Senin, 22 September 2014

Risiko Politik Rasa Baru

Indonesia masuk radar risiko politik oleh lembaga internasional karena proses penyelenggaraan pemilu yang mulai memanas. Sementara penggunaan asuransi risiko politik masih menjadi praktik yang jarang bagi pelaku bisnis nasional.

Tidak pernah terjadi dalam sejarah politik Indonesia, pemilihan presiden sehangat ini. Bahkan jika dihitung sejak pemilihan umum digelar secara langsung pertama kali sepuluh tahun lalu, kondisi wajan politik nasional tidak pernah seperti ini. Pada episode kali ini, karena hanya berisi dua calon presiden beserta wakilnya, para pendukung capres pun terpolarisasi dalam dua barisan yang ekstrem. Risiko terjadinya gesekan pun mencuat.
Karena itu, ingar bingar yang terjadi dalam hajatan politik kali ini sudah dipastikan akan menjadi perhatian kalangan pebisnis. Pelaku usaha harus benar-benar memasang mata pada eskalasi politik yang semakin panas, hingga pemilihan umum benar-benar berakhir. Pasalnya risiko politik bisa muncul kapan saja, seiring dengan makin meruncingnya persaingan. Pelaku usaha tentu akan mengawasi perkembangan yang terjadi menit per menit, untuk mengetahui segala sesuatu yang berpotensi meletus dan apa dampaknya terhadap bisnis mereka.
Secara umum, risiko politik mengacu pada komplikasi yang mungkin dihadapi dunia bisnis dan pemerintah sebagai hasil dari apa yang sering disebut sebagai keputusan –atau perubahan politik apapun, yang mengubah hasil yang diharapkan. Laman Wikipedia menjelaskan bahwa risiko politik (political risk) adalah risiko yang muncul sebagai konsekuensi ketidakpastian politik dan bisa berkembang menjadi penyebab biaya atau pengurang pendapatan dari investasi luar negeri. Risiko ini dapat timbul karena perubahan di pemerintahan, legislatif, pimpinan militer dan pembuat kebijakan lain, yang dianggap tidak menguntungkan bagi bisnis.

Survei Lembaga Asing
Tahun ini, sejatinya bukan Indonesia saja yang menjadi sorotan karena meningkatnya risiko politik. Tercatat ada lima negara di dunia yang hawa panas politiknya terdeteksi oleh sebuah lembaga keuangan AON, yaitu Indonesia, India, Turki, Afrika Selatan dan Brazil.
Indonesia bahkan disebut sebagai negara yang memiliki hotspot yang lebih menyala dibandingkan lainnya karena menyelenggarakan dua pemilihan umum –anggota legislatif dan Presiden– serempak  dalam tahun yang sama di saat yang lainnya hanya menggelar satu hajatan politik saja, pemungutan suara legislatif atau presiden saja.
Risiko politik yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan dapat didefinisikan sebagai risiko stratejik, keuangan, atau personal bagi sebuah perusahaan karena faktor-faktor non-pasar seperti kebijakan ekonomi makro dan sosial (fiskal, moneter, perdagangan, investasi, industri, pendapatan, tenaga kerja, dan perkembangan). Atau kejadian yang berhubungan dengan ketidakstabilan politik (terorisme, kerusuhan, kudeta, perang saudara, dan pemberontakan).
Dalam peta risiko politik yang dirilis oleh Aon, pemain terkemuka kelas dunia dalam bisnis asuransi politik, Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara yang risiko politiknya masuk kategori medium risk. Indonesia dinilai menyimpan risiko hukum dan aturan (legal and regulatory), gangguan rantai pasokan (supply chain disruption), dan kekerasan politik (political violence).
Dalam jajaran negara-negara emerging market, Indonesia ditempatkan bersama India, Afrika Selatan, Turki, dan Brasil, dan disebut sebagai The Fragile Five. Untuk Brasil dengan perlambatan ekonomi berpotensi meningkatkan risiko politik. Hal ini menjadi keprihatinan khusus karena tahun ini menjadi tuan rumah piala dunia sepak bola dan Olimpiade di 2016.
Selain lima negara itu ada juga negara lain yang masuk kelas medium risk, yaitu Filipina, Laos, Saudi Arabia, Kolombia, dan Peru.
Di antara negara ASEAN, posisi Indonesia masih lebih baik dari Thailand, Kamboja, Vietnam yang masuk dalam kategori medium-high risk.Sementara itu beberapa negara seperti Ukraina, Iran, Yaman, Venezuela dan beberapa negara Afrika dimasukkan oleh Aon dalam kategori very high risk.
Bagi investor global yang portofolio investasinya tidak mengenal batas negara, dan modalnya sudah kadung ditanam pada negara-negara yang tengah memanas, tentu membutuhkan proteksi agar dananya terjamin. Karena itu mereka sangat concern kepada titik-titik panas dalam peta keuangan dunia ini (lihat peta risiko politik).
Di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir, di saat investor mancanegara makin mendominasi, hajatan politik berupa pemilihan umum memang menjadi momok yang membuat pemerintah ‘harap-harap cemas’. Biasanya penanaman modal asing yang dilakukan secara langsung atau PMA cenderung turun pada masa-masa digelarnya hajatan politik.
Dan itu terbukti pada tahun ini ketika investor asing yang berniat menanamkan dananya di Indonesia memperlihatkan tanda-tanda penurunan. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) awal triwulan kedua tahun ini, investasi asing turun sebesar 500 juta dollar AS menjadi 6,9 miliar dollar AS dibanding triwulan sebelumnya.
Padahal sejak tahun 2010, penanaman modal asing memperlihatkan tren kenaikan setiap triwulannya. PMA mengalami puncaknya pada triwulan empat tahun 2013 yang mencapai 7,4 miliar dollar AS.
Mundur lima tahun sebelumnya, kondisinya juga hampir sama. Pada 2009, pemerintah juga berhadapan dengan kecenderungan investasi asing yang terus menurun. Sepanjang tahun itu PMA turun 27,2 persen atau sekitar Rp36,45 triliun (berdasarkan kurs waktu itu) dibanding 2008. 
Sementara itu, kondisi sebaliknya justru terjadi pada investasi portofolio. Sepanjang penyelenggaraan tiga kali pemilu pada tahun 1999, 2004, dan 2009 kinerja investasi di pasar saham masing-masing justru mengalami penguatan masing-masing 70,06 persen, 44,56 persen, dan 86,98 persen.
Selama periode tahun 2004, kinerja indeks saham bursa RI yang mencetak keuntungan sebesar lebih dari 40 persen merupakan ekspektasi para investor asing atas earning yang akan dihasilkan oleh para emiten ke depan. Mereka menilai ekonomi Indonesia akan makin membaik di masa yang akan datang.
Pada periode 2009, kinerja pasar bursa makin melejit setelah setahun sebelumnya pasar finansial global dihantam krisis dan menenggelamkan harga-harga hampir seluruh instrumen keuangan. Indeks saham bursa nasional atau IHSG sendiri mencapai angka terendah sejak krisis keuangan 1999. Mungkin itu pula yang menjelaskan kenaikan indeks harga saham gabunga (IHSG) sepanjang 2009 mencapai angka 76 persen.
Tahun ini, sepanjang triwulan pertama, IHSG sudah meningkat sebesar 11,6 persen dibanding posisi akhir kuartal keempat 2013 atau mencapai level 4.768,28. Bahkan sampai pekan kedua Juni berada di level 4.860-an. Sementara itu, nilai kapitalisasi pasar saham juga mengalami peningkatan sebesar 11,8 persen dibandingkan posisi akhir kuartal lalu.
Meski begitu tidak ada jaminan hal itu akan berlangsung terus hingga akhir tahun. Proses pemungutan suara presiden yang telah membuat dua kutub yang berseteru berdiri berhadap-hadapan tetap menyimpan risiko. Dengan debat yang dilakukan calon presiden, misalnya. Metode pra-voting yang sudah dilakukan sejak 2009 itu tak pelak membuat ketidakpastian sendiri bagi pasar.
Menurut Ekonom Senior Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, sepanjang masa debat dan kampanye, pergerakan nilai tukar rupiah dan indeks saham akan sangat fluktuatif. “Debat capres itu kan sifatnya kampanye, masih serba belum pasti. Ini akan membuat ketidakpastian juga di pasar,” ujar dia.
Namun ketidakpastian ini juga akan menghilang dengan sendirinya setelah ekonomi menemukan titik keseimbangan baru. Saat ini pergerakan IHSG dan rupiah memang sedang fluktuatif. "Karena kalau rupiah terus melemah ini bisa-bisa BI (Bank Indonesia) didorong untuk menaikkan suku bunga lagi," ujar Fauzi.
Nilai tukar rupiah memang menjadi komoditas sensitif saat pemilu karena memang sejak lama dikuasai pemain besar yang ironisnya berasal dari spekulan asing. Maka ketika asing tidak menyukai calon yang kemungkinan akan menang, bisa saja mereka menarik investasi portofolionya dan membuat sentimen negatif nilai tukar.
Seorang bankir yang dekat bisnis valuta asing mengatakan bahwa saat ini para spekulan valas tengah bersiap mengguncang pasar uang nasional begitu melihat calon yang mereka idamkan gagal menjadi presiden. “Para spekulan forex di singapura sudah mulai menyiapkan amunisi mereka untuk menyerang mata uang kita dengan cara menghasut dan memecah-belah keteguhan kita dalam berbangsa dan bernegara,” kata dia yang tidak mau disebut namanya.

Asuransi Politik
Menurut pakar manajemen risiko Gayatri Rawit Angreni, risiko politik bisa disebabkan karena berbagai faktor, seperti ketidakstabilan suatu negara karena perubahan kepemimpinan, kudeta, paham ekstrem di masyarakat, hingga perang saudara karena konflik horizontal dan vertikal.
Bisa pula disebabkan perubahan kebijakan pemerintah yang sangat frontal terutama soal investasi asing atau dari kegagalan kebijakan ekonomi. “Jadi pemicu risiko politik bisa berasal dari berbagai faktor risiko yang saling terkait, saling berinteraksi  yang kemudian mengubah profil risiko politik suatu negara,” kata dia.
Gayatri mengatakan ada dua tingkatan risiko politik, yaitu risiko politik mikro dan makro.   Risiko politik mikro hanya terjadi dan terfokus pada risiko suatu industri, perusahaan, investasi, atau proyek tertentu saja. Risiko ini merupakan bagian dari risiko operasional dari perubahan lingkungan bisnis mereka. “Risiko politik mikro dapat dikendalikan dengan cara mengubah dan mengalihkan investasi ke tempat dan bentuk lain, atau mencari mitra kerja lokal yang menguasai peraturan dan kebijakan,” jelas Gayatri.
Menurut dia, bila industri tertentu yang terkena risiko politik mikro, alternatif yang tersedia adalah mencari industri dengan tingkat risiko politik yang dapat diterima. “Jika perusahaan tetap masih terekspos risiko politik yang tinggi,  maka membeli polis asuransi risiko politik adalah solusinya, guna mengurangi tingkat kerugian,” kata Gayatri.
Sementara itu, sambung dia, risiko politik makro lebih sulit dikendalikan dan dimitigasi, karena bila negara tujuan investasi tertimpa kejadian politik yang ekstrem seperti aksi terorisme atau kasus pemutusan hubungan diplomatik maka hanya menyisakan strategi keluar (exit strategy) yang terbatas.
Bagi investor asing yang bermain di sektor riil, ketidakpastian dalam kontestasi pemilihan presiden ini bisa jadi sudah sangat disadari. Mereka dinilai lebih terbiasa menghadapi risiko politik semacam ini di negara tempat mereka menanamkan modalnya.
Oleh karena itu awareness mengenai perlunya membeli asuransi politik sudah lebih dipahami oleh perusahaan-perusahaan mancanegara ketimbang pemilik usaha dalam negeri, sementara pelaku domestik belum.
Hal itu diakui oleh pelaku bisnis asuransi umum di Indonesia. Menurut Kornelius Simanjuntak yang mantan Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, pangsa pasar pengguna asuransi risiko politik, lebih banyak di mal-mal (shopping center) sebanyak 30 persen, Hotel sebanyak 20 persen, perkantoran mencapai 20 persen, apartemen 17 persen, bisnis ritel 10 persen, manufaktur 2 persen dan perumahan 1 persen. “Potensi pasar masih cukup besar, ditambah kesadaran berasuransi masyarakat yang juga bertambah,” jelasnya.
Namun demikian asuransi risiko politik di Indonesia masih berupa asuransi tambahan dari asuransi kendaraan, properti yang masuk dalam golongan asuransi umum.
Asuransi risiko politik masih menjadi kendala di Indonesia karena minimnya kapasitas reasuransi. “Kapasitas reasuransi dalam negeri masih terbatas disamping reasuransi asing juga sangat selektif dalam memberikan reasuransi kepada perusahaan-perusahaan asuransi domestik,” kata Kornelius.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar