Industri perbankan mengalami guncangan akibat turbulensi
yang terjadi di pasar modal dan ancaman inflasi. Meski demikian pelaku perbankan
mengaku bahwa kondisi itu masih bisa diantisipasi agar tidak mengganggu target
akhir tahun.
Sektor keuangan tengah mendapatkan guncangan yang cukup
hebat bulan lalu. Hengkangnya dana asing dari pasar modal membuat goyang tidak
hanya di bursa saham, tetapi juga merembet ke pasar keuangan yang membuat nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS terjerembap. Selanjutnya getaran tersebut
dipastikan akan meluas ke sektor perbankan.
Perbankan nasional sejatinya sudah mendapatkan peringatan
saat pemerintah memastikan akan menaikkan harga bahan bakar bersubsidi, setelah
setahun melewati polemik. Sebelum kenaikan harga resmi diumumkan pada pekan
ketiga Juni, bank sentral lebih dulu menaikkan suku bunga acuan yang sudah
lebih dari setahun bertahan.
Dua hal itu sudah cukup membuat pengelola bank waspada dan
menghitung ulang target-target keuangan tahun ini. Dan turbulensi di pasar
keuangan yang berlangsung selama kurang lebih dua bulan membuat kekhawatiran
itu meningkat.
Untuk semester pertama, beberapa bank yang sudah mengumumkan
kinerja tengah tahunnya masih menyiratkan optimismenya bahwa bisnis mereka
masih berjalan seperti rencananya. Akan tetapi melihat pelemahan di bursa dan
juga pasar keuangan, jelas hal itu hanya untuk menenangkan diri sendiri.
Indeks saham sejak awal Juni berfluktuasi dengan
kecenderungan melemah. Padahal beberapa hari sebelum itu indeks sempat
mencatatkan level tertingginya dalam sejarah yaitu sebesar 5.200. Hingga pekan
kedua Juli, indeks harga saham gabungan (IHSG) berada pada kisaran 4.420 dan
terus merosot jika tak ada perkembangan positif.
Mata uang rupiah pun mengikuti kecenderungan itu dan melemah
hingga menembus level psikologisnya Rp 10.000 per per dollar AS, level yang
selama ini selalu dijaga otoritas. Pada pekan ketiga Juli rupiah bertengger di
kisaran Rp10.300 per dollar AS, posisi terlemah dalam empat tahun terakhir. Hal
itu belum cukup untuk membuat bank ketar-ketir karena pada bulan lalu juga,
Bank Indonesia kembali menaikkan BI Rate menjadi 6,5 persen demi menjaga angka
inflasi.
Bank Indonesia mengatakan, nilai tukar rupiah pada triwulan
II-2013 terdepresiasi sesuai dengan nilai fundamentalnya. Secara point to point, nilai tukar rupiah
melemah sebesar 2,09 persen (qtq) menjadi Rp9.925 per dolar AS, atau secara
rata-rata melemah 1,03 persen (qtq) menjadi Rp9.781 per dollar AS.
Bank sentral mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar juga
dialami oleh mata uang negara-negara di kawasan Asia. “Depresiasi nilai tukar
rupiah terutama dipengaruhi penyesuaian kepemilikan non-residen di aset
keuangan domestik dipicu sentimen terkait pengurangan (tapering off) stimulus moneter oleh the Fed,” kata siaran resmi
bank sentral.
Perekonomian global, kata BI masih cenderung melambat dan
diliputi ketidakpastian yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS)
diprakirakan tidak sekuat perkiraan semula, meskipun kegiatan produksi dan
konsumsi menunjukkan perbaikan. Permasalahan ekonomi Eropa masih belum
menunjukan tanda-tanda perbaikan yang berarti. Sementara itu, pertumbuhan
ekonomi China dan India tercatat lebih rendah dibandingkan dengan proyeksinya,
meskipun masih masih cukup tinggi. Berdasarkan perkembangan tersebut,
perekonomian dunia tahun 2013 diprakirakan tumbuh lebih rendah daripada
prakiraan semula menjadi 3,2 persen.
Memang, jika mau dirunut, penyebab awal turbulensi itu
adalah perkiraan akan dihentikannya kebijakan quantitative easing untuk memompa perekonomian Amerika Serikat oleh
the Federal Reserve, bank sentral AS. Rencana ini mendorong modal asing ditarik
dari negara-negara emerging market
lantaran kondisi ekonomi Amerika Serikat diyakini bakal segera pulih.
Dan kini perbankan nasional harus mempersiapkan diri
terhadap kemungkinan terburu yang mungkin dihadapi di sisa tahun ini. Imbas
dari rontoknya harga saham di pasar modal belum tentu mengena ke sektor
perbankan, mengingat tidak semua bank sudah menjadi perusahaan terbuka.
Akan tetapi lain halnya dengan melemahnya nilai tukar dan
meningkatnya suku bunga acuan. Keduanya adalah komponen penting bagi bank dalam
menghitung risiko pasar. Nilai rupiah yang makin melemah dapat menyebabkan
kenaikan pada rasio kredit-kredit bermasalah yang menggunakan valuta asing
terutama dollar AS.
Sementara, dampak dari kenaikan bunga acuan tidak bisa
dipungkiri lagi. Begitu BI Rate dinaikkan, bank akan langsung berhitung berapa
respons kenaikan kredit yang akan diterapkannya. “Kenaikan BI Rate akan
berdampak pada industri perbankan, Salah satu indikasinya adalah kenaikan pada
suku bunga simpanan dan suku bunga kredit perbankan, seperti kredit pemilikan
rumah (KPR), ritel, dan korporasi,” kata Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia,
Ryan Kiryanto.
Meski demikian, dia mengakui, kenaikan BI Rate adalah bentuk
antisipasi terkait pelemahan rupiah dan tingginya inflasi. Tekanan terhadap
nilai tukar akan bertambah dengan defisit neraca perdagangan sebesar 590,4 juta
dollar AS pada Mei 2013.
Kekhawatiran
Perbankan tentu sudah bersiap akan keduanya. Namun begitu
tampaknya bankir-bankir lebih mengkhawatirkan dampak dari kenaikan BI Rate ketimbang
pelemahan rupiah. Soal rupiah mereka mengaku belum terkena dampaknya, karena
masih minimnya pinjaman berdenominasi dollar AS.
Bank Central Asia (BCA) misalnya, mengaku nasabah yang
meminjam kredit dalam bentuk valas masih sangat minim hingga saat ini.
"Pengaruh penguatan dollar AS belum terlihat karena di BCA mata uang dollar
AS hanya sekitar 6 persen saja dari total aset," ujar Presiden Direktur
BCA, Jahja Setiaatmadja.
Begitu juga dengan Bank OCBC NISP. Manajemen mengaku
pelemahan rupiah belum berdampak pada kinerja perbankan. Namun, perseroan akan
terus melakukan stress test terhadap
nasabahnya. "Kami terus melakukan stress test terhadap nasabah-nasabah
kami untuk memastikan terjaganya kualitas aset yang baik," ujar Presiden
Direktur Bank OCBC NISP, Parwati Surjaudaja.
Akan tetapi untuk kenaikan bunga acuan, hampir semua bank
telah ‘pasang kuda-kuda’ untuk menaikkan bunga kredit untuk menjaga
pendapatannya. Salah satunya adalah Bank Tabungan Negara (BTN).
Bank penguasa kredit perumahan mengatakan kenaikan suku
bunga acuan diperkirakan berdampak terhadap peningkatan bunga kredit perbankan
dan juga potensi kenaikan kredit bermasalah. "Ekspektasi di lapangan BI
rate akan naik lagi. Kalau BI rate sudah dipastikan naik kita akan lihat basis
nasabah. Tentu dampaknya akan ada pengurangan margin bunga bersih (NIM),
sehingga akan ada adjustment bunga
kredit," ujar Direktur Bank BTN Irman Alvian Zahiruddin.
Dia menambahkan, pihaknya juga akan melihat sisi kredit
bermasalah (NPL), dengan demikian perseroan dapat mengetahui sejauhmana
ketahanan portofolio dalam mengantisipasi kenaikan bunga kredit. “Tentu
perseroan sudah mengantisipasi hal itu agar NPL stabil. Kenaikan kredit juga
akan disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi domestik secara general," kata
dia.
Suku bunga dasar kredit BTN per Juni 2013 adalah 10,56
persen untuk kredit korporasi, 10,68 persen untuk kredit ritel, 11,08 persen
untuk kredit pemilikan rumah (KPR), dan 11,38 persen untuk non-KPR.
Khusus untuk KPR, tantangan juga datang dari rencana BI
untuk mengetatkan aturan pengajuan kredit. Pasalnya BI menemukan fakta bahwa
ada orang yang membeli belasan rumah dengan menggunakan kredit bank. Bahkan
jumlahnya hingga ribuan.
BI mencatat nasbah KPR yang lebih dari dua rumah berjumlah
35,2 ribu orang dengan portofolio kredit mencapai Rp 31,8 triliun. Kemudian
yang tengah mencicil dua rumah melalui skema KPR itu sekitar 31,3 ribu orang
dengan nilai Rp 29 triliun. Sementara yang mencicil dua hingga sembilan rumah
melalui KPR terdapat 35,2 ribu orang. Terdapat juga 3.884 debitur yang mencicil
3 bahkan sampai 9 rumah melalui skema KPR di bank. Ada juga yang mencicil 9
sampai 12 bahkan 12 sampai 15 rumah. Dan jumlahnya juga ribuan.
Ketua DPP Real Estate Indonesia
(REI) Setyo Maharso, mengungkapkan bahwa hingga saat ini penjualan rumah belum
terpengaruh kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate). Namun,
penjualan beberapa tipe rumah akan ikut terpengaruh.
Kebutuhan rumah yang masih tinggi
itu, menurut Setyo, tidak akan terlalu banyak memengaruhi pembelian rumah meski
BI akan mengetatkan rasio pinjaman terhadap aset atau loan to value bagi kredit untuk rumah kedua dan ketiga.
BI menyatakan, rencana aturan LTV
akan berlaku mulai 1 September 2013. LTV untuk KPR kedua maksimal 60 persen dan
LTV KPR ketiga maksimal 50 persen. Aturan baru BI tersebut rencananya berlaku
untuk rumah dengan luas bangunan lebih dari 70 meter persegi.
Tantangan Lain
Beragam persoalan yang tak ringan ini memang tengah
menghadang perbankan menjelang sektor itu beralih pengawasannya kepada Otoritas
Jasa Keuangan. Mulai tahun depan perbankan akan secar resmi berada dalam
pengawasan lembaga tersebut.
Sebelumnya Price Waterhouse Coopers (PwC) mencatat ada tiga
tantangan yang harus dilalui perbankan Indonesia tahun ini. hal itu merupakan
rangkuman dari riset dan wawancara lembaga itu terhadap para bankir. Tantangan
pertama terkait dengan regulasi. Menurut para bankir yang menjadi responden
PwC, persyaratan peraturan yang semakin meningkat menjadi alasan utama bahwa regulator
merupakan sebuah tantangan yang penting.
Financial Service Partner PwC, M Jusuf Wibisana, mengatakan
persoalan regulasi tak terlepas dari rangkaian kerja yang dilakukan perbankan
Indonesia. Menurutnya, setiap bank, baik lokal maupun asing melaksanakan tugas
dan fungsinya selalu tak jauh dari peraturan. Meski begitu, para bankir yang
menjadi responden PWC dalam survei ini menyatakan cukup puas dengan peraturan
yang diterbitkan regulator. “Mereka merasa cukup puas dengan kinerja dari
supervisor dari BI (Bank Indonesia). Itu menjadi concern,” ujar Jusuf.
Tantangan kedua terkait dengan kompetisi yang ketat antar
bank untuk menghasilkan pendapatan yang lebih baik bagi perusahaan. Meski
begitu, tantangan kompetisi ini memiliki nilai positif bagi konsumen. “Mereka
akan berlomba-lomba berikan service terbaik bagi kita,” katanya.
Tantangan ketiga terkait Sumber Daya Manusia (SDM). Jusuf
mengatakan, sebanyak 80 persen responden yang menjadi peserta survei, merasa
ketersediaan pegawai yang berkualitas serta berpengalaman menjadi salah satu
persoalan tersendiri. Salah satu sektor yang memiliki kelangkaan pegawai berada
di bagian kredit dan tekonologi informasi
Tabel I
Nilai Tukar Mata Uang
Asia terhadap Dollar AS
Mata Uang
|
26-Jul-13
|
Perubahan
|
|
% YtD
|
% YoY
|
||
Rupiah Indonesia
|
10291
|
5,09%
|
8,29%
|
Ringgit Malaysia
|
3,21
|
4,90%
|
1,26%
|
Dollar Singapura
|
1,26
|
3,28%
|
0,80%
|
Baht Thailand
|
31,15
|
2,70%
|
-1,17%
|
Peso Filipina
|
43,27
|
5,51%
|
2,66%
|
Yuan China
|
6,13
|
-1,61%
|
-3,92%
|
Dollar Hong Kong
|
7,76
|
0,13%
|
0,00%
|
Won Korea
|
1111,33
|
4,41%
|
-3,10%
|
Yen Jepang
|
98,07
|
13,05%
|
25,39%
|
Sumber: Bloomberg
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar