Kamis, 05 Juni 2014

Melapangkan Jalan Kembali ke Khittah

Bank daerah harus melihat kembali tujuan awal pendirian agar bisa menentukan langkah ke depan. Sebaliknya, otoritas juga harus terus memberi dukungannya pada bank daerah.
  
Jika kita mulai merasa menjauh dari tujuan, sebaiknya kita kembali ke titik awal. Dari situ kita bisa melihat arah lebih baik dan kembali menentukan langkah.
Tujuan awal pendirian bank daerah adalah untuk membantu mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah di segala bidang serta sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, tujuan itu kemudian bergeser. Bank-bank yang banyak didirikan pada dekade 60-an itu dinilai ‘meninggalkan’ daerahnya ketika menjelang akhir 90-an tak kunjung memperlihatkan kinerja baik. Bank daerah tidak mampu untuk membuat perekonomian daerah bergerak lebih cepat meski memiliki cukup bekal.
Kekecewaan memuncak ketika bandul politik memihaknya seiring dengan munculnya kebijakan otonomi daerah hampir 15 tahun lalu, tak mampu membuat kinerja BPD meroket. Besarnya aliran duit lewat lewat dana alokasi (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) tak jua mampu membuat peran bank daerah meningkat. Padahal waktu itu, sebagai kasir pemerintah daerah, BPD mendapat kiriman dana yang tak sedikit dari keputusan politik tersebut.
Hal itu pulalah yang membuat gerah bank sentral –pengawas perbankan ketika itu, hingga meluncurkan program BPD Regional Champion (BRC) karena menilai lonjakan dana itu tidak membuat manajemen bank lebih kreatif dalam menjalankan usaha dan mendorong perekonomian daerah. Selain tingkat pertumbuhan kreditnya yang seret, manajemen hanya berkutat pada strategi menggarap pegawai negeri di lingkungan pemda sebagai pasar kredit potensialnya.
Padahal banyak sektor perekonomian di daerah yang bisa digarap oleh BPD, mulai dari perkebunan, agroindustri, perikanan, pertambangan, perdagangan, hingga konstruksi. Belum lagi proyek-proyek BUMN yang berada di daerah. Bahkan kalau mau jujur, sebenarnya BPD bisa mengungguli bank-bank besar lain yang beroperasi di daerah karena lebih cepat memproses kredit. Namun ya itu tadi, manajemen kurang kreatif dalam menggarap potensi-potensi tersebut.
Maka dari itu, dalam program BRC, Bank Indonesia meminta bank-bank agar memperbesar porsi kredit pada sektor-sektor produktif serta meningkatkan fungsi intermediasi khususnya pada sektor usaha kecil dan mikro (UMKM).
Selain itu, dalam program yang diluncurkan akhir 2010, bank harus meningkatkan kemampuan dalam melayani kebutuhan masyarakat setempat. Poin itu berisi program standardisasi dan peningkatan kualitas pegawai dan perluasan jaringan kantor untuk mendukung terwujudnya sistem keuangan yang inklusif dengan meningkatkan akses seluas luasnya kemasyarakat setempat melalui pencipataan produk dan jasa yang semakin variatif dan unggul.
Kini, program BRC menjelang sampai pada batas akhir masa kedaluarsanya. Jika dilihat indikator-indikator keuangan setelah adanya program itu, memang harus diakui prestasi bank daerah ada kenaikan. Dalam dua tahun belakangan, laba seluruh bank daerah meningkat pesat. Sepanjang 2013 perolehan keuntungan mereka meninggalkan jenis bank lainnya di tengah ketatnya likuiditas akibat perlambatan kredit pada tahun lalu. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia hingga Desember 2013 yang dipublikasikan Otoritas Jasa keuangan (OJK), tercatat kinerja laba bersih tumbuh 19,98 persen menjadi Rp10,73 triliun.
Sepanjang periode tahun 2013, pertumbuhan laba bersih BPD itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan laba seluruh perbankan yang mencapai 17,33 persen.
Pencapaian itu tentu cukup mengagetkan karena tahun lalu industri perbankan terbelit kesulitan likuiditas dan kesulitan menggenjot pertumbuhan laba sepanjang karena ada turbulensi di pasar keuangan.
Selain itu, sektor keuangan juga sempat mengalami guncangan setelah dana-dana asing mendadak kabur pada paro pertama tahun lalu, karena isu penghentian program stimulus di AS. Bank sentral meresponsnya dengan memperketat kebijakan moneter dan meneruskan langkah menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate, yang sudah dimulai beberapa bulan sebelum guncangan ekonomi itu. Total kenaikkan BI Rate sejak mencapai 175 basis poin.
Hal tersebut kemudian memicu perlambatan penyaluran kredit perbankan sehingga menahan pertumbuhan laba bersihnya.

Modal vs Peran BPD
                                  
Kembali kepada tujuan program BRC. Harus diakui inisiatif Bank Indonesia yang diluncurkan Desember 2010 dan dihadiri oleh hampir seluruh stake holder, cukup ampuh untuk memacu kinerja bank-bank regional. Saat itu, selain, para wakil BPD, acara juga dihadiri Wakil Presiden Boediono, Gubernur Bank Indonesia ketika itu Darmin Nasution, Mendagri Gamawan Fauzi, seluruh gubernur dan Ketua DPRD tingkat I.
Dalam hal aset, sejak Desember 2010, dari 26 BPD, baru ada satu bank yang bisa menembus Rp50 triliun yaitu Bank Jabar Banten yang melakukannya pada 2011 ketika memutuskan untuk menawarkan saham ke publik lewat initial public offering (IPO). Lalu ada dua bank yang bisa menembus aset Rp 10 triliun. Sementara sisanya masih berkutat di kisaran Rp1 triliun hingga Rp50 triliun.
Aset keseluruhan BPD pada Januari 2014, telah mencapai Rp388,11 triliun atau meningkat 8,5 persen dibandingkan posisi Januari 2013. Jika dibandingkan dengan bank-bank yang memiliki aset terbesar di Tanah Air, capaian bank-bank daerah itu berada di strip keempat, setelah Bank Mandiri, BRI dan BCA.
Selain itu, kinerja kredit dalam lima tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Pada Januari lalu, posisi kredit BPD seluruh Indonesia mencapai Rp261,43 triliun atau meningkat sebesar 16,5 persen dibandingkan posisi Januari 2013 yang mencapai Rp218,30 triliun.
Sedangkan dana pihak ketiga (DPK) bank-bank regional juga mengalami pertumbuhan. Sepanjang 2013 total DPK tumbuh sebesar 3,29 persen. Modal inti pada Januari tahun ini telah mencapai sebesar Rp44,87 triliun, meningkat sebesar 17,4 persen dibanding posisi setahun sebelumnya.
“Dengan prestasi dan pertumbuhan kinerja BPD secara nasional maupun lokal saat ini, kami optimistis mampu menjadi garda terdepan pembangunan ekonomi daerah untuk mendukung program Pemerintah menciptakan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat daerah yang secara kolektif akan menurunkan tingkat kemiskinan secara nasional dan meningkatkan kesejahteraaan bangsa,” ujar Ketua Umum Asbanda, Eko Budiwiyono, yang juga Direktur Utama Bank DKI.
Kata-kata penuh semangat yang diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Bank Daerah (Asbanda) saat penarikan undian tabungan khas BPD itu memang tidak terlalu berlebihan. Akan tetapi jika melihat fakta yang ada, bisa jadi keyakinan Asbanda itu bisa mengkerut.
Dalam empat tahun terakhir, BPD memang terlihat cukup agresif mengembangkan jaringan bisnisnya keluar tapal batas daerahnya. Setidaknya ada 14 dari 26 BPD yang telah membuka cabang di daerah lain terutama di Jakarta. Alasan utama mereka melakukan ekspansi tersebut antara lain karena ingin mendekati dan memberi kemudahan bertransaksi kepada nasabah asal daerah mereka yang berada di luar daerahnya. Lainnya, untuk mempermudah jaringan kerja sama antar pemerintah daerah ataupun antara pemda dan pemerintah pusat, misalnya untuk menggarap pasar kredit sindikasi di suatu daerah tertentu.
Pertanyaannya kemudian, apakah alasan ini cukup dijadikan justifikasi untuk mengembangkan jaringan bisnis hingga ke luar daerahnya? Bukankah tujuan utama bank adalah untuk mendorong perekonomian daerah? Sejumlah kalangan menilai bahwa pembukaan jaringan kantor cabang oleh BPD ke luar daerahnya kurang optimal. Bank dinilai akan menghadapi masalah kompetensi baik dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi (TI) yang selama ini merupakan permasalahan klasik yang kerap kali di hadapi oleh BPD.
“Terbatasnya jumlah tenaga profesional, kualitas pelayanan nasabah yang belum prima dan core banking system yang belum optimal dalam men-support pengembangan produk atau layanan baru, dapat menjadi masalah serius yang akan dihadapi BPD setelah pembukaan cabang,” tulis Satya Anggraeni, seorang staf pengajar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia dalam sebuah kolomnya di majalah ini beberapa edisi lalu.
Dengan kondisi itu, strategi ekspansi BPD ke luar kandang berpotensi menjadi investasi yang mubazir karena pemanfaatan yang tidak optimal. Manajemen BPD dinilai melihat pencapaian titik impas –yang kerap digadang-gadang sebagai capaian kinerja cabang luar daerah– hanya  dari sisi kredit, namun tidak pada sisi funding. Untuk memenuhi target pendanaan, BPD harus bekerja mati-matian dan menghadapi barikade jaringan kantor bank-bank raksasa yang sudah lebih dulu diketahui nasabah setempat.
Selain itu, menurut Satya, bank-bank daerah juga alpa dalam memasukkan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai prioritas. Padahal sebagian besar karyawan di BPD merupakan putra daerah yang sudah pasti memiliki bahasa yang sama dengan kebutuhan daerahnya. “Ada aspek emosional yang bermain di sana.”
Jika saja bank daerah menjadikan UMKM prioritas pembiayaan –di samping kredit untuk pegawai negeri setempat, maka tidak sulit bagi BPD mendapatkan nasabah loyal. Usaha mikro sejatinya adalah lahan yang sangat menguntungkan bagi bank daerah namun belum digarap maksimal.
Padahal saat ini jika diamati, bank-bank besar justru sangat berselera dengan pasar UMKM dengan mendirikan berbagai layanan mikro di pasar-pasar di setiap pelosok daerah. Sebut saja, Bank Danamon, Bank Mandiri, terutama BRI.
Dengan kata lain, jika BPD bisa memaksimalkan kedekatan emosional dalam pemberian kredit UMKM, bukan hal yang sulit untuk memenangkan persaingan dengan bank yang lebih besar. Namun demikian, pengelola bank daerah seringkali menggunakan alasan keterbatasan modal untuk menggencarkan strategi pembiayaan mikro. Pinjaman kredit dengan jumlah kecil-kecil dan tersebar di banyak debitur memerlukan sumber daya dan dana yang tidak kecil untuk me-maintain-nya.
Memang harus diakui bahwa modal merupakan momok yang paling menakutkan bagi BPD. Dari 26 bank pembangunan daerah (BPD) yang ada di Indonesia, sekitar separuhnya masih memiliki modal inti di bawah Rp 1 triliun. Sedangkan BPD yang memiliki modal inti di atas Rp5 triliun tercatat hanya satu BPD. “Masalah utama di BPD memang permodalan,” kata Eko, ketua Asbanda.
Di sisi lain, mengharapkan share holder untuk menyuntik dana besar ibarat pungguk merindukan bulan, karena sangat sulit bagi sebagian besar pemerintah daerah bersedia melakukan itu.
Karena itulah tidaklah mengherankan jika wacana mencari dana di pasar modal mulai menjangkiti manajemen BPD, terutama pasca otoritas meluncurkan program menjadi jawara di daerah.
Meski begitu, keinginan itupun tak mudah diwujudkan. Banyak pemerintah daerah khawatir jika BPD melakukan penawaran umum saham perdana justru akan mengikis kepemilikan mereka di bank. Sampai sekarang baru dua BPD yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), yaitu PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) dan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (BJTM).
Lalu bagaimana BPD mau berperan lebih besar pada perekonomian jika modalnya selalu pas-pasan? Singkat kata, meski program BRC sudah dibilang cukup berhasil, namun tetap harus disinambungkan agar cita-cita BPD menjadi mesin pendorong pertumbuhan pembangunan daerah di segala bidang bisa terus berlanjut. Jadi perlukah diluncurkan program BRC tahap kedua? Jawaban yang paling mungkin adalah perlu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar