Senin, 19 Agustus 2013

Menempuh Jalur Berbahaya

Bank Mega menempuh jalur berisiko dalam menangani kasus internal fraud padahal terbuka jalan lain yang relatif lebih aman yaitu jalur penyelesaian di luar pengadilan.

Dalam industri yang sangat bergantung pada kepercayaan, bank tentu tidak akan bermain-main dengan risiko reputasi. Risiko ini bisa datang dari mana saja, namun kebanyakan datang dari pengelolaan reputasi itu sendiri.
Economist Intelligence Unit, dalam sebuah risetnya menemukan bahwa 52 persen menganggap risiko reputasi sebagai risiko dengan sendirinya, sementara 48 persen menganggap itu sebagai konsekuensi dari risiko lainnya. Seperti risiko operasional yang disebabkan kesalahan orang, proses, sistem dan kejadian eksternal, risiko kepatuhan dan risiko keuangan.
Mengacu pada penelitian tersebut, Bank Mega tampaknya tengah bermain-main dengan risiko reputasi. Betapa tidak, kasus penarikan dana milik PT Elnusa, perusahaan sektor minyak dan gas milik negara, oleh pegawai Bank Mega yang terjadi  dua tahun lalu hingga kini belum juga tuntas.
Internal fraud di bank milik konglomerat Chairul Tandjung itu merupakan salah satu kasus yang cukup besar yang terjadi di 2011.  Kasus itu mencuat ketika, manajemen Elnusa tidak menemukan lagi dananya yang disimpan sebagai deposito di bank tersebut. Pihak Elnusa tentu mempertanyakan dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka yang raib itu, karena mereka merasa tak pernah mencairkan. Deposito itu berbentuk deposito on call (DoC) yaitu deposito yang berjangka waktu minimal tujuh hari dan paling lama kurang dari satu bulan.
Ditengarai raibnya dana itu hasil dari konspirasi antara Kepala Cabang Bank Mega Jababeka dan Direktur Keuangan PT Elnusa. Nilai kerugiannya Rp111 miliar. Keduanya dinilai dan dikuatkan dengan bukti-bukti, telah memindahkan dana perusahaan migas itu ke rekening lain yaitu atas nama PT Discovery Indonesia dan Harvestindo Asset Management.
Kasus inilah yang akhirnya membawa kedua perusahaan itu ke meja hijau. Sengketa kasus itu kemudian berujung putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 22 Maret 2012 yang memerintahkan Bank Mega untuk segera mengembalikan dana.
Bank Mega menyatakan naik banding atas keputusan itu. Akan tetapi Mei lalu, putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, menyatakan bahwa pencairan deposito oleh Bank Mega kepada kedua perusahaan lain tanpa sepengetahuan dan seizin Elnusa, adalah perbuatan melawan hukum.
Lagi-lagi, Bank Mega kalah di meja hijau. Dan bank itu kembali memutuskan banding kali ini mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan langkah itu hampir dipastikan bahwa kasus Bank Mega-Elnusa ini akan kembali berlarut-larut. Hal itulah yang dikhawatirkan akan membuat reputasi bank tersebut tergerogoti. Makin lama sebuah kasus negatif yang menimpa sebuah bank makin besar risiko reputasi yang dihadapi bank itu.
Risiko reputasi lazimnya mengacu pada kerusakan reputasi bank dan dampak negatif dari hal itu terhadap laba suatu bank, likuiditas dan posisi modal. Dalam kasus Bank Mega, mungkin risiko itu bisa muncul dari penurunan jumlah nasabah sebagai hasil dari citra publik yang negatif tentang bank itu yang pada akhirnya bisa mengganjal potensi kenaikan kinerja keuangan.

Jalur Luar Pengadilan
Memang pilihan bank itu untuk terus menempuh jalur hukum tidak bisa disalahkan. Namun jika mau memilih sebenarnya tersedia jalan alternatif yang lebih ‘aman’ dengan risiko lebih rendah yaitu penyelesaian di luar pengadilan. Cara yang beken disebut out of court settlement itu sejatinya terbuka karena pihak Elnusa sebagai nasabah sudah jauh-jauh hari memberi sinyal mau menempuh jalan tersebut.
“Kami, sejak kasus ini mencuat sudah membuka ruang untuk penyelesaian di luar pengadilan,” kata Imansyah Sjamsoeddin, pejabat dari Divisi Strategi dan Komersial Elnusa.
Meski demikian, Bank Mega tampaknya keukeuh untuk terus menempuh jalur hukum dengan alasan pihaknya juga menjadi korban sama seperti Elnusa. Maka sejak awal, Elnusa mengikuti ‘gendang’ yang ditabuh oleh Bank Mega.
Elnusa juga sudah mengadu ke Bank Indonesia sejak kasus ini muncul. Pada 24 Mei 2011, bank sentral menyimpulkan bahwa Bank Mega melanggar ketentuan internal bank serta mendeteksi adanya kelemahan sistem operasional prosedur (SOP) dan pengendalian internal. Bank Mega dinilai melanggar PBI No 5/8/PBI/2003 yang telah diubah dengan PBI No 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Otoritas perbankan kemudian memberi sanksi berupa penghentian penambahan nasabah Deposit on Call (DoC) baru dan perpanjangan DoC lama, termasuk untuk produk sejenis seperti Negotiable Certificate of Deposit (NCD), selama satu tahun sejak 24 Mei 2011. Bank juga harus menghentikan pembukaan jaringan kantor baru selama satu tahun. Selain itu juga ada sanksi-sanksi pembenahan internal yang harus dilakukan.
Bank Mega juga diwajibkan BI untuk segera membentuk escrow account senilai dana milik Elnusa (dan Pemkab Batubara, Sumatra Utara, nasabah lain dari Elnusa yang juga jadi korban) di kantor cabang pembantu Bekasi Jababeka. Pencairan rekening perantara tersebut hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia jika dinilai sudah tidak terdapat sengketa antara bank dengan nasabah, baik yang diselesaikan melalui keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau melalui kesepakatan para pihak.
Jadi dalam sanksi itu sebenarnya BI juga sudah diberikan peluang kepada Bank Mega untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan. Tapi lagi-lagi manajemen bank tak tertarik mengambil jalur itu.
Dan kini Bank Mega dan Elnusa sama-sama harus terus mengurusi masalah itu sampai tuntas di pengadilan. Keduanya tentu saja akan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan ekspansi dan akan terus terganggu dengan masalah tersebut.
Menurut Imansyah dari Elnusa, pihaknya mengalami potential lost karena dana deposito sebesar Rp111 miliar itu seharusnya bisa dijadikan modal kerja, mengurangi leverage perusahaan atau bisa digunakan mendanai kebutuhan investasi. “Dana Rp111 miliar tersebut seharusnya digunakan untuk mendanai berbagai proyek. Apalagi, jasa kontrak hulu minyak dan bersifat jangka pendek tiga bulan,” kata dia.
Bank Mega tentu juga mengalama hal serupa setidaknya setelah di-grounded oleh otoritas selama setahun. Selain itu bank tentu akan kehilangan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk ekspansi akibat harus mengurusi masalah legal itu.
Oleh karena itu, pengamat hukum keuangan Yunus Husein menyarankan agar Bank Mega mempertimbangkan kembali penyelesaian di luar pengadilan alih-alih harus terus mengurusi persoalan hukum itu. “Biasanya kalau sudah masuk kasasi, prosesnya bisa berlarut-larut. Ini akan membuat kedua belah pihak kehilangan kesempatan untuk ekspansi,” kata mantan Kepala Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan itu. “Jadi out of court settlement lebih baik.”
Sebelumnya, manajemen Bank Mega selalu menolak berkomentar, dengan alasan aparat penegak hukum dan BI sudah menangani kasus ini. Mereka juga memilih diam ketika Elnusa memaparkan sejumlah bukti penting, termasuk konfirmasi audit dari Ernst and Young (E&Y) ke Itman Harry Basuki, Kepala Bank Mega Cabang Bekasi Jababeka, tentang status deposito Elnusa.
Pihak manajemen hanya mengatakan bahwa kasus ini muncul karena ada sindikat pembobol dana melibatkan orang-orang yang memiliki kewenangan memindahbukukan atau menarik dana simpanan, baik dari pihak nasabah maupun orang dalam bank. Sindikat ini penjahat lama dalam kasus pembobolan bank-bank lain.

Belajar dari Citibank
Bank Mega, meskipun demikian, seharusnya bisa belajar dari penanganan kasus yang menimpa Citibank. Bank asal AS ini juga terkena kasus internal fraud saat pegawainya terbukti menggelapkan dana nasabah private banking. Sama seperti Bank Mega, Citibank menjalani sanksi dari Bank Indonesia berupa larangan ekspansi, selama setahun sejak Mei 2011. Namun tidak seperti Bank Mega, bank global itu sudah sejak awal berjanji berupaya mengembalikan dana nasabah yang dilarikan oleh pegawainya yang bernama Malinda Dee.
Meski awalnya kesulitan, namun komitmen Citibank itu telah membuat nasabah yang menjadi korban lebih tenang karena memperoleh jaminan akan dananya. Setelah proses hukum pidana atas penyelewengan dana oleh pegawainya itu sudah diputuskan oleh pengadilan, manajemen Citibank berencana akan menggugat pegawainya itu.
Malinda Dee dijerat pasal pencucian uang karena diduga menilap dana nasabah Citibank Rp17 miliar. Dana itu dialirkan kepada beberapa anggota keluarga Malinda, termasuk suami siri-nya, Andhika Gumilang.
Tahun lalu, manajemen Citibank Indonesia sudah bisa bernafas lega karena batas akhir masa hukuman sudah berakhir dan mematok pertumbuhan bisnis wealth management tumbuh 15 persen. Pihak bank mengaku sudah didatangi nasabah kaya yang ingin bergabung ke layanan itu sejak sebelum sanksi itu dicabut. “Saat itu ada ratusan nasabah yang ingin upgrading tapi karena masih kena saksi jadinya tidak bisa dilakukan. Setelah sanksi selesai baru dilakukan,” ujar Country Business Manager Global Grup Citi Indonesia, Joel Kornreich.
Menurutnya, selain nasabah existing, minat nasabah baru untuk mengelola kekayaannya di Citibank juga meningkat. Di wealth management, Citibank menawarkan beberapa portofolio investasi seperti government bond, corporate bond dan beberapa instrumen investasi lainnya.
Sementara itu divisi kartu kredit Citibank yang turut pula mendapatkan sanksi pembekuan sementara, juga mulai memperlihatkan kinerja bagus. Bahkan divisi yang baru dua bulan lalu bisa berekspansi kembali, (Citibank harus menghentikan ekspansinya kartu kredit selama dua tahun sejak Mei 2011) sudah berancang-ancang akan menggenjot kinerjanya. Malahan dua tahun di-grounded bank sentral tidak lantas menggoyahkan kinerja keuangan raksasa keuangan asal AS ini.
Kini, bisnis kartu kredit akan kembali bersaing dengan pemain-pemain lama. Kepala Divisi Kartu Kredit, Citibank Indonesia, Suparman Kusuma mengatakan, Citibank akan fokus mempertajam dan mempertahankan pangsa pasar di segmen emerging affluent dan affluent atau kelas menengah dan menengah-atas. Caranya, menyediakan produk dan program kartu kredit yang sesuai dengan kebutuhan nasabah.
Bank Mega pun begitu. Lepas dari masa hukuman BI, bank langsung tancap gas. Setelah dilarang membuka cabang selama setahun sejak Mei 2011, bank itu kini siap berekspansi dengan membuka puluhan cabang baru. Kabarnya Bank Mega harus mempersiapkan dana hingga Rp340 miliar untuk 68 kantor atau sekitar Rp5 miliar per satu cabang. Bulan lalu Bank Mega juga mengubah logo perusahaan dengan logo baru yang dianggap akan membuat bank tersebut bisa going global.
 Namun berbeda dengan Citibank, ekspansi Bank Mega justru membuat Elnusa kecewa. Pasalnya bank itu lebih memilih mengeluarkan dana lebih besar untuk membuka cabang ketimbang menyelesaikan urusan dengan mereka. “Kami menyesalkan sikap bank yang memikirkan ekspansi ketimbang kewajibannya," kata Kepala Divisi Strategi dan Komersial Elnusa, Imansyah Syamsoeddin.
Seharusnya Bank Mega mencontoh Citibank ketika menangani kasus Melinda Dee. Semua kerugian nasabah langsung diganti. "Setelah itu mereka menuntut Melinda,” kata Imansyah.
Kini Elnusa mengaku berharap kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar mulai memperhatikan kasus ini. OJK akan mengambil alih pengawasan kasus ini dari BI awal tahun depan. Saat ini OJK mengaku masih berkoordinasi dengan pihak terkait dalam menangani kasus-kasus sengketa yang melibatkan nasabah dan bank. “Sekarang domainnya masih di BI, tapi kita akan terus berkoordinasi sebelum kasus itu benar-benar kita tangani,” kata Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Nasabah, Kusumaningtuti S. Soetiono.
Sementara Bank Mega tentu juga berharap jalur hukum yang dipilihnya bisa berbuah hasil yang menguntungkan. Meski begitu, bank itu mesti ekstra keras mengelola risiko reputasi. Karena biar bagaimanapun risiko kalah pada jalur hukum tetap ada dan hal itu akan mengikis reputasinya di mata nasabah industri perbankan.


Grafis
Perjalanan Kasus Bank Mega vs Elnusa

24 Mei 2011
BI memutuskan (No 13/18/PSHM) Bank Mega melanggar ketentuan internal bank serta kelemahan SOP dan Pengendalian Internal.
Bank Mega melanggar PBI No 5/8/PBI/2003 yang telah diubah dengan PBI No 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank.

14 Februari 2012
Pengadilan Tipikor Bandung memvonis mantan Kacab Bank Mega cabang Jababeka Itman Harry Basuki dengan hukuman 6 tahun penjara. Itman divonis karena terbukti secara sah dan meyakinkan terjerat perkara korupsi dan pencucian uang (money laundry) sebesar  Rp111 miliar milik PT Elnusa dalam bentuk deposito on call (DoC).

22 Maret 2012
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan perdata PT Elnusa terhadap Bank Mega, dan memerintahkan Bank Mega segera mengembalikan dana deposito senilai Rp 111 miliar milik PT Elnusa.
Majelis hakim memutuskan PT Bank Mega Tbk telah melakukan perbuatan melawan hukum dan karenanya dihukum untuk mengembalikan dana PT Elnusa Tbk.
Jika Bank Mega gagal bayar, majelis hakim juga memerintahkan dilakukannya sita jaminan kantor pusat Bank Mega di Jl. Kapten Tendean 12-14A Jakarta Selatan.

6 Maret 2013
PT Elnusa Tbk kembali memenangkan gugatan perdata tingkat banding terhadap PT Bank Mega Tbk. Emiten berkode ELSA ini meminta Bank Mega segera melakukan pencairan dana deposito milik Elnusa senilai Rp 111 miliar beserta bunganya enam persen per tahun.
Majelis hakim yang memeriksa perkara ini menyatakan putusan yang diambil merupakan putusan yang sudah tepat dan memiliki landasan hukum yang kuat. Bank Mega sebagai pembanding wajib menyerahkan deposito milik PT Elnusa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar