Kamis, 07 Maret 2013

Makna Tahun Emas (bagi Bank)



Bank yang telah melewati usia setengah abad tentu diekspektasikan sebagai bank yang memiliki kemampuan bertahan yang lebih baik dibanding bank yang lebih muda. Namun soal kinerja, sepertinya ekspektasi itu tidak selalu terbukti di lapangan. 

“With age comes experience”. Begitulah orang-orang bijak sering berkata. Manusia yang berusia lebih tua lazimnya memang memiliki pengalaman yang lebih banyak dibanding mereka yang muda. Dan pengalaman inilah yang membedakan mereka dari yang lain dalam menghadapi hidup.
Dan sebagaimana manusia, sebuah perusahaan yang berusia lebih dewasa umumnya juga memiliki pengalaman dan daya tahan yang lebih baik ketimbang perusahaan sejenis yang baru beberapa tahun berdiri. Namun apakah hal di atas tetap akan seperti itu setelah usia 50 tahun terlewati? Kalau analoginya adalah manusia, maka yang tersisa adalah pengalaman yang berisi kebijaksanaan hidup yang membuat mereka yang berumur 50 tahun lebih unggul. Sebaliknya, soal daya tahan tentu akan berbanding terbalik.
Jika usia setengah abad itu dikaitkan dengan perusahaan, tentu keunggulan di sisi pengalaman dan daya tahan itu relatif tetap dimiliki oleh perusahaan yang lebih tua. Karena makin lama sebuah perusahaan bertahan –yang berarti makin panjang umurnya, maka pelajaran yang sudah dimilikinya dalam mengarungi bisnis makin besar. Begitu juga yang seharusnya terjadi dengan sebuah bank.
Namun sebagai institusi kepercayaan, bank yang bisa bertahan lebih lama juga dapat disimpulkan dengan bank yang memperoleh kepercayaan nasabah. Kalau tidak bagaimana bank tersebut bisa bertahan? Jadi kepercayaan dan keberlangsungan sebuah bank –bahkan hingga 50 tahun–adalah  suatu sebab akibat yang tidak dapat dipisahkan.
Bahkan menurut pengamat dari Lembaga Manajemen Universitas Indonesia, Toto Pranoto, sebuah perusahaan termasuk bank yang bisa bertahan sampai lebih dari 50 tahun merupakan perusahaan yang luar biasa. Bagi dia, sebagaimana organisme, sebuah bank yang bisa terus hidup hingga waktu tersebuttentunya memang memiliki sesuatu yang membuatnya bisa bertahan. “Ada empat hal yang membuat sebuah perusahaan termasuk bank bertahan hingga waktu yang lama,” kata Toto.
Mengutip buku ‘The Living Company’, karya Arie de Geus, Toto mengatakan bahwa keempat hal tersebut adalah adaptasi, kohesivitas, pengelolaan keuangan yang konservatif dan desentralisasi. Buku yang merupakan hasil penelitian atas lebih dari 50 perusahaan yang berusia di atas 50 tahun itu menjelaskan bahwa yang dimaksud adaptasi adalah kemampuan melakukan penyesuaian. Sementara kohesivitas berarti rasa memiliki, pengelolaan keuangan yang konservatif adalah bersikap pruden serta toleransi dan terakhir desentralisasi artinya memberi kesempatan luas untuk melakukan inovasi.
“Keempatnya tidak bisa dipisahkan, karena bank akan bertahan kalau bisa meng-handle ancaman dari dalam dan dari luar. Ditambah lagi Industri perbankan merupakan industri yang highly regulated,” ujar Toto.
Dengan kondisi seperti itu tidaklah mengherankan jika tak banyak bank yang masih bertahan hingga setengah abad apalagi satu abad. Lihat saja, dari sekitar 120 bank umum yang ada di Indonesia, yang sudah melewati umur 50 tahun mungkin tidak sampai sepertiganya. Meski demikian tidak sedikit dari bank yang berusia emas itu yang kinerjanya tidak seistimewa usianya. Malahan ada bank-bank yang usianya masih separo usia emas namun kinerja lebih mengkilap ketimbang bank-bank berusia emas.
Bank Mandiri adalah contohnya. Meski belum berumur 20 tahun, namun bank yang dibentuk dari penggabungan empat bank negara sudah mencuat menjadi bank terkemuka di Indonesia. Namun untungnya ada BRI, BCA dan BNI yang masih bisa membuktikan bahwa bank berusia di atas 50 tahun memang memiliki keunggulan di sisi pengalaman dan daya tahan.
Lalu apa yang menyebabkan bank-bank berusia matang itu kalah dengan bank yang lebih muda? Menurut Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Subarjo Joyosumarto, mengkilapnya kinerja sebuah bank tidaklah bergantung dari usia yang sudah dilewatinya tetapi dari sejauh mana ia belajar dari perubahan.
Bagi dia, kemampuan sebuah bank dalam menyesuaikan diri dengan perubahan adalah kunci untuk mencetak prestasi gemilang. Dia menyingkat faktor kemampuan belajar (learning) dengan L dan perubahan (change) dengan C. “Jika L sebuah perusahaan lebih rendah dari C maka siap-siap saja karena perusahaan itu akan kolaps,” kata Subarjo.
Perusahaan, lanjut dia akan tumbuh jika L lebih besar dari C sementara perusahaan hanya akan bertahan jika L sama dengan C. Oleh karena itu bank harus terus meningkatkan kemampuan belajar dengan mencetak lebih banyak Sumber Daya Manusia yang bisa menyerap dan menyesuaikan dengan perubahan.

Belajar dari perubahan
Faktor perubahan ini kerap membawa dampak yang sangat besar bagi perusahaan jika tidak benar-benar bisa menyesuaikan. Banyak contoh, perusahaan yang akhirnya tutup ketika tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan bahkan parahnya lagi tidak mau berubah.
Contoh termutakhir adalah Kodak. Perusahaan yang dulunya bernama Eastman Dry Plate.Co, saat dibentuk sebagai rekanan pada 1881 oleh George Eastman, sebetulnya adalah salah satu raksasa blue chip Amerika. Bahkan namanya sangat sinonim dengan pengambilan foto dan kehadiran film dalam kotak kuning yang bisa ditemukan di mana-mana. Namun perusahaan itu lambat merespons kompetisi dari bisnis film dari Fujifilm Jepang yang berujung pada pemotongan harga produk.
Tak hanya itu, meski periset merekalah yang menemukan kamera digital pertama kali pada 1975. Kodak lagi-lagi lambat menjalankan bisnis fotografi digital dan terus fokus pada pembuatan film. Akhirnya perusahaan itu kembali dilibas pesaingnya.
Meski demikian banyak juga perusahaan yang akhirnya selamat dari perubahan bahkan bisa memimpin industri setelah melakukan perubahan signifikan dalam evolusi bisnisnya. Sebut saja American Express. Mungkin tidak banyak yang tahu kalau perusahaan asal AS yang berdiri tahun 1850 ini awalnya adalah perusahaan jasa pos. Namun seiring dengan perubahan zaman, perusahaan ini terkenal dengan provider jasa keuangan ternama dunia.
Atau contoh lain adalah Shell. Siapa sangka kalau perusahaan minyak asal Ingris yang berdiri 1833 ini semula adalah hanya berbisnis mengimpor kulit kerang? Atau misalnya Samsung yang terkenal sebagai perusahaan rekayasa teknologi terkenal di dunia awal berdiri ternyata merupakan perusahaan pembuat mie.
Kendati tidak mungkin melakukan perubahan bisnis inti, bank sejatinya bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di atas bagaimana menghadapi perubahan dan menyesuaikan diri terhadapnya.
Bank-bank bisa melakukan perubahan-perubahan terkait dengan perkembangan bisnis jasa keuangan sendiri. Misalnya di tengah perkembangan teknologi informasi (TI) yang pesat, bank-bank pun harus segera merancang produk atau layanan yang sesuai dengan perkembangan itu, seperti phone banking, internet banking, ataupun sms banking.
“Agar bisa bertahan lama, bank harus meningkatkan TI-nya, infrastrukturnya dibaguskan, dan harus seinovatif mungkin,” kata Kepala Divisi Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Risiko lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Subardiah.
Sebagai sebuah entitas bisnis, bank juga melewati beberapa fase dalam menjalani bisnis walaupun tidak seperti perusahaan di industri lainnya. Menurut pengamat perbankan dari Vibiz Consulting Alfred Pakasi bank memulai bisnisnya dengan melayani usaha ritel dan kecil menengah. Lambat laun setelah berhasil menggarap sektor itu bank mulai bersiap mengincar sektor korporasi.
“Kalau sudah ada semua mulai dari ritel sampai korporat, bank akan membuka layanan private banking dan syariah. Setelah itu akan mengembangkan sektor mikro,” kata dia.
Tidak semua bank memang melewati tahap-tahap  itu secara sempurna, namun sedikit banyak tahapan itu sudah dilewati oleh bank-bank yang berusia 50 tahun. Lalu apa yang seharusnya didapat oleh bank-bank tersebut? Yang pasti bukan cuma sekedar bertahan dan sekedar pengalaman.




Daftar Bank Berusia Emas di Indonesia:
1.       PT Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk. IDX: BBNI
Berdiri: 5 Juli 1946
Kantor Cabang: 1.076
Aset: Rp252 Triliun (2011)
Modal: Rp15 Triliun
Website: BNI.co.id
2.        PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
IDX: BBRI
Berdiri:  16 Desember 1895
Kantor cabang: 4.447
Aset: Rp371 Triliun
Modal: Rp15 triliun
Situs web : www.bri.co.id
3.       PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
IDX: BBTN
Berdiri: 1897
Kantor Cabang: 182
Aset: Rp73 Triliun
Modal: Rp10 Triliun
Situs web: www.btn.co.id

4.       PT Bank Central Asia Tbk.
IDX: BBCA
Berdiri: 21 Februari 1957
Kantor Cabang: 902
Aset: Rp336 Triliun
Modal: Rp5,5 Triliun
Website KlikBCA.com

5.       PT CIMB Niaga Tbk.
IDX: BNGA
Berdiri: 1955
Kantor Cabang: 615
Aset: Rp150 Triliun
Modal: Rp3,4 Triliun
6.       PT. Bank Danamon Tbk.
IDX: BDMN
Berdiri: 1956
Kantor Cabang: 137
Aset: Rp118 Triliun
Modal: Rp11,6 Triliun
Website:  www.danamon.co.id
7.       PT Bank Internasional Indonesia Tbk.
IDX: BNII
Berdiri: 15 Mei 1959
Kantor Cabang: 337
Aset: Rp79 Triliun
Modal: Rp12,8 Triliun
Website: www.bii.co.id
8.       PT Bank OCBC NISP
IDX: NISP
Berdiri: 4 April 1941
Kantor Cabang: 408
Aset: Rp52 Triliun
Modal: Rp3,5 Triliun
9.       PT Bank UOB
Berdiri: 1956
Kantor Cabang: 170
Aset: Rp43 Triliun
Modal: Rp9 Triliun
10.   PT Bank Tabungan Pensiun nasional
Berdiri: 1959
Kantor Cabang: 1.047
Aset: Rp39 Triliun
Modal: Rp150 Miliar
Website: www.btpn.com

 (ditulis pada Februari 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar