Selasa, 22 Oktober 2013

Turbulensi di Masa Transisi

Industri perbankan mengalami guncangan akibat turbulensi yang terjadi di pasar modal dan ancaman inflasi. Meski demikian pelaku perbankan mengaku bahwa kondisi itu masih bisa diantisipasi agar tidak mengganggu target akhir tahun.

Sektor keuangan tengah mendapatkan guncangan yang cukup hebat bulan lalu. Hengkangnya dana asing dari pasar modal membuat goyang tidak hanya di bursa saham, tetapi juga merembet ke pasar keuangan yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terjerembap. Selanjutnya getaran tersebut dipastikan akan meluas ke sektor perbankan.
Perbankan nasional sejatinya sudah mendapatkan peringatan saat pemerintah memastikan akan menaikkan harga bahan bakar bersubsidi, setelah setahun melewati polemik. Sebelum kenaikan harga resmi diumumkan pada pekan ketiga Juni, bank sentral lebih dulu menaikkan suku bunga acuan yang sudah lebih dari setahun bertahan.
Dua hal itu sudah cukup membuat pengelola bank waspada dan menghitung ulang target-target keuangan tahun ini. Dan turbulensi di pasar keuangan yang berlangsung selama kurang lebih dua bulan membuat kekhawatiran itu meningkat.
Untuk semester pertama, beberapa bank yang sudah mengumumkan kinerja tengah tahunnya masih menyiratkan optimismenya bahwa bisnis mereka masih berjalan seperti rencananya. Akan tetapi melihat pelemahan di bursa dan juga pasar keuangan, jelas hal itu hanya untuk menenangkan diri sendiri.
Indeks saham sejak awal Juni berfluktuasi dengan kecenderungan melemah. Padahal beberapa hari sebelum itu indeks sempat mencatatkan level tertingginya dalam sejarah yaitu sebesar 5.200. Hingga pekan kedua Juli, indeks harga saham gabungan (IHSG) berada pada kisaran 4.420 dan terus merosot jika tak ada perkembangan positif.
Mata uang rupiah pun mengikuti kecenderungan itu dan melemah hingga menembus level psikologisnya Rp 10.000 per per dollar AS, level yang selama ini selalu dijaga otoritas. Pada pekan ketiga Juli rupiah bertengger di kisaran Rp10.300 per dollar AS, posisi terlemah dalam empat tahun terakhir. Hal itu belum cukup untuk membuat bank ketar-ketir karena pada bulan lalu juga, Bank Indonesia kembali menaikkan BI Rate menjadi 6,5 persen demi menjaga angka inflasi.
Bank Indonesia mengatakan, nilai tukar rupiah pada triwulan II-2013 terdepresiasi sesuai dengan nilai fundamentalnya. Secara point to point, nilai tukar rupiah melemah sebesar 2,09 persen (qtq) menjadi Rp9.925 per dolar AS, atau secara rata-rata melemah 1,03 persen (qtq) menjadi Rp9.781 per dollar AS.
Bank sentral mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar juga dialami oleh mata uang negara-negara di kawasan Asia. “Depresiasi nilai tukar rupiah terutama dipengaruhi penyesuaian kepemilikan non-residen di aset keuangan domestik dipicu sentimen terkait pengurangan (tapering off) stimulus moneter oleh the Fed,” kata siaran resmi bank sentral.
Perekonomian global, kata BI masih cenderung melambat dan diliputi ketidakpastian yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) diprakirakan tidak sekuat perkiraan semula, meskipun kegiatan produksi dan konsumsi menunjukkan perbaikan. Permasalahan ekonomi Eropa masih belum menunjukan tanda-tanda perbaikan yang berarti. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi China dan India tercatat lebih rendah dibandingkan dengan proyeksinya, meskipun masih masih cukup tinggi. Berdasarkan perkembangan tersebut, perekonomian dunia tahun 2013 diprakirakan tumbuh lebih rendah daripada prakiraan semula menjadi 3,2 persen.
Memang, jika mau dirunut, penyebab awal turbulensi itu adalah perkiraan akan dihentikannya kebijakan quantitative easing untuk memompa perekonomian Amerika Serikat oleh the Federal Reserve, bank sentral AS. Rencana ini mendorong modal asing ditarik dari negara-negara emerging market lantaran kondisi ekonomi Amerika Serikat diyakini bakal segera pulih.
Dan kini perbankan nasional harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terburu yang mungkin dihadapi di sisa tahun ini. Imbas dari rontoknya harga saham di pasar modal belum tentu mengena ke sektor perbankan, mengingat tidak semua bank sudah menjadi perusahaan terbuka.
Akan tetapi lain halnya dengan melemahnya nilai tukar dan meningkatnya suku bunga acuan. Keduanya adalah komponen penting bagi bank dalam menghitung risiko pasar. Nilai rupiah yang makin melemah dapat menyebabkan kenaikan pada rasio kredit-kredit bermasalah yang menggunakan valuta asing terutama dollar AS.
Sementara, dampak dari kenaikan bunga acuan tidak bisa dipungkiri lagi. Begitu BI Rate dinaikkan, bank akan langsung berhitung berapa respons kenaikan kredit yang akan diterapkannya. “Kenaikan BI Rate akan berdampak pada industri perbankan, Salah satu indikasinya adalah kenaikan pada suku bunga simpanan dan suku bunga kredit perbankan, seperti kredit pemilikan rumah (KPR), ritel, dan korporasi,” kata Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia, Ryan Kiryanto.
Meski demikian, dia mengakui, kenaikan BI Rate adalah bentuk antisipasi terkait pelemahan rupiah dan tingginya inflasi. Tekanan terhadap nilai tukar akan bertambah dengan defisit neraca perdagangan sebesar 590,4 juta dollar AS pada Mei 2013.

Kekhawatiran
Perbankan tentu sudah bersiap akan keduanya. Namun begitu tampaknya bankir-bankir lebih mengkhawatirkan dampak dari kenaikan BI Rate ketimbang pelemahan rupiah. Soal rupiah mereka mengaku belum terkena dampaknya, karena masih minimnya pinjaman berdenominasi dollar AS.
Bank Central Asia (BCA) misalnya, mengaku nasabah yang meminjam kredit dalam bentuk valas masih sangat minim hingga saat ini. "Pengaruh penguatan dollar AS belum terlihat karena di BCA mata uang dollar AS hanya sekitar 6 persen saja dari total aset," ujar Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja.
Begitu juga dengan Bank OCBC NISP. Manajemen mengaku pelemahan rupiah belum berdampak pada kinerja perbankan. Namun, perseroan akan terus melakukan stress test terhadap nasabahnya. "Kami terus melakukan stress test terhadap nasabah-nasabah kami untuk memastikan terjaganya kualitas aset yang baik," ujar Presiden Direktur Bank OCBC NISP, Parwati Surjaudaja.
Akan tetapi untuk kenaikan bunga acuan, hampir semua bank telah ‘pasang kuda-kuda’ untuk menaikkan bunga kredit untuk menjaga pendapatannya. Salah satunya adalah Bank Tabungan Negara (BTN).
Bank penguasa kredit perumahan mengatakan kenaikan suku bunga acuan diperkirakan berdampak terhadap peningkatan bunga kredit perbankan dan juga potensi kenaikan kredit bermasalah. "Ekspektasi di lapangan BI rate akan naik lagi. Kalau BI rate sudah dipastikan naik kita akan lihat basis nasabah. Tentu dampaknya akan ada pengurangan margin bunga bersih (NIM), sehingga akan ada adjustment bunga kredit," ujar Direktur Bank BTN Irman Alvian Zahiruddin.
Dia menambahkan, pihaknya juga akan melihat sisi kredit bermasalah (NPL), dengan demikian perseroan dapat mengetahui sejauhmana ketahanan portofolio dalam mengantisipasi kenaikan bunga kredit. “Tentu perseroan sudah mengantisipasi hal itu agar NPL stabil. Kenaikan kredit juga akan disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi domestik secara general," kata dia.
Suku bunga dasar kredit BTN per Juni 2013 adalah 10,56 persen untuk kredit korporasi, 10,68 persen untuk kredit ritel, 11,08 persen untuk kredit pemilikan rumah (KPR), dan 11,38 persen untuk non-KPR.
Khusus untuk KPR, tantangan juga datang dari rencana BI untuk mengetatkan aturan pengajuan kredit. Pasalnya BI menemukan fakta bahwa ada orang yang membeli belasan rumah dengan menggunakan kredit bank. Bahkan jumlahnya hingga ribuan.
BI mencatat nasbah KPR yang lebih dari dua rumah berjumlah 35,2 ribu orang dengan portofolio kredit mencapai Rp 31,8 triliun. Kemudian yang tengah mencicil dua rumah melalui skema KPR itu sekitar 31,3 ribu orang dengan nilai Rp 29 triliun. Sementara yang mencicil dua hingga sembilan rumah melalui KPR terdapat 35,2 ribu orang. Terdapat juga 3.884 debitur yang mencicil 3 bahkan sampai 9 rumah melalui skema KPR di bank. Ada juga yang mencicil 9 sampai 12 bahkan 12 sampai 15 rumah. Dan jumlahnya juga ribuan.
Ketua DPP Real Estate Indonesia (REI) Setyo Maharso, mengungkapkan bahwa hingga saat ini penjualan rumah belum terpengaruh kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate). Namun, penjualan beberapa tipe rumah akan ikut terpengaruh.
Kebutuhan rumah yang masih tinggi itu, menurut Setyo, tidak akan terlalu banyak memengaruhi pembelian rumah meski BI akan mengetatkan rasio pinjaman terhadap aset atau loan to value bagi kredit untuk rumah kedua dan ketiga.
BI menyatakan, rencana aturan LTV akan berlaku mulai 1 September 2013. LTV untuk KPR kedua maksimal 60 persen dan LTV KPR ketiga maksimal 50 persen. Aturan baru BI tersebut rencananya berlaku untuk rumah dengan luas bangunan lebih dari 70 meter persegi.

Tantangan Lain
Beragam persoalan yang tak ringan ini memang tengah menghadang perbankan menjelang sektor itu beralih pengawasannya kepada Otoritas Jasa Keuangan. Mulai tahun depan perbankan akan secar resmi berada dalam pengawasan lembaga tersebut.
Sebelumnya Price Waterhouse Coopers (PwC) mencatat ada tiga tantangan yang harus dilalui perbankan Indonesia tahun ini. hal itu merupakan rangkuman dari riset dan wawancara lembaga itu terhadap para bankir. Tantangan pertama terkait dengan regulasi. Menurut para bankir yang menjadi responden PwC, persyaratan peraturan yang semakin meningkat menjadi alasan utama bahwa regulator merupakan sebuah tantangan yang penting.
Financial Service Partner PwC, M Jusuf Wibisana, mengatakan persoalan regulasi tak terlepas dari rangkaian kerja yang dilakukan perbankan Indonesia. Menurutnya, setiap bank, baik lokal maupun asing melaksanakan tugas dan fungsinya selalu tak jauh dari peraturan. Meski begitu, para bankir yang menjadi responden PWC dalam survei ini menyatakan cukup puas dengan peraturan yang diterbitkan regulator. “Mereka merasa cukup puas dengan kinerja dari supervisor dari BI (Bank Indonesia). Itu menjadi concern,” ujar Jusuf.
Tantangan kedua terkait dengan kompetisi yang ketat antar bank untuk menghasilkan pendapatan yang lebih baik bagi perusahaan. Meski begitu, tantangan kompetisi ini memiliki nilai positif bagi konsumen. “Mereka akan berlomba-lomba berikan service terbaik bagi kita,” katanya.
Tantangan ketiga terkait Sumber Daya Manusia (SDM). Jusuf mengatakan, sebanyak 80 persen responden yang menjadi peserta survei, merasa ketersediaan pegawai yang berkualitas serta berpengalaman menjadi salah satu persoalan tersendiri. Salah satu sektor yang memiliki kelangkaan pegawai berada di bagian kredit dan tekonologi informasi


                                                                                                                                       
Tabel I                                                               
                                                                            
Nilai Tukar Mata Uang Asia terhadap Dollar AS

Mata Uang
26-Jul-13
Perubahan
% YtD
% YoY
Rupiah Indonesia
10291
5,09%
8,29%
Ringgit Malaysia
3,21
4,90%
1,26%
Dollar Singapura
1,26
3,28%
0,80%
Baht Thailand
31,15
2,70%
-1,17%
Peso Filipina
43,27
5,51%
2,66%
Yuan China
6,13
-1,61%
-3,92%
Dollar Hong Kong
7,76
0,13%
0,00%
Won Korea
1111,33
4,41%
-3,10%
Yen Jepang
98,07
13,05%
25,39%
Sumber: Bloomberg



Tidak ada komentar:

Posting Komentar