Nilai tukar rupiah cenderung terus melemah ketika rencana
normalisasi kebijakan monter AS masih simpang siur. Ironisnya pelemahan rupiah
tidak mendorong ekspor karena struktur industri nasional masih lemah.
Pada 2014, perekonomian Indonesia dinilai mulai terlepas
dari turbulensi pasar keuangan global. Di tengah isu pengurangan stimulus
moneter AS, pada akhir Februari tahun lalu, nilai tukar rupiah menguat lebih
dari tiga persen, penguatan tertinggi dibanding
kurs negara-negara emerging market.
Padahal setahun sebelum itu, badai keuangan yang memukul pasar negara
berkembang, memasukkan Indonesia ke dalam kelompok Fragile Five bersama Brazil, India, Turki, dan Afrika Selatan. Nilai
tukar rupiah melemah dari Rp9.600-an pada awal 2013, tersungkur di level Rp12.200
per dollar AS pada Desember.
Kondisinya seperti berulang di saat rupiah terjerembap atas
dollar AS dan tidak kunjung menguat sejak awal tahun 2015. Bahkan kurs rupiah
mencapai titik terendahnya dalam kurun waktu 17 tahun terakhir ketika menyentuh
level Rp13.220 per dollar AS pada pertengahan bulan lalu. Sementara itu, jika
dibandingkan dengan posisinya pada awal Januari tahun, pada 19 Maret, nilai
tukar rupih telah terdepresiasi lebih dari 4 persen. Pelemahan rupiah terus
terjadi meski banyak dana-dana asing mengalir masuk ke pasar keuangan. Lihat
saja Indeks Harga Saham Gabungan yang terus mencatatkan rekor tertinggi
didorong oleh aksi beli investor asing. Pada Januari, indeks masih berada di
level 5.200-an dan pada pertengahan bulan lalu angkanya meningkat menjadi
5.453. Triliunan dana asing dinilai menjadi faktor pendorong naiknya indeks,
namun tidak pada nilai tukar rupiah.
Hal itu tentu menimbulkan keheranan, karena biasanya dana
asing yang masuk akan memperkuat rupiah. Tak kurang dari Deputi Gubernur Senior
Bank Indonesia Mirza Adityaswara yang heran dengan kondisi tersebut. Menurut
dia depresiasi nilai tukar saat ini sudah berlebihan dan membawa rupiah di
bawah level fundamentalnya (under value)
karena ditekan sentimen eksternal dan internal. “Kalau ditanya apakah
pelemahannya sudah under value,
memang iya. Mata uang kita melemahnya sebenarnya sudah berlebihan," ujar
dia.
Mirza menjelaskan, faktor eksternal yang membuat rupiah
terdepresiasi adalah rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat
tahun ini. Stimulus moneter sebesar 20 persen dari PDB Amerika akan ditarik
perlahan oleh bank sentral AS itu dengan menaikkan suku bunga.
"Saat ini suku bunganya 0,25 persen. Dalam tiga tahun
ke depan akan naik 2,5-3 persen, sementara itu suku bunga Eropa negatif, Jepang
hanya nol koma sekian, China juga turun. AS ekonominya meningkat sendiri,"
kata Mirza.
Sebelumnya, pada saat pengumuman suku bunga acuan, Bank
Indonesia mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
terutama didorong oleh terus berlanjutnya penguatan dolar AS terhadap semua
mata uang dunia. Melemahnya mata uang euro seiring dengan quantitative easing yang ditempuh Bank Sentral Eropa semakin
meningkatkan tekanan pelemahan mata uang emerging
markets, termasuk Indonesia.
“Bank Indonesia terus
meningkatkan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar Rupiah, termasuk
intervensi di pasar valas maupun pembelian SBN di pasar sekunder. Ke depan,
Bank Indonesia akan tetap konsisten untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah
sesuai kondisi fundamentalnya,” kata siaran pers tersebut.
Kondisi ini jelas menjadi dilema buat Bank Indonesia. Jika
dollar AS dibiarkan menguat terus maka dampaknya bagi kenaikan harga tidak bisa
dielakkan lagi dan ini berarti lonceng tanda bahaya bagi target inflasi yang
ditetapkan BI.
Produsen dan pengusaha di bidang makanan dan minuman
nasional mengancam akan segera menaikkan harga. Bulan lalu, Ketua GAPMMI Adhi
Lukman mengatakan akan bahwa para pelaku industri segera menaikkan harga
mengingat ongkos produksi mereka sudah melonjak akibat naiknya kurs dollar AS.
“Meski hal itu (menaikkan harga) cukup dilematis dan bukan tidak mungkin akan
menjadi bumerang mengingat daya beli masyarakat juga tengah tertekan,” kata
dia.
Ekspor Tak
Terangsang?
Akan tetapi, pelemahan nilai tukar tidak kunjung mendorong ekspor.
Hal itu tentu patut menjadi keheranan selanjutnya. Melemahnya nilai tukar otomatis
membuat mata uang sebuah negara menjadi lebih murah dibanding mata uang
pasangannya sehingga bisa mendongkrak ekspor. Akan tetapi, yang terjadi di
Indonesia kebalikannya.
Badan Pusat Statistik mencatat pada Maret, ekspor Indonesia
jatuh ke tingkat terendah dalam dua setengah tahun terakhir akibat penurunan
ekspor minyak dan gas, namun kejatuhan dalam impor menahan angka itu pasca
surplus perdagangan untuk bulan ketiga berturut-turut. Ekspor-ekspor pada
Februari merosot 16,02 persen dari setahun sebelumnya, kejatuhan terbesar sejak
Agustus 2012. Angka impor pada waktu yang sama juga menurun 16,24 persen.
“Ekonomi Indonesia telah terpukul penurunan
harga minyak global dan komoditas yang lemah.
sementara kejatuhan rupiah belum mendorong ekspor namun telah
mengurangi konsumsi domestik,” kata Ahmad Erani Yustika, pengamat ekonomi
Indef.
Menurut Guru Besar Universitas Brawijaya itu, rupiah yang jatuh
ke tingkat terendah dalam 17 tahun terakhir, belum mendorong ekspor karena
telah membuat impor bahan baku dan barang modal lebih mahal. “Secara teori,
mata uang yang lemah seharusnya membantu daya saing ekspor, namun karena kita
memproduksi barang dengan bahan baku impor, kelemahan rupiah malah meningkatkan
biaya dan mempengaruhi ekspor.”
Mantan Gubernur
Bank Indonesia, Darmin Nasution mengatakan bahwa ketidakmampuan ekspor
memanfaatkan depresiasi dikarenakan industri dalam negeri khususnya manufaktur
belum pulih.
Akibatnya kinerja ekspor nasional terus menurun. Bahkan
sejak 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit karena ekspor
Indonesia yang selama ini mengandalkan produk komoditas tidak memberikan hasil
maksimal karena harga di pasar internasional yang cenderung turun.
“Setelah krisis
hingga kini, industri dalam negeri belum betul-betul pulih sehingga belum mampu
memproduksi bahan baku dan barang modal lebih banyak. Selama ini pertumbuhan
sektor industri selalu di bawah pertumbuhan GDP,” kata Darmin.
Persoalan defisit
transaksi berjalan, kata pria yang kini menjadi Komisaris Utama Bank Mandiri
itu, menjadi penyebab lainnya. Tahun ini angka defisit yang ditargetkan
maksimal 2,5 persen mendapatkan cobaan berat ketika defisit neraca perdagangan
di sektor barang modal dan bahan baku.
Hal itu, sambung
Darmin, yang membuat persoalan defisit transaksi berjalan lebih dalam dari yang
terlihat. “Industrialisasi harus segera dijalankan secepatnya.”
Menunda Normalisasi
Pelemahan rupiah merupakan imbas dari rencana otoritas AS
yang ingin menaikkan suku bunga karena menilai ekonomi Negeri Paman Sam itu
sudah normal. Hal itu diharapkan dapat memanggil pulang dollar AS yang selama
ini menyebar ke segala penjuru dunia ketika The Federal Reserve menerapkan
kebijakan pembelian aset-aset beracun dengan mencetak uang mulai 2009.
Rencana yang mulai berhembus sejak akhir 2013 lalu itu tak
pelak membuat konfigurasi dana-dana asing yang dikelola hedge fund berubah. Banyak dollar AS yang masih berada di emerging market serta merta angkat kaki,
dan hal itu menggoyang perekonomian global secara keseluruhan.
Akan tetapi, tampaknya harapan The Fed belum menjadi
kenyataan, karena hingga dua bulan di sepanjang 2015, jumlah dollar AS yang
kembali ke pelukan ‘Dewi Liberty’ tidak sesuai harapan. Hal itu membuat rencana
kenaikan suku bunga kembali ditunda.
Dalam pertemuan Dewan Gubernur Bank Sentral AS (FOMC), pertengahan
Maret, Janet Yellen, Ketua The Fed mengatakan bahwa pihaknya memastikan target
suku bunga 0,25 persen. “Hanya karena kami menghapus kata sabar dalam
pernyataan, bukan berarti kami tidak sabar. Kami menilai kondisi ekonomi belum
pasti akan membaik saat pertemuan April mendatang. Kenaikan suku bunga bisa
terjadi di pertemuan-pertemuan selanjutnya, tergantung situasi ekonomi,” kata
dia dalam konferensi pers setelah pertemuan.
Pernyataan itu kembali menambah panjang kesimpangsiuran
tengat waktu pelaksanaan normalisasi kebijakan. Sebelumnya banyak analis yang
memperkirakan bahwa pertengahan tahun ini The Fed akan merealisasikan rencana
menaikkan suku bunga dan dalam tiga tahun ke depan angkanya terus naik hingga
2,5 persen.
Jadi, pelemahan rupiah akan menjadi sebuah keniscayaan lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar