Program sosial bisa menjadi senjata ampuh bagi bank untuk
meningkatkan reputasinya di mata masyarakat. Namun demikian strategi itu juga mengandung
risiko jika bank tidak benar-benar jitu mengelolanya.
Pada masa kini, perusahaan tidak lagi hanya diharapkan untuk
menjual produk yang baik, mereka juga perlu menjadi perusahaan yang baik di
mata masyarakat. Oleh karena itu, tidak seperti belasan tahun lalu, lembaga-lembaga
bisnis seperti bank tak akan berhenti berusaha mengambil hati publik melalui
beragam kegiatan. Dan corporate sosial
responsibility adalah kegiatan yang paling diandalkan untuk merebut hati
masyarakat.
Program yang biasa disebut CSR itu, telah memberikan peluang
bagi perusahaan untuk menyelaraskan kegiatan mereka dengan harapan yang ada
pada masyarakat yang lebih luas. Melalui kegiatan-kegiatan yang kerapkali berbalut
dengan kata-kata “pemberdayaan masyarakat”, perusahaan juga sedang menanam
bibit reputasinya, agar suatu saat diperlukan bisa digunakan.
Bank –sebagai salah satu entitas bisnis– pun demikian. Bank
menyadari bahwa citra adalah suatu elemen yang tak bisa dipisahkan dari
kegiatan dan operasional bisnis mereka. Sebagai lembaga yang sangat bergantung
pada kepercayaan masyarakat, apapun yang akan dilakukannya, bank akan
mempertimbangkan pengaruhnya pada citra perusahaan. Dalam hal ini tentunya
reputasi.
Craig Badings, Direktur Cannings Corporate Communications,
konsultan komunikasi dan public relation
yang berbasis di Sydney, Australia mengatakan bahwa CSR dalam arti sebenarnya
adalah tentang melakukan analisis risiko menyeluruh dan menyelaraskan program
dengan nilai-nilai perusahaan. Program tersebut merupakan yang terbaik yang
mampu memitigasi risiko-risiko itu dengan cara sekolaboratif mungkin. “Ini
adalah era konsumen etis,” kata Craig seperti dikutip dalam blog-nya.
Craig mengatakan berdasarkan sebuah riset mengenai Indeks Reputasi,
sebuah perusahaan yang dianggap baik lebih berpeluang untuk lebih dipercaya,
disukai, dikagumi dan dihargai oleh masyarakat daripada yang lain. Dia juga memberikan
data kuat yang menunjukkan bahwa organisasi dengan reputasi yang meningkat
mampu menghadapi krisis lebih baik daripada mereka yang tidak memiliki reputasi
yang baik.
Brand Loyalty
Selain berguna ketika menghadapi krisis, perusahaan dengan
program CSR yang jitu juga akan mampu meningkatkan loyalitas konsumen pada brand-nya. Beberapa riset telah
membuktikan adanya hubungan positif antara keduanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Global CSR Survey pada 10
negara pada pertengahan era 2000-an, membuktikan hal itu. Mayoritas konsumen,
atau sekitar 72 persen, mengatakan sudah membeli produk dari suatu perusahaan
serta merekomendasikan pada yang lain sebagai respons terhadap CSR yang
dilakukan perusahaan tersebut.
Sebaliknya 61 persen dari konsumen sudah memboikot produk
dari perusahaan yang tidak melakukan program tanggung jawab sosial. Dari survei
tersebut dapat disimpulkan, ada pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk
membeli produk berdasarkan kriteriakriteria berbasis nilai-nilai dan etika.
Dalam sebuah survei lain yang dilakukan oleh Business in the
Community tahun 2001, memberikan sejumlah bukti bahwa semakin banyak perusahaan
yang menempatkan masalah-masalah sosial sebagai inti dari strategi
pemasarannya. Survei yang meliputi 400 pemimpin bisnis dunia, memperlihatkan
bahwa 70 persen dari CEO menempatkan tanggung jawab sosial sebagai isu yang
pokok dari bisnisnya. Para pemasar pun menunjukkan hal yang sama, yaitu
sebanyak 89 persen.
Para pemimpin bisnis, dalam survei tersebut mengakui bahwa
kegiatan-kegiatan sosial ternyata memberikan manfaat timbal balik (96 persen).
Sejumlah kalangan elit bisnis bahkan sangat mempercayai dan memperkirakan bahwa
praktek-praktek seperti ini masih terus tumbuh dalam tahuntahun mendatang (69
persen).
Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Roper Search
Worldwide, yang dikutip dari karya tulis Endah Pri Ariningsih dari Universitas
Muhammadiyah Purworejo menunjukkan hal yang kurang lebih sama. Dalam riset itu menunjukkan
75 persen responden memberi nilai lebih kepada produk dan jasa yang dipasarkan
oleh perusahaan yang memberi kontribusi nyata kepada komunitas melalui program
pengembangan.
Sekitar 66 persen responden juga menunjukkan mereka siap
berganti merek kepada merek perusahaan yang memiliki citra sosial yang positif
yang didapatkan melalui CSR.
Jadi tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa kegiatan CSR sangat
penting bagi pengelolaan loyalitas brand.
Dengan adanya CSR, perusahaan bisa memberikan kesan positif terhadap produk-produknya.
Hal ini akan membuat sebuah merek menjadi lebih dikenal dan diingat, yang
membentuk ikatan emosional di benak konsumen, lama kelamaan ikatan emosional
tersebut akan berkembang menjadi brand
loyalty yang merupakan bagian dari brand equity (ekuitas merek).
Kecenderungan tersebut bisa dijadikan acuan betapa penting
penetapan CSR bagi pembentukan ekuitas merek perusahaan dan meningkatkan
loyalitas pelanggan.
Kelola Risiko
Meski begitu strategi menjalankan kewajiban dengan misi
sosial juga menyimpan risiko yang juga mengarah kepada reputas. Alih-alih
mendapatkan manfaat ‘tabungan’ reputasi masa depan dan brand loyalty, bank malah bisa terhantam risiko tercoreng nama
baiknya. Hal itu bisa terjadi jika perusahaan tidak mengelola program corporate citizenship ini dengan benar.
Perusahaan harus benar-benar tepat menyesuaikan program atau
misi sosialnya dengan visi dan tujuan perusahaan. Jika keliru sedikit saja maka
aset perusahaan yang paling berharga itu yakni citra, akan tercoreng.
Hal itu dikatakan oleh Gayatri Rawit Angreni, pakar
manajemen risiko. Diakuinya, program CSR sangat erat kaitannya dengan upaya
perusahaan mengelola risiko reputasi. Reputasi adalah bagian dari aset yang
tidak berwujud (intangible assets)
dan sangat berharga. Ia menyangkut opini dan persepsi sosial dari sebuah
perusahaan. “Reputasi merupakan penjumlahan atau nilai total dari persepsi
seluruh pihak yang berkepentingan, baik internal maupun eksternal,” kata
Gayatri.
Oleh karena itu perusahaan harus selalu mempertahankan opini
dan persepsi yang baik agar reputasi mereka terjaga bahkan meningkat dari waktu
ke waktu. Bahkan pengelolaan risiko reputasi, kata dia, harus menjadi agenda
prioritas bagi manajemen puncak perusahaan, terlebih bagi perusahaan jasa
keuangan seperti perbankan. Jika reputasi bisa dijaga, berarti kepercayaan
telah diperoleh. “Bagi sebuah bank tanpa kepercayaan ibarat mobil tanpa bahan
bakar,” kata Gayatri.
Selain itu pula, reputasi dan CSR ibarat dua sisi mata uang
yang sangat terkait. Adanya kegagalan, atau minimal melesetnya tujuan dari
kegiatan yang juga disebut corporate
citizenship ini bisa berakibat pada citra bank. Sebaliknya keberhasilan
dalam program CSR bisa membantu mendongkrak reputasi maupun mitigasi risiko
reputasi sebuah bank.
Dalam mengelola risiko reputasi, bank seperti berjalan di
atas seutas tali pada ketinggian. Setiap langkah atau strategi yang diterapkan
harus diperhitungkan masak-masak. Sekali tergelincir, reputasi bank bisa jatuh
bahkan hancur. Jika hal itu terjadi sangat sulit untuk membangunnya kembali.
Ancaman reputasi bisa berawal dari kerusakan yang disebabkan
karena opini dan persepsi negatif terhadap perusahaan. Reputasi yang dibentuk
dan dijaga perusahaan dengan baik selama bertahun-tahun dapat lenyap seketika
hanya melalui sebuah insiden. Sebut saja, tuduhan tidak ramah lingkungan, atau
tidak peduli kepada masyarakat.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika melindungi reputasi
perusahaan merupakan tugas paling penting dan sulit untuk dihadapi oleh para manajer
risiko (risk manager). Bagi para
ujung tombak pengelola risiko di bank, reputation
risk memiliki ancaman paling tinggi, baru kemudian risiko regulasi, manusia,
jaringan IT, pasar, kredit macet, kondisi politik negara, finansial, terorisme,
nilai tukar, bencana alam, dan tingkat kriminalitas serta keamanan. “Hal
tersebut menegaskan bahwa risiko
reputasi merupakan risiko di atas semua risiko,” kata Paul Sutaryono, pengamat
perbankan.
Karena penting, maka cara pengendalian risiko yang terbaik
adalah dengan melakukan program antisipasi (preventive
action) dan program pemeliharaan reputasi. “Penanganan risiko reputasi
sebaiknya secara preventif karena biaya penyelesaian risiko ini sangatlah besar
dan akibatnya dapat merusak serta membunuh perusahaan,” jelas Paul.
Perusahaan sejatinya bisa membaca tanda-tanda jika reputasi mereka
telah terkena ancaman. Di antaranya adalah apabila nama perusahaan dimuat di
sebuah headline surat kabar atau
media masa lainnya terkait pemberitaan negatif. Atau terkait keluhan dari
nasabah terhadap pelayanannya yang tidak memuaskan. Jika hal tersebut terjadi
berulang-ulang dan tidak mendapat penanganan yang semestinya maka hampir bisa
dipastikan kepercayaan masyarakat akan luntur. Dan pada saat itu, reputas
perusahaan sedang berada di bibir jurang.
Menurut Bank Indonesia, risiko reputasi adalah risiko akibat
menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder
yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank. Otoritas sangat sadar jika
reputasi adalah sumber risiko yang penting. Karenanya BI telah mewajibkan bank
untuk melaksanakan dan memenuhi ketentuan manajemen risiko yang lebih
sistematis dan terencana.
Sejauh ini memang belum ada program CSR yang menarik
perhatian otoritas karena mengancam reputasi sebuah bank. Bank lebih sering
terancam reputasinya karena produk dan layanan yang dianggap mengecewakan
konsumen. Oleh karena itu dalam Peraturan Bank Indonesia No 11/25 tahun 2009,
regulator mewajibkan bank untuk melaporkan rencana penerbitan produk atau
pelaksanaan aktivitas baru. Hal itu wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank
(RBB) untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan
kegiatan baru tersebut.
Box
Mengapa CSR Penting?
1. Alasan-untuk moral dan etika 'melakukan
hal yang benar'.
2. Keberlanjutan dari perusahaan pasar
bergantung pada pendapatan.
3. Citra merek dan reputasi.
4. Karyawan / motivasi pemangku
kepentingan.
5. Untuk memungkinkan perusahaan untuk
merespon secara proaktif terhadap agenda pemangku kepentingan berubah dan dapat
bekerja sama secara efektif di bawah berbagai kondisi bisnis.
6. Untuk menghitung positif pada kinerjanya
kepada para pemangku kepentingan dengan cara yang akan meningkatkan reputasi
perusahaan.
7. Untuk menyediakan manajer dengan kerangka
kerja untuk mengelola bisnis dalam cara yang lebih holistik.
Sumber: Makalah, CSR: A Reputation At Risk
Proses Pengelolaan
Risiko Reputasi
1) Bank harus mengidentifikasi risiko reputasi yang melekat
pada aktivitas fungsional tertentu seperti perkreditan (penyediaan dana),
tresuri daninvestasi, operasional dan jasa, pembiayaan perdagangan
(apabilaada), teknologi sistem informasi dan MIS, dan sumber daya manusia.
2) Bank harus mencatat dan menatausahakan setiap events yang
terkaitdengan risiko reputasi termasuk jumlah potensi kerugian yangdiakibatkan
events dimaksud dalam suatu administrasi
data. Pencatatandan penatausahaan data tersebut disusun dalam suatu data
stastistikyang dapat digunakan untuk memproyeksikan potensi kerugian padasuatu
periode dan aktivitas fungsional tertentu.
3) Dalam proses pengukuran risiko reputasi ini, Bank dapat
menggunakandengan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
4) Bank memantau risiko reputasi secara berkala sesuai
denganpengalaman kerugian di masa lalu yang disebabkan oleh risiko reputasi.
5) Sistem informasi manajemen harus dapat menyediakan
laporaneksposur risiko reputasi secara lengkap, akurat dan tepat waktu
dalamrangka proses pengambilan keputusan oleh Direksi.
Sumber : Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko Bank
Umum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar