Banyak orang yang menyayangkan situasi politik yang
berkembang sekarang, di mana dua pasang calon presiden dan wakilnya yang
bertarung sekarang membuat kondisi kian memanas. Meski begitu, banyak hikmah
yang bisa diambil dari pelajaran demokrasi ini. Indonesia memang tengah belajar
berdemokrasi, karena cara pengambilan keputusan itu bukanlah sesuatu yang asli
dari Tanah Air. Tradisi demokrasi lahir di negara-negara barat ketika Yunani
pertama kali mempraktikkannya.
Terbukti dari kata “demokrasi” yang berasal dari dua kata
Yunani, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang
berarti pemerintahan.
Selama ini, Indonesia memang masih mendapatkan
pelajaran-pelajaran yang buruk mengenai demokrasi, kendati begitu bukannya tidak
ada pelajaran baik yang bisa dan telah diambil. Contohnya adalah kontestasi dalam
pemilihan presiden kali ini. Sejatinya kita sudah belajar pada pemilihan
Gubernur DKI Jakarta yang pada saat itu juga hanya menghadirkan dua pasang
calon. Setelah Gubernur terpilih berkuasa, seharusnya pihak yang dikalahkan dan
pendukungnya menjadi pengawas bagi pelaksana janji-janjinya.
Kita–rakyat, kalau boleh saya generalisasi
demikian–sesungguhnya diuntungkan oleh
kondisi persaingan yang hanya menghadirkan dua kandidat ini. Semua calon telah
menjanjikan hal-hal yang baik buat Indonesia, bahkan hampir semua hal baik
telah dirangkum. Dan rakyat tinggal menunggu saja hasilnya dan juga menunggu
realisasi janji-janji. Untuk yang calonnya tidak terpilih, bisa memilih peran mengawasi
pelaksanaan janji-janji itu. As easy as
that.
Selain itu, polarisasi partai pendukung dari dua pasang
calon presiden dan wakil presiden, serta massa pendukungnya sebetulnya bisa
keuntungan kehidupan politik di Indonesia. Boleh jadi setelah pemilihan umum
dilaksanakan dan diumumkan pemenangnya maka pasangan yang kalah langsung
memproklamirkan diri menjadi pihak oposisi yang siap mengkritisi dan mengawasi
jalannya pemerintahan. Juga mengawasi pelaksanaan janji-janji waktu kampanye.
Pengkutuban dua pihak yang lebih permanen pasca pemilihan
presiden sesungguhnya juga menguntungkan rakyat. Karena itu berarti ada pihak
formal dan kuat yang mengatasnamakan rakyat juga dan mengambil posisi sebagai
pengawas jalannya pemerintahan.
Istilah oposisi memang kurang beken dalam percaturan politik
di Indonesia, tapi bukan berarti hal itu tidak dipraktikkan. Pada awalnya,
politik di Amerika Serikat juga tidak mengenal adanya oposisi. Pasca deklarasi
kemerdekaan 4 Juli 1776, koloni-koloni Amerika memutuskan untuk bergabung
dengan berbagai kekuatan Eropa untuk memerintah wilayah AS secara efektif dalam
sebuah pemerintahan federal. Singkat cerita, muncul Partai Federalis yang
dibawa oleh Alexander Hamilton yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya
Partai Republik dan Partai Anti-federalis Democratic Republican yang dibawa
oleh Thomas Jefferson yang selanjutnya menjadi dasar terbentuknya partai
demokrat saat ini. Sejak presiden kedua, politik AS sudah terbagi menjadi dua
kubu Demokrat dan Republik.
Nah, jika kita
memang mau mengikuti politik a la
Demokrasi, maka tidak salah jika kita juga mencoba membagi dua kubu saja partai
politik yang ada, partai berkuasa dan partai oposisi, seperti di Negara Paman
Sam sana.
Akan tetapi, kita sudah menjadi terbiasa untuk mengikuti sesuatu
dengan setengah-setengah. Kadangkala
kita malah mengikuti hanya di permukaannya saja hanya agar dicitrakan bahwa
kita adalah yang kita ikuti. Begitu juga dengan demokrasi.
Karena sejak mengadopsi pola pemilihan langsung untuk
presiden dan wakil presiden, tampaknya kita belum menerima hal betul-betul
hikmah yang baik dari demokrasi, misalnya pemimpin yang terbaik. Atau memang
benar pameo yang sering dikatakan orang bahwa demokrasi memang tidak
menyediakan seorang pemimpin terbaik. Ia hanya menyiapkan pemimpin yang dipilih
oleh lebih banyak orang. Bahkan kalau seekor kambing yang dipilih maka kambinglah
yang akan memimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar