Kamis, 16 April 2015

Rupiah yang Bingung

Nilai tukar rupiah cenderung terus melemah ketika rencana normalisasi kebijakan monter AS masih simpang siur. Ironisnya pelemahan rupiah tidak mendorong ekspor karena struktur industri nasional masih lemah.

Pada 2014, perekonomian Indonesia dinilai mulai terlepas dari turbulensi pasar keuangan global. Di tengah isu pengurangan stimulus moneter AS, pada akhir Februari tahun lalu, nilai tukar rupiah menguat lebih dari tiga persen, penguatan tertinggi dibanding  kurs negara-negara emerging market. Padahal setahun sebelum itu, badai keuangan yang memukul pasar negara berkembang, memasukkan Indonesia ke dalam kelompok Fragile Five bersama Brazil, India, Turki, dan Afrika Selatan. Nilai tukar rupiah melemah dari Rp9.600-an pada awal 2013, tersungkur di level Rp12.200 per dollar AS pada Desember.
Kondisinya seperti berulang di saat rupiah terjerembap atas dollar AS dan tidak kunjung menguat sejak awal tahun 2015. Bahkan kurs rupiah mencapai titik terendahnya dalam kurun waktu 17 tahun terakhir ketika menyentuh level Rp13.220 per dollar AS pada pertengahan bulan lalu. Sementara itu, jika dibandingkan dengan posisinya pada awal Januari tahun, pada 19 Maret, nilai tukar rupih telah terdepresiasi lebih dari 4 persen. Pelemahan rupiah terus terjadi meski banyak dana-dana asing mengalir masuk ke pasar keuangan. Lihat saja Indeks Harga Saham Gabungan yang terus mencatatkan rekor tertinggi didorong oleh aksi beli investor asing. Pada Januari, indeks masih berada di level 5.200-an dan pada pertengahan bulan lalu angkanya meningkat menjadi 5.453. Triliunan dana asing dinilai menjadi faktor pendorong naiknya indeks, namun tidak pada nilai tukar rupiah.
Hal itu tentu menimbulkan keheranan, karena biasanya dana asing yang masuk akan memperkuat rupiah. Tak kurang dari Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara yang heran dengan kondisi tersebut. Menurut dia depresiasi nilai tukar saat ini sudah berlebihan dan membawa rupiah di bawah level fundamentalnya (under value) karena ditekan sentimen eksternal dan internal. “Kalau ditanya apakah pelemahannya sudah under value, memang iya. Mata uang kita melemahnya sebenarnya sudah berlebihan," ujar dia.
Mirza menjelaskan, faktor eksternal yang membuat rupiah terdepresiasi adalah rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat tahun ini. Stimulus moneter sebesar 20 persen dari PDB Amerika akan ditarik perlahan oleh bank sentral AS itu dengan menaikkan suku bunga.
"Saat ini suku bunganya 0,25 persen. Dalam tiga tahun ke depan akan naik 2,5-3 persen, sementara itu suku bunga Eropa negatif, Jepang hanya nol koma sekian, China juga turun. AS ekonominya meningkat sendiri," kata Mirza.
Sebelumnya, pada saat pengumuman suku bunga acuan, Bank Indonesia mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terutama didorong oleh terus berlanjutnya penguatan dolar AS terhadap semua mata uang dunia. Melemahnya mata uang euro seiring dengan quantitative easing yang ditempuh Bank Sentral Eropa semakin meningkatkan tekanan pelemahan mata uang emerging markets, termasuk Indonesia.
 “Bank Indonesia terus meningkatkan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar Rupiah, termasuk intervensi di pasar valas maupun pembelian SBN di pasar sekunder. Ke depan, Bank Indonesia akan tetap konsisten untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai kondisi fundamentalnya,” kata siaran pers tersebut.
Kondisi ini jelas menjadi dilema buat Bank Indonesia. Jika dollar AS dibiarkan menguat terus maka dampaknya bagi kenaikan harga tidak bisa dielakkan lagi dan ini berarti lonceng tanda bahaya bagi target inflasi yang ditetapkan BI.
Produsen dan pengusaha di bidang makanan dan minuman nasional mengancam akan segera menaikkan harga. Bulan lalu, Ketua GAPMMI Adhi Lukman mengatakan akan bahwa para pelaku industri segera menaikkan harga mengingat ongkos produksi mereka sudah melonjak akibat naiknya kurs dollar AS. “Meski hal itu (menaikkan harga) cukup dilematis dan bukan tidak mungkin akan menjadi bumerang mengingat daya beli masyarakat juga tengah tertekan,” kata dia.

Ekspor Tak Terangsang?
Akan tetapi, pelemahan nilai tukar tidak kunjung mendorong ekspor. Hal itu tentu patut menjadi keheranan selanjutnya. Melemahnya nilai tukar otomatis membuat mata uang sebuah negara menjadi lebih murah dibanding mata uang pasangannya sehingga bisa mendongkrak ekspor. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia kebalikannya.
Badan Pusat Statistik mencatat pada Maret, ekspor Indonesia jatuh ke tingkat terendah dalam dua setengah tahun terakhir akibat penurunan ekspor minyak dan gas, namun kejatuhan dalam impor menahan angka itu pasca surplus perdagangan untuk bulan ketiga berturut-turut. Ekspor-ekspor pada Februari merosot 16,02 persen dari setahun sebelumnya, kejatuhan terbesar sejak Agustus 2012. Angka impor pada waktu yang sama juga menurun 16,24 persen.
“Ekonomi Indonesia telah terpukul penurunan harga minyak global dan komoditas yang lemah.
sementara kejatuhan rupiah belum mendorong ekspor namun telah mengurangi konsumsi domestik,” kata Ahmad Erani Yustika, pengamat ekonomi Indef.
Menurut Guru Besar Universitas Brawijaya itu, rupiah yang jatuh ke tingkat terendah dalam 17 tahun terakhir, belum mendorong ekspor karena telah membuat impor bahan baku dan barang modal lebih mahal. “Secara teori, mata uang yang lemah seharusnya membantu daya saing ekspor, namun karena kita memproduksi barang dengan bahan baku impor, kelemahan rupiah malah meningkatkan biaya dan mempengaruhi ekspor.”
Mantan Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution mengatakan bahwa ketidakmampuan ekspor memanfaatkan depresiasi dikarenakan industri dalam negeri khususnya manufaktur belum pulih.
Akibatnya kinerja ekspor nasional terus menurun. Bahkan sejak 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit karena ekspor Indonesia yang selama ini mengandalkan produk komoditas tidak memberikan hasil maksimal karena harga di pasar internasional yang cenderung turun.
“Setelah krisis hingga kini, industri dalam negeri belum betul-betul pulih sehingga belum mampu memproduksi bahan baku dan barang modal lebih banyak. Selama ini pertumbuhan sektor industri selalu di bawah pertumbuhan GDP,” kata Darmin.
Persoalan defisit transaksi berjalan, kata pria yang kini menjadi Komisaris Utama Bank Mandiri itu, menjadi penyebab lainnya. Tahun ini angka defisit yang ditargetkan maksimal 2,5 persen mendapatkan cobaan berat ketika defisit neraca perdagangan di sektor barang modal dan bahan baku.
Hal itu, sambung Darmin, yang membuat persoalan defisit transaksi berjalan lebih dalam dari yang terlihat. “Industrialisasi harus segera dijalankan secepatnya.” 

Menunda Normalisasi
Pelemahan rupiah merupakan imbas dari rencana otoritas AS yang ingin menaikkan suku bunga karena menilai ekonomi Negeri Paman Sam itu sudah normal. Hal itu diharapkan dapat memanggil pulang dollar AS yang selama ini menyebar ke segala penjuru dunia ketika The Federal Reserve menerapkan kebijakan pembelian aset-aset beracun dengan mencetak uang mulai 2009.
Rencana yang mulai berhembus sejak akhir 2013 lalu itu tak pelak membuat konfigurasi dana-dana asing yang dikelola hedge fund berubah. Banyak dollar AS yang masih berada di emerging market serta merta angkat kaki, dan hal itu menggoyang perekonomian global secara keseluruhan.
Akan tetapi, tampaknya harapan The Fed belum menjadi kenyataan, karena hingga dua bulan di sepanjang 2015, jumlah dollar AS yang kembali ke pelukan ‘Dewi Liberty’ tidak sesuai harapan. Hal itu membuat rencana kenaikan suku bunga kembali ditunda.
Dalam pertemuan Dewan Gubernur Bank Sentral AS (FOMC), pertengahan Maret, Janet Yellen, Ketua The Fed mengatakan bahwa pihaknya memastikan target suku bunga 0,25 persen. “Hanya karena kami menghapus kata sabar dalam pernyataan, bukan berarti kami tidak sabar. Kami menilai kondisi ekonomi belum pasti akan membaik saat pertemuan April mendatang. Kenaikan suku bunga bisa terjadi di pertemuan-pertemuan selanjutnya, tergantung situasi ekonomi,” kata dia dalam konferensi pers setelah pertemuan.
Pernyataan itu kembali menambah panjang kesimpangsiuran tengat waktu pelaksanaan normalisasi kebijakan. Sebelumnya banyak analis yang memperkirakan bahwa pertengahan tahun ini The Fed akan merealisasikan rencana menaikkan suku bunga dan dalam tiga tahun ke depan angkanya terus naik hingga 2,5 persen. 
Jadi, pelemahan rupiah akan menjadi sebuah keniscayaan lagi?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar