Kamis, 07 Maret 2013

Dua Mata Pisau CSR (bagi Bank)



Program sosial bisa menjadi senjata ampuh bagi bank untuk meningkatkan reputasinya di mata masyarakat. Namun demikian strategi itu juga mengandung risiko jika bank tidak benar-benar jitu mengelolanya.

Pada masa kini, perusahaan tidak lagi hanya diharapkan untuk menjual produk yang baik, mereka juga perlu menjadi perusahaan yang baik di mata masyarakat. Oleh karena itu, tidak seperti belasan tahun lalu, lembaga-lembaga bisnis seperti bank tak akan berhenti berusaha mengambil hati publik melalui beragam kegiatan. Dan corporate sosial responsibility adalah kegiatan yang paling diandalkan untuk merebut hati masyarakat.
Program yang biasa disebut CSR itu, telah memberikan peluang bagi perusahaan untuk menyelaraskan kegiatan mereka dengan harapan yang ada pada masyarakat yang lebih luas. Melalui kegiatan-kegiatan yang kerapkali berbalut dengan kata-kata “pemberdayaan masyarakat”, perusahaan juga sedang menanam bibit reputasinya, agar suatu saat diperlukan bisa digunakan.
Bank –sebagai salah satu entitas bisnis– pun demikian. Bank menyadari bahwa citra adalah suatu elemen yang tak bisa dipisahkan dari kegiatan dan operasional bisnis mereka. Sebagai lembaga yang sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat, apapun yang akan dilakukannya, bank akan mempertimbangkan pengaruhnya pada citra perusahaan. Dalam hal ini tentunya reputasi.
Craig Badings, Direktur Cannings Corporate Communications, konsultan komunikasi dan public relation yang berbasis di Sydney, Australia mengatakan bahwa CSR dalam arti sebenarnya adalah tentang melakukan analisis risiko menyeluruh dan menyelaraskan program dengan nilai-nilai perusahaan. Program tersebut merupakan yang terbaik yang mampu memitigasi risiko-risiko itu dengan cara sekolaboratif mungkin. “Ini adalah era konsumen etis,” kata Craig seperti dikutip dalam blog-nya.
Craig mengatakan berdasarkan sebuah riset mengenai Indeks Reputasi, sebuah perusahaan yang dianggap baik lebih berpeluang untuk lebih dipercaya, disukai, dikagumi dan dihargai oleh masyarakat daripada yang lain. Dia juga memberikan data kuat yang menunjukkan bahwa organisasi dengan reputasi yang meningkat mampu menghadapi krisis lebih baik daripada mereka yang tidak memiliki reputasi yang baik.
Brand Loyalty
Selain berguna ketika menghadapi krisis, perusahaan dengan program CSR yang jitu juga akan mampu meningkatkan loyalitas konsumen pada brand-nya. Beberapa riset telah membuktikan adanya hubungan positif antara keduanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Global CSR Survey pada 10 negara pada pertengahan era 2000-an, membuktikan hal itu. Mayoritas konsumen, atau sekitar 72 persen, mengatakan sudah membeli produk dari suatu perusahaan serta merekomendasikan pada yang lain sebagai respons terhadap CSR yang dilakukan perusahaan tersebut.
Sebaliknya 61 persen dari konsumen sudah memboikot produk dari perusahaan yang tidak melakukan program tanggung jawab sosial. Dari survei tersebut dapat disimpulkan, ada pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteriakriteria berbasis nilai-nilai dan etika.
Dalam sebuah survei lain yang dilakukan oleh Business in the Community tahun 2001, memberikan sejumlah bukti bahwa semakin banyak perusahaan yang menempatkan masalah-masalah sosial sebagai inti dari strategi pemasarannya. Survei yang meliputi 400 pemimpin bisnis dunia, memperlihatkan bahwa 70 persen dari CEO menempatkan tanggung jawab sosial sebagai isu yang pokok dari bisnisnya. Para pemasar pun menunjukkan hal yang sama, yaitu sebanyak 89 persen.
Para pemimpin bisnis, dalam survei tersebut mengakui bahwa kegiatan-kegiatan sosial ternyata memberikan manfaat timbal balik (96 persen). Sejumlah kalangan elit bisnis bahkan sangat mempercayai dan memperkirakan bahwa praktek-praktek seperti ini masih terus tumbuh dalam tahuntahun mendatang (69 persen).
Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Roper Search Worldwide, yang dikutip dari karya tulis Endah Pri Ariningsih dari Universitas Muhammadiyah Purworejo menunjukkan hal yang kurang lebih sama. Dalam riset itu menunjukkan 75 persen responden memberi nilai lebih kepada produk dan jasa yang dipasarkan oleh perusahaan yang memberi kontribusi nyata kepada komunitas melalui program pengembangan.
Sekitar 66 persen responden juga menunjukkan mereka siap berganti merek kepada merek perusahaan yang memiliki citra sosial yang positif yang didapatkan melalui CSR.
Jadi tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa kegiatan CSR sangat penting bagi pengelolaan loyalitas brand. Dengan adanya CSR, perusahaan bisa memberikan kesan positif terhadap produk-produknya. Hal ini akan membuat sebuah merek menjadi lebih dikenal dan diingat, yang membentuk ikatan emosional di benak konsumen, lama kelamaan ikatan emosional tersebut akan berkembang menjadi brand loyalty yang merupakan bagian dari brand equity (ekuitas merek).
Kecenderungan tersebut bisa dijadikan acuan betapa penting penetapan CSR bagi pembentukan ekuitas merek perusahaan dan meningkatkan loyalitas pelanggan. 

Kelola Risiko
Meski begitu strategi menjalankan kewajiban dengan misi sosial juga menyimpan risiko yang juga mengarah kepada reputas. Alih-alih mendapatkan manfaat ‘tabungan’ reputasi masa depan dan brand loyalty, bank malah bisa terhantam risiko tercoreng nama baiknya. Hal itu bisa terjadi jika perusahaan tidak mengelola program corporate citizenship ini dengan benar.
Perusahaan harus benar-benar tepat menyesuaikan program atau misi sosialnya dengan visi dan tujuan perusahaan. Jika keliru sedikit saja maka aset perusahaan yang paling berharga itu yakni citra, akan tercoreng.
Hal itu dikatakan oleh Gayatri Rawit Angreni, pakar manajemen risiko. Diakuinya, program CSR sangat erat kaitannya dengan upaya perusahaan mengelola risiko reputasi. Reputasi adalah bagian dari aset yang tidak berwujud (intangible assets) dan sangat berharga. Ia menyangkut opini dan persepsi sosial dari sebuah perusahaan. “Reputasi merupakan penjumlahan atau nilai total dari persepsi seluruh pihak yang berkepentingan, baik internal maupun eksternal,” kata Gayatri.
Oleh karena itu perusahaan harus selalu mempertahankan opini dan persepsi yang baik agar reputasi mereka terjaga bahkan meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan pengelolaan risiko reputasi, kata dia, harus menjadi agenda prioritas bagi manajemen puncak perusahaan, terlebih bagi perusahaan jasa keuangan seperti perbankan. Jika reputasi bisa dijaga, berarti kepercayaan telah diperoleh. “Bagi sebuah bank tanpa kepercayaan ibarat mobil tanpa bahan bakar,” kata Gayatri.
Selain itu pula, reputasi dan CSR ibarat dua sisi mata uang yang sangat terkait. Adanya kegagalan, atau minimal melesetnya tujuan dari kegiatan yang juga disebut corporate citizenship ini bisa berakibat pada citra bank. Sebaliknya keberhasilan dalam program CSR bisa membantu mendongkrak reputasi maupun mitigasi risiko reputasi sebuah bank.
Dalam mengelola risiko reputasi, bank seperti berjalan di atas seutas tali pada ketinggian. Setiap langkah atau strategi yang diterapkan harus diperhitungkan masak-masak. Sekali tergelincir, reputasi bank bisa jatuh bahkan hancur. Jika hal itu terjadi sangat sulit untuk membangunnya kembali.
Ancaman reputasi bisa berawal dari kerusakan yang disebabkan karena opini dan persepsi negatif terhadap perusahaan. Reputasi yang dibentuk dan dijaga perusahaan dengan baik selama bertahun-tahun dapat lenyap seketika hanya melalui sebuah insiden. Sebut saja, tuduhan tidak ramah lingkungan, atau tidak peduli kepada masyarakat.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika melindungi reputasi perusahaan merupakan tugas paling penting dan sulit untuk dihadapi oleh para manajer risiko (risk manager). Bagi para ujung tombak pengelola risiko di bank, reputation risk memiliki ancaman paling tinggi, baru kemudian risiko regulasi, manusia, jaringan IT, pasar, kredit macet, kondisi politik negara, finansial, terorisme, nilai tukar, bencana alam, dan tingkat kriminalitas serta keamanan. “Hal tersebut  menegaskan bahwa risiko reputasi merupakan risiko di atas semua risiko,” kata Paul Sutaryono, pengamat perbankan.
Karena penting, maka cara pengendalian risiko yang terbaik adalah dengan melakukan program antisipasi (preventive action) dan program pemeliharaan reputasi. “Penanganan risiko reputasi sebaiknya secara preventif karena biaya penyelesaian risiko ini sangatlah besar dan akibatnya dapat merusak serta membunuh perusahaan,” jelas Paul.
Perusahaan sejatinya bisa membaca tanda-tanda jika reputasi mereka telah terkena ancaman. Di antaranya adalah apabila nama perusahaan dimuat di sebuah headline surat kabar atau media masa lainnya terkait pemberitaan negatif. Atau terkait keluhan dari nasabah terhadap pelayanannya yang tidak memuaskan. Jika hal tersebut terjadi berulang-ulang dan tidak mendapat penanganan yang semestinya maka hampir bisa dipastikan kepercayaan masyarakat akan luntur. Dan pada saat itu, reputas perusahaan sedang berada di bibir jurang.
Menurut Bank Indonesia, risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank. Otoritas sangat sadar jika reputasi adalah sumber risiko yang penting. Karenanya BI telah mewajibkan bank untuk melaksanakan dan memenuhi ketentuan manajemen risiko yang lebih sistematis dan terencana.
Sejauh ini memang belum ada program CSR yang menarik perhatian otoritas karena mengancam reputasi sebuah bank. Bank lebih sering terancam reputasinya karena produk dan layanan yang dianggap mengecewakan konsumen. Oleh karena itu dalam Peraturan Bank Indonesia No 11/25 tahun 2009, regulator mewajibkan bank untuk melaporkan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru. Hal itu wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan kegiatan baru tersebut.


Box
Mengapa CSR Penting?
1. Alasan-untuk moral dan etika 'melakukan hal yang benar'.
2. Keberlanjutan dari perusahaan pasar bergantung pada pendapatan.
3. Citra merek dan reputasi.
4. Karyawan / motivasi pemangku kepentingan.
5. Untuk memungkinkan perusahaan untuk merespon secara proaktif terhadap agenda pemangku kepentingan berubah dan dapat bekerja sama secara efektif di bawah berbagai kondisi bisnis.
6. Untuk menghitung positif pada kinerjanya kepada para pemangku kepentingan dengan cara yang akan meningkatkan reputasi perusahaan.
7. Untuk menyediakan manajer dengan kerangka kerja untuk mengelola bisnis dalam cara yang lebih holistik.
Sumber: Makalah, CSR: A Reputation At Risk

Proses Pengelolaan Risiko Reputasi
1) Bank harus mengidentifikasi risiko reputasi yang melekat pada aktivitas fungsional tertentu seperti perkreditan (penyediaan dana), tresuri daninvestasi, operasional dan jasa, pembiayaan perdagangan (apabilaada), teknologi sistem informasi dan MIS, dan sumber daya manusia.
2) Bank harus mencatat dan menatausahakan setiap events yang terkaitdengan risiko reputasi termasuk jumlah potensi kerugian yangdiakibatkan events  dimaksud dalam suatu administrasi data. Pencatatandan penatausahaan data tersebut disusun dalam suatu data stastistikyang dapat digunakan untuk memproyeksikan potensi kerugian padasuatu periode dan aktivitas fungsional tertentu.
3) Dalam proses pengukuran risiko reputasi ini, Bank dapat menggunakandengan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
4) Bank memantau risiko reputasi secara berkala sesuai denganpengalaman kerugian di masa lalu yang disebabkan oleh risiko reputasi.
5) Sistem informasi manajemen harus dapat menyediakan laporaneksposur risiko reputasi secara lengkap, akurat dan tepat waktu dalamrangka proses pengambilan keputusan oleh Direksi.
Sumber : Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko Bank Umum



Tidak ada komentar:

Posting Komentar