Keinginan untuk menciptakan sebuah bank berskala besar dan mampu
bersaing di tingkat regional sejatinya mulai mendekati kenyataan. Namun keputusan untuk menyatukan Bank Mandiri dan BTN
tampaknya akan membentur tembok besar.
Sudah sekian lama industri
perbankan Indonesia seperti tak terlihat dalam peta persaingan sektor keuangan
regional, apalagi dunia. Kompetitor-kompetitor dari negeri jiran terutama
Singapura dan Malaysia, adalah tabir
penghalang pandangan teropong finansial dunia ke Indonesia. Ironisnya, bank-bank negara tetangga itu, dalam
beberapa belas tahun pasca pulihnya sektor keuangan nasional dari krisis
moneter ’98, justru banyak menggarap lahan perbankan di Tanah Air.
Kini, upaya untuk memunculkan titik pada peta industri keuangan dunia
muncul lagi setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan
mengungkapkan, pada bulan lalu, akan menyatukan dua bank pemerintah yang selama
ini memang dirumorkan akan digabungkan. Kedua bank itu adalah Bank Mandiri dan
Bank Tabungan Negara.
“Kehebatan BTN dengan Mandiri,
Indonesia langsung punya bank yang melebihi bank di Malaysia. Selama ini bank
kita nggak masuk peta Asia Tenggara. Bank terbesar pertama ya Singapura,
terbesar kedua Malaysia, terbesar ketiga ya Thailand,” kata Dahlan.
Sebelum rencana mengagetkan itu diutarakan Dahlan, beberapa bulan terakhir
memang sudah berkembang isu bahwa BTN akan disatukan dengan bank BUMN lainnya
yaitu Bank Mandiri atau BRI. Kedua bank yang disebut terakhir itu memang sudah
terang-terangan siap mengakuisisi BTN yang menguasai pasar kredit perumahan.
Dan rumor itu akhirnya beroleh kejelasan setelah pemegang saham
mayoritas yaitu pemerintah dalam hal ini
diwakili Kementerian BUMN, menyebut BTN bakal diakuisisi Bank Mandiri. “BTN menjadi anak usaha Mandiri. Jadi BTN nggak dihilangkan dan nggak dilebur tapi
diperkuat. Ini masih tahap awal tapi akan dijalankan,” kata Dahlan.
Walaupun, skema akuisisi tersebut belum terang karena
masih digodok oleh pemerintah namun hitung-hitungan dampak penggabungan itu
bagi bisnis perbankan dan perekonomian sudah bisa tampak nyata.
BTN adalah bank yang sedari awal berdiri tahun 1974 ditugaskan untuk
membiayai sektor perumahan yang menjadikannya
hingga kini, sebagai jawara di sektor kredit pemilikan
rumah (KPR).
Hanya saja, dengan modal saat ini, BTN terlihat sulit untuk terus menyediakan pembiayaan
perumahan karena masih ada kekurangan
penyediaan rumah dibandingkan kebutuhan yang ada (backlog) sebanyak 15 juta unit. “BTN harus dapat kuda besar, jangan
lari kencang naik keledai," kata Dahlan.
Dan kuda besar yang dimaksud
adalah Bank Mandiri. Berdasarkan laporan keuangan 2013, BTN memiliki aset
senilai Rp 131,2 triliun. Sementara Bank Mandiri masih menjadi bank dengan aset
terbesar di Indonesia, yaitu Rp 733,1 triliun. Dengan campur tangan Bank
Mandiri, BTN diharapkan bisa penuhi permintaan perumahan.
Sementara keuntungan lainnya,
pasca akuisisi BTN, Bank Mandiri akan menjadi sebuah bank berskala besar yang diharapkan bisa bersaing di level regional, seiring
dimulainya ASEAN Economic Community 2015.
Lantas apakah niat menjadikan
BTN lebih besar dan jalan Bank Mandiri lebih lapang untuk bersaing di pasar
global berjalan mulus? Jawaban sekenanya tentu saja tidak jika melihat beragam
aksi dan pandangan yang menolak proposal akusisi tersebut. Alasannya, sejarah
BTN dengan core business di
pembiayaan rumah murah akan hilang jika diambil Bank Mandiri. Isu lain lebih ke
persoalan strukturan seperti kekhawatiran terjadi PHK dan pengurangan gaji.
Lebih dasyat lagi adalah pendapat yang mengkhawatirkan
terjadinya politisasi dari kebijakan akusisi ini. Pasalnya, Menteri Dahlah
sendiri merupakan salah satu peserta konvensi calon presiden di partai penguasa
saat ini. Ditakutkan proses akuisisi tersebut hanya dijadikan bancakan politik
dalam memuluskan proses pencapresan tersebut.
“Karena setiap pemilihan presiden
selalu ada sektor keuangan yang jadi korban. Mulai dari privatisasi jelang
pemilu 1999, kasus pajak BCA jelang 2004, dan skandal Century di 2008. Jangan
sampai akusisi BTN jadi mainan capres 2014,” kata pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsi.
Sejatinya baik visi bisnis
yang posisif dan beragam pandangan yang mengkhatirkan politisasi terkait proses
akusisi ini merupakan sesuatu dialektika yang wajar dan sama-sama mempunyai
manfaat bagi para pengambil keputusan. Terutama bahwa adal peringatan untuk
lebih mengutamakan kajian yang kuat dari sisi manajemen risiko, sebeluh
keputusan akusisi benar-benar diambil secara bulat.
Butuh Kuda Besar
Untuk mengingat kembali,
rencana akuisi BTN sejatinya merupakan isu lama yang kembali bergulir. Pada
tahun 2005, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) berencana mengakuisisi saham
pemerintah di BTN. Saat itu Menteri BUMN dijabat oleh Sugiharto. Sugiharto
menyebut proses akuisisi akan tuntas akhir 2005. Namun hingga berjalannya
waktu, rencana akuisisi menguap.
Setelah tenggelam beberapa
tahun, rumor akuisisi BTN kembali muncul ke permukaan pada awal 2014. Kali ini
diisukan BTN bakal diakuisisi oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) dan Bank
Mandiri. Namun rumor ini sempat dibantah oleh kedua perbankan termasuk juga
pemegang saham mayoritas yakni Kementerian BUMN.
Namun rumor kemakin santer
pada pertengahan April 2014. Seorang pejabat Kementerian BUMN membenarkan
akuisisi BTN. Mandiri sebagai kandidat kuatnya. Bahkan setelah akuisisi BTN
selanjutnya dilanjutkan proses akuisisi BNI oleh Bank Mandiri.
Kepastian akusisi BTN
akhirnya menuai titik terang. Menteri BUMN Dahlan Iskan mengumumkan rencana
akuisisi BTN pada tanggal 17 April 2014. Dahlan menyebut 2 kandidat perbankan
BUMN yang akan mengakuisisi BTN. Bank BUMN tersebut adalah Bank Mandiri dan
BRI. Namun Dahlan lebih condong ke Bank Mandiri.
Pasalnya akuisisi BTN tidak
hanya untuk memperbesar kemampuan BTN di dalam pembiayaan sektor
perumahan. Sebab BTN sebagai anak usaha
Bank Mandiri bakal memiliki kemampuan permodalan yang lebih kuat. BTN akan
memperoleh suntikan dari induk.
Maka dari itu, Dahlan tidak
gentar meski mendapat penolakan dari banyak pihak, salah satunya adalah pegawai
BTN yang sudah merapatkan barisan menolak rencana pembelian saham antar dua
bank itu. Dijelaskan dia, dalam aksi korporasi ini sebenarnya BTN yang merasa
butuh untuk dicaplok oleh bank besar. Karena BTN bisa tumbuh besar jika dibeli
oleh saudaranya yang lebih besar.
Selain itu, Bank Mandiri
sebagai induk juga akan tumbuh besar pasca akuisisi. Bank Mandiri akan menjadi
jawara regional yang berpeluang mengalahkan
pesaing-pesaingnya
di ASEAN. Saat ini total saham pemerintah
di BTN mencapai 60,14 persen dan sisanya dimiliki oleh publik. Saham pemerintah
itu yang akan dialihkan ke Bank Mandiri.
Dari sisi aset, masuknya BTN
dalam konsolidasi akan memperbesar aset mandiri mendekati Rp1.000 triliun.
Pasalnya, dengan aset BTN yang sebesar Rp 131,2 triliun, ditambah aset Bank
Mandiri sebesar Rp 733,1 triliun, maka konsolidasi aset Mandiri melampaui Rp850
triliun. Kondisi ini bisa menjadikan Mandiri lebih percaya diri di ranah
global.
Pengamat Ekonomi Aviliani pun
mengakui akusisi bank BTN oleh Mandiri akan mampu mendorong terciptanya bank
BUMN yang bisa bersaing di tingkat internasional. “Justru menguatkan BTN itu
sndiri.” Namun ia menyayangkan komunikasi yang masih kurang, sehingga banyak
menimbulkan keresahan atau salah paham, termasuk tuntutan dari serikat buruh.
Dukungan juga datang dari
bank sentral, yang memang sangat mendambakan terjadinya konsolidasi perbankan
agar lebih efisien. Seperti dikatakan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW
Martowardojo, bahwa konsolidasi perbankan dapat meningkatkan daya tahan
perbankan nasional.
Dia menyebutkan sejumlah
peningkatan kesehatan dari konsolidasi ini, antara lain sisi modal, manajemen
baik, dan pertumbuhan dengan prinsip kehati-hatian. Meski begitu bank sentral
menyerahkan sepenuhnya pada dua institusi terkait. Sebab, kegiatan merger atau
akuisisi hanya dapat terwujud jika ada potensial pembeli dan potensial penjual.
"Jadi keduanya harus harmonis. kalau diyakini memberi nilai tambah, mereka
akan memberi keputusan mengenai hal ini," tambah dia.
Secara umum, BI sebagai
otoritas makroprudensial menilai rasio kecukupan modal perbankan dalam kondisi
baik di level 19,78 persen. Begitu juga rasio kredit bermasalah atau non
performing loan/NPL yakni di tingkat 1,99 persen. Posisi CAR Mandiri di 2013
berada di level 14,93 persen dengan rasio NPL net 0,58 persen. Sementara CAR
BTN di 2013 sebesar 15,62 persen dengan rasio NPT net 3,04 persen.
Sementara itu para pelaku perbankan juga
mendukung rencana pemerintah melepas saham di BTN kepada Bank Mandiri.
Dikatakan Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono
menyatakan akuisisi Bank Mandiri terhadap BTN akan menguntungkan kedua bank
tersebut.
Saat ini BTN memiliki
kekuatan dalam hal penyaluran KPR. Sementara Bank Mandiri di sektor korporasi,
sehingga perusahaan bisa lebih memperluas cakupan bisnisnya. "Kedua bank tersebut bisa bersinergi dengan sangat bagus dan
saling melengkapi satu dengan yang lain," kata dia.
Sebagai bank dengan fokus pada kredit
perumahan, BTN selama ini terus terkendala modal dan sumber pendanaan yang kian
terbatas. Hal ini tercermin dari tingginya tingkat loan To deposit ratio (LDR) yang mencapai 104,4 persen di atas
ketentuan BI. Selama 2013, total dana pihak ketiga BTN
sebesar Rp 96,2 triliun di mana mayoritas yaitu 54,9 persen
merupakan dana mahal.
Kekurangan-kekurangan itulah yang dinilai bisa ditutupi oleh Bank Mandiri yang memiliki kekuatan modal dan sumber
dana pihak ketiga yang besar. Sampai 2013, Mandiri memiliki modal sebesar Rp 82,4 triliun, yang terbesar
di antara Bank BUMN lainnya. Sementara dari total dana
pihak ketiga mencapai Rp 556,3 triliun di tahun 2013, dan sekitar 60 persnnya atau Rp359,9 triliun merupakan dana murah.
Di sisi lain, kalangan pelaku
perbankan juga menilai akuisisi Bank
Mandiri terhadap BTN juga akan menguntungkan pemerintah. Dengan melepas saham
pemerintah ke bank BUMN, pemerintah akan tetap memiliki kontrol penuh terhadap
fungsi dan peran strategis BBTN sebagai bank yang fokus mendukung penyediaan
rumah bagi masyarakat.
Analis IndoPremier Securities
Stephan Hasjim mengungkapkan BTN dan Bank Mandiri akan sama-sama diuntungkan
dari proses akuisisi. Bank Mandiri akan bisa memperluas portofolio kredit
ritel, terutama KPR. Akuisisi ini juga sejalan dengan rencana strategis Bank
Mandiri selama lima tahun (2009-2014). Pada periode tersebut, Mandiri
menargetkan porsi kredit ritel naik menjadi 40 persen di tahun 2014. Pada tahun
2013 lalu, porsi kredit ritel Bank Mandiri telah mencapai 31 persen.
Diakui Direktur Utama Bank
Mandiri Budi Gunadi Sadikin, bahwa masuknya Bank Mandiri ke bisnis kredit
retail seperti KPR justru akan memperkuat portofolio bisnis perseroan. "Belajar
dari krisis 1998, 2003, 2005, 2008. Jangan punya portofolio hanya satu. Dulu
bank pemerintah yang fokus korporasi jatuh. Jangan jatuh di satu portofolio.
Nanti dia bahaya. Dia harus diversifikasi. Bukan untuk ambisisi. Ini masalah
diversifikasi,” terang dia.
Menjawab kekhawatiran pegawai
BTN, Budi menjelaskan akan ada koordinasi dan komunikasi dengan jajaran direksi
hingga karyawan BTN. Hal ini dilakukan supaya proses akuisisi berjalan lancar.
Dalam hal ini Budi memastikan tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Sigit, dari Perbanas menambahkan bahwa mengingat aksi bisnis ini merupakan
akuisisi, bukan proses penggabungan (merger) maka karyawan BTN tidak perlu
khawatir, sebab akuisisi ini justru akan lebih menguatkan BTN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar