Senin, 19 Agustus 2013

‘Sri Mulyani’ Baru?

Menkeu Chatib Basri menghadapi masalah yang mirip dengan yang dihadapi Sri Mulyani, Menkeu dua periode sebelumnya. Pendekatan yang diambil oleh mantan Kepala BKPM ini, diperkirakan juga tak jauh berbeda dengan seniornya itu.

Setelah digadang-gadang beberapa saat, akhirnya kepastian Chatib Basri menjadi Menteri Keuangan terjawab juga. Di Indonesia, seperti juga di negara lain di dunia, jabatan Menteri Keuangan adalah posisi keramat karena menentukan lalu lintas uang negara. Dan seperti yang sudah-sudah, kontes pemilihan atau bisa dibilang penentuan sosok yang akan mengisi posisi sebagai bendahara negara ini tak pernah jauh dari isu soal ‘restu pihak asing’. Begitu juga Chatib Basri. Malahan mantan peneliti yang sebelumnya menjadi orang nomor satu di Badan Koordinasi Pasar Modal itu sudah lebih dahulu dianggap pro kepentingan asing sebelum menginjakkan kaki di Lapangan Banteng. Apa pasal? Lulusan Fakultas Ekonomi UI memang dianggap sebagai pengejawantahan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan dua periode sebelumnya yang mengundurkan diri dan berkarier di Bank Dunia. Bukan hanya berasal dari kampus yang sama, dan juga tempat memulai bekerja yang sama namun dalam menjalani karier sebagai peneliti keduanya dinilai sama-sama dekat dengan kepentingan AS. Chatib memang dikenal sebagai peneliti –sama seperti pendahulunya, Sri Mulyani. Usai menjadi sarjana, Chatib bergabung dengan LPEM sama seperti Sri Mulyani. Beberapa tahun kemudian, dia pun didapuk untuk menjadi ketua di sana sama seperti pendahulunya itu. Dalam lembaga itulah Chatib mulai berkenalan dengan badan-badan asing yang memintanya menjadi konsultan proyek. Tercatat beberapa organisasi donor asing yang sempat memakai jasanya. Sebut saja Bank Dunia, United States Agency for International Development (USAID), Australian Agency for International Development (AUSAID), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), UNCTAD, Asian Development Bank (ADB) serta menjadi anggota Asia and Pacific Regional Advisory Group dari International Monetary Fund (IMF). Kedekatannya dengan lembaga macam Bank Dunia dan IMF inilah yang membuat sebagian kalangan khawatir jika Chatib menjadi Menteri Keuangan maka kepentingan lembaga-lembaga itu menjadi prioritas. Salah satunya adalah Ahmad Erani Yustika. Pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya itu mengatakan bahwa penunjukkan Chatib Basri sebagai Menteri Keuangan menunujukkan bahwa pemerintah terlalu melayani kepentingan asing. Sejak awal nama Chatib muncul, Erani menduga hal itu sebagai pesanan lembaga asing seperti Bank Dunia ataupun IMF. Karena itu, pendekatannya dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan sama saja seperti menkeu sebelumnya, yaitu kurang berpihak pada pelaku usaha kecil. "Saya perkirakan kalau dia jadi (menkeu), tidak akan banyak mengubah kinerja APBN. Jadi, akan meneruskan pola yang sudah dijalankan, misalnya mendesain APBN defisit anggaran, kemudian, tidak ada keberpihakan anggaran untuk sektor riil," kata Erani. Padahal, meski hanya akan bekerja dalam periode singkat sampai akhir 2014, menkeu yang baru punya kesempatan menunjukkan dukungan untuk pelaku usaha lokal. Misalnya, mengalokasikan uang negara untuk menciptakan lapangan kerja. Guru besar Universitas Brawijaya ini melihat dukungan untuk ekonomi dalam negeri belum pernah ditunjukkan Chatib saat menjabat sebagai pengelola aliran investasi. Meski Chatib berprestasi memecahkan rekor realisasi investasi dan membuat efisiensi perizinan di BKPM, termasuk memperkenalkan sistem pelacakan investor, Ahmad mengaku tidak kagum. Sebab, terobosanmantan dosen Universitas Indonesia ituhanya di tataran teknis, dan tetap saja hanya menguntungkan pemodal asing. "Yang kita butuhkan menteri yang punya komitmen terhadap ekonomi nasional. Kalau hanya terobosan misalnya perizinan cepat tapi untuk penanaman modal asing, apa hubungannya dengan kesejahteraan masyarakat," tandasnya. Bahkan jika benar-benar memilih Chatib, Ahmad Erani menganggap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meremehkan banyak ahli ekonomi lain yang lebih pantas menduduki jabatan menkeu dan lebih pro kepentingan nasional. Dia mencontohkan, mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution sebagai alternatif yang lebih pas. "Memunculkan Chatib itu sama saja mendelegitimasi orang banyak yang lebih kompeten. Padahal kita punya sosok hebat, seperti Darmin Nasution, kita punya Drajad Wibowo, Anggito Abimanyu, masih banyak yang lain, mereka saya rasa jauh lebih memiliki visi," kata Erani. Nada yang hampir mirip juga diutarakan oleh Direktur Indef, sebuah lembaga riset independen, Enny Sri Hartati. Menurut dia,sejatinya pengalamannya saat menjadi konsultan di lembaga-lembaga donor asing tidak menjadi persoalan penting asalkan hal itu dilakukan secara profesional. Yang menjadi concern Enny adalah latar belakang akademik dari Chatib. Menurut dia untuk menjadi Menteri Keuangan yang mumpuni dalam pengelolaan fiskal seharusnya diberikan kepada sosok yang handal dalam hal manajemen. “Pengelolaan fiskal seharusnya lebih cocok kepada orang yang jago manajemen. Dalam hal ini lebih bagus Firmanzah (eks Dekan FEUI),” kata dia. Sekarang ini lebih dibutuhkan menkeu yang bisa menjaga anggaran karena hingga saat ini pemerintah dinilai tidak punya strategi besar (grand strategy) dalam pengelolaan anggaran demi mendukung pertumbuhan ekonomi. “Kita tidak punya politik anggaran. Kita tidak punya grand strategy. Dari postur anggaran saja tidak ada perubahan, postur itu seperti tiang di sebuah rumah. (kalau begini) Akan babak belur terus (anggaran kita),” kata Enny. Meski menyesalkan keputusan Presiden itu Enny mengatakan bahwa Chatib harus segera menyelesaikan tugas pertamanya yaitu mengurai masalah defisit anggaran. “Tantangan terbesarnya itu (defisit anggaran).” Meski begitu bukan berarti Chatib tidak memiliki poin plus. Menurut Enny kelebihan figur Chatib adalah memiliki hubungan yang baik dengan lembaga internasional. Akan tetapi hal itu juga bisa menjadi bumerang. Karena dekat dengan AS maka dia pasti akan mengamankan investasi AS di Indonesia. “Sektor finansial Indonesia adalah satu-satunya yang belum bubble. Dengan adanya Chatib sebagai menkeu maka dia akan memudahkan jalan bagi para kapitalis untuk masuk ke Indonesia,” kata Enny.

Mirip Sri Mulyani
Tak bisa dipungkiri kondisi anggaran negara saat ini mirip dengan saat Sri Mulyani masih menjabat menjadi Menteri Keuangan. Pada 2006, defisit anggaran mencapai 1,3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kondisi itu disebabkan oleh rendahnya realisasi pertumbuhan tahun itu yang hanya mencapai 5,5 persen padahal targetnya sebesar 6,2 persen. Saat itu Sri Mulyani berkilah bahwa pertumbuhan yang meleset disebabkan minimnya realisasi belanja departemen atau lembaga negara. Selain itu juga harga minyak dunia yang pada waktu itu berada pada kisaran 70 dollar AS per barel juga menjadi pemicunya. Untuk meningkatkan pertumbuhan dan mengatasi defisit, pemerintah saat itu akan menjaga pembiayaan dalam negeri, antara lain dengan menerbitkan surat utang negara. Di samping itu, pemerintah juga menyiapkan alternatif, untuk meminta utang kepada para negara donor untuk membiayai program. Belanja departemen atau lembaga negara yang masih minim, terutama 10 lembaga dengan pembelanjaan terbesar juga menjadi biang keladi melempemnya pertumbuhan. Seharusnya anggaran yang harus dibelanjakan Rp 219,46 triliun, yang terdiri dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2006 dan DIPA luncuran dari 2005. Dalam beberapa tahun dalam masa Sri Mulyani, anggaran belanja pada kuartal pertama rata-rata mencapai kurang dari 14 persen dan selalu melonjak di akhir tahun anggaran. Kini, yang dihadapi oleh Chatib Basri juga tak berbeda jauh. Pemerintah menghadapi defisit anggaran yang terbesar setelah krisis moneter serta pertumbuhan ekonomi yang melemah. Dalam rapat pertama dengan parlemen bulan lalu, Chatib mengatakan bahwa anggaran akan direvisi untuk mengantisipasi defisit anggaran jebol di atas 3 persen dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari yang diperkirakan. “Pertumbuhan ekonomi melemah. Akibatnya target pajak juga mengalami perubahan. Implikasinya defisit membesar,” kata pria pria kelahiran Jakarta, 22 Agustus 1965. Dia mengatakan bahwa kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada anggaran tahun ini adalah Pendapatan negara lebih rendan dari target dan pengeluaran negara membengkak terutama karena persoalan subsidi bahan bakar. Jika ini yang terjadi, defisit anggaran diprediksi bisa melompat jauh dari target menjadi 3,83 persen dari PDB atau 363,6 triliun. Padahal dalam APBN 2013, defisit ditetapkan sebesar 1,65 persen dari atau Rp 153,3 triliun. Pembengkakan defisit ini tentunya akan membuka peluang pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan dari utang. Dan ini tentu bukan sesuatu yang rumit buat Chatib mengingat kedekatannya dengan lembaga donor macam IMF dan Bank Dunia. Enny dari Indef memperkirakan bahwa Chatib juga dihadapkan pada defisit primer yang muncul lagi setelah nyaris 20 tahun tidak terjadi. Defisit primer terjadi jika jumlah penerimaan negara lebih kecil jika dikurangi belanja negara yang angkanya sudah tidak mengikutsertakan pengeluaran untuk pelunasan utang. “Pada tahun 90-an defisit primer mulai terjadi karena harga minyak anjlok sebelah sebelumnya naik. Dan pada tahun 2012 setelah selama ini tidak pernah terjadi defisit primer terjadi lagi,” kata Enny.

Box
Rekam Jejak Chatib Basri
Chatib Basri menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Setelah itu, dia melanjutkan pendidikannya di Australia National University. Di universitas ini dia memperoleh gelar Master of Economic Development dan PhD di bidang Ekonomi. Bermodal gelar yang diperolehnya, Chatib mengabdikan diri di dunia pendidikan sebagai peneliti di LPEM-FEUI dan menjadi dosen FEUI. Dia juga sempat bekerja sebagai asisten peneliti di Australia National University. Chatib juga menjabat sebagai peneliti tamu untuk The Institute of South East Asian Studies di Singapura dan menjadi Associate Director for Research bagi LPEM. Sejak tahun 2005, Chatib bertugas sebagai anggota tim negosiasi Indonesia untuk perdagangan internasional atau Advisory Team to the Indonesian National Team on International Trade Negotiation. Chatib juga dipercaya oleh berbagai lembaga keuangan internasional untuk menjadi konsultan. Sebut saja Bank Dunia, United States Agency for International Development (USAID), Australian Agency for International Development (AUSAID), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), UNCTAD, Asian Development Bank (ADB) serta menjadi anggota Asia and Pacific Regional Advisory Group dari International Monetary Fund (IMF). Kemampuan dan pengetahuannya yang luas menarik perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani. Chatib dipercaya menjadi tangan kanan Sri Mulyani mengawal perekonomian nasional. Chatib ditunjuk sebagai penasehat khusus Menteri Keuangan selama kurun waktu 2006-2010. Dia juga ditunjuk sebagai Sherpa Indonesia untuk G-20 pada tahun 2008 dan Deputi Menteri Keuangan untuk G-20 sepanjang kurun waktu 2006-2010. Saat ini, selain menjadi Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN), Chatib juga masih aktif mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dia juga tercatat sebagai pendiri CReco Research Institute dan dipercaya menjadi komisaris di beberapa perusahaan publik, dan konsultan di berbagai lembaga internasional. Chatib Basri juga menjadi anggota Dewan Komisaris di beberapa perusahaan publik antara lain PT Astra International, PT Indika Energy, serta Axiata Group Bhd (Malaysia). Dia juga aktif menulis di berbagai media, serta beberapa jurnal internasional. Pendiri CReco Research Institute ini juga pernah menjadi komisaris di beberapa perusahaan publik antara lain PT Astra International, PT Semen Gresik Tbk, PT Astra Otoparts, dan PT Indika Energy. Dari 2010-2012, Chatib menjadi Direktur Non Eksekutif Independen Axiata Group Bhd. Ia juga anggota Regional Advisory Board Toyota Motor Asia Pasifik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar