Kamis, 07 Maret 2013

Menjadi Pionir di Industri Perbankan


Untuk menjadi bank yang pertama kali meluncurkan sebuah produk atau layanan, banyak pertimbangan yang harus dipikirkan pengelola bank. Iming-iming menjadi terkenal tampaknya tidak akan berarti apa-apa jika pada akhirnya bank tidak mendapatkan apa-apa dari langkah inovatifnya tersebut.

Kemajuan dunia saat ini selalu dipicu oleh orang-orang yang memulai, yang menemukan atau melakukan sesuatu untuk pertama kalinya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya dunia ini jika tidak ada komputer buatan Howard H Aiken pada 1940-an. Meskipun begitu tamatan Harvard ini mungkin tidak bisa membuat komputer tanpa adanya naskah-naskah dari Charles Babbage hampir seabad sebelumnya.
Atau bagaimana jadinya jika internet tidak ditemukan pertama kali oleh seorang insinyur bernama Leonard Kleinrock pada 1969.
Dengan menjadi yang pertama yang menemukan sesuatu sudah barang tentu kita berkesempatan untuk dikenal orang. Bahkan meski ketika “pertama kali” melakukannya kita menemui kegagalan pun orang akan menempatkan nama kita sebagai perintis setelah ada orang yang berhasil melakukannya.
Dalam dunia bisnis, menjadi yang pertama menemukan produk baru (yang tentunya bisa dipasarkan) bisa mendapatkan keuntungan lain. Perusahaan bisa mendulang pendapatan atau mengurangi biaya dari produk atau layanan yang belum dimiliki oleh pesaing-pesaingnya. Bahkan kelebihan-kelebihan itu bisa lebih berkesinambungan saat perusahaan atau individu mendapatkan hak paten atas produk atau jasa barunya itu.
Namun di atas semua itu menjadi yang pertama akan membuka jalan dalam perkembangan dunia di kemudian hari. Demikian pula yang terjadi pada perbankan. Mungkin kita tidak akan pernah mengenal bank kalau Bank Roh Kudus atau Il Banco di Santo Spirito dalam bahasa Italia tidak didirikan oleh Paus Paulus V pada tanggal 13 Desember 1605.
Sebagaimana dikutip di laman Wikipedia, bank ini juga merupakan bank nasional pertama di Eropa, bank deposit pertama di Roma, dan bank yang beroperasi tanpa henti tertua di Roma hingga akhirnya dimerger di tahun 1992.
Akan tetapi bank pertama yang berdiri sebagai sebuah perusahaan berbentuk firma adalah bank di Inngris pada tahun 1690. Saat itu kerajaan Inggris berencana membangun kembali kekuatan armada lautnya untuk bersaing dengan kekuatan armada laut Prancis akan tetapi pemerintahan Inggris saat itu tidak mempunyai kemampuan pendanaan.
Kemudian berdasarkan gagasan William Paterson yang didukung Charles Montague direalisasikanlah lembaga intermediasi keuangan yang dapat memenuhi kebutuhan dana pembiayaan tersebut hanya dalam waktu duabelas hari. Setelah masa itu bank menyebar ke seluruh dunia melalui perdagangan, hingga saat ini ketika bank-bank di seluruh dunia hampir seluruh terkait.
Di zaman modern seperti saat ini, persaingan yang ketat telah menuntut bank untuk terus melakukan terobosan dan inovasi agar bisa menjadi yang pertama dalam menelurkan produk atau layanan baru bagi nasabah.
Di dalam buku-buku kuliah manajemen, inovasi produk dipengaruhi oleh beberapa yaitu perubahan selera pasar (market driven), kemajuan teknologi (technology driven) dan kondisi ekonomi (economic driven).
Pasar, dalam hal ini adalah nasabah memang mempunyai selera yang senantiasa berubah yang dipengaruhi tren, gaya hidup, nilai sosial budaya dan globalisasi. Layanan wealth management, kartu kredit, kartu debit beserta segala inovasinya bisa jadi dipengaruhi oleh selera pasar.
Desakan perkembangan teknologi di sisi lain, juga akan membuat perbankan penyesuaian-penyesuaian dalam produk dan layanan. Bank akan membuat produk yang lebih modern, praktis dan simpel. Contoh dari inovasi yang disebabkan oleh perkembangan teknologi adalah munculnya layanan electronic banking (e-banking), phone banking atau sms banking.
Sedangkan pengaruh kondisi ekonomi misalnya ekonomi dalam keadaan resesi, akan memaksa bank untuk beralih kepada lini bisnis sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Jadilah inovasi-inovasi di sektor ini meningkat.
Meski demikian dalam penerapannya, menjadi “yang pertama” atau menjadi inovator tidak semudah diucapkan apalagi di industri perbankan yang penuh dengan aturan dan persaingan ketat. Diperlukan banyak energi sebelum bank akhirnya bisa menelurkan sesuatu yang baru. Salah satunya adalah divisi perencanaan produk yang handal.
Dalam buku Innovation in the Reinvented World karya Dee McCrorey, disebutkan bahwa perusahaan atau organisasi yang inovatif biasanya memiliki divisi riset yang mumpuni. “Organisasi yang menganggap penelitian dan pengembangan sebagai investasi strategi dibandingkan sesuatu untuk memotong atau menghilangkan bau pada pertama dari kesulitan ekonomi membedakan diri dalam dunia bisnis baru,” kata Dee dalam bukunya.
Apa yang dikatakan Dee dalam bukunya, setidaknya terbukti dalam kenyataan atau praktik di perbankan. Menurut Head of Processing Center BNI Frito Marcevianto sebuah bank yang ingin menerbitkan produk dan layanan baru harus melwati beberapa proses yang cukup panjang.
“Prosesnya bisa sangat lama karena harus digodok matang sebelum matang. Bahkan sebelumnya, bank yang akan meluncurkan produk barunya diwajibkan melaporkan terlebih dahulu kepada BI sebagai regulator,” kata dia.
Di BNI sendiri, menurut Frito yang pernah lima tahun sebagai Head of Risk Management, setiap akan meluncurkan produk baru pihaknya selalu melakukan perencanaan secara menyeluruh dan detil. Mulai dengan menyelenggarakan rapat internal di setiap unit dan divisi terkait dengan produk baru yang aknn diluncurkan. Setelah sepakat produk apa yang akan diluncurkan barulah membicarakan kesiapannya, seperti bagaimana perangkat untuk teknologi informasinya (TI), sistem akuntansinya dan juga bagaimana sistem pemasarannya.
Setelah produk baru tersebut selesai digodok dan siap diluncurkan, bank akan melaporkan kembali kepada BI, mulai dari semua kesiapan faktor pendukung produk baru tersebut. Misalnya kesiapan TI, sistem akuntansinya.
Dalam Peraturan Bank Indonesia No 11/25/PBI/2009, bank sentral mengatakan bahwa bank wajib menyampaikan laporan produk atau aktivitas baru kepada BI. Laporan tersebut terdiri dari, laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling lambat 60 hari sebelum penerbitan atau pelaksanaan produk atau aktivitas baru, dan laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling lambat 7 hari kerja setelah produk atau aktivitas baru dilakukan.

Follower Takes All
Meski demikian, seharusnya bank tidak berhenti hanya menjadi yang pertama melakukan aktivitas tertentu atau mengeluarkan produk baru. Harus selalu ada pengembangan-pengembangan dari layanan dan produk baru tersebut.
Sebagaimana lazimnya di dunia bisnis, penemuan baru selalu akan diikuti oleh pesaing-pesaing jika hal itu dianggap menguntungkan. Perusahaan lain akan mempelajari produk baru tersebut dan lalu akan menirunya (copy cat). Bahkan tidak jarang justru perusahaan yang belakangan meluncurkan produk tersebut yang lebih banyak mendulang keuntungan.
Seperti yang dialami oleh Bank BCA. Sejatinya, bank yang didirikan oleh Grup Salim itu bukanlah bank yang pertama memperkenalkan mesin tarik tunai (automatic teller machine/ATM) ke nasabah Bank di Indonesia. Akan tetapi Bank Bumiputeralah yang pertama kali menggunakan ATM di Indonesia.
Akan tetapi, menjadi pionir bukanlah jaminan akan menjadi pemimpin di industri manapun. BCA dengan strategi jitu berhasil menjadi bank yang paling banyak memiliki jaringan ATM di Indonesia saat ini. Lagi-lagi inovasi adalah strategi BCA dalam mengembangkan jaringan ATM-nya, sesuatu yang tidak dilakukan Bank Bumiputera.
Awal tahun 1990-an, dikabarkan Antony Salim, sang pemilik BCA bertemu Cacuk Sudarijanto yang saat itu menjadi Direktur Utama Telkom. Antony ingin menyewa transponder satelit milik Telkom. Saat itu Telkom tidak memenuhi permintaan Antony itu karena bertany-tanya apa rencana sebenarnya dari bos kelompok usaha Salim.
Antony tetap tidak mau mengatakan untuk apa dia ingin menyewa satelit, sebuah mesin vital dan mahal namun dia menjamin bahwa apa yang akan dia lakukan tidak akan melawan hukum. Akhirnya cacuk setuju.
Teka-tekipun akhirnya terungkap. Ternyata Antony sedang mempersiapkan ribuan ATM untuk BCA dan dia membutuhkan satelit sebagai jalur komunikasi ATM-nya.
Gebrakan BCA itu akhirnya yang mengantarkannya ke posisi teratas dalam penyediaan ATM. Dan BCA pun semakin memperkuat dan mempersenjatai diri dengan teknologi melalui internet banking dan mobile banking. Alhasil bank yang kini dimiliki Grup Djarum itu tercatat sebagai bank dengan nasabah dan transaksi terbanyak.
Contoh lain ketika para follower justru berada di atas angin adalah layanan wealth management atau biasa disebut juga private banking. Layanan ini sebetulnya dihadirkan pertama kali oleh Bank Niaga pada 1991 dengan nama Niaga Preferred Banking. Namun lambat laun, layanan ini diikuti oleh bank lain dan kini hampir semua bank besar dan menengah dipastikan memiliki layanan ini.
Kini, bank-bank milik negara dengan aset lebih gemuk dari Bank Niaga mulai menggeser pamor bank yang kini menjadi CIMB Niaga. Bahkan yang lebih ironis, layanan khusus untuk nasabah kakap itu terlihat didominasi oleh bank-bank asing yang memiliki channel layanan ke pusat-pusat keuangan dunia.
Bank Negara Indonesia 1946, di sisi lain memiliki nasib yang mirip. Sebagai bank milik Negara yang pertama kali dibentuk, bank yang beken disebut BNI 46 kalah mentereng dengan Bank Mandiri yang dibentuk dari hasil merger lima bank pelat merah pada 1998.
Bank Muamalat juga bisa dibuat permisalan. Bank syariah pertama di Indonesia ini kalah pamor dengan Bank Syariah Mandiri yang merupakan anak usaha dari Bank Mandiri.
Meski demikian tidak semua pelopor berhasil digeser oleh pelaku yang meniru apa yang dilakukannya. Bank Rakyat Indonesia yang sejak berdirinya melayani kredit mikronya masih menjadi pemimpin pasar di segmen tersebut di Indonesia.
Bank yang berdiri tanggal 16 Desember 1895, oleh Raden Aria Wirjaatmadja hingga saat ini masih mendominasi pemberian kredit usaha mikro meski hampir semua bank juga memiliki layanan yang sama.

Enggan Jadi Pertama
Mungkin karena lebih banyaknya bank yang berhasil dengan mengikuti langkah bank pionir ketimbang bank pionir itu sendiri, menjadi penyebab pelaku perbankan agak takut menjadi yang pertama. Artinya bank cenderung untuk menunggu apa yang dilakukan oleh pesaing ketimbang memilih melakukannya untuk pertama kali.
Bahkan tidak cuma urusan produk dan layanan baru fenomena itu berlangsung, untuk urusan kebijakan bank juga menunggu bank pesaing untuk melakukannya terlebih dahulu. Dalam penetapan bunga misalnya, bank akan celingak-celinguk dulu sebelum menaikkan atau menurunkan suku bunga.
“BNI akan melihat pesaingnya untuk menurunkan suku bunga kredit. Suku bunga kredit yang diberikan sudah cukup rendah,” kata Direktur Utama BNI Gatot M Suwondo saat ditanya soal kemungkinan menurunkan bunga seiring pemangkasan BI Rate.
Risiko yang besar dan berderet memang seringkali membuat bank ketar-ketir saat ingin meluncurkan program baru. Namun dengan insentif keuntungan yang besar dari pasar, tidak sedikit bank yang tetap berani ambil risiko dengan mitigasi yang terukur.
Malahan di tengah makin cairnya batasan antara bank dan industri keuangan lainnya, pelaku makin berani berinovasi menciptakan produk-produk yang dikaitkan dengan instrumen-instrumen di pasar uang atau pasar modal. Seperti yang pernah terjadi pada awal 2010 lalu.
Namun semua inovasi produk dan layanan itu tentu tidak akan berarti apa-apa jika tidak bisa menolong bank, baik dengan cara meng-generate pendapatannya ataupun menghemat biaya operasionalnya. Jadi walaupun diiming-iming menjadi terkenal atau menyumbang pada kemajuan dunia, di dalam sektor perbankan, menjadi yang pertama bisa jadi bukanlah segala-galanya jika ternyata hal itu tidak berpengaruh terhadap peningkatan profit.
(ditulis pada Januari 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar