Kata-kata dari judul di atas saya ambil
dari buka biografi Steve Jobs, yang ditulis dengan sangat brilian oeh Walter Isaacson, mantan
redaktur pelaksana Majalah Time.
Dalam buku itu, pendiri Apple, perusahaan paling bernilai abad ini, dinilai
seorang yang sangat ahli dalam distorsi realitas lapangan.
Lewat cerita dari orang yang dekat dengan
Jobs, Isaacson dalam buku itu menulis, bahwa distorsi realitas lapangan merupakan perpaduan mengagumkan
antara dari gaya retorika yang karismatik, kemauan yang tak terkalahkan dan
keinginan untuk mengubah fakta apa pun agar sesuai dengan tujuan yang ada.
Kini, di Indonesia,
fenomena itu tengah terjadi. Hari-hari belakangan,
sadar atau tidak kita sering menemukan apa yang diutarakan Isaacson terkait salah satu ‘kehebatan’ Jobs tersebut.
Selentingan kabar, sebaris postingan, broadcasting
di gadget, status-status di media sosial, kini dipenuhi dengan kisah, cerita
yang kerapkali tampak nyata.
Atau hal lain, isu-isu negatif yang
buru-buru dijawab dengan iklan gencar yang diniatkan untuk menganulir kenyataan
itu agar tidak menjadi sebuah file
dalam kepala orang-orang yang melihatnya, termasuk kita. Sebaliknya, jika itu
sesuatu yang menguntungkan, maka disebarkanlah hal itu ke segala arah dengan
harapan makin banyak orang yang suka, kesengsem,
dan akhirnya memilih calon presiden dan wakil presiden yang diusungnya.
Fakta, dengan kehebatan
para ahli yang berjejer di belakang tim sukses calon presiden, serta merta bisa
berubah menjadi sesuatu yang baik atau buruk tergantung keinginan dan
kepentingan. Padahal awalnya, fakta atau kenyataan sejatinya adalah sesuatu
yang netral dan bebas nilai. Namun ketika berkawin-mawin dengan sudut pandang
dan kepentingan, hal itu berubah menjadi sesuatu yang berpihak.
Pemilihan umum untuk menentukan Presiden
kali ini memang sangat spesial. Belum ada sepanjang sejarah pemilu presiden di
negeri ini, hanya ada dua pasang calon yang saling berhadap-hadapan. Di satu
sisi, ini menarik, karena pemilu akan lebih efisien tanpa harus berlangsung dua
putaran. Namun di sisi lain, polarisasi pendukung menjadi kian nyata dan tidak
lagi cair, bahkan cenderung menegang.
Pengkutuban pendukung, mau tidak mau membuat
informasi yang mengalir ke publik mengenai satu pasangan calon presiden akan
buru-buru mendapat respons dari kubu seberang. Seringkali inilah yang membuat sebagian orang jengah. Semua berita, informasi,
keterangan terlihat tampak nyata buat kebanyakan orang. Akan tetapi ketika
mendapat sanggahan, orang-orang –dari pihak yang netral, akhirnya mulai berpikir ulang
apakah informasi itu adalah fakta yang shahih atau tidak.
Bagi orang-orang yang belum menentukan
pilihannya, kondisi jelas membuat mereka makin bingung yang akhirnya bisa
membawa mereka kepada keputusan untuk tidak memilih. Akan tetapi bagi yang sudah memiliki
preferensi, informasi apapun tidak akan mengubah pilihannya.
Dalam ilmu ekonomi, preferensi adalah
sesuatu yang mendorong seseorang melakukan tindakan ekonomi. Preferensi –seperti dikutip dari wikipedia, mengasumsikan pilihan realitas atau imajiner antara alternatif-alternatif dan kemungkinan
dari pemeringkatan alternatif tersebut, berdasarkan kesenangan, kepuasan,
gratifikasi, pemenuhan kebutuhan, kegunaan yang ada.
Lalu apa yang mendorong
para pendukung fanatik itu? Tentu salah satu dari unsur itu. Tidak ada yang
misalnya, melihat kemampuan calon dalam mengelola anggaran atau kemampuan
mereka dalam menghadapi kepentingan asing yang kerap meminggirkan kepentingan
nasional. Tetapi ya sudahlah, semua kenyataan di lapangan sudah terdistorsi
sedemikian rupa.
Dalam buku biografi Jobs,
Isaacson juga menjelaskan bahwa definisi singkat distorsi realitas lapangan adalah pemutarbalikan suatu fakta. Jika kemudian Jobs, bisa
membawa Apple menjadi perusahaan teknologi dengan kemampuannya mendistorsi
realitas lapangan, lalu apakah Indonesia bisa dibawa menjadi negara yang
dihormati di dunia dengan kemampuan calon-calon presidennya dalam hal itu?
Tentu terlalu berisiko untuk
mengiyakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar