Selalu terbit harapan terhadap yang baru, seperti halnya ada
penolakan dan kekhawatiran di sana. Begitupun ketika Joko Widodo diumumkan
sebagai Presiden terpilih versi otoritas resmi. Lelaki kelahiran 21 Juni, 53
tahun lalu ini memang mewakili sebagian masyarakat Indonesia yang menginginkan
pemimpin yang bekerja.
Awalnya kehadiran mantan Walikota Surakarta, Jawa Tengah
ini, di panggung politik nasional memang mengejutkan. Dia berhasil mengalahkan incumbent dalam perlombaan menjadi orang
nomor satu di Ibu Kota, di saat orang banyak mengira dia hanya akan menjadi
Gubernur Jawa Tengah.
Karier politiknya meroket lagi ketika maju sebagai calon
presiden berdampingan dengan Jusuf Kalla –mantan Wakil Presiden sepuluh tahun
lalu– dan berhasil memenangkannya.
Kini, Jokowi (dan JK) akan memikul harapan sebagian banyak
orang yang memilihnya yang ingin Tanah Airnya menjadi rumah buat mereka. Rakyat
tentu akan membandingkan dengan prestasi yang sudah diraih oleh pemerintah
sebelumnya, sekaligus berharap kegagalan pemerintah sebelumnya diatasi.
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden yang sudah memimpin 10
tahun memang terbilang berhasil dalam memperkuat ekonomi terutama dari sisi
makro. Pertumbuhan ekonomi nasional yang bisa dipertahankan positif di kisaran
5-6 persen dengan inflasi 4,5 persen, tak bisa dibilang prestasi remeh.
Sementara di sisi lain, cadangan devisa juga sempat menyentuh level tertinggi
dalam sejarah.
Akan tetapi jika dilihat dari mikroekonomi, jelas banyak
yang tidak terselesaikan oleh SBY. Ketimpangan ekonomi, pemerataan pembangunan
dan pembangunan infrastruktur akan menjadi catatan minor buat pemerintahan itu.
Menurut data 2008-2012 ketimpangan antara yang kaya dan
miskin semakin memburuk bahkan menjadi lebih buruk dari India. Dalam rezim
pemerintahan 10 tahun terakhir, koefisien gini –indikator yang menggambarkan
ketimpangan, tembus angka 0,41. Padahal di era Orde Baru, kesenjangan orang
kaya dan miskin tak pernah melewati angka 0,39. Koefisien gini yang makin
mendekati angka satu berarti makin timpang ekonomi suatu negara.
Soal pemerataan pun seperti jalan di tempat. Selama 12 tahun
terakhir, 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional disumbangkan Jawa,
Sumatera, dan Bali saja. Demikian pula pembangunan yang terlalu bertumpu pada
perkotaan. Hal itu bisa dilihat dari ongkos logistik Surabaya-Merauke yang lebih
mahal dibandingkan mengekspor komoditas ke luar negeri.
Soal utang dan ketergantungan akan pihak asing juga tidak
membaik. Komisi Anti Utang, sebuah organisasi non-pemerintah yang concern
terhadap kebijakan utang luar negeri mencatat, bahwa
pengeluaran pemerintah sejak 2005-2012, untuk membayar beban
cicilan pokok dan bunga utang sebesar Rp 1.584 triliun. Sejak SBY berkuasa pada
2004, peningkatan utang luar negeri pemerintah mencapai Rp 724,22 triliun.
Angka itu bahkan lebih besar dari anggaran yang disiapkan untuk mengentaskan
kemiskinan pada periode yang sama, yang besarnya Rp 115 triliun.
Selain itu, Jokowi juga berhadapan dengan kekuatan ‘oposisi’
yang tak bisa dianggap remeh. Hampir separo dari pemilih memilih pasangan
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang sebagian besarnya merupakan orang-orang
kelas menengah.
Jadi jika Jokowi tidak mampu memenuhi harapan-harapan rakyat
atau gagal dalam melaksanakan janji-janjinya, tak pelak para pendukungnya akan
membanding-bandingkannya dengan Prabowo, sang rival dalam perebutan kursi RI 1.
Orang akan mulai melihat kembali janji yang pernah diucapkan Prabowo dalam
kampanye, dan berharap kalau saja dia bisa merealisasikannya saat ini. Dalam
sebuah posting-an di media sosial,
saya mengutip sebuah tulisan menarik bahwa Prabowo-Hatta, walaupun mungkin
tidak berhasil memenangkan pemilihan suara, akan terus-menerus menempati
kedudukan yang amat penting di mata rakyat. Yakni sebagai ‘pembanding harapan’.
Mereka akan hadir menjadi tolok ukur dari Presiden terpilih sekaligus menjadi
alternatif terdekat jika sewaktu-waktu pemerintahan dianggap gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar