Senin, 22 September 2014

Pembanding Harapan

Selalu terbit harapan terhadap yang baru, seperti halnya ada penolakan dan kekhawatiran di sana. Begitupun ketika Joko Widodo diumumkan sebagai Presiden terpilih versi otoritas resmi. Lelaki kelahiran 21 Juni, 53 tahun lalu ini memang mewakili sebagian masyarakat Indonesia yang menginginkan pemimpin yang bekerja.
Awalnya kehadiran mantan Walikota Surakarta, Jawa Tengah ini, di panggung politik nasional memang mengejutkan. Dia berhasil mengalahkan incumbent dalam perlombaan menjadi orang nomor satu di Ibu Kota, di saat orang banyak mengira dia hanya akan menjadi Gubernur Jawa Tengah.
Karier politiknya meroket lagi ketika maju sebagai calon presiden berdampingan dengan Jusuf Kalla –mantan Wakil Presiden sepuluh tahun lalu– dan berhasil memenangkannya.
Kini, Jokowi (dan JK) akan memikul harapan sebagian banyak orang yang memilihnya yang ingin Tanah Airnya menjadi rumah buat mereka. Rakyat tentu akan membandingkan dengan prestasi yang sudah diraih oleh pemerintah sebelumnya, sekaligus berharap kegagalan pemerintah sebelumnya diatasi.
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden yang sudah memimpin 10 tahun memang terbilang berhasil dalam memperkuat ekonomi terutama dari sisi makro. Pertumbuhan ekonomi nasional yang bisa dipertahankan positif di kisaran 5-6 persen dengan inflasi 4,5 persen, tak bisa dibilang prestasi remeh. Sementara di sisi lain, cadangan devisa juga sempat menyentuh level tertinggi dalam sejarah.
Akan tetapi jika dilihat dari mikroekonomi, jelas banyak yang tidak terselesaikan oleh SBY. Ketimpangan ekonomi, pemerataan pembangunan dan pembangunan infrastruktur akan menjadi catatan minor buat pemerintahan itu.
Menurut data 2008-2012 ketimpangan antara yang kaya dan miskin semakin memburuk bahkan menjadi lebih buruk dari India. Dalam rezim pemerintahan 10 tahun terakhir, koefisien gini –indikator yang menggambarkan ketimpangan, tembus angka 0,41. Padahal di era Orde Baru, kesenjangan orang kaya dan miskin tak pernah melewati angka 0,39. Koefisien gini yang makin mendekati angka satu berarti makin timpang ekonomi suatu negara.
Soal pemerataan pun seperti jalan di tempat. Selama 12 tahun terakhir, 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional disumbangkan Jawa, Sumatera, dan Bali saja. Demikian pula pembangunan yang terlalu bertumpu pada perkotaan. Hal itu bisa dilihat dari ongkos logistik Surabaya-Merauke yang lebih mahal dibandingkan mengekspor komoditas ke luar negeri.
Soal utang dan ketergantungan akan pihak asing juga tidak membaik. Komisi Anti Utang, sebuah organisasi non-pemerintah yang concern terhadap kebijakan utang luar negeri mencatat, bahwa
pengeluaran pemerintah sejak 2005-2012, untuk membayar beban cicilan pokok dan bunga utang sebesar Rp 1.584 triliun. Sejak SBY berkuasa pada 2004, peningkatan utang luar negeri pemerintah mencapai Rp 724,22 triliun. Angka itu bahkan lebih besar dari anggaran yang disiapkan untuk mengentaskan kemiskinan pada periode yang sama, yang besarnya Rp 115 triliun.
Selain itu, Jokowi juga berhadapan dengan kekuatan ‘oposisi’ yang tak bisa dianggap remeh. Hampir separo dari pemilih memilih pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang sebagian besarnya merupakan orang-orang kelas menengah.
Jadi jika Jokowi tidak mampu memenuhi harapan-harapan rakyat atau gagal dalam melaksanakan janji-janjinya, tak pelak para pendukungnya akan membanding-bandingkannya dengan Prabowo, sang rival dalam perebutan kursi RI 1. Orang akan mulai melihat kembali janji yang pernah diucapkan Prabowo dalam kampanye, dan berharap kalau saja dia bisa merealisasikannya saat ini. Dalam sebuah posting-an di media sosial, saya mengutip sebuah tulisan menarik bahwa Prabowo-Hatta, walaupun mungkin tidak berhasil memenangkan pemilihan suara, akan terus-menerus menempati kedudukan yang amat penting di mata rakyat. Yakni sebagai ‘pembanding harapan’. Mereka akan hadir menjadi tolok ukur dari Presiden terpilih sekaligus menjadi alternatif terdekat jika sewaktu-waktu pemerintahan dianggap gagal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar