Kamis, 16 April 2015

Anomali

Inilah zaman anomali. Ketika sebuah kesalahan di sebuah zaman berbuah kritikan pedas dan cacian,  kesalahan yang sama saat ini mendapat dukungan hangat. Ketika keterpurukan ekonomi di sebuah zaman berbuah pemakzulan, keterpurukan yang sama kini mendapatkan pembelaan dan pujian.
Kita bisa membayangkan, di zaman sebelumnya, ketika nilai tukar rupiah terperosok sampai melewati Rp13.000 per dollar AS, maka akan ada gelombang protes di jalanan, di parlemen di ruang-ruang opini media bahkan di warung-warung kopi.
Kini, pejabat dengan enteng bilang bahwa pelemahan rupiah akan membuat banyak investor asing tertarik ke Indonesia. Teman-teman kuliah saya, dari statusnya di media sosial, bertanya: pejabat tersebut kuliahnya di mana? Memang itu merupakan pertanyaan retoris, yang tidak perlu dijawab, namun menyederhanakan masalah pelemahan nilai tukar bukanlah hal sepele.
Pelemahan nilai tukar suatu negara, di satu sisi memang membuat barang-barang yang diproduksi suatu negeri akan lebih kompetitif dibanding negara counterpar-nya. Namun di sisi lain, pelemahan rupiah justru mengirimkan inflasi negara itu ke Indonesia.
Selain itu, modal asing akan cenderung mengalir ke negara-negara yang memiliki pemerintahan yang kuat, ekonomi yang dinamis dan mata uang yang stabil. Jadi, suatu negara harus memiliki mata uang yang relatif stabil untuk menarik modal investasi dari investor asing. Itu yang lazim terjadi.
Kelaziman lain, soal daya saing. Jika sebuah mata uang melemah maka seharusnya ekspor negara pemiliknya meningkat karena lebih murah dibanding barang-barang negara pesaingnya.
Badan Pusat Statistik mencatat pada Maret, ekspor Indonesia jatuh ke tingkat terendah dalam dua setengah tahun terakhir akibat penurunan ekspor minyak dan gas, namun kejatuhan dalam impor menahan angka itu pasca surplus perdagangan untuk bulan ketiga berturut-turut. Ekspor-ekspor pada Februari merosot 16,02 persen dari setahun sebelumnya, kejatuhan terbesar sejak Agustus 2012. Pada waktu yang sama impor juga menurun 16,24 persen.
Kini beban ada di pundak rakyat, utamanya masyarakat berpendapatan rendah. Pendapatan rakyat terus tergelincir, akibat melemahnya nilai tukar yang menyebabkan inflasi. Beban ditambah ketika harga barang-barang naik sebagai dampak kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM).
Akan tetapi, saya yakin rakyat kebanyakan akan tetap berkata bahwa mereka “masih beruntung”, ungkapan khas bangsa Indonesia meskipun dirundung musibah. Karena menganggap terhindar dari musibah yang lebih besar lagi.
Namun, menurut saya tidak hanya rakyat yang beruntung ada beberapa pihak yang juga beruntung dari keadaan ini. Misalnya, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beruntung karena banyak orang yang mulai menilai bahwa pemerintahan sekarang ini tidak lebih baik dari padanya. Prabowo juga beruntung tidak jadi presiden karena kalau mantan pesaing Joko Widodo dalam pemilihan presiden lalu itu jadi presiden, bisa jadi kritikan terhadapnya akan lebih dahsyat.

Pemerintahan sekarang di bawah Presiden Jokowi juga beruntung karena pendukungnya ‘tetap konsisten’ mendukungnya terutama lewat saluran-saluran media yang masif, baik media massa ataupun media sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar