Dalam kondisi kritis sebuah bank terpaksa
harus menelan beberapa ‘pil pahit’. Dimulai dari penggantiaan pejabat,
pengurangan karyawan hingga perubahan logo beserta visi dan misi. Meski pahit
semua itu belum cukup untuk bisa membawa bank melakukan turnaround.
Dalam siklus bisnis, setiap perusahaan akan
mengalami empat fase: ekspansi, puncak (peak),
resesi dan terpuruk di dasar (bottom).
Tidak terkecuali perbankan. Dalam menjalankan bisnisnya, perbankan juga tak
akan bisa menolak kondisi yang memaksanya untuk berhadapan dengan krisis.
Krisis itulah yang berpotensi membawanya pada keterpurukan bisnis.
Situasi krisis bisa muncul dalam skala
besar maupun dalam magnitude yang
lebih kecil. Krisis besar biasanya timbul karena kondisi perekonomian yang
memang sedang tertimpa masalah yang biasa disebut risiko sistemik. Dalam
situasi ini, semua bank akan mengalami tahap resesi, kolaps bahkan sampai
bangkrut.
Krisis dalam skala yang lebih kecil bisa
muncul karena percikan masalah yang berasal dari lingkup internal bank.
Biasanya berasal dari kesalahan, kecurangan dan kejahatan yang dibuat oleh
pegawainya sendiri. Meskipun kecil, krisis ini juga bisa mendorong bank ke
dalam jurang keterpurukan.
Bank di manapun sangat tidak mengharapkan
dirinya tertimpa krisis yang berasal dari kondisi makroekonomi yang guncang,
karena hampir tidak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya selain bantuan
dari pemerintah. Krisis ekonomi 1997/1998 tentu bisa dijadikan bukti betapa tak
berdayanya bank menghadapi risiko sistemik. Hanya karena bantuan dari
pemerintah baik berupa suntikan dana maupun pemulihan aset, bank bisa bertahan
hidup. Itupun hanya bagi bank yang dipilih pemerintah saja, sementara sisanya
dibiarkan mati.
Meski tak ingin mengalaminya, jika harus
memilih untuk menghadapi tentu bank lebih menunjuk krisis yang disebabkan
lingkup mikro. Dengan begitu, bank masih memiliki kemungkinan untuk bertahan.
Apalagi seperti yang terjadi pada banyak bank, situasi krisis ‘kecil’ relatif
bisa diatasi karena banyak yang akhirnya bisa bangkit dan mengembalikan
bisnisnya seperti sedia kala. Singkatnya bank-bank tersebut berhasil melakukan turnaround.
Namun penerapan turnaround di sebuah bank tidak melulu disebabkan adanya masalah internal
yang mengancam bisnis maupun reputasinya. Menurut Direktur Lembaga Pengembangan
Perbankan Indonesia (LPPI) Ignatius Soepomo, setidaknya ada tiga penyebab
mengapa bank memutuskan melakukan turnaround.
Pertama, karena ada kecenderungan bisnisnya menurun, misalnya dalam hal
pangsa pasar. Bank akan melihat kembali apa yang menyebabkan hal itu terjadi
dan menerapkan langkah perbaikan untuk mengembalikan bisnisnya ke jalur
seharusnya.
Kedua, karena ada risiko-risiko internal yang berpotensi mengganggu jalannya
bisnis, yang jika itu tidak diperbaiki bisa menyebabkan posisi bank akan
mengalami penurunan. Masalah bisa berasal dari risiko strategi, kredit, pasar
dan lainnya.
Ketiga karena mengalami krisis akibat suatu kejadian tertentu misalnya fraud yang cukup besar. Jika hal
tersebut tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan risiko yang lebih besar
pada sistem bank itu.
“Untuk menghindari akibat fatal dilakukan upaya-upaya
untuk melakukan turnaroud. Jadi turnaround pada dasarnya untuk mengubah
atau membalikkan sesuatu. Biasanya ruang lingkupnya menyeluruh mulai dari
organisasi, staffing, model bisnis,
dan sebagainya,” kata Soepomo.
Pendek kata, strategi turnaround digelar oleh sebuah bank bukan semata-mata karena ia
tengah ditimpa krisis, tapi memang ada kondisi kritis yang harus diperbaiki. “Bisa karena kasus tertentu, akibatnya
reputasi menurun sehingga kepercayaan publik dikhawatirkan juga menurun. Kalau
tidak dilakukan turnaround akan
berdampak pada kinerja atau positioning
bank itu,” ujar Soepomo.
Strategi
Turnaround
Dalam menjalani proses pemulihan tak jarang
sebuah bank harus memulainya dari nol sebelum akhirnya berhasil melakukan turnaround. Bank Mutiara, misalnya. Bank
yang semula bernama Bank Century itu, mengalami apa yang dinamakan krisis ketika
pemiliknya membobol banknya sendiri. Century kemudian kalah kliring mulai 18
September 2008. Kejadian itu terjadi beberapa kali dan berpotensi gagal bayar
pada nasabah.
Menurut Bank Indonesia saat itu, rentetan
gagal bayar ini terus berlanjut dan berakumulasi sehingga akan memengaruhi
seluruh sistem perbankan. Akibat seterusnya adalah puluhan bank lainnya akan
mengalami nasib yang sama dengan Century. Itulah yang membuat bank yang
merupakan hasil merger tiga bank (CIC, Danpac, Pikko) diambil alih pemerintah
bersamaan dengan penyuntikan modal senilai Rp6,7 triliun.
Pemerintah kemudian menunjuk jajaran
manajemen baru untuk mengelola bank itu. Dimulailah masa-masa restrukturisasi.
Manajemen baru yang dipimpin oleh Maryono, yang sebelumnya bekerja di Bank Mandiri
menyiapkan sejumlah rencana. Tiga bulan pertama pasca menduduki kursi panas
Direktur Utama Bank Century pada akhir September 2008, Maryono berupaya
memperbaiki masalah reputasi yang hancur. Berbarengan dengan langkah
mempertahan likuditas yang ada sekaligus memperbaikinya.
“Tiga bulan itu memang sangat menentukan.
Bagaimana crisis reputation ini harus
kami atasi. Kemudian kami putuskan untuk mengubah nama menjadi Bank Mutiara
sekaligus mengubah visi misi,” cerita Maryono.
Setelah itu, manajemen menyiapkan strategi
membangun kembali fondasi bank dalam enam bulan. Hal itu dilakukan dengan cara
menata manajemen risiko, ketentuan internal, ketentuan good corporate
governance( GCG). Pada masa itu, produk-produk yang tidak menguntungkan dibuang
dan diganti dengan yang lebih menguntungkan.
Fase selanjutnya adalah fokus ke bisnis
dengan berupaya meningkatkan dana, kredit, pendapatan bunga dan memperbaiki
rasio-rasio keuangan supaya menjadi bank yang diterima seluruh stake holder. Dan tahun ini, bank
tersebut sudah siap ditawarkan kepada investor guna mengembalikan duit
pemerintah Rp6,7 triliun yang disuntikkan.
Masalah yang mendera Bank Mandiri sesaat
setelah merger pada 1999 juga bisa dikatakan sebagai saat-saat bank itu berada
pada situasi kritis. Merger empat bank pemerintah menjadi Bank Mandiri terjadi di
tengah ekonomi Indonesia dilanda krisis. Robby Djohan yang sebelumnya dinilai
berhasil dalam merestrukturisasi Maskapai Garuda ditunjuk sebagai pemimpin
dalam proses pemulihan Bank Mandiri.
Robby yang mantan bankir Citibank bergerak
cepat dengan membentuk sebuah tim yang dipercayainya bisa membantunya
mereparasi Bank Mandiri. Belakangan beberapa orang dari tim itu juga dikenal
sebagai bankir-bankir handal dalam soal merestrukturisasi bank bermasalah. Sebut
saja, Agus DW Martowardojo dan Sigit Pramono. Dua nama itu merupakan anggota
tim yang dipilih Roby Djohan dalam proses memulihkan Bank Mandiri pasca merger.
Dalam bukunya, Leading in Crisis: Praktik Kepemimpinan dalam Mega Merger Bank Mandiri
(2006), Robby bertutur bahwa pemimpin harus mampu
menemukan inti masalah dan mempunyai kepercayaan diri bahwa ia mampu mengatasi
masalah tersebut.
Berikutnya, agar masalah bisa terurai lebih
cepat, tulis dia, pemimpin harus membentuk tim yang ahli di bidangnya. Pemimpin
juga harus mampu menularkan keyakinan mengatasi masalah kepada seluruh anggota
timnya.
“Pak Roby pandai memilih anak buah yang
membantu dia. Dia berani memilih orang-orang yang bakal lebih pintar dari dia
supaya pekerjaaanya lebih mudah. Dan dia mengkader orang,” kata Sigit yang saat
ini menjadi Ketua Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas).
Pada tahap awal proses transformasi
Mandiri, ada dua hal pokok yang dibenahi Robby beserta tim yang dibentuk pada
masa-masa awal yaitu masalah personalia dan teknologi yang terkait dengan
operasional. Pada personalia, kebijakan yang dilakukan waktu itu adalah menilai
kembali kebutuhan karyawan yang kemudian diputuskan ada pengurangan dari 26
ribu karyawan yang ada menjadi 16 ribu. Lalu dibuat Program Pensiun Sukarela
(PPS) dengan kompensasi yang sangat menarik.
Untuk soal teknologi, manajemen merekrut
beberapa orang dari luar lingkungan bank untuk membenahi teknologi.
Kurang lebih tiga tahun proses itu
dijalankan tim, sebagaimana dituturkan Bin Hadi yang menjadi Ketua Merger
Committee Bank Mandiri saat itu. “Setelah tiga tahun, masing-masing personil
sudah tidak ada lagi yang membawa ego dari bank mana mereka berasal. Semuanya
sudah bersatu dalam keluarga besar Bank Mandiri,” kata Bin Hadi yang saat ini
menjadi Anggota Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
Bank Mutiara dan Bank Mandiri hanya dua
dari sekian bank yang berhasil melakukan turnaround.
Selain itu masih ada Bank BNI saat tertimpa musibah kredit ekspor fiktif
senilai Rp1,3 triliun yang membuat bank itu harus mengganti logonya. Dan Sigit
Pramonolah orangnya yang ditunjuk pemegang saham untuk menyehatkan kembali bank
pelat merah yang sempat limbung itu.
Ganti
Logo
Menurut Soepomo dari LPPI sat Sigit masuk ke
BNI, mantan Dirut BII itu sudah membawa program yang disebut dengan peta
navigasi. “Sebelumnya BNI logonya perahu layar. Dengan program itu, Pak Sigit
mengatakan bahwa navigasinya harus diperbarui. Itu adalah rencana jangka
menengah dan panjang,” kata dia. Soepomo adalah salah satu anggota restrukturisasi
BNI dan menjadi salah satu direktur di bawah komando Sigit.
Menurut dia, dalam proses turnaround adalah peran pemimpin puncaknya
dalam menjalankan leadership adalah
yang terpenting dan paling utama. Setelah itu mulailah pembenahan bank dengan jalan
mengubah visi dan misi perusahaan, mengubah tujuan, mengubah struktur
organisasi dan jajaran direksi, serta mengubah strategi opersional.
Karena visi dan misinya diubah maka
tidaklah mengherankan jika hampir sebagian besar bank yang ‘disehatkan’ selalu
mengganti logo. Lihat saja, Bank Mutiara, Bank Mandiri, BII, dan BNI. “Karena
turnaround dimulai dari visi misi, maka logo pun harus diubah,” kata Soepomo.
Perubahan-perubahan internal yang radikal
itu selalu mendapatkan tentangan dari ‘orang lama’ di bank itu yang khawatir
posisinya akan terancam. Maka dari itu, dalam proses turnaround, hadangan dari internal karyawan lama biasanya hampir
selalu mewarnai. Dan kadangkala hal itulah yang membuat langkah perbaikan
menjadi lambat.
Meski beberapa hal kunci dalam restrukturisasi yang dilaksanakan bank-bank di Tanah
Air sudah terbukti berhasil, namun tetap saja tak ada rumusan generik yang bisa
dijadikan acuan untuk melakukan turnaround.
Hal itu dituliskan oleh Dominic Barton, Direktor
McKinsey untuk Shanghai, China dalam sebuah artikel yang ditulisnya bersama
koleganya Roberto Newell dan Greg Wilson. Dua nama terakhir masing-masing
adalah Direktur Umum the Mexican Institute for Competitiveness dan petinggi
kantor pusat McKinsey di Washington, DC.
Artikel itu menuliskan bahwa tak ada
formula yang eksotis ataupun sihir keuangan yang ampuh agar sebuah turnaround sukses bisa digapai sebuah
bank. “Sebaliknya manajemen harus menerapkan tindakan yang tegas tetapi
seringkali diacuhkan dan ditentang,” tulis artikel itu. Ketiganya juga sepakat
bahwa program-program turnaround hampir pasti selalu mengharuskan bank untuk
membawa tim manajemen baru.
Akan tetapi langkah yang seringkali terasa
pahit itu memang harus dilakukan jika menginginkan bank itu tidak makin
terpuruk bahkan jatuh ke dalam jurang yang dalam.
(ditulis pada Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar