Senin, 24 Februari 2020

Mulailah Perhatikan Tata Kelola


Awal tahun adalah waktu yang biasanya dipenuhi optimisme dari seluruh pelaku usaha. Ini adalah waktu untuk memperbaiki kinerja yang tahun lalu belum optimal dan sekaligus memulai langkah demi mencapai kinerja yang lebih baik tahun ini.
Meki begitu, seringkali harapan yang membuncah yang mengiringi langkah di awal tahun membuat orang abai terhadap ancaman. Untuk perusahaan, ancaman itu kerap datang dari fraud atau kejahatan yang memang menunggu saat orang-orang masih terbawa suasana santai, sisa-sisa liburan akhir tahun.
Dalam beberapa tahun terakhir sepanjang dekade ini, beberapa bank sempat terkena guncangan fraud yang kemudian membuat catatan buruk bagi reputasi perusahaan. Tidak cuma pada bank-bank kecil, pembobolan di awal-awal tahun ketika bank belum sepenuhnya sigap juga menimpa pada bank-bank dengan size besar.
Persoalan good corporate governance (GCG) saat ini memang tengah tertuju pada perusahaan-perusahaan non bank. Jiwasraya, asuransi negara tertua, tengah menjadi sorotan publik karena terhempas kasus gagal bayar dari kebijakan investasinya yang terbilang tidak prudent.
Namun demikian, di sektor perbankan permasalahan GCG juga tidak sepi. Yang masih terngiang di ingatan publik adalah ketika pada pertengahan tahun lalu Bank Mandiri mengalami eror dalam sistem teknologi dan informasi. Akibat kejadian itu banyak dana-dana nasabah yang berpindah tempat, sebagian terkuras sebagian bertambah, yang membuat manajemen harus menyiapkan uang ganti rugi.
GCG memang kerap kali dinafikan, dan dikorbankan demi mencapai kinerja keuangan yang optimal. Akan tetapi pada akhirnya karena dipinggirkannya praktik GCG, perusahaan –terutama bank justru harus menerima kenyataan kinerja yang memburuk, bahkan kolaps.
Sejarah di industri keuangan memang membuktikan bahwa jarang sekali ada lembaga keuangan yang bangkrut atau terhapus dari sejarah karena meningkatnya risiko kredit, alias kredit macet. Akan tetapi, banyak lembaga keuangan yang hilang dari peredaran karena reputasinya yang amblas yang dikarenakan praktik GCG yang buruk.
Berdasarkan regulasi dari otoritas perbankan, penerapan GCG memiliki lima pilar yaitu. transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab (responsibility), kemandirian (independency), dan kesetaraan (fairness).
Kelima unsur itu memiliki tantangan yang tak ringan ketika saat ini bank-bank menghadapi kondisi bisnis yang didominasi oleh praktik digital. Pada pilar Transparansi, perusahaan harus paham benar manfaat dan risiko dari munculnya era Industri 4.0. Perusahaan harus menjelaskan ke stake holder terutama publik dimana posisi perusahaan dalam revolusi Industri ke empat ini. Terutama apa yang akan dilakukan perusahaan ketika menghadapi era digital ini.
Pada pilar Akuntabilitas, perusahaan harus memastikan bahwa pengurus telah efektif menjalankan tugasnya. Misalnya, Dewan Komisaris dan Direksi menyatakan telah memiliki kesadaran pentingnya inovasi dan paham Industri yang sedang dialami perusahaan. 
Pada pilar Tanggung jawab, perusahaan diharapkan mampu mempertanggungjawabkan unsur kepatuhan berdasarkan prinsip korporasi yang sehat, yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, khususnya tentang fenomena Industri 4.0. Tujuannya agar para pemangku kepentingan terinformasi dengan baik. 
Pada pilar Kemandirian, bank harus terus berpegang pada asas profesionalitas tanpa adanya benturan kepentingan. Misalnya ketika bank ingin mengakuisisi perusahaan fintech maka harus dipastikan hal itu dilandasi oleh tujuan bisnis dan tidak tidak melanggar peraturan. 
Kesetaraan. Pada pilar ini setiap kali melakukan aksi korporasi, perusahaan  selalu menjaga hak pemegang saham minoritas. Jangan sampai ada satu stake holder pun yang dikorbankan.
Memasuki dasawarsa kedua di abad milenium ini, penerapan GCG di industri perbankan akan menghadapi tantangan yang makin berat. Ketika perekonomian mulai melambat, persaingan usaha semakin ketat, bisnis semakin susah, biasanya muncul praktik-praktik bisnis yang lebih berani menabrak aturan. Singkatnya pada saat itu, risk appetite meningkat dan jumlah risk taker juga bertambah.
Hal itu bahkan dikonfirmasi oleh laporan yang diterbitkan oleh tiga lembaga ekonomi global terkemuka, yaitu Fitch Rating, Moody’s, dan McKinsey. Dalam laporan jelang akhir tahun lalu lembaga pemeringkat Fitch menyebut industri perbankan global, termasuk memiliki prospek negatif lantaran dihadapkan pada tantangan kualitas aset. Hal ini dipicu oleh adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut, tingkat suku bunga yang rendah, dan masih adanya kompetisi yang tinggi.
Akan tetapi Kondisi tersebut, kata laporan itu, justru akan meningkatkan potensi risk appetite pada 2020. Peningkatan risk appetite ini terjadi, didongkrak oleh keinginan pelaku bisnis untuk tetap mencetak laba di tengah suku bunga redah, tertekannya marjin bunga bersih (NIM), perlambatan pertumbuhan, kompetisi ketat, dan biaya yang masih tinggi.
Bagi pelaku bisnis dan juga regulator, ekspektasi itu harus dijadikan sebagai sinyal agar kewaspadaan pada risiko di industri keuangan segara ditingkatkan. Berdasarkan pengalaman krisis menyakitkan dua dekade lalu, kewaspadaan itu bisa dimulai dari penerapan praktik GCG di industri perbankan.

GCG Perbankan dalam Ancaman


Praktik tata kelola di perbankan Tanah Air masih belum bisa memutus tren pemburukan jika dilihat sejak pertama kali kewajiban itu diterapkan. Tantangan makin berat ketika pada 2020 pelemahan ekonomi global dan ancaman resesi justru akan meningkatkan risk appetite pelaku usaha.

  
Tata kelola Perusahaan yang Baik tetap menjadi barang mahal di Indonesia. Bahkan setelah diperkenalkan pada dua dasawarsa lalu, kepatuhan untuk mengadopsi ketentuan tersebut dinilai masih minim.
Penerapan good corporate governance (GCG) di Indonesia memang baru dimulai pada 1999, setelah ekonomi Indonesia porak poranda dihantam krisis moneter setahun sebelumnya. Namun demikian, setelah hampir 20 tahun berlalu, praktik itu belum menemukan hasil sepadan. Setidaknya itulah yang ditemukan oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), sebuah institusi terkemuka di bidang pelatihan, konsultansi, dan riset untuk industri keuangan.
                Berdasarkan hasil riset LPPI, nilai rata-rata praktik GCG dalam beberapa tahun belakangan memang terlihat membaik. Pada 2016, nilainya berada di level 2,16, setahun setelahnya berada di level 2,07 dan data terakhir 2018 berada di level 2,02. Makin mendekati 1, maka praktik GCG sebuah bank dinilai makin baik.
                Akan tetapi jika dilihat secara tren sejak 2007 hingga 2018, maka bisa disimpulkan bahwa praktik GCG di perbankan Indonesia tidak mengalami perbaikan, alias terus memburuk. Jika ditelisik lebih lanjut hasil riset tersebut, dapat disimpulkan bahwa makin besar modal sebuah bank maka makin bagus praktik GCG-nya.
                Bank BUKU 4 mendapatkan nilai komposit 1,40, tertinggi dibanding bank BUKU lainnya. disusul berturut-turut oleh bank BUKU 3, BUKU 2 dan BUKU 1. “Nilai rata-rata GCG BUKU 4 memiliki PK (Predikat Komposit) antara BAIK dan SANGAT BAIK. Dan dari enam bank penghuni BUKU 4, separo berada di atas rata-rata, sisanya di bawah rata-rata. Sedangkan dibandingkan terhadap rata-rata industri semua bank BUKU 4 berada di bawah rata-rata, yang artinya lebih bagus,” kata Kepala Divisi Riset LPPI Lando Simatupang kepada Stabilitas.
                Sementara itu, jika dilihat dari kepemilikan saham, bank-bank milik negara memiliki nilai GCG tertinggi. Berdasarkan analisis deskriptif dari riset tersebut, bank BUMN berada di bawah rata-rata industri dengan PK SANGAT BAIK. Sedangkan bank swasta nasional dan bank asing memiliki nilai di bawah rata-rata industri dan PK BAIK. Sementara BPD memiliki rata-rata nilai komposit di atas rata-rata industri dengan PK BAIK, alias yang paling buruk di industri.
Sejak 2006, perbankan nasional, telah diwajibkan menjalankan GCG berdasarkan aturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Kemudian sejak 2016, peraturan mengenai GCG merujuk kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 55/POJK.03/2016 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) No. 13/SEOJK.03/2017 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum.
Dalam aturan itu, setiap bank umum yang beroperasi di Indonesia harus menilai sendiri GCG-nya (self assessment) dengan menggunakan suatu ukuran tertentu, paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun. Hasil self assessment ini kemudian dilaporkan kepada otoritas.
Riset LPPI didasarkan pada survei laporan GCG bank, dan situs resmi dari 108 bank, atau 97 persen dari total bank yang ada. Jika telusuri tahun demi tahun sejak kewajiban penerapan GCG tersebut diberlakukan, terlihat adanya penurunan kualitas governance. Dalam riset,disebutkan ketika pertama kali diterapkan pada 2006, nilai rata-rata GCG industri perbankan berada di kisaran 1, yang berarti sangat baik (lihat tabel).
Kondisi itu, akan tetapi, hanya berlangsung setahun. Malah, setelah melewati fase perbaikan sepanjang periode 2008-2010, nilai rata-rata GCG kembali memburuk dan mencapai puncaknya pada 2015. Ya, tahun 2010 adalah puncaknya penerapan GCG di Indonesia ketika nilai kompositnya mencapai 1,85. Setelah itu, berturut-turut nilai komposit industri perbankan menurun dengan nilai komposit yang terus cenderung membesar.
Jika ditelusuri ke belakang, hasil kajian tersebut memang tidak berbohong. Pada 2011, kita ingat ada kasus besar di industri perbankan ketika kasus pembobolan Citibank oleh pegawai private banking-nya menyeruak. Pada 2012 juga ada kasus besar yaitu pembobolan dana yang dilakukan pegawai Bank Mega terhadap simpanan dari Elnusa, perusahaan sektor minyak dan gas milik negara, yang kasusnya berlarut-larut hingga 2013.
Pada 2014 ada kasus pembobolan dana dan juga skimming kartu debit dan kredit yang menimpa Bank Mandiri. Total dana yang dicuri berjumlah puluhan miliar rupiah. Kemudian pada 2015, mencuat kasus besar yang menimpa Bank BTPN ketika dana Rp22 miliar milik Pemerintah Kota Semarang raib dari deposito yang dikelola bank itu. Pemkot menyimpan uang sebesar Rp 22 miliar yang didepositokan ke BTPN sejak 2007, dalam bentuk rekening koran.

Tantangan 2020
Pada tahun ini, penerapan GCG akan menghadapi tantangan yang lebih berat ketika perekonomian global tengah terancam resesi dan juga kisruh keamanan global. Bahkan berdasarkan laporan tiga lembaga ekonomi global terkemuka yaitu Fitch Rating, Moody's dan McKinsey, tantangan ekonomi 2020 justru akan membuat risk appetite pelaku di sektor keuangan meningkat.
Menurut Mas Ahmad Daniri, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), hal itu memang lazim. “Prospek bisnis yang menantang dan memburuk justru akan memicu kecenderungan para pengelola bisnis untuk berani menabrak-nabrak  aturan. Tetapi pada akhirnya nanti yang berjaya adalah mereka yang komit menerapkan GCG,” jelas dia kepada Stabilitas.
Sementara itu di dalam negeri, lanjut Daniri, tantangan penerapan GCG pada 2020 akan bergantung pada praktik-praktik governance yang dilakukan oleh stake holder. “Penerapan GCG akan bergantung pada pihak-pihak terkait. Seperti profesi penilai, reglator, auditor dan lain-lain. Juga dari sisi internal misalnya direksi atau komisaris,” kata dia.
Praktik GCG di industri perbankan diakui Daniri, lebih baik ketimbang sektor lain. Namun demikian ancaman praktik menelikung GCG tetap berpotensi muncul. “Misalnya, karena dijanjikan bonus besar jika profit, maka direksi atau komisaris merekayasa pencapaian profit perusahaannya aga mendapatkan bonus tersebut,” lanjut dia.
Saat ini publik memang tengah menyoroti praktik GCG pada perusahaan-perusahaan BUMN tak terkecual di bidang perbankan. Meski begitu, secara umum, kata Daniri, praktik di bank-bank BUMN cenderung lebih baik, karena bank diawasi oleh lebih banyak regulator. “Bank BUMN pengawasannya lebih ketat, karena diawasi oleh regulator  bank, regulator pasar modal dan regulator BUMN,” tukas Daniri.
                Memang berdasarkan kajian LPPI, praktik GCG di bank-bank milik negara terlihat paling bagus tahun 2018 dengan nilai komposit 1,46. Sementara untuk bank swasta memiliki nilai komposit 1,96, bank asing memiliki nilai 1,90, dan bank-bank daerah di level 2,27.
                Sementara itu, Wilson Arafat, praktisi GCG yang bekerja di sebuah bank mengatakan bahwa pada 2020, dalam konteks praktik GCG, ada dua hal yang perlu ditegakkan. Pertama, etika bisnis harus yang dituangkan dalam code of conduct perbankan. “Integritas harus dijadikan panglima sehingga mampu menepis benturan kepentingan, praktik haram gratifikasi yang pada gilirannya menjadikan kepentingan perusahaan diutamakan di atas kepentingan golongan, apalagi pribadi,” kata dia.
                Kedua, penerapan praktik combined assurance atau GRC (governance, risk management dan compliance) harus menancap di perusahaan, minimal pada proses bisnis utama. “Praktik itu ditopang people, IT dan teknologi digital terkini, sehingga mampu mewujudkan proses bisnis best in class,” ujar Wilson. “Jika hal ini mampu di wujudkan program zero fraud bukan tidak mungkin dapat segera terwujud.”











Komposit Self Assessment GCG
Nilai Komposit
Predikat Komposit
PK
Nilai Komposit < 1,50
Sangat Baik
1
1,5 ≤ Nilai Komposit < 2,5
Baik
2
2,5 ≤ Nilai Komposit < 3,5
Cukup
3
3,5 ≤ Nilai Komposit < 4,5
Kurang Baik
4
4,5 ≤ Nilai Komposit < 5,0
Tidak Baik
5
Sumber: SE OJK No. 13/SEOJK.03/2017




(dipublikasikan Desember 2019)

Kelas Menengah, Sang Pemegang Kunci

Saat ini konsumsi disebut-sebut sebagai sektor penopang yang bisa menyelamatkan pertumbuhan ekonomi dari keterpurukan. Pelambatan ekonomi yang berlarut-larut –pertumbuhan yang hanya di kisaran 5 persen dalam enam tahun terakhir, dikhawatirkan akan berubah menjadi kemandekan ekonomi ketika konsumsi enggan bergerak. Dan akhir-akhir ini situasi itu dinilai mulai mengemuka.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Tim Riset Stabilitas, di sepanjang triwulan kedua 2011 sampai triwulan kedua 2019, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pernah mencapai 5,89 persen yaitu di triwulan kedua 2011. Akan tetapi, angka tersebut terus melambat hingga triwulan ketiga 2019 berbarengan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Terakhir, pada triwulan pertama 2019, pertumbuhan sektor rumah tangga hanya sebesar 5,01 persen, angka terendah dalam hampir satu dasawarsa terakhir.
Jika ditilik lebih lanjut, dalam sektor rumah tangga itu, ternyata yang menyebabkan konsumsi mengalami perlambatan adalah mereka-mereka yang termasuk di dalam kelompok 20 persen berpengeluaran tertinggi. Mereka inilah yang kerap disebut kelas menengah. Seperti diketahui, kelompok 20 persen berpengeluaran tinggi memiliki porsi pengeluaran terhadap total konsumsi rumah tangga di Indonesia di atas 45 persen.
Mereka dinilai menahan belanjanya –terutama pada sektor sekunder dan tersier –karena beragam alasan. Di antaranya yang sering diungkapkan pengamat adalah karena menunggu kepastian ekonomi dan kebijakan pemerintah dalam meresponsnya. Atau rencana pemerintah yang ingin menaikkan iuran-iuran wajib yang sudah dibebankan ke masyarakat, atau juga pencabutan subsidi listrik. Bahkan ada di antara kelompok menengah ini yang menunggu kepastian dari kebijakan pemerintah yang ingin memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan.
Lalu siapa sih kelompok menengah ini? Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), kelompok  ini dikenali melalui jumlah uang yang dikeluarkan setiap harinya. Middle class atau kelas menengah masyarakat biasa berpengeluaran per harinya mencapai antara 2- 4 dollar AS. Namun begitu, lembaga itu juga mengklasifikasikan kelas menengah atas untuk membedakan mereka yang mengeluarkan uang sebesar 10 -20 dollar AS per hari.
Jika dikaitkan dengan kurs dollar AS akhir-akhir ini, maka kategori pertama membelanjakan antara Rp30 ribu hingga Rp60 ribu per hari, sedangkan kategori kedua menghabiskan antara Rp150 ribu hingga Rp300 ribu per hari. Atau kalau dihitung secara bulanan konsumsi mereka adalah antara Rp900 ribu dan Rp1,8 juta untuk kategori pertama, dan antara Rp4,5 juta hingga Rp9 juta untuk kategori kedua.
Kelas menengah dengan “daya jajan” mumpuni ini disebut-sebut sebagai kelas konsumen baru. Mereka adalah orang-orang yang beberapa tahun belakangan rela antre untuk mendapatkan telepon genggam keluaran terbaru dari Iphone, atau sekadar berbaris untuk mendapatkan tiket konser penyanyi asing.
Kelas ini juga kerap disebut sebagai modal utama perekonomian sebuah negara bertransformasi ke jajaran elit global,seperti yang terjadi dengan Jepang dan Korea Selatan. Namun begitu, kelas ini juga menyimpan daya jebak, jika pemerintah tidak pintar-pintar mengelola kelompok ini.
Nah, saat ini mereka dianggap sedang memegang “kunci pertumbuhan”. Oleh karena itu pemerintah dan otoritas terlihat sangat berkepentingan untuk tetap menjaga belanja mereka tetap stabil demi bergeraknya roda perekonomian.
Golongan ini, akan tetapi, dinilai sebagai golongan yang susah diarahkan bahkan oleh insentif karena merasa independen dalam penghasilan hidup. Dalam diskusi sosial-politik kelas menengah ini juga sering disebut sebagai kelas yang menikmati kemapanan dan menghindari risiko perubahan sosial-politik. Namun begitu, kelompok ini dinilai berguna untuk meredakan sisi buruk dari kelas atas dan kelas pekerja.
Kenapa kelompok ini dianggap pemegang “kunci pertumbuhan”? Tak kurang karena sifat dan daya konsumsi mereka. Daya beli masyarakat kelas menengah menjadi peluang bagi kalangan pengusaha untuk menggarap potensi bisnis. Perluasan bidang usaha dari para konglomerat dengan sendirinya juga membuka lapangan kerja dan akan semakin lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Selama ini kontribusi dari transaksi masyarakat kelas menengah telah terbukti sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Karena dengan terdongkraknya konsumsi rumah tangga, selain pendapatan pajak juga akan meningkat, sektor-sektor produksi juga bergerak.
Untuk mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat kelas menengah, pemerintah juga harus serius dalam merancang konsep perencanaan pembangunan dan ekonomi. Diperlukan adanya kondisi ekonomi dan infrastruktur yang memadai, kemudahan dan kepastian hukum, serta kenyamanan berbelanja.
Akan tetapi belum apa-apa pemerintah sudah membuat keinginannya sendiri tertahan. Adalah kebijakan pajak agresif yang diwacanakan pemerintah, yang tergambar pada rencana pemberlakuan omnibus law, yaitu kebijakan membuat satu Undang-Undang baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Belum lagi persoalan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan yang terbilang membingungkan. Hal ini tentu membuat kalangan menengah menjadi tambah bingung.

(dipublikasikan November 2019) 






Konsumsi oh Konsumsi...


Konsumsi tampaknya akan menjadi panglima dalam menyelamatkan perekonomian Indonesia yang tengah dihantui oleh kemandekan pertumbuhan. Angkanya yang cenderung menurun akan segera dipantulkan dengan cara apapun.

Sekira satu dasawarsa lalu, Indonesia tengah memasuki tahap baru dalam pertumbuhan ekonominya, terutama terkait dengan kelas menengah. Menurut catatan Bank Dunia persentase penduduk dengan pengeluaran di atas 4 dollar AS per hari meningkat dari 5 persen pada 2003 menjadi 18 persen pada 2010. Artinya dalam tujuh tahun muncul 30 juta orang kaya baru yang masuk dalam golong kelas menengah.
                Kemungkinan itulah yang menjelaskan pada masa itu ribuan orang mengantre untuk membeli telepon genggam baru yang pada waktu itu tenar yaitu BlackBerry dan Iphone edisi terbaru. Atau ketika berbondong-bondong orang memadati konser-konser penyanyi asing yang harga tiketnya cukup menguras kantong kebanyakan orang waktu itu.
                Tahun ini jumlah kelas menengah sudah hampir mencapai 25 persen. Mereka kini tampaknya tengah memegang kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apa pasal? Porsi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ini memang didominasi oleh konsumsi, yang angkanya mencapai 56 persen dari PDB. Jadi jika saat ini pertumbuhan kita sebesar 5 persen, artinya sebagian besarnya disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
                Nah, kelas menengah yang menguasai sektor konsumsi dinilai tengah memegang kunci pertumbuhan karena saat ini mereka tengah mengurangi belanja yang dinilai membuat ekonomi agak mandek. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kelompok 20 persen berpengeluaran tinggi memiliki porsi pengeluaran terhadap total konsumsi rumah tangga di Indonesia di atas 45 persen. Dan mereka diketahui tengah mengurangi belanja pada barang-barang sekunder dan tersier.
                Menurut kalangan pengamat, kondisi belanja kelas menengah yang tertahan sudah berlangsung sejak tahun lalu ketika perhelatan politik dimulai dan berlangsung hingga menjelang pemilihan presiden.
                Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti Indef mengatakan bahwa keputusan menahan konsumsi oleh kelas menengah salah satunya didorong oleh kebijakan perpajakan yang dianggap makin mengancam. Kemudian ada juga faktor tekanan-tekanan dari sisi administered price.
“Untuk kelas menengah ke bawah, ada beberapa tekanan, seperti kenaikan tarif listrik, BBM dan BPJS. Jadi mereka berjaga-jaga dari sekarang dengan lebih berhemat. Ini efeknya bahaya, karena 57 persen ekonomi Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga,” jelas Bhima.
Saat ini ada beberapa pajak yang tengah dibahas seperti pajak perdagangan elektronik (e-commerce) dan juga omnibus law. Malahan sebagian, tambah dia, ada yang menunggu soal keputusan pemindahan Ibu Kota. Omnibus Law merupakan sebuah undang-undang yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Bahkan kemungkinan mencabut atau mengubah beberapa undang-undang.
Bahkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua yang seharusnya bisa terdongkrak karena ada momen puasa dan Lebaran, tidak mampu mengungkit angka konsumsi rumah tangga.  "Pertumbuhan ekonomi lambat di kuartal dua, khususnya menjelang Lebaran, padahal itu titik tertinggi dalam satu tahun di mana konsumsi rumah tangga harusnya mencapai di atas 5,2 atau 5,3 persen. Tapi kelas menengah atas justru menahan belanja, mungkin khawatir soal kebijakan perpajakan," kata Bhima.
                Jawaban senada juga diungkapkan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam. Menurut dia konsumsi kelas menengah akan tetap melemah lantaran pemerintah masih memburu pajak kalangan atas meski telah mengikuti program pengampunan pajak. Padahal, kelompok kelas atas yang telah patuh berharap adanya kesetaraan.
Imbasnya, masyarakat menengah atas menahan konsumsi dan mengalihkan hartanya di tempat lain. Piter juga menduga, harta kelas menengah atas dialihkan ke negara lain. "Kesannya yang patuh pajak menjadi sasaran. Yang tidak patuh, tidak mendapatkan punishment. Ini membuat kelas menengah atas tidak nyaman melakukan konsumsi," ujarnya.
Menurut BPS, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan pertama 2019 sebesar 5,01 persen atau naik tipis dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,94 persen. Tertahannya konsumsi kelas menengah atas tercermin dari penjualan mobil yang menurun. Penjualan mobil secara wholesale (penjualan sampai tingkat dealer) pada triwulan itu turun 13,07 persen secara tahunan, dengan angka 253.863 unit.

Tren Penurunan
Menurut Tim Riset Stabilitas penyebab perlambatan konsumsi rumah tangga adalah stagnasi pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman, selain restoran. Kesemua itu memiliki porsi terhadap konsumsi rumah tangga sebesar 37,45 persen (2018).
Sejak tahun 2011 hingga akhir 2015, angka pertumbuhannya melesat dari 3,95 persen di kuartal pertama 2012 menjadi 5,62 persen di kuartal kedua 2015. Memasuki tahun 2016, angka pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman selain restoran hanya berkisar antara 4,7 persen hingga 5,52 persen.
                Penyebab lainnya adalah perlambatan pada konsumsi sektor perumahan dan peralatan rumah tangga. Selama 2011-2019, pertumbuhan tertinggi belanja pos ini terjadi pada triwulan I 2013 dengan pertumbuhan 6,9 persen (yoy). Memasuki 2014 hingga 2019, pertumbuhannya terus menunjukkan tren perlambatan dengan pertumbuhan terendah sebesar 3,82 persen ada triwulan ketiga  2014. Selain porsi konsumsi belanja yang besar terhadap total belanja rumah tangga (13,66 persen di tahun 2018), sektor perumahan memiliki angka pengganda perekonomian yang tidak kecil.
                Data yang lain juga mengonfirmasi adanya penurunan konsumsi
Bank Indonesia mencatat, penyaluran kredit perbankan tumbuh melambat, yakni dari 8,7 persen secara tahunan pada Agustus 2019 menjadi 8 persen pada September. Perlambatan terutama terjadi pada kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Padahal, BI telah menurunkan suku bunga acuannya, BI 7 days reverse repo rate, sebesar 100 basis poin (bps) sepanjang 2019.
Pertumbuhan kredit modal kerja (KMK) juga melambat dari 7,5 persen menjadi 6,1 persen. Perlambatan terutama terjadi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran dari 6 persen menjadi 5 persen dan industri pengolahan dari 11,2 persen menjadi 7,2 persen. Sementara itu, pertumbuhan kredit konsumsi melambat dari 7 persen menjadi 6,9 persen dengan total penyaluran mencapai Rp 1.580,2 triliun. Perlambatan terutama terjadi pada kredit kendaraan bermotor dari 3,1 persen menjadi 1 persen. Sementara itu, kredit pemilikan rumah (KPR) melambat dari 11,3 persen menjadi 10,8 persen.
Tren pertumbuhan kredit konsumsi sejalan dengan kecenderungan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tujuh bulan berturut-turut sejak April 2019. Berdasarkan survei konsumen BI per Oktober 2019 terindikasikan bahwa optimisme konsumen melemah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya, tercermin dari penurunan IKK dari 121,8 pada bulan September 2019 menjadi 118,4 per Oktober 2019. Penurunan IKK tersebut dipengaruhi oleh penurunan dua indeks pembentuknya yaitu Indeks Ekonomi Saat ini (IKE) turun sebesar -2,7 poin dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) turun sebesar -4,2 poin.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan pemerintah harus segera bergerak cepat untuk mengamankan besaran konsumsi masyarakat ini jika ingin mempertahankan pertumbuhan. “Oleh karena itu, pemerintah perlu mempercepat berbagai program yang bisa mendukung masyarakat bisa mempertahankan konsumsinya," kata Halim di sebuah acara perbankan di Jakarta.
Bank Indonesia telah beberapa kali menurunkan suku bunga acuan untuk memberikan ruang bagi perbankan untuk meningkatkan penyaluran kreditnya dan mendorong konsumsi masyarakat. Selanjutnya BI dinilai akan kembali mengeluarkan kebijakan relaksasi pada sektor kredit konsumsi.
Namun demikian, kebijakan moneter tersebut, kata Josua Pardede, ekonom Bank Permata tidaklah cukup tanpa ada stimulus fiskal. Salah satu bentuk stimulus yang dapat diberikan adalah dengan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga mereka dapat melakukan kegiatan konsumsi tanpa harus menarik kredit.
“Pemberlakuan kebijakan ini juga akan mengimbangi kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan cukai rokok yang akan berlaku tahun depan serta kenaikan inflasi. Kombinasi kedua stimulus akan membuat masyarakat memiliki tambahan uang dari pendapatan per bulan,” ujar dia.

Selasa, 17 Desember 2019

Dari Reputasi ke Legacy


  
“It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it. If you think about that, you’ll do things differently.” (Warren Buffet)

Bagi sebuah perusahaan reputasi yang baik adalah hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Risiko lainnya masih bisa dihadapi perusahaan dengan lebih tenang, namun tidak dengan risiko reputasi.
Reputasi, ibarat sebuah gedung megah atau sebuah rumah mewah, dibangun dengan sangat material yang paling bagus dan dilakukan dengan hati-hati sedari awal. Proses itu tentu tidak pernah bisa dibangun dalam waktu singkat, ia merupakan proses yang dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun.
                Ada beberapa hal yang membentuk reputasi perusahaan, seperti social
responsibility, emotional appeal, financial performance, product and service, vision and leadership, dan workplace environment.
                Beberapa tahun belakangan ini, Bank Mandiri tampaknya tengah menikmati reputasi yang disematkan publik padanya bahwa mereka adalah bank dengan bankir-bankir yang andal dan mumpuni. Tidak mengherankan jika lulusan bank tersebut –biasa dipanggil Mandirians, kerap menjadi rebutan bank-bank lain bahkan perusahaan di sektor lain.
                Yang teranyar adalah ketika Kartika Wirjoatmodjo dan Budi Gunadi Sadikin direkrut oleh pemerintah untuk menjadi Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara. Keduanya adalah lulusan Bank Mandiri, nama pertama adalah Direktur Utama yang masih menjabat, nama yang kedua adalah Direktur Utama sebelumnya.
                Fakta itu seolah menambah daftar Mandirians yang direkrut oleh lemabaga lain. Fenomena itu, kalau boleh dibilang dimulai oleh Agus Dermawan Wintarto Martowardojo, Direktur Utama Bank Mandiri 2005-2010, yang dipilih menjadi Menteri Keuangan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
                Padahal kalau boleh dibilang, bank ini adalah bank yang memiliki masalah fundamental ketika pertama kali dibentuk dari hasil merger empat bank pelat merah. Salah satu yang paling krusial adalah masalah penyamaan visi pegawainya yang berasal dari budaya kerja yang berbeda. Apalagi merger empat bank pemerintah pada 1998 itu terjadi di tengah ekonomi Indonesia dilanda krisis.
Robby Djohan yang sebelumnya dinilai berhasil dalam merestrukturisasi Maskapai Garuda ditunjuk sebagai pemimpin dalam proses pemulihan Bank Mandiri pada 1999. Robby yang mantan bankir Citibank bergerak cepat dengan membentuk sebuah tim yang dipercayainya bisa membantunya mereparasi Bank Mandiri. Belakangan beberapa orang dari tim itu juga dikenal sebagai bankir-bankir handal dalam soal merestrukturisasi bank bermasalah. Sebut saja, Agus DW Martowardojo dan Sigit Pramono. Dua nama itu merupakan anggota tim yang dipilih Roby Djohan dalam proses memulihkan Bank Mandiri pasca merger.
Dalam bukunya, Leading in Crisis: Praktik Kepemimpinan dalam Mega Merger Bank Mandiri (2006),  Robby bertutur bahwa pemimpin harus mampu menemukan inti masalah dan mempunyai kepercayaan diri bahwa ia mampu mengatasi masalah tersebut. Berikutnya, agar masalah bisa terurai lebih cepat, tulis dia, pemimpin harus membentuk tim yang ahli di bidangnya. Pemimpin juga harus mampu menularkan keyakinan mengatasi masalah kepada seluruh anggota timnya.
                Menurut Sigit Pramono ketika diminta komentar mengenai Robby beberapa tahun setelahnya, “Pak Roby pandai memilih anak buah yang membantu dia. Dia berani memilih orang-orang yang bakal lebih pintar dari dia supaya pekerjaaanya lebih mudah. Dan dia mengkader orang.”
Pada tahap awal proses transformasi Mandiri, ada dua hal pokok yang dibenahi Robby beserta tim yang dibentuk pada masa-masa awal yaitu masalah personalia atau SDM dan teknologi yang terkait dengan operasional. Kurang lebih tiga tahun proses itu dijalankan tim, strategi Robby diakui sukses. Masing-masing pegawai dinilai sudah tidak ada lagi yang membawa ego dari bank mana mereka berasal. Semuanya sudah bersatu dalam keluarga besar Bank Mandiri.
Bank Mandiri tampaknya tengah menikmati buah keberhasilan para founding fathers yang telah membangun fondasi SDM sedari awal. Tepat seperti yan dikatakan oleh Warren Buffet, begawan investasi global, bahwa dibutuhkan waktu 20 tahun untuk membangun sebuah reputasi.
                Namun pengelola SDM Bank Mandiri saat ini harus menyadari bahwa tantangan tidak berubah menjadi lebih ringan. Karena mereka harus menyiapkan penerus yang bisa mempertahankan reputasi itu, di saat generasi baby boomers yang banyak memberikan legacy harus digantikan oleh generasi milenial yang kini mendominasi.
                Eksodusnya generasi yang dalam nada bercanda kerap disebut generasi kolonial ini tentu diharapkan tidak ikut membawa segudang pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki mereka. Ada transfer of knowledge, transfer of wisdom kepada milenial dan bahkan Gen Z yang mulai menduduki jabatan-jabatan penting di Bank Mandiri.
                Reputasi yang dimiliki Bank Mandiri sekarang ini adalah legacy dari para founding fathers dan juga penerus-penerusnya. Dan saat ini legacy itu berada di tangan milenial dan Gen Z. Melihat kecenderungan generasi terkini itu dalam hal loyalitas pada perusahaan dan attitude bernada negatif lainnya yang disematkan pada mereka, memang muncul kekhawatiran. Apakah reputasi itu tetap akan menjadi legacy yang diturunkan para Mandirians dari generasi ke generasi?



Bankir Mandiri Mengambil Alih Panggung


Satu dekade belakangan banyak perusahaan di industri keuangan yang kini mengincar lulusan Bank Mandiri untuk dipinang menjadi salah satu eksekutifnya. Mengapa fenomena itu bisa terjadi?


Bank Mandiri memang tengah menjadi fenomena di industri keuangan Indonesia. Terutama karena ia bisa menjadi ‘pintu kemana saja’ bagi para bankirnya yang ingin pindah ke lembaga lain. Ditunjuknya Kartika Wirjoatmojo menjadi wakil menteri yang mengurus perusahaan-perusahaan pelat merah, makin membenarkan anggapan yang sudah berkembang beberapa tahun belakangan itu.
                Tiko –panggilan akrabnya, menambah daftar panjang Mandirian –sebutan untuk pegawai Bank Mandiri, yang dipercaya menjadi eksekutif di perusahaan atau lembaga lain. Sebelumnya para Mandirians ini sudah bercokol di beberapa perusahaan, baik sektor keuangan dan sektor lain, atau yang lebih mencolok lagi di beberapa perusahaan negara yang tergolong berukuran besar.
                Citra bahwa Mandirians adalah para profesional andal meski ditempatkan di perusahaan non keuangan, memang tidak didapat Bank Mandiri dalam waktu singkat. Namun demikian bank yang berdiri Oktober 1998 itu juga tidak mendapatkan dalam masa yang terlalu lama, sesuatu yang sangat sulit terwujud.
Lazimnya, sebuah bank  yang berhasil mendongkrak namanya ke level atas industri keuangan membutuhkan jejak langkah yang cukup panjang. Citibank, misalnya. Bank yang terkenal karena melahirkan banyak bankir andal (biasa disebut Citibankers) mencapainya dalam waktu yang sangat panjang. Berdiri tahun 1817 dan meluaskan operasinya ke global pada awal Abad 20, masuk ke Indonesia pada 1968, pegawai Citibank menjadi rebutan bank-bank di Indonesia di era 80-an dan 90-an. Gelombang itu terakhir muncul ketika Batara Sianturi dipercaya memimpin Bank CIMB Niaga pada 2017.
Akan tetapi dalam satu dekade ke belakang Mandirians tampaknya mengambil panggung yang tadinya dikuasai Citibankers. Sederet bankir lulusan Mandiri dipercaya mengisi jajaran direksi bahkan menjadi orang nomor satu, sebuah perusahaan.
Gelombang tersebut, boleh dibilang mulai muncul setelah Agus Dermawan Wintarto Martowardojo dipinang menjadi Menteri Keuangan pada 2010 dan juga terpilih menjadi Gubernur BI pada 2013. Agus yang menjadi Dirut Bank Mandiri pada 2005-2010, boleh dibilang adalah anak didik terbaik Robby Djohan, bankir legenda yang pernah ada di Indonesia yang dibesarkan Citibank.
Robby pernah memimpin Bank Mandiri yang merupakan gabungan empat bank milik negara yang terdiri dari Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) pada 1999. Sedangkan Agus di tahun yang sama adalah Direktur Utama Bank Exim, yang kemudian diboyong Robby untuk membantunya menjadi direktur pelaksana.
Namun demikian, kemungkinan bukan di Bank Mandiri, Agus menyerap ilmu manajemen dan leadership Robby, melainkan di Bank Niaga. Agus bergabung dengan Bank Niaga pada 1986, ketika Robby menjadi direktur utamanya. Sembilan tahun di bawah ‘bimbingan’ Robby, Agus kemudian meloncat ke Bank Bumiputera untuk menjadi direktur utama.
Robby yang berhasil meroketkan Bank Niaga selama 1984-1996, kemudian ditunjuk untuk memimpin maskapai Garuda Indonesia yang saat itu merugi dan terancam bangkrut. Dalam kurun waktu dua tahun, dia dinilai sukses ‘menerbangkan’ kembali maskapai Garuda. Pada 1998, Robby dipercaya memimpin Bank Mandiri yang baru saja dibentuk.
Setelah era Robby, praktis tidak ada nakhoda yang bisa dibanggakan karena berbagai masalah bawaan internal dari bank-bank pembentuknya serta penanganan restrukturisasi kredit yang sulit ketika itu. Baru pada 2005, ketika Agus dipanggil kembali ke Bank Mandiri untuk menjadi direktur utama, kondisi itu lambat laun membaik.
Pasca Agus, pucuk pimpinan Bank Mandiri selalu dipilih dari internal bank, terutama yang sebelumnya menjadi dewan direksi. Zulkifli Zaini adalah pengganti Agus yang sebelumnya menjabat direktur teknologi dan operasional pada 2010.
Setelah itu muncul nama Budi Gunadi Sadikin menjadi direktur utama, yang pada zaman Zulkifli Zaini menjadi direktur mikro dan ritel. Kini, bank beraset sekitar Rp1.200-an triliun dipimpin oleh Kartika Wirjoatmojo, yang menggantikan Budi pada 2016. Sebelumnya pria yang akrab dipanggil Tiko ini menjabat sebagai direktur keuangan dalam kabinet Budi.
Tiko boleh dibilang adalah sebuah fenomena. Dirinya dipercaya sebagai Direktur mandiri Sekuritas saat usianya masih 35 tahun dan menjadi direktur bank terbesar di Indonesia dalam usia 43 tahun. Jika mengacu teori yang menyatakan generasi milenial merupakan generasi yang lahir pada era 1980-an, Tiko bisa disebut sebagai milenial pinggiran sebagaimana joke yang dilontarkannya pada Forum IBEX 2018 lalu. Dengan gap usia yang tidak begitu jauh, dirinya tentu masih mampu memahami karakter dan gaya hidup generasi milenial.
Fakta itu tentu memberi keuntungan tersendiri pada bank seperti Mandiri karena saat ini, lebih dari 75 persen Mandirians merupakan generasi milenial. Pemahaman terhadap kebutuhan milenial bisa menjadi kunci keberhasilan bank Mandiri dalam mengelola dan mengembangkan kapasitas kerja karyawannya.

Strategi Pro-Hire
Ali Damanik, praktisi dan pengamat pengembangan SDM, mengatakan bahwa banyaknya eksekutif Bank Mandiri yang menduduki posisi puncak di institusi lain adalah hasil dari investasi SDM yang dilakukan bank itu. Sebagaimana diketahui, Bank Mandiri berdiri ketika industri keuangan nasional ambruk karena krisis ekonomi 1998. Tetapi masa-masa sulit itu tidak membuat bank yang masih berusia muda itu menafikan perihal investasi SDM. “Bank Mandiri justru serius investasi di SDM ketika bank-bank lain mengurangi dana pengembangan SDM-nya karena Indonesia masih terlilit krisis ekonomi saat itu,” kata pria yang juga Direktur Kinerja-BlessingWhite, sebuah perusahaan konsultan pengembangan SDM
Dia juga mengakui bahwa pada era Dirut Agus Martowardojo lah, pondasi pengembangan SDM menemukan momentumnya. Saat Agus memimpin, mantan bankir Bank of America ini, kata Ali, luar biasa serius mengembangkan SDM dan membangun kultur baru, justru ketika bank lain menurunkan perhatiannya pada soal SDM. Bahkan warisan Agus masih terlihat hingga kini ketika bank bersimbol BMRI itu masih tetap agresif dalam mengembangkan karyawan berbagai level di saat bank lain masih konvensional dalam berinvestasi SDM.
“Beliau menjadi milestone pengembangan SDM di Bank Mandiri terutama pada strategi meng-hire profesional-profesional yang memang dibutuhkan bank atau biasa disebut pro hire,” kata pria yang sempat berkarier di Citibank ini.
Bank Mandiri memang cukup sering memenangkan kompetisi di bidang pengembangan SDM yang dilakukan oleh beberapa konsultan atau lembaga yang mengkhususkan diri di bidang tersebut. Sebut saja ajang employee engagement, service of excellence, dan lainnya.
Tak pelak, Ali mengatakan bahwa Bank Mandiri bisa disebut sebagai bank champion dalam soal pengelolaan SDM di industri perbankan bahkan sektor keuangan nasional. “Saat ini Bank Mandiri lewat Mandirians mengambil alih panggung yang sebelumnya disematkan kepada Citibank lewat Citibankers,” kata dia.
                Sementara itu, menurut Direktur Kepatuhan dan SDM Agus Dwi Handaya, apa yang diraih Bank Mandiri saat ini tidak terlepas dari strategi perusahaan dalam mengelola dan membangun SDM. Di internal bank, manajemen memberlakukan konsep unik dalam pengembangan SDM, yaitu apa yang disebut Mandiri 5 Cores Triangle yang terdiri dari Capability, Culture & Ethic, Leadership, Mindset dan Purpose). “Konsep ini menjadi platform fundamental dalam pengembangan SDM yang memastikan kelima aspek tersebut dijalankan secara berimbang dan menyeluruh,” kata Agus.
                Konsep tersebut sebagai pengembangan dari core values Bank Mandiri yaitu Trust, Integrity, Professionalism, Customer Focus dan Excellence, Code of Conduct, dan Business Ethics sebagai landasan untuk membangun karakter Mandirian yang kuat.
                Atas konsep yang dijalankan tersebut, tahun lalu manajemen bank yang diwakili oleh Agus diundang pada 21st Century Education Forum yang merupakan forum peneliti dan praktisi pendidikan global yang dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan dan praktik pendidikan.
Bank Mandiri adalah satu-satunya instituasi dari Indonesia yang mengisi acara yang diselenggarkan di Harvard University dan melibatkan 50 pembicara dari berbagai negara. “Kami bersyukur dapat membawa Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia di kancah internasional,” kata Agus
Sebelumnya dalam sebuah publikasi di Majalah Forbes yang didasarkan hasil survei lembaga riset Statista dalam ‘Global 2000 Best Employers 2018’, Bank Mandiri menduduki peringkat 11 dari 500 perusahaan dunia yang menjadi idaman. Yang menakjubkan, bank tersebut masih berada di posisi 83 setahun sebelumnya. Bank Mandiri mengalahkan perusahaan-perusahaan global seperti Siemens, IBM, Mastercard, dan General Electric. Dibanding perusahaan nasional, peringkat Mandiri jauh di atas BCA (32), Gudang Garam (109), Telkom Indonesia (112), Bank BNI (157), dan Bank BRI (186).
               


Minggu, 20 Oktober 2019

Peringatan Dini Resesi



when your neighbors lose their jobs, it's recession, when you lose your job it's depression. (Harry Truman) 

Petunjuk bahwa ada masalah krusial di perekonomian sejatinya sudah muncul terutama lima tahun belakangan ini. Kegagalan pemerintah mencapai target pertumbuhan yang sudah disetorkan ke DPR adalah pertanda bahwa program ekonomi yang selama ini dijalankan tidak mencapai tujuan akhirnya.
Pertanda lain adalah ketika daya beli masyarakat melemah sehingga sektor ritel mulai limbung. Sederet pelaku usaha ritel bahkan memutuskan untuk menutup usahanya beberapa tahun belakangan, sebut saja 7-Eleven, Lotus, Debenhams dan yang terakhir adalah Giant.
Kini kode keras dari perekonomian global muncul. AS, pemilik ekonomi terbesar di jagat ini hampir dipastikan akan mengalami resesi. China, rival dari ekonomi AS pun mengalami perlambatan dan menyentuh level terendah dalam tiga dekade terakhir.
Pengampu perekonomian Indonesia nampaknya tidak bisa berbuat banyak menghindari turbulensi itu, yang bisa dilakukan adalah memperkuat pegangan. Dalam pengertian sesungguhnya, pemerintah tampaknya akan memperkuat pondasi ekonomi, memperkuat anggaran negara, dan memperkuat sistem keuangan.
Untuk yang pertama, pemerintah tampaknya akan kembali mengandalkan sektor usaha mikro kecil dan menengah agar bisa menjadi bumper perekonomian. Ini semacam template kebijakan ketika perekonomian nasional tengah dihadapkan oleh suatu masalah serius.
Untuk yang kedua, tanda-tanda itu sudah semakin terlihat dengan langkah pemerintah memangkas banyak pengeluaran belanja. Sayangnya hal itu berimbas pada dinaikkannya iuran-iuran yang harus dibayarkan masyarakat yang pada akhirnya akan mendongkrak beban rakyat. Sebut saja kenaikan tarif BPJS, tarif listrik, tarif cukai rokok, dan tarif tol.
Tentu saja pada ujungnya situasi itu akan makin menekan daya beli masyarakat. Padahal dalam porsi pembentukan produk domestik bruto Indonesia, konsumsi masih menjadi faktor dominan, dengan menyumbang lebih dari 56 persen. Jika hal itu terjadi tentu pertumbuhan ekonomi akan makin melemah.
Sementara itu dalam hal memperkuat sektor keuangan, otoritas memang sudah mulai memitigasi imbas resesi yang sudah muncul di AS dan beberapa negara di Eropa. Otoritas Jasa Keuangan sejatinya masih menggunakan cara lama dalam mengkomunikasin adanya ancaman ekonomi. OJK mengatakan bahwa fundamental ekonomi masih cukup baik dalam menangkal kisruh ekonomi.
Padahal kalau mau sedikit jujur, ada masalah cukup serius di sektor keuangan. Di sektor keuangan non bank misalnya, masih ada persoalan di industri asuransi ketika kisruh perusahaan asuransi Bumiputera yang tak kunjung usai sampai kini. Ditambah lagi dengan kasus Jiwasraya dan juga krisis yang terjadi di perusahaan Sunprima sejak tahun lalu.
Di sektor perbankan, masalah likuiditas masih tetap membayangi dan masalah kredit macet masih menghantui. Ancaman kekeringan likuiditas selalu muncul ketika ekonomi mengalami persoalan serius, karena saat itu muncul kecenderungan semua pihak untuk menggenggam likuiditasnya erat-erat. Saat ini ancaman resesi muncul pada waktu bank harus berebut dana masyarakat dengan pemerintah yang masih getol menerbitkan obligasi untuk menambal anggaran.
Ancaman kredit macet, malah, tahun ini harus diperhatikan serius karena beberapa waktu lalu ada debitur yang gagal bayar dan terkait dengan beberapa bank besar. Penurunan kualitas kredit biasanya akan menjadi akibat langsung dari turbulensi ekonomi.
Sejauh ini, OJK mengatakan bahwa likuditas perbankan cukup untuk mencapai target pertumbuhan  penyaluran kredit sebesar 12 persen sampai akhir tahun. Bank Indonesia juga memastikan bahwa kebijakan penurunan GWM dan suku bunga acuan akan membantu melonggarkan likuiditas perbankan tersebut.
Terakhir, BI telah menurunkan tingkat setoran wajib bank ke bank sentral atau GWM 50 basis poin seraya menurunkan suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate yang saat ini berada di level 5,25 persen. Penurunan GWM tersebut, kata BI, secara otomatis menambah likuiditas bank senilai Rp26,3 triliun. Sejatinya BI telah mempersiapkan sejumlah strategi baru untuk menjaga likuiditas. Caranya masih menggunakan operasi moneter, namun ada beberapa hal yang baru dilakukan tahun ini untuk menyesuaikan kondisi global. Hal ini salah satunya disebabkan likuiditas yang tak merata di industri perbankan.
Sampai sekarang resesi memang belum sampai di rumah kita karena angka pertumbuhan masih positif di angka 5 persen. Meski begitu dari kacamata ekonomi kapitalisme, resesi adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam sebuah siklus bisnis. Kegiatan usaha, atau secara umum perekonomian, ketika sudah membuka langkah awal maka setelah melewati periode tertentu akan mencapai puncaknya dan kembali akan turun.
Siklus ekonomi terbagi dalam empat periode: pertama periode pada waktu kegiatan ekonomi mencapai puncaknya (ekspansi). Kedua, periode pada waktu kegiatan ekonomi mengalami penurunan (resesi dan atau krisis). Ketiga, periode pada waktu kegiatan ekonomi mencapai titik terendah (depresi). Keempat, periode pada waktu kegitan ekonomi mulai meningkat kembali.
Namun begitu, resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau, kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Dan seharusnya itu sudah cukup dijadikan petunjuk untuk serius memitigasi risiko.