Bank Muamalat tengah melakukan transformasi untuk mengembalikan
posisinya di industri perbankan syariah. Hal itu dilakukan agar bisa
meningkatkan kinerja keuangannya meski harus berbeda jalan dengan pendahulunya.
Pada akhirnya bisnis yang bisa bertahan dan kemudian mereguk
sukses adalah yang berorientasi pasar. Mungkin pada awalnya, perusahaan yang
pertama kali berdiri ataupun yang bermodal besar bisa sukses bertahan dalam
bisnis. Namun jika tidak segera menyesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan
pasar maka tinggal menunggu waktu saja sebelum perusahaan itu redup dan
akhirnya mati.
Bank Muamalat bisa jadi adalah contoh kasus yang bagus untuk
menggambarkan betapa orientasi pasar begitu penting buat perusahaan. Bank yang
menjadi pionir di industri syariah itu kini mendapati kenyataan bahwa tetap
bertahan dengan strategi fokus pada pasar loyalis tidak akan mendongkrak
kinerja keuangannya.
Segmentasi pasar dalam industri perbankan syariah umumnya
dibagi menjadi tiga bagian. Pertama,
pasar yang loyal terhadap perbankan syariah (loyalis syariah). Kedua, pasar mengambang, yaitu yang
dapat menerima kedua sistem perbankan konvensional dan perbankan syariah (floating mass). Ketiga, pasar yang loyal terhadap perbankan konvensional (loyalis
konvensional).
Segmen pertama memiliki ciri tidak terlalu memedulikan
keuntungan secara materi, pokoknya asal semuanya sesuai kaidah syariah maka
nasabah jenis ini akan tetap menggunakan bank syariah. Nah, segmen inilah yang selama beberapa tahun sejak Bank Muamalat
didirikan pada 1991 menjadi konsumen inti bank itu.
Akan tetapi ketika industri perbankan syariah mulai marak
pertengahan dekade 2000-an, segmen ini tidak banyak berkembang. Justru nasabah
jenis rasional yang masuk dalam segmen pasar mengambang yang terus membesar.
Ciri dari segmen floating adalah
mereka tidak memedulikan jenis banknya, selama bisa memberi return lebih tinggi dan pelayanan lebih
baik maka itulah yang dipilih.
Bank-bank syariah yang lahir setelah Muamalat lebih gencar
menggarap segmen pasar mengambang ini dan hasilnya ternyata lebih bagus.
Menurut hasil penelitian Karim Institute, sebuah konsultan ternama di industri
syariah nasional, saldo rata-nasabah floating
mass di bank syariah ternyata secara signifikan lebih besar dibandingkan
saldo rata-rata nasabah loyalis.
Kenyataan tersebut tentu menjadi salah satu pertimbangan manajemen
Muamalat untuk segera berbenah memperbaiki strategi bisnis. Bagaimana tidak,
bank yang memiliki tagline “Pertama
Sesuai Syariah ini” lambat laun sejak memimpin perolehan kinerja keuangan di
industri sepanjang dekade 2000-an mulai disalip oleh pesaingnya.
Sepanjang lima tahun terakhir, sejak 2007 hingga 2011 aset
perusahaan telah meningkat sampai tiga kali lipat dari Rp10,57 triliun menjadi
Rp32,48 triliun. Kemudian, apabila dibandingkan dengan satu dekade sebelumya,
di akhir 2001, maka pertumbuhan tercatat berlipat 20 kali dimana pada saat itu
aset Bank Muamalat hanya Rp 1,6 triliun. Dan pada akhir Desember 2012, aset
Bank Muamalat sudah mencapai Rp 41,88 triliun.
Meski demikian, pencapaian itu sudah dilampaui Bank Syariah
Mandiri (BSM), anak usaha Bank Mandiri bank beraset terbesar di Indonesia. Pada
akhir 2011, aset BSM tercatat sebesar Rp48,67 triliun, naik 49,85 persen dari
tahun sebelumnya sebesar Rp32,48 triliun. Dan pada Desember 2012 asetnya
menjadi Rp54,23 triliun.
Bahkan ketika bermunculan bank syariah baru karena memang
Bank Indonesia memberi insentif bagi bank jenis itu, persaingan yang dihadapi
oleh Muamalat makin berat. Dan hal itu akan bertambah berat jika bank itu tetap
mempertahankan fokus nasabah dan bisnis yang digelutinya selama ini.
Maka rencana untuk melakukan perbaikan pun mulai digagas.
Boleh dibilang momen transformasi itu dimulai sejak Arviyan Arifin resmi
menggantikan Ahmad Riawan Amin sebagai Direktur Utama pada 2009. Beberapa pihak
mengatakan bahwa sosok Arviyan selama ini adalah orang yang sering berada di
balik produk-produk inovatif Muamalat.
Akan tetapi berbeda dengan pendahulunya, Arviyan seringkali
mengedepankan bisnisnya ketimbang sisi syariahnya. “Sementara Riawan sangat
ketat soal kaidah syariahnya,” kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
Bisnis dan Kaidah
Syariah
Apa yang disebutkan oleh sumber di atas, setidaknya sejalan
dengan yang dikatakan Taufik Chief Executive MarkPlus Insight, konsultan
pemasaran ternama. Pada 2008, saat Bank Indonesia memperkenalkan konsep iB (Islamic Banking) untuk perbankan
syariah, Bank Muamalat masih dipegang oleh Riawan Amin sempat menyangsikan tersebut.
“Waktu itu beliau khawatir akan program itu akan menyimpang dari nilai syariah
yang sebenarnya,” kata Taufik.
Akan tetapi saat Arviyan mulai menjabat sebagai Direktur
Utama, tampak penerimaan akan konsep iB bisa lebih terlihat di Bank Muamalat.
Bahkan di bawah komando Arviyan, bank itu terlihat makin terbuka dengan
berbagai langkah perubahan.
Perubahan di bank itu boleh dibilang mulai terlihat sejak
2010 saat Bank Muamalat sukses melakukan right
issue dan pembenahan manajemen. Pada tahun yang sama pula, bank itu mulai
berekspansi ke tempat yang sebelumnya tidak pernah disentuh oleh manajemen
lama. Bank itu mulai merambah ke ke mal-mal.
Yang lebih fenomenal lagi, Muamalat terus memaksimalkan 4
ribu outlet di kantor pos dan 300 kantor cabangnya di seluruh Indonesia serta
melakukan inovasi produk. Namun kerjasama dengan PT Pos ini sudah dilakukan
sejak periode Riawan Amin yang juga merupakan penggagas Produk Shar-E, produk
tabungan revolusioner yang merupakan kerja sama dengan PT Pos.
Kemudian pada 2012, tepat di usia yang keduapuluh, Muamalat
melakukan langkah berani dengan mengubah logonya sebagai salah satu tahap
transformasi yang mesti dilakukan. Seperti yang diungkapkan oleh Arviyan saat
peluncuran logo itu, langkah tersebut ditujukan untuk membangun ,
merevitalisasi dan meremajakan citra Bank Muamalat bertransformasi menjadi bank
yang modern di tengah masyarakat.
“Memantapkan proses transformasi yang dijalankan, Bank
Muamalat meluncurkan logo barunya. Peluncuran logo baru ditujukan untuk
membangun merevitalisasi dan meremajakan citranya yang sedang bertaransformasi
menjadi bank yang modern ditengah masyarakat yang tumbuh cepat dan dinamis,” jelas
Arviyan.
Ya, menjadi bank modern berarti harus merangkul lebih banyak
pihak dan lebih terbuka. Mungkin ide itu yang sedang dibangun oleh manajemen
Muamalat di bawah Arviyan. Meski demikian, kata Arviyan, logo baru itu
merupakan penegasan dari apa yang dilakukan sebelumnya.
Sementara itu, Taufik dari Markplus melihat penggantian logo
itu sebagai suatu wajah baru di Bank Muamalat. “Ada semangat untuk terbuka.
Kami juga melihat bahwa dari sisi pemegang saham, memang terdapat beberapa
orang ikut masuk dan mempunyai visi terbuka,” kata dia.
Saat ini dalam jajaran Komisaris ada nama Emirsyah Satar dan
Widigdo Sukarman. Kedua nama itu memang bukan orang-orang yang tidak terlibat
dari awal pembentukan Bank Muamalat. Namun demikian kedua nama itu tentu
memiliki kemampuan untuk mengembangkan Bank Muamalat agar sejajar dengan
bank-bank lain. Seperti diketahui Emir pernah menjadi direktur di Bank Danamon,
dan Widigdo sempat memimpin Bank BNI. “(Dengan latar belakang itu) Pasti mereka
membawa pengaruh ke Bank Muamalat untuk semakin terbuka,” kata Taufik.
Kini dengan transformasi yang sudah dijalankan selama lebih
dari tiga tahun, perlahan namun pasti kinerja bank itu mulai meningkat.
Sepanjang 2012, bank menambah 82 kantor sehingga kini totalnya menjadi 442 kantor.
Bank juga telah menambah 27 kantor kas
keliling (mobile branch)
sepanjang 2012. Bahkan untuk meningkatkan aksesibilitas nasabah, Muamalat
menambah jumlah mesin tarik tunai dari 475 unit menjadi 1001 unit.
Tak hanya itu, Bank Muamalat berencana menambah modal agar
bisa beralih ke Buku III dengan modal minimal Rp 5 triliun. “Penambahan modal
dilakukan melalui right issue karena
Muamalat adalah perusahaan publik sehingga harus ada pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), kata Arviyan.
Tahun ini Bank Indonesia mengeluarkan aturan mengenai modal
bank yang dikaitkan dengan kegiatan usahanya. Bank kategori BUKU I merupakan
bank yang memiliki modal inti sampai dengan di bawah Rp1 triliun. Kegiatan
usaha bank ini dalam rupiah berupa penghimpunan dan penyaluran dana yang
bersifat trade finance atau hanya Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN),
keagenan dan kerja sama terbatas.
Bank yang masuk BUKU II memiliki modal inti minimum Rp1
triliun sampai dengan di bawah Rp5 triliun. Kegiatan bank di kelompok ini, bisa
dalam rupiah dan valas. Kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana pun
lebih luas dibandingkan BUKU I. Trade Finance bisa letter of credit (LC) dan
SKBDN. Keagenan, kerja sama, sistem pembayaran, e-banking lebih luas dari BUKU
I. Dalam kategori ini bank dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga
keuangan di Indonesia.
Sedangkan BUKU III, merupakan bank yang bermodal inti
minimum Rp5 triliun sampai dengan di bawah Rp30 triliun. Bank-bank ini dapat
melakukan semua kegiatan usaha bank dalam bentuk rupiah maupun valuta asing. Di
BUKU III juga dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga keuangan di
Indonesia dan di luar negeri pada wilayah regional Asia.
BUKU IV, yaitu bank dengan modal inti minimum Rp30 triliun.
Bank dapat melakukan seluruh kegiatan usaha bank dalam bentuk rupiah dan valuta
asing. Dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia dan
di seluruh wilayah luar negeri.
Box
Berawal dari Lokakarya
Ide kongkrit
Pendirian Bank Muamalat Indonesia berawal dari lokakarya “Bunga Bank dan
Perbankan” yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal
18-20 Agustus 1990 di Cisarua. Ide ini kemudian lebih dipertegas lagi dalam
Musyawarah Nasional (MUNAS) ke IV MUI di Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22-25
Agustus 1990 yang mengamanahkan kepada Bapak K.H. Hasan Bahri yang terpilih
kembali sebagai Ketua Umum MUI, untuk merealisasikan pendirian Bank Islam
tersebut. Setelah itu, MUI membentuk suatu Kelompok Kerja (POKJA) untuk
mempersiapkan segala sesuatunya. Tim POKJA ini membentuk Tim Kecil “Penyiapan
Buku Panduan Bank Tanpa Bunga”, yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. M. Amin Azis.
Hal paling utama dilakukan oleh Tim MUI ini di samping
melakukan pendekatan-pendekatan dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait
adalah menyelenggarakan pelatihan calon staf melalui Management
DevelopmentProgram (MDP) di Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia (LPPI),
Jakarta yang dibuka pada tanggal 29 Maret 1991 oleh Menteri Muda Keuangan, dan
meyakinkan beberapa pengusaha muslim untuk jadi pemegang saham pendiri. Untuk
membantu kelancaran tugas-tugas MUI ini dibentuklah Tim Hukum Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang di bawah Ketua Drs. Karnaen
Perwaatmadja, MPA. Tim ini bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
menyangkut aspek hukum Bank Islam.
Pada tanggal 1 November 1991 terlaksana penandatanganan Akte
Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia di Sahid Jaya Hotel dihadapan Notaris
Yudo Paripurno, SH. dengan Akte Notaris No.1 tanggal 1 November 1991 (Izin
Menteri Kehakiman No. C2.2413.HT.01.01 tanggal 21 Maret 1992/Berita Negara RI
tanggal 28 April 1992 No.34). Pada saat penandatanganan Akte Pendirian ini
terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 48 miliar.
Selanjutnya, pada acara silaturahmi pendirian Bank Syari’ah
di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang
turut menenm modal senilai Rp 106 miliar. Dengan angka modal awal ini Bank
Muamalat mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992 bertepatan dengan tanggal 27
Syawal 1412 H, SK Menteri Keuangan RI No. 1223/MK. 013/1991 tanggal 5 November
1991 diikuti oleh izin usaha keputusan MenKeu RI No. 430/KMK.013/1992 tanggal
24 April 1992. Pada tanggal 1 Mei 1992, Menteri Keuangan dan dengan dihadiri
oleh Gubernur Bank Indonesia, meresmikan mulai beroperasinya Bank Muamalat
dalam upacara soft opening yag
diadakan di Kantor Pusat Bank Muamalat di Gedung Arthaloka, Jl. Jenderal
Sudirman Jakarta.
Pada tanggal 27 Oktober 1994, Bank Muamalat berhasil
menyandang predikat sebagai Bank Devisa yang semakin memperkokoh posisi
perseroan sebagai Bank Syari’ah pertama dan terkemuka di Indonesia dengan
beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan. Pada saat Indonesia dilanda
krisis moneter, sektor Perbankan Nasional tergulung oleh kredit macet di segmen
korporasi. Bank Muamalat pun terimbas dampak krisis. Pada tahun 1998, Perseroan
mencatat rugi sebesar Rp 105 miliar.
Dalam upaya memperkuat permodalannya, Bank Muamalat mencari
pemodal yang potensial, dan ditanggapi secara positif oleh Islamic Development
Bank (IDB) yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi. Pada RUPS tanggal 21 Juni
1999 IDB secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat. Oleh
karenanya, kurun waktu antara tahun 1999 sampai 2002 merupakan masa-masa yang
penuh tantangan sekaligus keberhasilan bagi Bank Muamalat karena berhasil
membalikkan kondisi dari rugi menjadi laba dari upaya dan dedikasi setiap
Pegawai Muamalat, ditunjang oleh kepemipinan yang kuat, strategi pengembangan
usaha yang tepat, serta ketaatan terhadap pelaksanaan Perbankan Syariah secara
murni.
Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar