Akhir-akhir ini perkembangan
begitu cepat berlangsung. Isu baru cepat sekali muncul, pun seperti
kemunculannya, isu itu tenggelam digantikan isu lainnya. Kondisi itu akan terus
berlangsung dalam beberapa waktu ke depan, minimal hingga pemilihan umum
presiden.
Menjelang perhelatan politik
akbar itu, apapun yang muncul akan dikaitkan dengan politik. Semua langkah
adalah langkah politik, setiap ucapan adalah ucapan politik. Meskipun di
antaranya ada yang benar-benar diniatkan untuk kemajuan perekonomian dan
peningkatan daya saing. Satu yang paling kentara dan termutakhir adalah soal
rencana penggabungan BTN dan Bank Mandiri dalam skema akuisisi yang dilontarkan
Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Keduanya adalah bank milik
negara, yang artinya pemegang saham terbesarnya adalah rakyat yang direpresentasikan
oleh presiden. Dalam pekerjaan bidang tersebut hal itu diwakili oleh Menteri
BUMN Dahlan Iskan. Singkat kata, dalam mekanisme keterwakilan, bisa dibilang
langkah Dahlan yang mendorong Bank Mandiri mengakuisisi BTN tidak melanggar
apapun.
Dalam benak mantan Dirut PLN
itu, Indonesia harus punya bank yang memiliki aset Rp1.000 triliun secepatnya.
Mengapa secepatnya? Karena mulai tahun depan Indonesia bagai sebuah rumah dengan
pintu yang semuanya terbuka, dan semua tetangga di ASEAN yang ingin merasakan
pasar yang sangat besar, boleh masuk.
Mengapa Rp1.000 triliun? Di
kawasan Asia Tenggara, bank-bank Singapura masih memimpin jajaran bank beraset
tergemuk, dan jika hasil strategi anoganik Bank Mandiri-BTN terwujud, aset bank
itu minimal bisa seperempat bank-bank macam DBS, UOB ata OCBC.
Singapura dan Malaysia sudah
terlebih dahulu melakukan strategi anorganik seperti itu demi mendongkrak aset
dan menguasai pasar sektor keuangan minimal di negerinya sendiri. Kemudian,
karena Indonesia adalah pasar terbesar, mereka pun mulai mengincar pasar
keuangan di Indonesia. Strategi itu juga bisa dipakai untuk menguatkan strategi
penjualan silang (cross selling) dan
juga mengefektifkan biaya operasional (menekan BOPO).
Konsolidasi dengan cara
merger dan akuisisi sejatinya merupakan strategi yang lumrah untuk mendongkrak
aset. Apalagi, sebagai negara dengan penduduk terbesar yang dapat menyerap produk
dan layanan perbankan di Asia Tenggara, Indonesia sudah sepantasnya memiliki
bank besar, dan itu harus diwujudkan secepatnya. Pasalnya, strategi konsolidasi
dengan mekanisme pasar –yang sudah diskemakan Bank Indonesia –sejak sepuluh
tahun terakhir ini belum juga menunjukkan hasil. (Selain itu, rencana
mengonsolidasikan bank-bank pelat merah dalam lima tahun terakhir ini juga
selalu menemui jalan buntu.)
Akan tetapi tampaknya, rencana
Dahlan itu bisa disebut “right idea in
the wrong time”. Keinginan itu dianggap hanya melihat sisi prestise saja, sedangkan
masalah intinya tidak dituntaskan: penguatan modal dan pemenuhan kebutuhan
rumah murah.
Selain para pengeritik
mengatakan bahwa jika ingin membuat bank besar kenapa tidak sekalian saja
menyatukan Bank Mandiri dan BNI. Bukankah kedua itu memiliki segmen bisnis yang
mirip? Atau lain hal, kenapa BTN tidak disatukan dengan BRI, yang asetnya
berpotensi menyalip Bank Mandiri? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan kritis
lainnya.
Entah karena para pengeritik
itu atau tidak, pada akhirnya rencana konsolidasi itu pun harus tertunda hingga
Indonesia punya presiden baru. Dengan kata lain, langkah Dahlan dinilai
politis. Dahlan –yang merupakan calon presiden pada konvensi salah satu partai
politik petahana– dianggap memanfaatkan waktu genting (injury time) menjelang pemilihan presiden ketika memutuskan untuk
menyatukan dua bank BUMN itu.
Di Indonesia, saga seperti
itu kerap terjadi. Di sini, kita terlalu sering berdebat tanpa banyak melakukan
apa-apa. Bisa jadi, seperti yang dikatakan Rhenald Kasali, pakar manajemen, bahwa
kita terlalu banyak memiliki thinker
(pemikir) ketimbang doer (pekerja). Atau, lebih parah lagi, kita terlalu
banyak memiliki pengkritik atau pengecam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar