Rencana bank sentral AS yang ingin menaikkan suku bunga
acuan demi menarik kembali dollar AS tidak semulus dugaan sebelumnya, karena
reaksi yang tak terduga dari otoritas negara lain. Hal ini diprediksi akan
menimbulkan ‘perang ‘ baru dalam moneter global.
Prediksi ekonomi memang kerapkali meleset, jika tidak mau
dibilang hampir selalu meleset. Tahun lalu, kita begitu khawatir normalisasi
kebijakan dari bank sentral AS terkait quantitative
easing dan juga rencana dinaikannya suku bunga The Fed, akan membuat
ekonomi kita makin berat.
Dengan berakhirnya kebijakan pembelian obligasi negara dan
juga perusahaan-perusahaan swasta AS oleh The Federal Reserve ditambah dengan
kenaikkan suku bunga, bisa dipastikan sektor keuangan nasional akan kembali mendapat
guncangan. Suku bunga dalam negeri akan melonjak, pelarian modal marak dan
ekonomi akan terpuruk.
Akan tetapi memasuki triwulan pertama tahun ini, kenyataan
mulai menjauh dari prediksi. Berawal dari sikap The Fed yang tampaknya mulai
ragu untuk menjalankan rencana menaikkan suku bunga sesuai jadwal. Pada
pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) awal tahun, tersiar kabar bahwa
The Fed memundurkan target yang merupakan hasil pertemuan pada 2013 lalu.
target kebijakan kenaikan The Fed Rate yang tadinya dilakukan Januari 2015
digeser ke April 2015.
Malahan kejelasan kenaikan bunga di bulan April 2015 pun
sekarang terkesan mulai pudar dari sesuatu yang pasti menjadi tidak pasti.
Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen memberi sinyal bahwa ‘The Fed akan sabar,
sampai perekonomian Amerika Serikat benar-benar kuat’.
Perkembangan ini tentu membuat ‘persiapan’ yang sudah
dilakukan oleh sebagian besar otoritas moneter dunia berubah lagi untuk
meresponsnya. Meski begitu, tidak hanya dari sisi dampak yang menarik untuk
disimak, tetapi juga dari sisi penyebab mengapa The Fed tiba-tiba memundurkan
rencana tersebut.
Menurut pengamat ekonomi dan keuangan, Yanuar Rizky,
keputusan The Fed yang menunda keputusan untuk menaikkan suku bunga yang sudah
bertahan sejak lebih dari enam tahun tidak terlepas dari respons otoritas di
negara lain dan juga pergerakan dollar AS.
Sebagaimana dipahami, kebijakan AS yang akan menaikkan suku
bunga adalah ‘panggilan’ kepada dollar AS untuk kembali ke kampung halamannya.
Akan tetapi, setelah The Fed memberikan sinyal tersebut, mata uang green back itu tidak kunjung tiba
seperti yang diharapkan. “(jumlah dollar AS yang kembali) tampaknya tidak sederas harapan The Fed.
Pertumbuhan deposito di perbankan Amerika Serikat cenderung stagnan,” kata
Yanuar.
Sebaliknya yang menarik terjadi justru respons dari otoritas
moneter Swiss. Pasar keuangan dikagetkan oleh aksi ‘mendadak’ dari Bank Sentral
Swiss (SNB) pada 14 Januari 2015 lalu yang melepaskan kebijakan kurs tetap
franc Swiss (CHF) terhadap Euro. Hal itu sontak saja menyebabkan volatilitas
franc Swiss atas Euro menjadi tertinggi dalam hari itu sekaligus yang tertinggi
sepanjang sejarah pasar uang dunia.
Berdasarkan data dari Bejana Invesdata Globalindo, lembaga
riset keuangan yang dikepalai Yanuar, terlihat ada kenaikan agresif dari
dana-dana deposito yang disimpan di perbankan Swiss. Dari data yang sama juga
terlihat bahwa sejak isu tapering off dan kenaikkan Fed Rate” dihembuskan di
2013, dollar AS lebih memilih Swiss dibandingkankan ke kampung halamannya di
Amerika.
Menurut Yanuar, aksi Swiss melepas peg mata uangnya atas
euro adalah dampak dari aksi dan reaksi antara SNB dengan Bank Sentral Eropa
(ECB) merespons aksi moneter The Fed. Aksi reaksi dari otoritas moneter dunia
ini akan membawa kurs-kurs di dunia menuju keseimbangan baru. “ Saya
menyebutnya ‘perang moneter dunia’,” kata dia.
Meski begitu, lanjut Yanuar, menarik juga ditelusuri apakah
maraknya dana menuju Swiss yang merupakan negara yang paling melindungi
kerahasiaan nasabah perbankan merupakan tanda-tanda bahwa dunia tengah dilanda
gelombang ‘uang panas’ yang tidak jelas.
‘Kekecewaan’ The Fed terkait tidak berjalan mulusnya rencana
kebijakan moneternya juga terjadi pada 2013. Saat ini, The Fed mengumumkan akan
menghentikan kebijakan stimulus moneter tak biasa (tapering off) pada Mei 2013.
Akan tetapi, kurang dua hari setelah pengumuman itu. Tanpa
sinyal sebelumnya, BoJ menaikkan belanja stimulus tahunannya, dari semula 450
miliar dollar AS menjadi 730 miliar dollar AS untuk pembelian surat utang, dan
dari 10 miliar dollar AS menjadi 30 miliar dollar AS untuk saham.
Pengumuman itu tak pelak menerbangkan indeks Nikkei ke level
tertinggi dalam 8 tahun, sekaligus memperlemah nilai tukar Yen terhadap dolar
AS ke level terendah 7 tahun. “Kami sedang berada pada masa-masa kritis untuk
membebaskan diri dari deflasi,” kata Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda.
Dengan nilai tukar yen yang lebih rendah, ekspor Jepang di
pasar global menjadi lebih kompetitif, hingga perekonomiannya secara umum
melaju lebih ringan. Singkatnya, dengan sekali dayung QE, dua pulau yaitu
deflasi dan daya saing ekspor, terlampaui.
Berani Bertarung
Omong-omong soal uang panas, pasar modal Indonesia tampaknya
juga sedang mengalaminya.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tengah kedatangan
gelombang dana-dana asing sehingga beberapa kali mencatatkan rekor sepanjang
dua bulan pada tahun ini. Banyaknya investor asing yang masuk bursa pada 37
perdangangan terakhir tahun ini telah menggelontorkan dana mencapai i Rp 8,571
triliun yang merupakan foreign net buy.
Bahkan hingga tengah pekan terakhir bulan lalu, dalam sehari
perdagangan, rata-rata uang investor luar negeri ini masuk sekitar Rp 400-800
miliar. Hal itu telah mendorong indeks menyentuh level tertinggi sepanjang masa
5.434,938.
Akan tetapi yang terjadi di pasar modal, tak berlaku di
pasar uang. Nilai tukar rupiah pada waktu yang sama bertengger di level
12.800-an, melanjutkan pelemahan yang sudah terjadi sejak awal Februari. Melansir
Bloomberg Dollar Index, Jakarta, Selasa (24/2), rupiah pada perdagangan
non-delivery forward (NDF) bergerak ke Rp12.868 per dollar AS. Pergerakan
selama 52 minggu sebelumnya berada di kisaran Rp11.254-Rp12.938 per dollar AS.
Rupiah dinilai hanya bisa mengurangi tekanan pelemahannya
tetapi tidak bisa menguat. Meski
rupiah terus berada dalam tren melemah terhadap dolar AS,
pada saat yang sama kurs rupiah justru menguat terhadap mata uang yang lain
seperti euro. Pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia bulan lalu, otoritas
mengakui nilai tukar rupiah melemah seiring dengan apresiasi dollar AS yang
terjadi secara luas.
Pada triwulan keempat 2014, rupiah secara rata-rata melemah
sebesar 3,9 persen (qtq) ke level Rp12.244 per dolar AS. Semakin solidnya
perekonomian AS mendorong penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia.
Tekanan terhadap rupiah berlanjut di bulan Januari 2015, sejalan dengan terus
berlangsungnya penguatan dolar AS akibat rencana ECB melakukan kebijakan
pelonggaran moneter yang diikuti oleh sejumlah negara. Sementara itu pada Februari,
rupiah secara rata-rata melemah 1,21 persen (mtm) ke level Rp12.581 per dolar
AS.
Bank Indonesia memandang bahwa pergerakan nilai tukar
mendukung perbaikan defisit transaksi berjalan, baik melalui penurunan impor
khususnya barang konsumsi maupun meningkatkan daya saing ekspor khususnya
manufaktur. “Ke depan, Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar
rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya sehingga dapat mendukung stabilitas
makroekonomi dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat dan
berkesinambungan,” kata Siaran Pers BI.
Bulan lalu, bank sentral menurunkan suku bunga acuan yang
telah bertahan lebih dari setahun, dan kini bertengger di level 7,5 persen.
Langkah itu tidak terlepas dari perkembangan global yang dinilai membaik.
Padahal pada November, BI Rate dikerek 25 basis poin ke angka 7,75 persen
setelah perekonomian global dianggap memburuk dan pemerintah baru saja
menghapus subsidi bahan bakar minyak.
Yanuar mengatakan, nilai tukar rupiah akan terus berada
dalam kecenderungan melemah dalam suasana ‘perang moneter global’ yang terjadi.
Bank sentral, lanjut dia, harus bertarung lebih sengit dalam kondisi seperti
itu untuk menjaga perekonomian nasional agar tidak mendapatkan dampak buruk
dari perang itu. “Namun BI tidak bisa bertarung sendirian. Karena negara lain,
selain bank sentral, pemerintah dan parlemennya juga ikut bertarung,” kata dia.
Sebelumnya, dunia juga mengalami apa yang dinamakan perang
kurs pada 2010 ketika Menteri Keuangan Brazil Guido Mantega mempopulerkan
istilah itu pertama kalinya. Langkah penggelontoran dana raksasa dalam
kebijakan quantitative easing yang
dilakukan The Fed telah melemahkan dollar AS di seluruh dunia dan membuat
produk asal Negeri Paman Sam itu lebih kompetitif.
Hal itu menimbulkan reaksi dari China yang merupakan pesaing
AS yang melakukan devaluasi dalam mata uang yuan untuk melindungi ekspornya.
Negara-negara lain yang tak mau menderita karena kehilangan daya saing,
kemudian melakukan hal yang sama.
Dan perang itu diperkirakan akan muncul
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar