Inilah zaman anomali. Ketika sebuah kesalahan di sebuah
zaman berbuah kritikan pedas dan cacian,
kesalahan yang sama saat ini mendapat dukungan hangat. Ketika
keterpurukan ekonomi di sebuah zaman berbuah pemakzulan, keterpurukan yang sama
kini mendapatkan pembelaan dan pujian.
Kita bisa membayangkan, di zaman sebelumnya, ketika nilai
tukar rupiah terperosok sampai melewati Rp13.000 per dollar AS, maka akan ada
gelombang protes di jalanan, di parlemen di ruang-ruang opini media bahkan di
warung-warung kopi.
Kini, pejabat dengan enteng bilang bahwa pelemahan rupiah
akan membuat banyak investor asing tertarik ke Indonesia. Teman-teman kuliah
saya, dari statusnya di media sosial, bertanya: pejabat tersebut kuliahnya di
mana? Memang itu merupakan pertanyaan retoris, yang tidak perlu dijawab, namun
menyederhanakan masalah pelemahan nilai tukar bukanlah hal sepele.
Pelemahan nilai tukar suatu negara, di satu sisi memang
membuat barang-barang yang diproduksi suatu negeri akan lebih kompetitif
dibanding negara counterpar-nya.
Namun di sisi lain, pelemahan rupiah justru mengirimkan inflasi negara itu ke
Indonesia.
Selain itu, modal asing akan cenderung mengalir ke
negara-negara yang memiliki pemerintahan yang kuat, ekonomi yang dinamis dan
mata uang yang stabil. Jadi, suatu negara harus memiliki mata uang yang relatif
stabil untuk menarik modal investasi dari investor asing. Itu yang lazim
terjadi.
Kelaziman lain, soal daya saing. Jika sebuah mata uang
melemah maka seharusnya ekspor negara pemiliknya meningkat karena lebih murah
dibanding barang-barang negara pesaingnya.
Badan Pusat Statistik mencatat pada Maret, ekspor Indonesia
jatuh ke tingkat terendah dalam dua setengah tahun terakhir akibat penurunan
ekspor minyak dan gas, namun kejatuhan dalam impor menahan angka itu pasca
surplus perdagangan untuk bulan ketiga berturut-turut. Ekspor-ekspor pada
Februari merosot 16,02 persen dari setahun sebelumnya, kejatuhan terbesar sejak
Agustus 2012. Pada waktu yang sama impor juga menurun 16,24 persen.
Kini beban ada di pundak rakyat, utamanya masyarakat
berpendapatan rendah. Pendapatan rakyat terus tergelincir, akibat melemahnya
nilai tukar yang menyebabkan inflasi. Beban ditambah ketika harga barang-barang
naik sebagai dampak kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM).
Akan tetapi, saya yakin rakyat kebanyakan akan tetap berkata
bahwa mereka “masih beruntung”, ungkapan khas bangsa Indonesia meskipun
dirundung musibah. Karena menganggap terhindar dari musibah yang lebih besar
lagi.
Namun, menurut saya tidak hanya rakyat yang beruntung ada
beberapa pihak yang juga beruntung dari keadaan ini. Misalnya, mantan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono beruntung karena banyak orang yang mulai menilai bahwa
pemerintahan sekarang ini tidak lebih baik dari padanya. Prabowo juga beruntung
tidak jadi presiden karena kalau mantan pesaing Joko Widodo dalam pemilihan
presiden lalu itu jadi presiden, bisa jadi kritikan terhadapnya akan lebih
dahsyat.
Pemerintahan sekarang di bawah Presiden Jokowi juga beruntung
karena pendukungnya ‘tetap konsisten’ mendukungnya terutama lewat
saluran-saluran media yang masif, baik media massa ataupun media sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar