Indonesia masuk radar risiko
politik oleh lembaga internasional karena proses penyelenggaraan pemilu yang
mulai memanas. Sementara penggunaan asuransi risiko politik masih menjadi
praktik yang jarang bagi pelaku bisnis nasional.
Tidak pernah terjadi dalam
sejarah politik Indonesia, pemilihan presiden sehangat ini. Bahkan jika
dihitung sejak pemilihan umum digelar secara langsung pertama kali sepuluh
tahun lalu, kondisi wajan politik nasional tidak pernah seperti ini. Pada
episode kali ini, karena hanya berisi dua calon presiden beserta wakilnya, para
pendukung capres pun terpolarisasi dalam dua barisan yang ekstrem. Risiko
terjadinya gesekan pun mencuat.
Karena itu, ingar bingar yang
terjadi dalam hajatan politik kali ini sudah dipastikan akan menjadi perhatian
kalangan pebisnis. Pelaku usaha harus benar-benar memasang mata pada eskalasi
politik yang semakin panas, hingga pemilihan umum benar-benar berakhir.
Pasalnya risiko politik bisa muncul kapan saja, seiring dengan makin meruncingnya
persaingan. Pelaku usaha tentu akan mengawasi perkembangan yang terjadi menit
per menit, untuk mengetahui segala sesuatu yang berpotensi meletus dan apa
dampaknya terhadap bisnis mereka.
Secara umum, risiko politik
mengacu pada komplikasi yang mungkin dihadapi dunia bisnis dan pemerintah
sebagai hasil dari apa yang sering disebut sebagai keputusan –atau perubahan politik
apapun, yang mengubah hasil yang diharapkan. Laman Wikipedia menjelaskan bahwa
risiko politik (political risk)
adalah risiko yang muncul sebagai konsekuensi ketidakpastian politik dan bisa
berkembang menjadi penyebab biaya atau pengurang pendapatan dari investasi luar
negeri. Risiko ini dapat timbul karena perubahan di pemerintahan, legislatif,
pimpinan militer dan pembuat kebijakan lain, yang dianggap tidak menguntungkan
bagi bisnis.
Survei Lembaga Asing
Tahun ini, sejatinya bukan
Indonesia saja yang menjadi sorotan karena meningkatnya risiko politik.
Tercatat ada lima negara di dunia yang hawa panas politiknya terdeteksi oleh
sebuah lembaga keuangan AON, yaitu Indonesia, India, Turki, Afrika Selatan dan
Brazil.
Indonesia bahkan disebut
sebagai negara yang memiliki hotspot
yang lebih menyala dibandingkan lainnya karena menyelenggarakan dua pemilihan
umum –anggota legislatif dan Presiden– serempak dalam tahun yang sama di saat yang lainnya
hanya menggelar satu hajatan politik saja, pemungutan suara legislatif atau
presiden saja.
Risiko politik yang dihadapi
oleh perusahaan-perusahaan dapat didefinisikan sebagai risiko stratejik,
keuangan, atau personal bagi sebuah perusahaan karena faktor-faktor non-pasar
seperti kebijakan ekonomi makro dan sosial (fiskal, moneter, perdagangan,
investasi, industri, pendapatan, tenaga kerja, dan perkembangan). Atau kejadian
yang berhubungan dengan ketidakstabilan politik (terorisme, kerusuhan, kudeta,
perang saudara, dan pemberontakan).
Dalam peta risiko politik
yang dirilis oleh Aon, pemain terkemuka kelas dunia dalam bisnis asuransi
politik, Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara yang risiko politiknya
masuk kategori medium risk. Indonesia
dinilai menyimpan risiko hukum dan aturan (legal
and regulatory), gangguan rantai pasokan (supply chain disruption), dan kekerasan politik (political violence).
Dalam jajaran negara-negara emerging market, Indonesia ditempatkan
bersama India, Afrika Selatan, Turki, dan Brasil, dan disebut sebagai The Fragile Five. Untuk Brasil dengan
perlambatan ekonomi berpotensi meningkatkan risiko politik. Hal ini menjadi
keprihatinan khusus karena tahun ini menjadi tuan rumah piala dunia sepak bola
dan Olimpiade di 2016.
Selain lima negara itu ada
juga negara lain yang masuk kelas medium risk, yaitu Filipina, Laos, Saudi
Arabia, Kolombia, dan Peru.
Di antara negara ASEAN, posisi
Indonesia masih lebih baik dari Thailand, Kamboja, Vietnam yang masuk dalam
kategori medium-high risk.Sementara
itu beberapa negara seperti Ukraina, Iran, Yaman, Venezuela dan beberapa negara
Afrika dimasukkan oleh Aon dalam kategori very
high risk.
Bagi investor global yang portofolio
investasinya tidak mengenal batas negara, dan modalnya sudah kadung ditanam
pada negara-negara yang tengah memanas, tentu membutuhkan proteksi agar dananya
terjamin. Karena itu mereka sangat concern
kepada titik-titik panas dalam peta keuangan dunia ini (lihat peta risiko
politik).
Di Indonesia sendiri dalam
beberapa tahun terakhir, di saat investor mancanegara makin mendominasi, hajatan
politik berupa pemilihan umum memang menjadi momok yang membuat pemerintah ‘harap-harap
cemas’. Biasanya penanaman modal asing yang dilakukan secara langsung atau PMA cenderung
turun pada masa-masa digelarnya hajatan politik.
Dan itu terbukti pada tahun
ini ketika investor asing yang berniat menanamkan dananya di Indonesia
memperlihatkan tanda-tanda penurunan. Berdasarkan data Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) awal triwulan kedua tahun ini, investasi asing turun
sebesar 500 juta dollar AS menjadi 6,9 miliar dollar AS dibanding triwulan
sebelumnya.
Padahal sejak tahun 2010,
penanaman modal asing memperlihatkan tren kenaikan setiap triwulannya. PMA
mengalami puncaknya pada triwulan empat tahun 2013 yang mencapai 7,4 miliar
dollar AS.
Mundur lima tahun sebelumnya,
kondisinya juga hampir sama. Pada 2009, pemerintah juga berhadapan dengan
kecenderungan investasi asing yang terus menurun. Sepanjang tahun itu PMA turun
27,2 persen atau sekitar Rp36,45 triliun (berdasarkan kurs waktu itu) dibanding
2008.
Sementara itu, kondisi
sebaliknya justru terjadi pada investasi portofolio. Sepanjang penyelenggaraan tiga
kali pemilu pada tahun 1999, 2004, dan 2009 kinerja investasi di pasar saham
masing-masing justru mengalami penguatan masing-masing 70,06 persen, 44,56
persen, dan 86,98 persen.
Selama periode tahun 2004, kinerja
indeks saham bursa RI yang mencetak keuntungan sebesar lebih dari 40 persen
merupakan ekspektasi para investor asing atas earning yang akan dihasilkan oleh
para emiten ke depan. Mereka menilai ekonomi Indonesia akan makin membaik di
masa yang akan datang.
Pada periode 2009, kinerja
pasar bursa makin melejit setelah setahun sebelumnya pasar finansial global dihantam
krisis dan menenggelamkan harga-harga hampir seluruh instrumen keuangan. Indeks
saham bursa nasional atau IHSG sendiri mencapai angka terendah sejak krisis
keuangan 1999. Mungkin itu pula yang menjelaskan kenaikan indeks harga saham
gabunga (IHSG) sepanjang 2009 mencapai angka 76 persen.
Tahun ini, sepanjang triwulan
pertama, IHSG sudah meningkat sebesar 11,6 persen dibanding posisi akhir
kuartal keempat 2013 atau mencapai level 4.768,28. Bahkan sampai pekan kedua
Juni berada di level 4.860-an. Sementara itu, nilai kapitalisasi pasar saham
juga mengalami peningkatan sebesar 11,8 persen dibandingkan posisi akhir
kuartal lalu.
Meski begitu tidak ada
jaminan hal itu akan berlangsung terus hingga akhir tahun. Proses pemungutan
suara presiden yang telah membuat dua kutub yang berseteru berdiri
berhadap-hadapan tetap menyimpan risiko. Dengan debat yang dilakukan calon
presiden, misalnya. Metode pra-voting
yang sudah dilakukan sejak 2009 itu tak pelak membuat ketidakpastian sendiri
bagi pasar.
Menurut Ekonom Senior
Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, sepanjang masa debat dan kampanye,
pergerakan nilai tukar rupiah dan indeks saham akan sangat fluktuatif. “Debat
capres itu kan sifatnya kampanye, masih serba belum pasti. Ini akan membuat
ketidakpastian juga di pasar,” ujar dia.
Namun ketidakpastian ini juga
akan menghilang dengan sendirinya setelah ekonomi menemukan titik keseimbangan
baru. Saat ini pergerakan IHSG dan rupiah memang sedang fluktuatif. "Karena
kalau rupiah terus melemah ini bisa-bisa BI (Bank Indonesia) didorong untuk
menaikkan suku bunga lagi," ujar Fauzi.
Nilai tukar rupiah memang
menjadi komoditas sensitif saat pemilu karena memang sejak lama dikuasai pemain
besar yang ironisnya berasal dari spekulan asing. Maka ketika asing tidak
menyukai calon yang kemungkinan akan menang, bisa saja mereka menarik investasi
portofolionya dan membuat sentimen negatif nilai tukar.
Seorang bankir yang dekat
bisnis valuta asing mengatakan bahwa saat ini para spekulan valas tengah
bersiap mengguncang pasar uang nasional begitu melihat calon yang mereka
idamkan gagal menjadi presiden. “Para spekulan forex di singapura sudah mulai
menyiapkan amunisi mereka untuk menyerang mata uang kita dengan cara menghasut
dan memecah-belah keteguhan kita dalam berbangsa dan bernegara,” kata dia yang
tidak mau disebut namanya.
Asuransi Politik
Menurut pakar manajemen
risiko Gayatri Rawit Angreni, risiko politik bisa disebabkan karena berbagai
faktor, seperti ketidakstabilan suatu negara karena perubahan kepemimpinan, kudeta,
paham ekstrem di masyarakat, hingga perang saudara karena konflik horizontal
dan vertikal.
Bisa pula disebabkan perubahan
kebijakan pemerintah yang sangat frontal terutama soal investasi asing atau
dari kegagalan kebijakan ekonomi. “Jadi pemicu risiko politik bisa berasal dari
berbagai faktor risiko yang saling terkait, saling berinteraksi yang kemudian mengubah profil risiko politik
suatu negara,” kata dia.
Gayatri mengatakan ada dua
tingkatan risiko politik, yaitu risiko politik mikro dan makro. Risiko politik mikro hanya terjadi dan
terfokus pada risiko suatu industri, perusahaan, investasi, atau proyek
tertentu saja. Risiko ini merupakan bagian dari risiko operasional dari
perubahan lingkungan bisnis mereka. “Risiko politik mikro dapat dikendalikan
dengan cara mengubah dan mengalihkan investasi ke tempat dan bentuk lain, atau
mencari mitra kerja lokal yang menguasai peraturan dan kebijakan,” jelas
Gayatri.
Menurut dia, bila industri
tertentu yang terkena risiko politik mikro, alternatif yang tersedia adalah
mencari industri dengan tingkat risiko politik yang dapat diterima. “Jika perusahaan
tetap masih terekspos risiko politik yang tinggi, maka membeli polis asuransi risiko politik
adalah solusinya, guna mengurangi tingkat kerugian,” kata Gayatri.
Sementara itu, sambung dia, risiko
politik makro lebih sulit dikendalikan dan dimitigasi, karena bila negara
tujuan investasi tertimpa kejadian politik yang ekstrem seperti aksi terorisme
atau kasus pemutusan hubungan diplomatik maka hanya menyisakan strategi keluar
(exit strategy) yang terbatas.
Bagi investor asing yang
bermain di sektor riil, ketidakpastian dalam kontestasi pemilihan presiden ini bisa
jadi sudah sangat disadari. Mereka dinilai lebih terbiasa menghadapi risiko politik
semacam ini di negara tempat mereka menanamkan modalnya.
Oleh karena itu awareness mengenai perlunya membeli
asuransi politik sudah lebih dipahami oleh perusahaan-perusahaan mancanegara
ketimbang pemilik usaha dalam negeri, sementara pelaku domestik belum.
Hal itu diakui oleh pelaku
bisnis asuransi umum di Indonesia. Menurut Kornelius Simanjuntak yang mantan
Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, pangsa pasar pengguna asuransi risiko
politik, lebih banyak di mal-mal (shopping
center) sebanyak 30 persen, Hotel sebanyak 20 persen, perkantoran mencapai
20 persen, apartemen 17 persen, bisnis ritel 10 persen, manufaktur 2 persen dan
perumahan 1 persen. “Potensi pasar masih cukup besar, ditambah kesadaran
berasuransi masyarakat yang juga bertambah,” jelasnya.
Namun demikian asuransi
risiko politik di Indonesia masih berupa asuransi tambahan dari asuransi
kendaraan, properti yang masuk dalam golongan asuransi umum.
Asuransi risiko politik masih
menjadi kendala di Indonesia karena minimnya kapasitas reasuransi. “Kapasitas
reasuransi dalam negeri masih terbatas disamping reasuransi asing juga sangat
selektif dalam memberikan reasuransi kepada perusahaan-perusahaan asuransi
domestik,” kata Kornelius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar