Awal tahun adalah waktu yang biasanya dipenuhi optimisme
dari seluruh pelaku usaha. Ini adalah waktu untuk memperbaiki kinerja yang
tahun lalu belum optimal dan sekaligus memulai langkah demi mencapai kinerja
yang lebih baik tahun ini.
Meki begitu, seringkali harapan
yang membuncah yang mengiringi langkah di awal tahun membuat orang abai
terhadap ancaman. Untuk perusahaan, ancaman itu kerap datang dari fraud atau kejahatan yang memang
menunggu saat orang-orang masih terbawa suasana santai, sisa-sisa liburan akhir
tahun.
Dalam beberapa tahun terakhir sepanjang
dekade ini, beberapa bank sempat terkena guncangan fraud yang kemudian membuat catatan buruk bagi reputasi perusahaan.
Tidak cuma pada bank-bank kecil, pembobolan di awal-awal tahun ketika bank
belum sepenuhnya sigap juga menimpa pada bank-bank dengan size besar.
Persoalan good corporate governance (GCG) saat ini memang tengah tertuju pada
perusahaan-perusahaan non bank. Jiwasraya, asuransi negara tertua, tengah
menjadi sorotan publik karena terhempas kasus gagal bayar dari kebijakan
investasinya yang terbilang tidak prudent.
Namun demikian, di sektor
perbankan permasalahan GCG juga tidak sepi. Yang masih terngiang di ingatan
publik adalah ketika pada pertengahan tahun lalu Bank Mandiri mengalami eror
dalam sistem teknologi dan informasi. Akibat kejadian itu banyak dana-dana
nasabah yang berpindah tempat, sebagian terkuras sebagian bertambah, yang
membuat manajemen harus menyiapkan uang ganti rugi.
GCG memang kerap kali dinafikan,
dan dikorbankan demi mencapai kinerja keuangan yang optimal. Akan tetapi pada
akhirnya karena dipinggirkannya praktik GCG, perusahaan –terutama bank justru
harus menerima kenyataan kinerja yang memburuk, bahkan kolaps.
Sejarah di industri keuangan
memang membuktikan bahwa jarang sekali ada lembaga keuangan yang bangkrut atau
terhapus dari sejarah karena meningkatnya risiko kredit, alias kredit macet.
Akan tetapi, banyak lembaga keuangan yang hilang dari peredaran karena
reputasinya yang amblas yang dikarenakan praktik GCG yang buruk.
Berdasarkan regulasi dari
otoritas perbankan, penerapan GCG memiliki lima pilar yaitu. transparansi,
akuntabilitas, tanggung jawab (responsibility),
kemandirian (independency), dan
kesetaraan (fairness).
Kelima unsur itu memiliki
tantangan yang tak ringan ketika saat ini bank-bank menghadapi kondisi bisnis
yang didominasi oleh praktik digital. Pada pilar Transparansi, perusahaan harus
paham benar manfaat dan risiko dari munculnya era Industri 4.0. Perusahaan
harus menjelaskan ke stake holder
terutama publik dimana posisi perusahaan dalam revolusi Industri ke empat ini.
Terutama apa yang akan dilakukan perusahaan ketika menghadapi era digital ini.
Pada pilar Akuntabilitas, perusahaan
harus memastikan bahwa pengurus telah efektif menjalankan tugasnya. Misalnya,
Dewan Komisaris dan Direksi menyatakan telah memiliki kesadaran pentingnya
inovasi dan paham Industri yang sedang dialami perusahaan.
Pada pilar Tanggung jawab, perusahaan
diharapkan mampu mempertanggungjawabkan unsur kepatuhan berdasarkan prinsip
korporasi yang sehat, yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,
khususnya tentang fenomena Industri 4.0. Tujuannya agar para pemangku
kepentingan terinformasi dengan baik.
Pada pilar Kemandirian, bank harus
terus berpegang pada asas profesionalitas tanpa adanya benturan kepentingan. Misalnya
ketika bank ingin mengakuisisi perusahaan fintech maka harus dipastikan hal itu
dilandasi oleh tujuan bisnis dan tidak tidak melanggar peraturan.
Kesetaraan. Pada pilar ini setiap
kali melakukan aksi korporasi, perusahaan
selalu menjaga hak pemegang saham minoritas. Jangan sampai ada satu
stake holder pun yang dikorbankan.
Memasuki dasawarsa kedua di abad
milenium ini, penerapan GCG di industri perbankan akan menghadapi tantangan
yang makin berat. Ketika perekonomian mulai melambat, persaingan usaha semakin
ketat, bisnis semakin susah, biasanya muncul praktik-praktik bisnis yang lebih
berani menabrak aturan. Singkatnya pada saat itu, risk appetite meningkat dan jumlah risk taker juga bertambah.
Hal itu bahkan dikonfirmasi oleh
laporan yang diterbitkan oleh tiga lembaga ekonomi global terkemuka, yaitu
Fitch Rating, Moody’s, dan McKinsey. Dalam laporan jelang akhir tahun lalu
lembaga pemeringkat Fitch menyebut industri perbankan global, termasuk memiliki
prospek negatif lantaran dihadapkan pada tantangan kualitas aset. Hal ini
dipicu oleh adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut, tingkat
suku bunga yang rendah, dan masih adanya kompetisi yang tinggi.
Akan tetapi Kondisi tersebut,
kata laporan itu, justru akan meningkatkan potensi risk appetite pada 2020. Peningkatan risk appetite ini terjadi, didongkrak oleh keinginan pelaku bisnis
untuk tetap mencetak laba di tengah suku bunga redah, tertekannya marjin bunga
bersih (NIM), perlambatan pertumbuhan, kompetisi ketat, dan biaya yang masih
tinggi.
Bagi pelaku bisnis dan juga
regulator, ekspektasi itu harus dijadikan sebagai sinyal agar kewaspadaan pada
risiko di industri keuangan segara ditingkatkan. Berdasarkan pengalaman krisis
menyakitkan dua dekade lalu, kewaspadaan itu bisa dimulai dari penerapan
praktik GCG di industri perbankan.