Kamis, 07 Maret 2013

Mengelola Bank di Tepi Jurang



Dalam kondisi kritis sebuah bank terpaksa harus menelan beberapa ‘pil pahit’. Dimulai dari penggantiaan pejabat, pengurangan karyawan hingga perubahan logo beserta visi dan misi. Meski pahit semua itu belum cukup untuk bisa membawa bank melakukan turnaround.
 
Dalam siklus bisnis, setiap perusahaan akan mengalami empat fase: ekspansi, puncak (peak), resesi dan terpuruk di dasar (bottom). Tidak terkecuali perbankan. Dalam menjalankan bisnisnya, perbankan juga tak akan bisa menolak kondisi yang memaksanya untuk berhadapan dengan krisis. Krisis itulah yang berpotensi membawanya pada keterpurukan bisnis.
Situasi krisis bisa muncul dalam skala besar maupun dalam magnitude yang lebih kecil. Krisis besar biasanya timbul karena kondisi perekonomian yang memang sedang tertimpa masalah yang biasa disebut risiko sistemik. Dalam situasi ini, semua bank akan mengalami tahap resesi, kolaps bahkan sampai bangkrut.
Krisis dalam skala yang lebih kecil bisa muncul karena percikan masalah yang berasal dari lingkup internal bank. Biasanya berasal dari kesalahan, kecurangan dan kejahatan yang dibuat oleh pegawainya sendiri. Meskipun kecil, krisis ini juga bisa mendorong bank ke dalam jurang keterpurukan.
Bank di manapun sangat tidak mengharapkan dirinya tertimpa krisis yang berasal dari kondisi makroekonomi yang guncang, karena hampir tidak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya selain bantuan dari pemerintah. Krisis ekonomi 1997/1998 tentu bisa dijadikan bukti betapa tak berdayanya bank menghadapi risiko sistemik. Hanya karena bantuan dari pemerintah baik berupa suntikan dana maupun pemulihan aset, bank bisa bertahan hidup. Itupun hanya bagi bank yang dipilih pemerintah saja, sementara sisanya dibiarkan mati.
Meski tak ingin mengalaminya, jika harus memilih untuk menghadapi tentu bank lebih menunjuk krisis yang disebabkan lingkup mikro. Dengan begitu, bank masih memiliki kemungkinan untuk bertahan. Apalagi seperti yang terjadi pada banyak bank, situasi krisis ‘kecil’ relatif bisa diatasi karena banyak yang akhirnya bisa bangkit dan mengembalikan bisnisnya seperti sedia kala. Singkatnya bank-bank tersebut berhasil melakukan turnaround.
Namun penerapan turnaround di sebuah bank tidak melulu disebabkan adanya masalah internal yang mengancam bisnis maupun reputasinya. Menurut Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ignatius Soepomo, setidaknya ada tiga penyebab mengapa bank memutuskan melakukan turnaround.
Pertama, karena ada kecenderungan bisnisnya menurun, misalnya dalam hal pangsa pasar. Bank akan melihat kembali apa yang menyebabkan hal itu terjadi dan menerapkan langkah perbaikan untuk mengembalikan bisnisnya ke jalur seharusnya. 
Kedua, karena ada risiko-risiko internal yang berpotensi mengganggu jalannya bisnis, yang jika itu tidak diperbaiki bisa menyebabkan posisi bank akan mengalami penurunan. Masalah bisa berasal dari risiko strategi, kredit, pasar dan lainnya.
Ketiga karena mengalami krisis akibat suatu kejadian tertentu misalnya fraud yang cukup besar. Jika hal tersebut tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan risiko yang lebih besar pada sistem bank itu.
“Untuk menghindari akibat fatal dilakukan upaya-upaya untuk melakukan turnaroud. Jadi turnaround pada dasarnya untuk mengubah atau membalikkan sesuatu. Biasanya ruang lingkupnya menyeluruh mulai dari organisasi, staffing, model bisnis, dan sebagainya,” kata Soepomo.
Pendek kata, strategi turnaround digelar oleh sebuah bank bukan semata-mata karena ia tengah ditimpa krisis, tapi memang ada kondisi kritis yang harus diperbaiki. “Bisa karena kasus tertentu, akibatnya reputasi menurun sehingga kepercayaan publik dikhawatirkan juga menurun. Kalau tidak dilakukan turnaround akan berdampak pada kinerja atau positioning bank itu,” ujar Soepomo.

Strategi Turnaround
Dalam menjalani proses pemulihan tak jarang sebuah bank harus memulainya dari nol sebelum akhirnya berhasil melakukan turnaround. Bank Mutiara, misalnya. Bank yang semula bernama Bank Century itu, mengalami apa yang dinamakan krisis ketika pemiliknya membobol banknya sendiri. Century kemudian kalah kliring mulai 18 September 2008. Kejadian itu terjadi beberapa kali dan berpotensi gagal bayar pada nasabah.
Menurut Bank Indonesia saat itu, rentetan gagal bayar ini terus berlanjut dan berakumulasi sehingga akan memengaruhi seluruh sistem perbankan. Akibat seterusnya adalah puluhan bank lainnya akan mengalami nasib yang sama dengan Century. Itulah yang membuat bank yang merupakan hasil merger tiga bank (CIC, Danpac, Pikko) diambil alih pemerintah bersamaan dengan penyuntikan modal senilai Rp6,7 triliun.
Pemerintah kemudian menunjuk jajaran manajemen baru untuk mengelola bank itu. Dimulailah masa-masa restrukturisasi. Manajemen baru yang dipimpin oleh Maryono, yang sebelumnya bekerja di Bank Mandiri menyiapkan sejumlah rencana. Tiga bulan pertama pasca menduduki kursi panas Direktur Utama Bank Century pada akhir September 2008, Maryono berupaya memperbaiki masalah reputasi yang hancur. Berbarengan dengan langkah mempertahan likuditas yang ada sekaligus memperbaikinya.
“Tiga bulan itu memang sangat menentukan. Bagaimana crisis reputation ini harus kami atasi. Kemudian kami putuskan untuk mengubah nama menjadi Bank Mutiara sekaligus mengubah visi misi,” cerita Maryono.
Setelah itu, manajemen menyiapkan strategi membangun kembali fondasi bank dalam enam bulan. Hal itu dilakukan dengan cara menata manajemen risiko, ketentuan internal, ketentuan good corporate governance( GCG). Pada masa itu, produk-produk yang tidak menguntungkan dibuang dan diganti dengan yang lebih menguntungkan.
Fase selanjutnya adalah fokus ke bisnis dengan berupaya meningkatkan dana, kredit, pendapatan bunga dan memperbaiki rasio-rasio keuangan supaya menjadi bank yang diterima seluruh stake holder. Dan tahun ini, bank tersebut sudah siap ditawarkan kepada investor guna mengembalikan duit pemerintah Rp6,7 triliun yang disuntikkan.
Masalah yang mendera Bank Mandiri sesaat setelah merger pada 1999 juga bisa dikatakan sebagai saat-saat bank itu berada pada situasi kritis. Merger empat bank pemerintah menjadi Bank Mandiri terjadi di tengah ekonomi Indonesia dilanda krisis. Robby Djohan yang sebelumnya dinilai berhasil dalam merestrukturisasi Maskapai Garuda ditunjuk sebagai pemimpin dalam proses pemulihan Bank Mandiri.
Robby yang mantan bankir Citibank bergerak cepat dengan membentuk sebuah tim yang dipercayainya bisa membantunya mereparasi Bank Mandiri. Belakangan beberapa orang dari tim itu juga dikenal sebagai bankir-bankir handal dalam soal merestrukturisasi bank bermasalah. Sebut saja, Agus DW Martowardojo dan Sigit Pramono. Dua nama itu merupakan anggota tim yang dipilih Roby Djohan dalam proses memulihkan Bank Mandiri pasca merger.
Dalam bukunya, Leading in Crisis: Praktik Kepemimpinan dalam Mega Merger Bank Mandiri (2006),  Robby bertutur bahwa pemimpin harus mampu menemukan inti masalah dan mempunyai kepercayaan diri bahwa ia mampu mengatasi masalah tersebut.
Berikutnya, agar masalah bisa terurai lebih cepat, tulis dia, pemimpin harus membentuk tim yang ahli di bidangnya. Pemimpin juga harus mampu menularkan keyakinan mengatasi masalah kepada seluruh anggota timnya.
“Pak Roby pandai memilih anak buah yang membantu dia. Dia berani memilih orang-orang yang bakal lebih pintar dari dia supaya pekerjaaanya lebih mudah. Dan dia mengkader orang,” kata Sigit yang saat ini menjadi Ketua Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas).
Pada tahap awal proses transformasi Mandiri, ada dua hal pokok yang dibenahi Robby beserta tim yang dibentuk pada masa-masa awal yaitu masalah personalia dan teknologi yang terkait dengan operasional. Pada personalia, kebijakan yang dilakukan waktu itu adalah menilai kembali kebutuhan karyawan yang kemudian diputuskan ada pengurangan dari 26 ribu karyawan yang ada menjadi 16 ribu. Lalu dibuat Program Pensiun Sukarela (PPS) dengan kompensasi yang sangat menarik.
Untuk soal teknologi, manajemen merekrut beberapa orang dari luar lingkungan bank untuk membenahi teknologi.
Kurang lebih tiga tahun proses itu dijalankan tim, sebagaimana dituturkan Bin Hadi yang menjadi Ketua Merger Committee Bank Mandiri saat itu. “Setelah tiga tahun, masing-masing personil sudah tidak ada lagi yang membawa ego dari bank mana mereka berasal. Semuanya sudah bersatu dalam keluarga besar Bank Mandiri,” kata Bin Hadi yang saat ini menjadi Anggota Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
Bank Mutiara dan Bank Mandiri hanya dua dari sekian bank yang berhasil melakukan turnaround. Selain itu masih ada Bank BNI saat tertimpa musibah kredit ekspor fiktif senilai Rp1,3 triliun yang membuat bank itu harus mengganti logonya. Dan Sigit Pramonolah orangnya yang ditunjuk pemegang saham untuk menyehatkan kembali bank pelat merah yang sempat limbung itu.

Ganti Logo
Menurut Soepomo dari LPPI sat Sigit masuk ke BNI, mantan Dirut BII itu sudah membawa program yang disebut dengan peta navigasi. “Sebelumnya BNI logonya perahu layar. Dengan program itu, Pak Sigit mengatakan bahwa navigasinya harus diperbarui. Itu adalah rencana jangka menengah dan panjang,” kata dia. Soepomo adalah salah satu anggota restrukturisasi BNI dan menjadi salah satu direktur di bawah komando Sigit. 
Menurut dia, dalam proses turnaround adalah peran pemimpin puncaknya dalam menjalankan leadership adalah yang terpenting dan paling utama. Setelah itu mulailah pembenahan bank dengan jalan mengubah visi dan misi perusahaan, mengubah tujuan, mengubah struktur organisasi dan jajaran direksi, serta mengubah strategi opersional.
Karena visi dan misinya diubah maka tidaklah mengherankan jika hampir sebagian besar bank yang ‘disehatkan’ selalu mengganti logo. Lihat saja, Bank Mutiara, Bank Mandiri, BII, dan BNI. “Karena turnaround dimulai dari visi misi, maka logo pun harus diubah,” kata Soepomo.
Perubahan-perubahan internal yang radikal itu selalu mendapatkan tentangan dari ‘orang lama’ di bank itu yang khawatir posisinya akan terancam. Maka dari itu, dalam proses turnaround, hadangan dari internal karyawan lama biasanya hampir selalu mewarnai. Dan kadangkala hal itulah yang membuat langkah perbaikan menjadi lambat.
Meski beberapa hal kunci dalam restrukturisasi yang dilaksanakan bank-bank di Tanah Air sudah terbukti berhasil, namun tetap saja tak ada rumusan generik yang bisa dijadikan acuan untuk melakukan turnaround.
Hal itu dituliskan oleh Dominic Barton, Direktor McKinsey untuk Shanghai, China dalam sebuah artikel yang ditulisnya bersama koleganya Roberto Newell dan Greg Wilson. Dua nama terakhir masing-masing adalah Direktur Umum the Mexican Institute for Competitiveness dan petinggi kantor pusat McKinsey di Washington, DC.
Artikel itu menuliskan bahwa tak ada formula yang eksotis ataupun sihir keuangan yang ampuh agar sebuah turnaround sukses bisa digapai sebuah bank. “Sebaliknya manajemen harus menerapkan tindakan yang tegas tetapi seringkali diacuhkan dan ditentang,” tulis artikel itu. Ketiganya juga sepakat bahwa program-program turnaround hampir pasti selalu mengharuskan bank untuk membawa tim manajemen baru.
Akan tetapi langkah yang seringkali terasa pahit itu memang harus dilakukan jika menginginkan bank itu tidak makin terpuruk bahkan jatuh ke dalam jurang yang dalam.
(ditulis pada Maret 2012)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar