Senin, 22 September 2014

Great Expectation?

Indonesia dipastikan akan memiliki Presiden baru setelah otoritas pemilihan umum resmi mengumumkan pemenang dari kontes politik tahun ini. Ekspektasi tinggi sudah barang tentu menyelimuti pasangan Jokowi-JK, tetapi tantangan mereka juga tak kalah besar.

Pemilihan Presiden kali ini tidak bisa tidak merupakan sebuah pemungutan suara yang magnitude paling besar sepanjang sejarah pemilihan umum langsung di Indonesia. Dua pasang kandidat yang berhadap-hadapan tak pelak menarik perhatian seluruh orang di Indonesia, bahkan dunia, setidaknya di kawasan Asia.
Setelah melalui proses kampanye yang menegangkan sampai pada waktu pengumuman resmi dari otoritas pemilu, kini, Presiden terpilih sudah ditetapkan: Joko Widodo. Banyak orang mengatakan inilah milestone penting bagi perjalanan kehidupan berdemokrasi di negeri ini.
Tidak hanya itu, terpilihnya Jokowi yang berpasangan dengan mantan wakil Presiden 10 tahun lalu Jusuf Kalla, memunculkan banyak harapan. Selain karena citra yang diembannya selama ini yaitu pemimpin yang bekerja, yang sederhana dan merakyat, pasangan itu juga dianggap bisa membawa banyak perubahan.
Perlombaan kali ini memang menyimpan harapan besar bagi Indonesia karena Presiden terpilih akan menggantikan pemerintahan yang sudah 10 tahun berkuasa dan dinilai tidak memenuhi ekspektasi ekonomi sebagian besar rakyat. Oleh karena itu, ekspektasi tinggi tentu akan disematkan kepada siapapun yang menang pada pemilu kali ini.
Kendati begitu, ekspektasi tinggi tersebut akan dibarengi dengan munculnya tantangan besar dari pemerintahan baru yang akan dipimpin pasangan yang beken disebut Jokowi-JK. Salah satunya adalah tantangan dari parlemen.
Seperti diketahui, pasangan Jokowi-JK didukung oleh koalisi beberapa partai yang jika dihitung berdasarkan persentase dukungan pada pemilu legislataif mencapai sekitar 40 persen. Sebaliknya pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sang rival, memiliki persentase dukungan partai lebih banyak, sebesar lebih dari 60 persen. Kondisi itu tentu berimbas pada dukungan Jokowi-JK di Senayan yang akan menghadapi anggota parlemen yang notabene merupakan partai lawan.
Hal inilah yang menjadi perhatian banyak pihak terkait kebijakab-kebijakan yang akan ditelorkan oleh pemerintah mendatang.
Jadi, sebetulnya, pasar dalam jangka menengah lebih suka jika yang menang adalah pasangan Prabowo-Hatta mengingat kebijakan-kebijakannya akan mendapat dukungan lebih banyak di DPR. Diungkapkan oleh ekonom Standard Chartered Bank, Eric Alexander Sugandi, jika Prabowo yang terpilih maka kebijakan ekonomi akan lebih smooth karena dukungan parlemen lebih besar. “Prabowo akan punya support lebih besar di DPR. Dan itu yang dibutuhkan pasar. Kritik mungkin akan banyak ditujukan ke pemerintahan dia tapi pasar pada dasarnya menginginkan Presiden yang didukung oleh parlemen yang kuat,” kata Eric.
Meski demikian karena citra yang dipublikasikan oleh media terhadap pasangan Jokowi-JK maka pasangan itu kemudian lebih populer. “Dalam jangka menengah pasar akan sadar bahwa efektivitas pemerintah akan lebih baik jika didukung DPR tetapi karena ada ekspektasi bahwa Jokowi lebih populer karena dicitrakan seperti itu, maka pasar juga mendukung,”kata Eric.
Dan kini, jika tidak ada perubahan manuver politik, pemerintahan akan berhadapan dengan parlemen yang lebih dominan. Akan tetapi beberapa waktu belakangan berhembus kabar bahwa koalisi permanen yang dibangun oleh partai-partai pendukung pasangan calon Presiden Prabowo-Hatta mulai keropos karena ada partai yang membelot.
Eric mengatakan bahwa hal itu tentu akan menguntungkan pemerintahan Jokowi dalam memuluskan program-program dan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonominya.
“Itu (partai pembelot) akan menguntungkan dia (Jokowi). Apalagi dengan dukungan media-media besar yang selama ini di belakang dia serta pendukung yang selama ini ada. Jadi tantangan global akan relatif bisa ditangani meskipun kebijakannya juga menurut saya tidak akan jauh beda dengan yang diterapkan oleh Prabowo jika dia menang,” jelas Eric.
Selain di parlemen, pemerintahan baru juga akan menghadapi tantangan ekonomi di antaranya defisit fiskal, sektor infrastruktur dan yang paling fenomenal adalah soal subsidi. Selain itu juga yang paling dekat akan dihadapi oleh pasangan Presiden ke-7 itu adalah soal anggaran.
Menurut mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil, tantangan yang paling dekat dihadapi oleh pemerintahan baru adalah masalah anggaran, terutama defisit anggaran karena beban subsidi besar yang selama ini dipikul anggaran. “Apalagi sangat dikhawatirkan jika minyak dunia naik, maka anggaran subsidi kita jauh akan naik,”kata dia.
Pemerintah baru akan ditantang dengan persoalan yang sangat sensitif sekaligus pelik dalam memutuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selama bertahun-tahun pemerintah yang berkuasa selalu menghadapi masalah itu dan kadang membuat mereka terpeleset. Masalah yang mengemuka adalah bagaimana mengalokasikan dana subsidi BBM tepat sasaran dan subsidi BBM harus diberikan pada orang yang membutuhkan.
Sebelum proses pemilihan Presiden digelar, dan ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI, Jokowi pernah berujar bahwa bensin sudah tidak lagi layak disubsidi dan melontarkan gagasan untuk menghapusnya secara bertahap selama 4 tahun dengan menaikkan harga setiap tahun. “Saya kira empat tahun lah, subsidi BBM tadi empat tahun tapi berjenjang. Kurang kurang lalu hilang," kata Jokowi saat menghadiri Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional, April lalu.
Caranya dengan menghitung besaran angka kenaikan harga BBM subsidi per tahun, dihitung dari selisih harga BBM yang disubsidi dengan harga keekonomian dibagi selama 4 tahun. Sehingga pada tahun kelima, pemerintah tidak perlu sediakan anggaran untuk BBM bersubsidi.
Pada tahun ini anggaran subsidi mencapai Rp210,7 triliun.

Pajak dan Lain-Lain

Selain soal subsidi, tantangan pelik lain yang juga akan menjadi ujian bagi pemerintah baru adalah soal pajak. Sampai saat ini, urusan penerimaan negara memang masih menjadi polemik karena dianggap masih relatif rendah jika dibandingkan potensi yang ada, terutama untuk pajak pribadi. Di sisi lain kebocoran yang terjadi juga masih besar.
“Banyak potensi pajak yang harus kita gali. Jadi butuh pemerintah yang efektif. Pemerintahan efektif itu dilihat dari bagaimana kemampuan Presiden dan menteri mengeksekusi. Kabinet akan datang harus diisi oleh kabinet yang memiliki kapasitas,” kata Sofyan Djalil yang kini tetap aktif di Komite Nasional Good Corporate Governance.
Bukan hanya defisit dan pajak, pemerintahan pengganti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihadapkan pada masalah biaya logistik yang masih dianggap mahal. Rencana pemerintahan SBY membangun tol tidak berjalan mulus. "Masak biaya logistik ke Amsterdam lebih murah daripada ke Papua," kata Sofyan.
Saat ini, pembangunan yang berjalan tidak sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang karena kendala infrastruktur dan kreativitas. “Salah satu masalah yang mengganggu adalah masalah subsidi. Selain itu, pendidikan,” ujar dia.
Dia beranggapan banyak pihak yang mempersoalkan pendidikan karena peran Presiden dalam pendidikan tidak terlalu impresif. “Di sini dibutuhkan Presiden yang mampu membentuk tim yang kompeten," ujarnya.
Presiden baru juga akan menghadapi persaingan secara regional dan global terutama ketika gong diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN resmi dipukul tahun depan. Oleh karena, banyak pengamat yang mewanti-wanti soal situasi ekonomi tahun 2015 yang akan semakin pelik. Untuk itulah, siapapun yang akan menjadi Presiden dan wakil Presiden akan dihadapkan pada hambatan yang cukup rumit, terutama dari sisi defisit anggaran.
Menurut pengamat ekonomi Imam Sugema, salah satu isu sentral dalam bidang ekonomi yang akan langsung dihadapi Presiden 2014 antara lain defisit primer. Sejak tahun 2012-2013, nilai defisit primer semakin membesar dari Rp 52 triliun-Rp 89 triliun (2013) dan akan diubah dalam APBNP tahun 2014 sekitar Rp115 triliun. “Indonesia tidak pernah mengalami defisit primer, baru setelah tahun 2012 Indonesia mengalami defisit primer dan ini berimpilikasi di mana Indonesia sedang menghadapi risiko likuiditas,” kata dia.
Untuk itu, lanjut Iman, Presiden mendatang haruslah sosok atau figur yang market friendly. Persoalan kedua ialah penerimaan pajak yang masih relatif rendah saat tahun 2008 lalu sebesar 13,3 persen dan dalam APBNP tahun 2014 sebesar 12,24  persen. Lebih lanjut, Imam mengatakan penerimaan pajak Indonesia sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara Vietnam sebesar 22,3 persen (2012) dan hanya dalam tiga tahun menanjak dari 16 persen menjadi 21 persen.
Tax ratio Indonesia lebih rendah dibanding Filipina, Tiongkok, dan Vietnam. Artinya, pemerintah saat ini sangat malas untuk menggali potensi pajak. Padahal, pemerintah sudah gembar-gembor (melakukan) reformasi pajak,” kata Iman.
Sementara itu, soal khusus soal anggaran, pemerintahan baru belum akan bisa berbuat banyak mengimplementasikan program-program yang digembar-gemborkan saat kampanya. Pasalnya anggaran yang ada masih merupakan hasil program pemerintahan lama yang belum tentu sejalan dengan yang baru.
Oleh karena itu, banyak pihak meminta agar Presiden terpilih berhati-hati dalam menjalankan programnya terutama pada 100 hari pertama.
“Presiden harus hati-hati, mungkin tidak bisa langsung jalankan program-programnya, karena masalah anggaran. Jadi, untuk 100 hari kerja, haru lihat dulu anggarannya ada atau tidak sebab APBN yang menyusun adalah pemerintahan sekarang,” ujar Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Firmanzah.
Selain melihat anggaran program 100 hari itu, Presiden juga harus memperhatikan anggaran berjalan yang sudah dipatok hingga akhir tahun. “Jadi, Presiden selama 6 bulan berjalan, harus memakai APBN yang sudah dipatok Presiden dan DPR sekarang ini, itu pula yang harus dicocokkan dengan Presiden baru,” katanya.
Di bidang ekonomi, Presiden baru memang harus kerja cepat menyesuaikan dengan kondisi yang ada dan dihadapi bangsa Indonesia. Pada 2015, Indonesia juga harus menghadapai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), di situ Presiden dituntut untuk memberikan kebijakan yang ditempuh untuk pasar bebas ASEAN tersebut. “Yang ditunggu publik adalah kebijakan apa yang ditempuh Presiden, aturan baru, juga kebijakan tentang usaha kecil dan menengah (UKM), dan stimulus fiskal apa yang diberikan,” ujar Firmanzah.
Dikatakan pula, awal November Indonesia harus ikut pertemuan G20 (Kelompok Negara 20) yang akan mengadakan pertemuan di Australia. Presiden baru kita di sana harus duduk bersama sejajar dengan Kanselir Jerman Angela Merkel, PM Inggris David Cameron, dan pemimpim negara maju lainnya, untuk didengar bagaimana pandangan Indonesia, yang selama ini sangat didengar.
“Jadi, Presiden terpilih sudah tidak ada waktu lagi fase belajar , karena harus menghadapi pertemuan G-20 itu. Sepuluh hari efektif, Presiden harus mempersiapkan untuk pertemuan itu, karena memang sangat ditunggu oleh negara-negara maju,” katanya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar