Kamis, 05 Juni 2014

Right Idea in The Wrong Time

 Akhir-akhir ini perkembangan begitu cepat berlangsung. Isu baru cepat sekali muncul, pun seperti kemunculannya, isu itu tenggelam digantikan isu lainnya. Kondisi itu akan terus berlangsung dalam beberapa waktu ke depan, minimal hingga pemilihan umum presiden.
Menjelang perhelatan politik akbar itu, apapun yang muncul akan dikaitkan dengan politik. Semua langkah adalah langkah politik, setiap ucapan adalah ucapan politik. Meskipun di antaranya ada yang benar-benar diniatkan untuk kemajuan perekonomian dan peningkatan daya saing. Satu yang paling kentara dan termutakhir adalah soal rencana penggabungan BTN dan Bank Mandiri dalam skema akuisisi yang dilontarkan Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Keduanya adalah bank milik negara, yang artinya pemegang saham terbesarnya adalah rakyat yang direpresentasikan oleh presiden. Dalam pekerjaan bidang tersebut hal itu diwakili oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Singkat kata, dalam mekanisme keterwakilan, bisa dibilang langkah Dahlan yang mendorong Bank Mandiri mengakuisisi BTN tidak melanggar apapun.
Dalam benak mantan Dirut PLN itu, Indonesia harus punya bank yang memiliki aset Rp1.000 triliun secepatnya. Mengapa secepatnya? Karena mulai tahun depan Indonesia bagai sebuah rumah dengan pintu yang semuanya terbuka, dan semua tetangga di ASEAN yang ingin merasakan pasar yang sangat besar, boleh masuk.
Mengapa Rp1.000 triliun? Di kawasan Asia Tenggara, bank-bank Singapura masih memimpin jajaran bank beraset tergemuk, dan jika hasil strategi anoganik Bank Mandiri-BTN terwujud, aset bank itu minimal bisa seperempat bank-bank macam DBS, UOB ata OCBC.
Singapura dan Malaysia sudah terlebih dahulu melakukan strategi anorganik seperti itu demi mendongkrak aset dan menguasai pasar sektor keuangan minimal di negerinya sendiri. Kemudian, karena Indonesia adalah pasar terbesar, mereka pun mulai mengincar pasar keuangan di Indonesia. Strategi itu juga bisa dipakai untuk menguatkan strategi penjualan silang (cross selling) dan juga mengefektifkan biaya operasional (menekan BOPO).
Konsolidasi dengan cara merger dan akuisisi sejatinya merupakan strategi yang lumrah untuk mendongkrak aset. Apalagi, sebagai negara dengan penduduk terbesar yang dapat menyerap produk dan layanan perbankan di Asia Tenggara, Indonesia sudah sepantasnya memiliki bank besar, dan itu harus diwujudkan secepatnya. Pasalnya, strategi konsolidasi dengan mekanisme pasar –yang sudah diskemakan Bank Indonesia –sejak sepuluh tahun terakhir ini belum juga menunjukkan hasil. (Selain itu, rencana mengonsolidasikan bank-bank pelat merah dalam lima tahun terakhir ini juga selalu menemui jalan buntu.)
Akan tetapi tampaknya, rencana Dahlan itu bisa disebut “right idea in the wrong time”. Keinginan itu dianggap hanya melihat sisi prestise saja, sedangkan masalah intinya tidak dituntaskan: penguatan modal dan pemenuhan kebutuhan rumah murah.
Selain para pengeritik mengatakan bahwa jika ingin membuat bank besar kenapa tidak sekalian saja menyatukan Bank Mandiri dan BNI. Bukankah kedua itu memiliki segmen bisnis yang mirip? Atau lain hal, kenapa BTN tidak disatukan dengan BRI, yang asetnya berpotensi menyalip Bank Mandiri? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya.
Entah karena para pengeritik itu atau tidak, pada akhirnya rencana konsolidasi itu pun harus tertunda hingga Indonesia punya presiden baru. Dengan kata lain, langkah Dahlan dinilai politis. Dahlan –yang merupakan calon presiden pada konvensi salah satu partai politik petahana– dianggap memanfaatkan waktu genting (injury time) menjelang pemilihan presiden ketika memutuskan untuk menyatukan dua bank BUMN itu.

Di Indonesia, saga seperti itu kerap terjadi. Di sini, kita terlalu sering berdebat tanpa banyak melakukan apa-apa. Bisa jadi, seperti yang dikatakan Rhenald Kasali, pakar manajemen, bahwa kita terlalu banyak memiliki thinker (pemikir) ketimbang doer (pekerja). Atau, lebih parah lagi, kita terlalu banyak memiliki pengkritik atau pengecam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar