Senin, 22 September 2014

Menuju Polarisasi Permanen

Banyak orang yang menyayangkan situasi politik yang berkembang sekarang, di mana dua pasang calon presiden dan wakilnya yang bertarung sekarang membuat kondisi kian memanas. Meski begitu, banyak hikmah yang bisa diambil dari pelajaran demokrasi ini. Indonesia memang tengah belajar berdemokrasi, karena cara pengambilan keputusan itu bukanlah sesuatu yang asli dari Tanah Air. Tradisi demokrasi lahir di negara-negara barat ketika Yunani pertama kali mempraktikkannya.
Terbukti dari kata “demokrasi” yang berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan.
Selama ini, Indonesia memang masih mendapatkan pelajaran-pelajaran yang buruk mengenai demokrasi, kendati begitu bukannya tidak ada pelajaran baik yang bisa dan telah diambil. Contohnya adalah kontestasi dalam pemilihan presiden kali ini. Sejatinya kita sudah belajar pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang pada saat itu juga hanya menghadirkan dua pasang calon. Setelah Gubernur terpilih berkuasa, seharusnya pihak yang dikalahkan dan pendukungnya menjadi pengawas bagi pelaksana janji-janjinya.
Kita–rakyat, kalau boleh saya generalisasi demikian–sesungguhnya  diuntungkan oleh kondisi persaingan yang hanya menghadirkan dua kandidat ini. Semua calon telah menjanjikan hal-hal yang baik buat Indonesia, bahkan hampir semua hal baik telah dirangkum. Dan rakyat tinggal menunggu saja hasilnya dan juga menunggu realisasi janji-janji. Untuk yang calonnya tidak terpilih, bisa memilih peran mengawasi pelaksanaan janji-janji itu. As easy as that.
Selain itu, polarisasi partai pendukung dari dua pasang calon presiden dan wakil presiden, serta massa pendukungnya sebetulnya bisa keuntungan kehidupan politik di Indonesia. Boleh jadi setelah pemilihan umum dilaksanakan dan diumumkan pemenangnya maka pasangan yang kalah langsung memproklamirkan diri menjadi pihak oposisi yang siap mengkritisi dan mengawasi jalannya pemerintahan. Juga mengawasi pelaksanaan janji-janji waktu kampanye.
Pengkutuban dua pihak yang lebih permanen pasca pemilihan presiden sesungguhnya juga menguntungkan rakyat. Karena itu berarti ada pihak formal dan kuat yang mengatasnamakan rakyat juga dan mengambil posisi sebagai pengawas jalannya pemerintahan.
Istilah oposisi memang kurang beken dalam percaturan politik di Indonesia, tapi bukan berarti hal itu tidak dipraktikkan. Pada awalnya, politik di Amerika Serikat juga tidak mengenal adanya oposisi. Pasca deklarasi kemerdekaan 4 Juli 1776, koloni-koloni Amerika memutuskan untuk bergabung dengan berbagai kekuatan Eropa untuk memerintah wilayah AS secara efektif dalam sebuah pemerintahan federal. Singkat cerita, muncul Partai Federalis yang dibawa oleh Alexander Hamilton yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Partai Republik dan Partai Anti-federalis Democratic Republican yang dibawa oleh Thomas Jefferson yang selanjutnya menjadi dasar terbentuknya partai demokrat saat ini. Sejak presiden kedua, politik AS sudah terbagi menjadi dua kubu Demokrat dan Republik.
Nah, jika kita memang mau mengikuti politik a la Demokrasi, maka tidak salah jika kita juga mencoba membagi dua kubu saja partai politik yang ada, partai berkuasa dan partai oposisi, seperti di Negara Paman Sam sana.
Akan tetapi, kita sudah menjadi terbiasa untuk mengikuti sesuatu dengan setengah-setengah. Kadangkala kita malah mengikuti hanya di permukaannya saja hanya agar dicitrakan bahwa kita adalah yang kita ikuti. Begitu juga dengan demokrasi.

Karena sejak mengadopsi pola pemilihan langsung untuk presiden dan wakil presiden, tampaknya kita belum menerima hal betul-betul hikmah yang baik dari demokrasi, misalnya pemimpin yang terbaik. Atau memang benar pameo yang sering dikatakan orang bahwa demokrasi memang tidak menyediakan seorang pemimpin terbaik. Ia hanya menyiapkan pemimpin yang dipilih oleh lebih banyak orang. Bahkan kalau seekor kambing yang dipilih maka kambinglah yang akan memimpin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar