administrasi. Selain itu bank juga menawarkan program bundling kredit KPR Mandiri dengan kredit kendaraan dari Mandiri Tunas Finance, atau anak usaha yang lain. Bank Mandiri menawarkan suku bunga KPR efective fixed rate sebesar 6,75 persen, dan fixed 9,75 persen pada tahun ketiga. Hingga kuartal pertama tahun ini, Bank Mandiri mencatatkan pertumbuhan kredit ke sektor konsumen sebesar 21,1 persen menjadi Rp49,32 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp44,29 triliun disalurkan ke kredit KPR dan KTA. Sementara sisanya disalurkan ke segmen kartu kredit. "Kita targetkan pertumbuhan kredit properti tahun ini sebesar 30 persen atau setara Rp52 triliun hingga akhir tahun," ujar Tardi. Meski volume kredit KPR terus digenjot pertumbuhannya, dia menyebut rasio kredit bermasalah (NPL) akan dijaga rendah yakni 0,5 persen. Sementara itu Direktur Konsumer BRI, Toni Soetirto mengungkapkan bahwa perseroan akan menggenjot penyaluran kredit KPR sepanjang tahun ini hingga Rp7,5 triliun. Adapun porsi kredit KPR hingga akhir tahun lalu sebesar Rp19 triliun hingga 20 triliun. "Rata-rata penyaluran kredit KPR kita di atas Rp500 miliar per bulan. Ini inline dengan pertumbuhan industri," ucap dia seraya merinci dari total kredit KPR, sebesar 80 persen dialokasikan ke masyarakat kelas atas. Sementara sisanya menengah ke bawah. Sedangkan Tony Tardjo, Head of Consumer Lending CIMB Niaga, mengatakan bahwa target pertumbuhan KPR pihaknya berada di kisaran 20 persen hingga 22 persen tahun ini. Akan tetapi ertumbuhan KPR bank itu awal tahun ini memang cenderung melambat sehingga pertambahan baru Rp1 triliun untuk KPR CIMB Niaga. Namun, kondisi itu katanya, akan berubah saat kuartal dua dan tiga. Peningkatan target pertumbuhan KPR akan ditunjang oleh bunga tetap di level 7,99 persen tiga tahun dan 8,99 persen selama lima tahun. Sementara bank swasta terbesar di Tanah Air, BCA malah menjagokan KPR untuk mendongkrak pertumbuhan kredit konsumernya. Seperti dikatakan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, dalam mengandalkan KPR untuk bisnis konsumer, pihaknya telah menyiapkan berbagai program bunga tetap atau fix rate sampai lima tahun. “Kontribusi KPR sangat besar, Rp43,7 triliun atau 60 persen dari total pinjaman konsumen. KPR tahun ini tumbuh kira-kira 30 persen, kalau tahun lalu sampai 50 persen,” ujar dia. Nah, untuk memacu KPR, BCA mengandalkan program bunga tetap. Antara lain tawaran fixed rate 7,5 persen selama tiga tahun, 8,5 persen untuk lima tahun, dan 7 persen - 7,5 persen untuk jangka waktu 1-2 tahun. Bulan lalu bertepatan dengan hari jadi yang ke-55, BCA juga menggelar program KPR 55 bulan dengan bunga tetap, yang menurut Jahja sangat bermanfaat bagi masyarakat karena tidak ada perubahan cicilan selama hampir lima tahun. “Mereka banyak yang mencari suatu keamanan, jadi pilih yang program 3-5 tahun fix. Sementara income (penghasilan) naik, sehingga ke depan semakin mudah membayar cicilan,” tukas dia. BCA juga akan melanjutkan kerjasama dengan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) untuk penyaluran KPR segmen menengah ke bawah yang memang merupakan ahli di segmen ini. Adapun nilai kerja sama dengan BTN tahun lalu salurkan Rp2 triliun. Jahja juga mengatakan bahwa bunga kredit akan menyesuaikan kenaikan BI Rate dan angkanya akan mencapai 50 hingga 100 basis poin alias empat kali lipat dari kenaikan BI Rate. “Saya perkirakan mungkin tidak besar, bisa setengah persen atau satu persen," kata Jahja.

Ancaman Kredit Macet 
Menurut pengamat ekononomi dari Institute for Development Economics and Finance (Indef), Ahmad Erani Yustika, kenaikan bunga kredit bank tidak terelakkan lagi untuk merespons kenaikan BI Rate. Namun begitu yang perlu dipikirkan adalah kemampuan bayar dari debitur yang harus mencicil kredit lebih besar dari sebelumnya. Apalagi, lanjut dia, kondisi daya beli masyarakat saat ini tengah menurun sebagai akibat tingginya inflasi. Jika semua itu terjadi secara simultan maka dampaknya adalah peningkatan NPL di semua sektor, terutama sektor properti. "Orang mendapatakan penghasil akan melakukan cicilan. Penghasilan tetap, tapi bunga KPR naik sebagai akibat inflasi meningkat. Alokasi pembayaran kredit jadi berkurang. Saya prediksi fixed rate KPR itu bertahan hanya 2 tahun, apalagi BI Rate sudah naik,” ujar Erani. Oleh karena itu, tak mau pekerjaan rumahnya bertambah, BI langsung mewanti-wanti bank agar mulai mengurangi agresivitasnya dalam mengucurkan kredit properti. Otoritas perbankan tentu tidak mau bank nantinya akan limbung disebabkan melonjaknya kredit macet. “Bank-bank tidak terlalu over confidence, dan menurunkan standar pemberian kreditnya. Lebih baik berhati-hati," ujar Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah. Dia menjelaskan, pesatnya laju kredit perumahan itu berdampak pada kemungkinan meningkatnya jumlah kredit bermasalah. Saat ini, peningkatan NPL mulai terlihat pada KPR tipe kecil. Hal ini ditengarai karena ada persoalan dari sisi pendapatan, karena ekonomi regional daerah melambat. Sebagai contoh, BTN, bank penguasa pasar KPR, mencatatkan NPL pada kuartal pertama 2013 sebesar 4,77 persen, naik dari periode satu semester sebelumnya 3,22 persen. Angka tersebut mendekati ambang batas BI sebesar 5 persen. Kendati demikian, Halim menegaskan, dalam konteks stabilitas sistem keuangan, kenaikan kredit properti belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kondisi neraca bank. Alasannya, porsi kredit properti terhadap keseluruhan kredit perbankan kurang dari 10 persen. Kondisi ini berbeda dengan beberapa negara lain, yang bisa berkisar 60 persen-70 persen dari total kredit. ”Kami ingatkan bank per bank, meskipun saat ini masih jauh dari zona bahaya. Istilah bubble (gelembung) untuk properti ini perlu dikualifikasi. KPR ini karena permintaannya tinggi, maka pertumbuhan kreditnya di atas rata-rata pertumbuhan kredit,” tegas Halim. Namun untuk berjaga-jaga, saat ini menurut Halim, BI tengah melakukan penyempurnaan aturan uang muka kredit properti (loan to value/LTV). Aturan yang sudah berlaku 15 Juni lalu itu menetapkan bahwa dalam pembelian rumah secara kredit, nasabah diwajibkan membayar uang muka. Dalam pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR), BI mewajibkan nasabah untuk menyiapkan dana tunai sebesar 30 persen untuk rumah bertipe di atas 70 meter persegi.

Box:
Berakhirnya Era Suku Bunga Single Digit?
 Berdasarkan data Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yang dipublikasikan Bank Indonesia akhir April 2013 ini, terdapat 15 bank yang menawarkan bunga KPR di bawah 10 persen alias single-digit. Bank-bank ini adalah bank umum konvensional yang wajib publikasi (memiliki total aset minimal Rp10 triliun). Di lain pihak, beberapa bank menawarkan bunga KPR tertinggi, yakni Bank Mega (12,5 persen) dan Bank Mutiara (12,0 persen).
 Berikut kelimabelas bank dengan bunga KPR terendah:
1. BPD Jawa Tengah (6,80%)
 2. Bank Artha Graha (7,71%)
 3. Bank Jabar & Banten (8,04%)
 4. Standard Chartered Bank (8,06%)
 5. BPD Kalimantan Timur (8,42%)
 6. Bank HSBC (8,50%)
 7. Bank ANZ Indonesia (8,90%)
 8. BPD Riau dan Kepulauan Riau (8,90%)
 9. BPD Bali (8,92%)
 10. Bank ICBC Indonesia (9,00%)
 11. BPD Sumetera Utara (9,41%)
 12. Bank BCA (9,50%) 13. Bank Victoria (9,60%)
 14. Bank UOB Indonesia (9,66%)
 15. BPD Kalimantan Timur (9,81%)
 Sumber : Bank Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar