Kamis, 16 April 2015

Menyambut Perang Moneter

Rencana bank sentral AS yang ingin menaikkan suku bunga acuan demi menarik kembali dollar AS tidak semulus dugaan sebelumnya, karena reaksi yang tak terduga dari otoritas negara lain. Hal ini diprediksi akan menimbulkan ‘perang ‘ baru dalam moneter global.


Prediksi ekonomi memang kerapkali meleset, jika tidak mau dibilang hampir selalu meleset. Tahun lalu, kita begitu khawatir normalisasi kebijakan dari bank sentral AS terkait quantitative easing dan juga rencana dinaikannya suku bunga The Fed, akan membuat ekonomi kita makin berat.
Dengan berakhirnya kebijakan pembelian obligasi negara dan juga perusahaan-perusahaan swasta AS oleh The Federal Reserve ditambah dengan kenaikkan suku bunga, bisa dipastikan sektor keuangan nasional akan kembali mendapat guncangan. Suku bunga dalam negeri akan melonjak, pelarian modal marak dan ekonomi akan terpuruk.
Akan tetapi memasuki triwulan pertama tahun ini, kenyataan mulai menjauh dari prediksi. Berawal dari sikap The Fed yang tampaknya mulai ragu untuk menjalankan rencana menaikkan suku bunga sesuai jadwal. Pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) awal tahun, tersiar kabar bahwa The Fed memundurkan target yang merupakan hasil pertemuan pada 2013 lalu. target kebijakan kenaikan The Fed Rate yang tadinya dilakukan Januari 2015 digeser ke April 2015.
Malahan kejelasan kenaikan bunga di bulan April 2015 pun sekarang terkesan mulai pudar dari sesuatu yang pasti menjadi tidak pasti. Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen memberi sinyal bahwa ‘The Fed akan sabar, sampai perekonomian Amerika Serikat benar-benar kuat’.
Perkembangan ini tentu membuat ‘persiapan’ yang sudah dilakukan oleh sebagian besar otoritas moneter dunia berubah lagi untuk meresponsnya. Meski begitu, tidak hanya dari sisi dampak yang menarik untuk disimak, tetapi juga dari sisi penyebab mengapa The Fed tiba-tiba memundurkan rencana tersebut.
Menurut pengamat ekonomi dan keuangan, Yanuar Rizky, keputusan The Fed yang menunda keputusan untuk menaikkan suku bunga yang sudah bertahan sejak lebih dari enam tahun tidak terlepas dari respons otoritas di negara lain dan juga pergerakan dollar AS.
Sebagaimana dipahami, kebijakan AS yang akan menaikkan suku bunga adalah ‘panggilan’ kepada dollar AS untuk kembali ke kampung halamannya. Akan tetapi, setelah The Fed memberikan sinyal tersebut, mata uang green back itu tidak kunjung tiba seperti yang diharapkan. “(jumlah dollar AS yang kembali)  tampaknya tidak sederas harapan The Fed. Pertumbuhan deposito di perbankan Amerika Serikat cenderung stagnan,” kata Yanuar.
Sebaliknya yang menarik terjadi justru respons dari otoritas moneter Swiss. Pasar keuangan dikagetkan oleh aksi ‘mendadak’ dari Bank Sentral Swiss (SNB) pada 14 Januari 2015 lalu yang melepaskan kebijakan kurs tetap franc Swiss (CHF) terhadap Euro. Hal itu sontak saja menyebabkan volatilitas franc Swiss atas Euro menjadi tertinggi dalam hari itu sekaligus yang tertinggi sepanjang sejarah pasar uang dunia.
Berdasarkan data dari Bejana Invesdata Globalindo, lembaga riset keuangan yang dikepalai Yanuar, terlihat ada kenaikan agresif dari dana-dana deposito yang disimpan di perbankan Swiss. Dari data yang sama juga terlihat bahwa sejak isu tapering off dan kenaikkan Fed Rate” dihembuskan di 2013, dollar AS lebih memilih Swiss dibandingkankan ke kampung halamannya di Amerika.
Menurut Yanuar, aksi Swiss melepas peg mata uangnya atas euro adalah dampak dari aksi dan reaksi antara SNB dengan Bank Sentral Eropa (ECB) merespons aksi moneter The Fed. Aksi reaksi dari otoritas moneter dunia ini akan membawa kurs-kurs di dunia menuju keseimbangan baru. “ Saya menyebutnya ‘perang moneter dunia’,” kata dia.
Meski begitu, lanjut Yanuar, menarik juga ditelusuri apakah maraknya dana menuju Swiss yang merupakan negara yang paling melindungi kerahasiaan nasabah perbankan merupakan tanda-tanda bahwa dunia tengah dilanda gelombang ‘uang panas’ yang tidak jelas.
‘Kekecewaan’ The Fed terkait tidak berjalan mulusnya rencana kebijakan moneternya juga terjadi pada 2013. Saat ini, The Fed mengumumkan akan menghentikan kebijakan stimulus moneter tak biasa (tapering off) pada Mei 2013.
Akan tetapi, kurang dua hari setelah pengumuman itu. Tanpa sinyal sebelumnya, BoJ menaikkan belanja stimulus tahunannya, dari semula 450 miliar dollar AS menjadi 730 miliar dollar AS untuk pembelian surat utang, dan dari 10 miliar dollar AS menjadi 30 miliar dollar AS untuk saham.
Pengumuman itu tak pelak menerbangkan indeks Nikkei ke level tertinggi dalam 8 tahun, sekaligus memperlemah nilai tukar Yen terhadap dolar AS ke level terendah 7 tahun. “Kami sedang berada pada masa-masa kritis untuk membebaskan diri dari deflasi,” kata Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda.
Dengan nilai tukar yen yang lebih rendah, ekspor Jepang di pasar global menjadi lebih kompetitif, hingga perekonomiannya secara umum melaju lebih ringan. Singkatnya, dengan sekali dayung QE, dua pulau yaitu deflasi dan daya saing ekspor, terlampaui.

Berani Bertarung
Omong-omong soal uang panas, pasar modal Indonesia tampaknya juga sedang mengalaminya.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tengah kedatangan gelombang dana-dana asing sehingga beberapa kali mencatatkan rekor sepanjang dua bulan pada tahun ini. Banyaknya investor asing yang masuk bursa pada 37 perdangangan terakhir tahun ini telah menggelontorkan dana mencapai i Rp 8,571 triliun yang merupakan foreign net buy.
Bahkan hingga tengah pekan terakhir bulan lalu, dalam sehari perdagangan, rata-rata uang investor luar negeri ini masuk sekitar Rp 400-800 miliar. Hal itu telah mendorong indeks menyentuh level tertinggi sepanjang masa 5.434,938.
Akan tetapi yang terjadi di pasar modal, tak berlaku di pasar uang. Nilai tukar rupiah pada waktu yang sama bertengger di level 12.800-an, melanjutkan pelemahan yang sudah terjadi sejak awal Februari. Melansir Bloomberg Dollar Index, Jakarta, Selasa (24/2), rupiah pada perdagangan non-delivery forward (NDF) bergerak ke Rp12.868 per dollar AS. Pergerakan selama 52 minggu sebelumnya berada di kisaran Rp11.254-Rp12.938 per  dollar AS.
Rupiah dinilai hanya bisa mengurangi tekanan pelemahannya tetapi tidak bisa menguat. Meski
rupiah terus berada dalam tren melemah terhadap dolar AS, pada saat yang sama kurs rupiah justru menguat terhadap mata uang yang lain seperti euro. Pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia bulan lalu, otoritas mengakui nilai tukar rupiah melemah seiring dengan apresiasi dollar AS yang terjadi secara luas. 
Pada triwulan keempat 2014, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 3,9 persen (qtq) ke level Rp12.244 per dolar AS. Semakin solidnya perekonomian AS mendorong penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia. Tekanan terhadap rupiah berlanjut di bulan Januari 2015, sejalan dengan terus berlangsungnya penguatan dolar AS akibat rencana ECB melakukan kebijakan pelonggaran moneter yang diikuti oleh sejumlah negara. Sementara itu pada Februari, rupiah secara rata-rata melemah 1,21 persen (mtm) ke level Rp12.581 per dolar AS.
Bank Indonesia memandang bahwa pergerakan nilai tukar mendukung perbaikan defisit transaksi berjalan, baik melalui penurunan impor khususnya barang konsumsi maupun meningkatkan daya saing ekspor khususnya manufaktur. “Ke depan, Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya sehingga dapat mendukung stabilitas makroekonomi dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat dan berkesinambungan,” kata Siaran Pers BI.
Bulan lalu, bank sentral menurunkan suku bunga acuan yang telah bertahan lebih dari setahun, dan kini bertengger di level 7,5 persen. Langkah itu tidak terlepas dari perkembangan global yang dinilai membaik. Padahal pada November, BI Rate dikerek 25 basis poin ke angka 7,75 persen setelah perekonomian global dianggap memburuk dan pemerintah baru saja menghapus subsidi bahan bakar minyak.
Yanuar mengatakan, nilai tukar rupiah akan terus berada dalam kecenderungan melemah dalam suasana ‘perang moneter global’ yang terjadi. Bank sentral, lanjut dia, harus bertarung lebih sengit dalam kondisi seperti itu untuk menjaga perekonomian nasional agar tidak mendapatkan dampak buruk dari perang itu. “Namun BI tidak bisa bertarung sendirian. Karena negara lain, selain bank sentral, pemerintah dan parlemennya juga ikut bertarung,” kata dia.
Sebelumnya, dunia juga mengalami apa yang dinamakan perang kurs pada 2010 ketika Menteri Keuangan Brazil Guido Mantega mempopulerkan istilah itu pertama kalinya. Langkah penggelontoran dana raksasa dalam kebijakan quantitative easing yang dilakukan The Fed telah melemahkan dollar AS di seluruh dunia dan membuat produk asal Negeri Paman Sam itu lebih kompetitif.
Hal itu menimbulkan reaksi dari China yang merupakan pesaing AS yang melakukan devaluasi dalam mata uang yuan untuk melindungi ekspornya. Negara-negara lain yang tak mau menderita karena kehilangan daya saing, kemudian melakukan hal yang sama.
Dan perang itu diperkirakan akan muncul lagi.      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar