Bank daerah harus melihat
kembali tujuan awal pendirian agar bisa menentukan langkah ke depan.
Sebaliknya, otoritas juga harus terus memberi dukungannya pada bank daerah.
Jika kita mulai merasa
menjauh dari tujuan, sebaiknya kita kembali ke titik awal. Dari situ kita bisa melihat
arah lebih baik dan kembali menentukan langkah.
Tujuan awal pendirian bank
daerah adalah untuk membantu mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan
daerah di segala bidang serta sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Akan tetapi seiring
berjalannya waktu, tujuan itu kemudian bergeser. Bank-bank yang banyak
didirikan pada dekade 60-an itu dinilai ‘meninggalkan’ daerahnya ketika
menjelang akhir 90-an tak kunjung memperlihatkan kinerja baik. Bank daerah tidak
mampu untuk membuat perekonomian daerah bergerak lebih cepat meski memiliki
cukup bekal.
Kekecewaan memuncak ketika bandul
politik memihaknya seiring dengan munculnya kebijakan otonomi daerah hampir 15
tahun lalu, tak mampu membuat kinerja BPD meroket. Besarnya aliran duit lewat
lewat dana alokasi (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) tak jua mampu membuat peran
bank daerah meningkat. Padahal waktu itu, sebagai kasir pemerintah daerah, BPD
mendapat kiriman dana yang tak sedikit dari keputusan politik tersebut.
Hal itu pulalah yang membuat
gerah bank sentral –pengawas perbankan ketika itu, hingga meluncurkan program
BPD Regional Champion (BRC) karena menilai lonjakan dana itu tidak membuat
manajemen bank lebih kreatif dalam menjalankan usaha dan mendorong perekonomian
daerah. Selain tingkat pertumbuhan kreditnya yang seret, manajemen hanya berkutat
pada strategi menggarap pegawai negeri di lingkungan pemda sebagai pasar kredit
potensialnya.
Padahal banyak sektor
perekonomian di daerah yang bisa digarap oleh BPD, mulai dari perkebunan,
agroindustri, perikanan, pertambangan, perdagangan, hingga konstruksi. Belum
lagi proyek-proyek BUMN yang berada di daerah. Bahkan kalau mau jujur,
sebenarnya BPD bisa mengungguli bank-bank besar lain yang beroperasi di daerah
karena lebih cepat memproses kredit. Namun ya itu tadi, manajemen kurang
kreatif dalam menggarap potensi-potensi tersebut.
Maka dari itu, dalam program
BRC, Bank Indonesia meminta bank-bank agar memperbesar porsi kredit pada
sektor-sektor produktif serta meningkatkan fungsi intermediasi khususnya pada
sektor usaha kecil dan mikro (UMKM).
Selain itu, dalam program
yang diluncurkan akhir 2010, bank harus meningkatkan kemampuan dalam melayani
kebutuhan masyarakat setempat. Poin itu berisi program standardisasi dan
peningkatan kualitas pegawai dan perluasan jaringan kantor untuk mendukung
terwujudnya sistem keuangan yang inklusif dengan meningkatkan akses seluas
luasnya kemasyarakat setempat melalui pencipataan produk dan jasa yang semakin
variatif dan unggul.
Kini, program BRC menjelang sampai
pada batas akhir masa kedaluarsanya. Jika dilihat indikator-indikator keuangan
setelah adanya program itu, memang harus diakui prestasi bank daerah ada
kenaikan. Dalam dua tahun belakangan, laba seluruh bank daerah meningkat pesat.
Sepanjang 2013 perolehan keuntungan mereka meninggalkan jenis bank lainnya di tengah
ketatnya likuiditas akibat perlambatan kredit pada tahun lalu. Berdasarkan data
Statistik Perbankan Indonesia hingga Desember 2013 yang dipublikasikan Otoritas
Jasa keuangan (OJK), tercatat kinerja laba bersih tumbuh 19,98 persen menjadi
Rp10,73 triliun.
Sepanjang periode tahun 2013,
pertumbuhan laba bersih BPD itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan
laba seluruh perbankan yang mencapai 17,33 persen.
Pencapaian itu tentu cukup
mengagetkan karena tahun lalu industri perbankan terbelit kesulitan likuiditas
dan kesulitan menggenjot pertumbuhan laba sepanjang karena ada turbulensi di
pasar keuangan.
Selain itu, sektor keuangan
juga sempat mengalami guncangan setelah dana-dana asing mendadak kabur pada
paro pertama tahun lalu, karena isu penghentian program stimulus di AS. Bank
sentral meresponsnya dengan memperketat kebijakan moneter dan meneruskan
langkah menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate, yang sudah dimulai beberapa
bulan sebelum guncangan ekonomi itu. Total kenaikkan BI Rate sejak mencapai 175
basis poin.
Hal tersebut kemudian memicu
perlambatan penyaluran kredit perbankan sehingga menahan pertumbuhan laba
bersihnya.
Modal vs Peran BPD
Kembali kepada tujuan program
BRC. Harus diakui inisiatif Bank Indonesia yang diluncurkan Desember 2010 dan
dihadiri oleh hampir seluruh stake holder,
cukup ampuh untuk memacu kinerja bank-bank regional. Saat itu, selain, para
wakil BPD, acara juga dihadiri Wakil Presiden Boediono, Gubernur Bank Indonesia
ketika itu Darmin Nasution, Mendagri Gamawan Fauzi, seluruh gubernur dan Ketua
DPRD tingkat I.
Dalam hal aset, sejak
Desember 2010, dari 26 BPD, baru ada satu bank yang bisa menembus Rp50 triliun
yaitu Bank Jabar Banten yang melakukannya pada 2011 ketika memutuskan untuk
menawarkan saham ke publik lewat initial
public offering (IPO). Lalu ada dua bank yang bisa menembus aset Rp 10
triliun. Sementara sisanya masih berkutat di kisaran Rp1 triliun hingga Rp50
triliun.
Aset keseluruhan BPD pada
Januari 2014, telah mencapai Rp388,11 triliun atau meningkat 8,5 persen
dibandingkan posisi Januari 2013. Jika dibandingkan dengan bank-bank yang
memiliki aset terbesar di Tanah Air, capaian bank-bank daerah itu berada di
strip keempat, setelah Bank Mandiri, BRI dan BCA.
Selain itu, kinerja kredit
dalam lima tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Pada Januari
lalu, posisi kredit BPD seluruh Indonesia mencapai Rp261,43 triliun atau
meningkat sebesar 16,5 persen dibandingkan posisi Januari 2013 yang mencapai
Rp218,30 triliun.
Sedangkan dana pihak ketiga (DPK)
bank-bank regional juga mengalami pertumbuhan. Sepanjang 2013 total DPK tumbuh
sebesar 3,29 persen. Modal inti pada Januari tahun ini telah mencapai sebesar
Rp44,87 triliun, meningkat sebesar 17,4 persen dibanding posisi setahun
sebelumnya.
“Dengan prestasi dan
pertumbuhan kinerja BPD secara nasional maupun lokal saat ini, kami optimistis
mampu menjadi garda terdepan pembangunan ekonomi daerah untuk mendukung program
Pemerintah menciptakan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat daerah yang secara kolektif akan menurunkan tingkat kemiskinan
secara nasional dan meningkatkan kesejahteraaan bangsa,” ujar Ketua Umum
Asbanda, Eko Budiwiyono, yang juga Direktur Utama Bank DKI.
Kata-kata penuh semangat yang
diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Bank Daerah (Asbanda) saat penarikan undian
tabungan khas BPD itu memang tidak terlalu berlebihan. Akan tetapi jika melihat
fakta yang ada, bisa jadi keyakinan Asbanda itu bisa mengkerut.
Dalam empat tahun terakhir,
BPD memang terlihat cukup agresif mengembangkan jaringan bisnisnya keluar tapal
batas daerahnya. Setidaknya ada 14 dari 26 BPD yang telah membuka cabang di
daerah lain terutama di Jakarta. Alasan utama mereka melakukan ekspansi
tersebut antara lain karena ingin mendekati dan memberi kemudahan bertransaksi
kepada nasabah asal daerah mereka yang berada di luar daerahnya. Lainnya, untuk
mempermudah jaringan kerja sama antar pemerintah daerah ataupun antara pemda dan
pemerintah pusat, misalnya untuk menggarap pasar kredit sindikasi di suatu
daerah tertentu.
Pertanyaannya kemudian,
apakah alasan ini cukup dijadikan justifikasi untuk mengembangkan jaringan
bisnis hingga ke luar daerahnya? Bukankah tujuan utama bank adalah untuk
mendorong perekonomian daerah? Sejumlah kalangan menilai bahwa pembukaan
jaringan kantor cabang oleh BPD ke luar daerahnya kurang optimal. Bank dinilai
akan menghadapi masalah kompetensi baik dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan
teknologi informasi (TI) yang selama ini merupakan permasalahan klasik yang
kerap kali di hadapi oleh BPD.
“Terbatasnya jumlah tenaga
profesional, kualitas pelayanan nasabah yang belum prima dan core banking system yang belum optimal
dalam men-support pengembangan produk
atau layanan baru, dapat menjadi masalah serius yang akan dihadapi BPD setelah
pembukaan cabang,” tulis Satya Anggraeni, seorang staf pengajar
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia dalam sebuah kolomnya di majalah ini
beberapa edisi lalu.
Dengan
kondisi itu, strategi ekspansi BPD ke
luar kandang berpotensi menjadi investasi yang mubazir karena pemanfaatan yang
tidak optimal. Manajemen BPD dinilai melihat pencapaian titik impas –yang kerap
digadang-gadang sebagai capaian kinerja cabang luar daerah– hanya dari sisi kredit, namun tidak pada sisi funding. Untuk memenuhi target
pendanaan, BPD harus bekerja mati-matian dan menghadapi barikade jaringan
kantor bank-bank raksasa yang sudah lebih dulu diketahui nasabah setempat.
Selain itu, menurut Satya,
bank-bank daerah juga alpa dalam memasukkan sektor usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM) sebagai prioritas. Padahal sebagian besar karyawan di BPD
merupakan putra daerah yang sudah pasti memiliki bahasa yang sama dengan
kebutuhan daerahnya. “Ada aspek emosional yang bermain di sana.”
Jika saja bank daerah
menjadikan UMKM prioritas pembiayaan –di samping kredit untuk pegawai negeri
setempat, maka tidak sulit bagi BPD mendapatkan nasabah loyal. Usaha mikro
sejatinya adalah lahan yang sangat menguntungkan bagi bank daerah namun belum
digarap maksimal.
Padahal saat ini jika
diamati, bank-bank besar justru sangat berselera dengan pasar UMKM dengan
mendirikan berbagai layanan mikro di pasar-pasar di setiap pelosok daerah.
Sebut saja, Bank Danamon, Bank Mandiri, terutama BRI.
Dengan kata lain, jika BPD
bisa memaksimalkan kedekatan emosional dalam pemberian kredit UMKM, bukan hal
yang sulit untuk memenangkan persaingan dengan bank yang lebih besar. Namun
demikian, pengelola bank daerah seringkali menggunakan alasan keterbatasan
modal untuk menggencarkan strategi pembiayaan mikro. Pinjaman kredit dengan
jumlah kecil-kecil dan tersebar di banyak debitur memerlukan sumber daya dan
dana yang tidak kecil untuk me-maintain-nya.
Memang harus diakui bahwa
modal merupakan momok yang paling menakutkan bagi BPD. Dari 26 bank pembangunan
daerah (BPD) yang ada di Indonesia, sekitar separuhnya masih memiliki modal
inti di bawah Rp 1 triliun. Sedangkan BPD yang memiliki modal inti di atas Rp5
triliun tercatat hanya satu BPD. “Masalah utama di BPD memang permodalan,” kata
Eko, ketua Asbanda.
Di sisi lain, mengharapkan share holder untuk menyuntik dana besar
ibarat pungguk merindukan bulan, karena sangat sulit bagi sebagian besar
pemerintah daerah bersedia melakukan itu.
Karena itulah tidaklah
mengherankan jika wacana mencari dana di pasar modal mulai menjangkiti
manajemen BPD, terutama pasca otoritas meluncurkan program menjadi jawara di
daerah.
Meski begitu, keinginan
itupun tak mudah diwujudkan. Banyak pemerintah daerah khawatir jika BPD
melakukan penawaran umum saham perdana justru akan mengikis kepemilikan mereka
di bank. Sampai sekarang baru dua BPD yang telah melantai di Bursa Efek
Indonesia (BEI), yaitu PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk
(BJBR) dan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (BJTM).
Lalu bagaimana BPD mau
berperan lebih besar pada perekonomian jika modalnya selalu pas-pasan? Singkat
kata, meski program BRC sudah dibilang cukup berhasil, namun tetap harus
disinambungkan agar cita-cita BPD menjadi mesin pendorong pertumbuhan
pembangunan daerah di segala bidang bisa terus berlanjut. Jadi perlukah
diluncurkan program BRC tahap kedua? Jawaban yang paling mungkin adalah perlu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar