Bank yang telah melewati usia setengah abad
tentu diekspektasikan sebagai bank yang memiliki kemampuan bertahan yang lebih
baik dibanding bank yang lebih muda. Namun soal kinerja, sepertinya ekspektasi
itu tidak selalu terbukti di lapangan.
“With
age comes experience”. Begitulah orang-orang bijak
sering berkata. Manusia yang berusia lebih tua lazimnya memang memiliki
pengalaman yang lebih banyak dibanding mereka yang muda. Dan pengalaman inilah
yang membedakan mereka dari yang lain dalam menghadapi hidup.
Dan sebagaimana manusia, sebuah perusahaan
yang berusia lebih dewasa umumnya juga memiliki pengalaman dan daya tahan yang
lebih baik ketimbang perusahaan sejenis yang baru beberapa tahun berdiri. Namun
apakah hal di atas tetap akan seperti itu setelah usia 50 tahun terlewati?
Kalau analoginya adalah manusia, maka yang tersisa adalah pengalaman yang
berisi kebijaksanaan hidup yang membuat mereka yang berumur 50 tahun lebih
unggul. Sebaliknya, soal daya tahan tentu akan berbanding terbalik.
Jika usia setengah abad itu dikaitkan
dengan perusahaan, tentu keunggulan di sisi pengalaman dan daya tahan itu
relatif tetap dimiliki oleh perusahaan yang lebih tua. Karena makin lama sebuah
perusahaan bertahan –yang berarti makin panjang umurnya, maka pelajaran yang
sudah dimilikinya dalam mengarungi bisnis makin besar. Begitu juga yang
seharusnya terjadi dengan sebuah bank.
Namun sebagai institusi kepercayaan, bank
yang bisa bertahan lebih lama juga dapat disimpulkan dengan bank yang
memperoleh kepercayaan nasabah. Kalau tidak bagaimana bank tersebut bisa
bertahan? Jadi kepercayaan dan keberlangsungan sebuah bank –bahkan hingga 50
tahun–adalah suatu sebab akibat yang
tidak dapat dipisahkan.
Bahkan menurut pengamat dari Lembaga
Manajemen Universitas Indonesia, Toto Pranoto, sebuah perusahaan termasuk bank yang
bisa bertahan sampai lebih dari 50 tahun merupakan perusahaan yang luar biasa. Bagi
dia, sebagaimana organisme, sebuah bank yang bisa terus hidup hingga waktu
tersebuttentunya memang memiliki sesuatu yang membuatnya bisa bertahan. “Ada
empat hal yang membuat sebuah perusahaan termasuk bank bertahan hingga waktu
yang lama,” kata Toto.
Mengutip buku ‘The Living Company’, karya
Arie de Geus, Toto mengatakan bahwa keempat hal tersebut adalah adaptasi, kohesivitas,
pengelolaan keuangan yang konservatif dan desentralisasi. Buku yang merupakan
hasil penelitian atas lebih dari 50 perusahaan yang berusia di atas 50 tahun
itu menjelaskan bahwa yang dimaksud adaptasi adalah kemampuan melakukan
penyesuaian. Sementara kohesivitas berarti rasa memiliki, pengelolaan keuangan
yang konservatif adalah bersikap pruden serta toleransi dan terakhir
desentralisasi artinya memberi kesempatan luas untuk melakukan inovasi.
“Keempatnya tidak bisa dipisahkan, karena
bank akan bertahan kalau bisa meng-handle
ancaman dari dalam dan dari luar. Ditambah lagi Industri perbankan merupakan
industri yang highly regulated,” ujar
Toto.
Dengan kondisi seperti itu tidaklah
mengherankan jika tak banyak bank yang masih bertahan hingga setengah abad
apalagi satu abad. Lihat saja, dari sekitar 120 bank umum yang ada di
Indonesia, yang sudah melewati umur 50 tahun mungkin tidak sampai sepertiganya.
Meski demikian tidak sedikit dari bank yang berusia emas itu yang kinerjanya
tidak seistimewa usianya. Malahan ada bank-bank yang usianya masih separo usia
emas namun kinerja lebih mengkilap ketimbang bank-bank berusia emas.
Bank Mandiri adalah contohnya. Meski belum
berumur 20 tahun, namun bank yang dibentuk dari penggabungan empat bank negara
sudah mencuat menjadi bank terkemuka di Indonesia. Namun untungnya ada BRI, BCA
dan BNI yang masih bisa membuktikan bahwa bank berusia di atas 50 tahun memang
memiliki keunggulan di sisi pengalaman dan daya tahan.
Lalu apa yang menyebabkan bank-bank berusia
matang itu kalah dengan bank yang lebih muda? Menurut Direktur Utama Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia Subarjo Joyosumarto, mengkilapnya kinerja
sebuah bank tidaklah bergantung dari usia yang sudah dilewatinya tetapi dari
sejauh mana ia belajar dari perubahan.
Bagi dia, kemampuan sebuah bank dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan adalah kunci untuk mencetak prestasi
gemilang. Dia menyingkat faktor kemampuan belajar (learning) dengan L dan perubahan (change) dengan C. “Jika L sebuah perusahaan lebih rendah dari C
maka siap-siap saja karena perusahaan itu akan kolaps,” kata Subarjo.
Perusahaan, lanjut dia akan tumbuh jika L
lebih besar dari C sementara perusahaan hanya akan bertahan jika L sama dengan
C. Oleh karena itu bank harus terus meningkatkan kemampuan belajar dengan
mencetak lebih banyak Sumber Daya Manusia yang bisa menyerap dan menyesuaikan
dengan perubahan.
Belajar
dari perubahan
Faktor perubahan ini kerap membawa dampak
yang sangat besar bagi perusahaan jika tidak benar-benar bisa menyesuaikan.
Banyak contoh, perusahaan yang akhirnya tutup ketika tidak bisa menyesuaikan
dengan perubahan bahkan parahnya lagi tidak mau berubah.
Contoh termutakhir adalah Kodak. Perusahaan
yang dulunya bernama Eastman Dry Plate.Co, saat dibentuk sebagai rekanan pada
1881 oleh George Eastman, sebetulnya adalah salah satu raksasa blue chip Amerika.
Bahkan namanya sangat sinonim dengan pengambilan foto dan kehadiran film dalam
kotak kuning yang bisa ditemukan di mana-mana. Namun perusahaan itu lambat
merespons kompetisi dari bisnis film dari Fujifilm Jepang yang berujung pada
pemotongan harga produk.
Tak hanya itu, meski periset merekalah yang
menemukan kamera digital pertama kali pada 1975. Kodak lagi-lagi lambat menjalankan
bisnis fotografi digital dan terus fokus pada pembuatan film. Akhirnya
perusahaan itu kembali dilibas pesaingnya.
Meski demikian banyak juga perusahaan yang
akhirnya selamat dari perubahan bahkan bisa memimpin industri setelah melakukan
perubahan signifikan dalam evolusi bisnisnya. Sebut saja American Express.
Mungkin tidak banyak yang tahu kalau perusahaan asal AS yang berdiri tahun 1850
ini awalnya adalah perusahaan jasa pos. Namun seiring dengan perubahan zaman,
perusahaan ini terkenal dengan provider jasa keuangan ternama dunia.
Atau contoh lain adalah Shell. Siapa sangka
kalau perusahaan minyak asal Ingris yang berdiri 1833 ini semula adalah hanya
berbisnis mengimpor kulit kerang? Atau misalnya Samsung yang terkenal sebagai
perusahaan rekayasa teknologi terkenal di dunia awal berdiri ternyata merupakan
perusahaan pembuat mie.
Kendati tidak mungkin melakukan perubahan
bisnis inti, bank sejatinya bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan di atas bagaimana menghadapi perubahan dan menyesuaikan
diri terhadapnya.
Bank-bank bisa melakukan
perubahan-perubahan terkait dengan perkembangan bisnis jasa keuangan sendiri.
Misalnya di tengah perkembangan teknologi informasi (TI) yang pesat, bank-bank
pun harus segera merancang produk atau layanan yang sesuai dengan perkembangan
itu, seperti phone banking, internet banking, ataupun sms banking.
“Agar bisa bertahan lama, bank harus
meningkatkan TI-nya, infrastrukturnya dibaguskan, dan harus seinovatif
mungkin,” kata Kepala Divisi Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Risiko
lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Subardiah.
Sebagai sebuah entitas bisnis, bank juga
melewati beberapa fase dalam menjalani bisnis walaupun tidak seperti perusahaan
di industri lainnya. Menurut pengamat perbankan dari Vibiz Consulting Alfred
Pakasi bank memulai bisnisnya dengan melayani usaha ritel dan kecil menengah.
Lambat laun setelah berhasil menggarap sektor itu bank mulai bersiap mengincar
sektor korporasi.
“Kalau sudah ada semua mulai dari ritel
sampai korporat, bank akan membuka layanan private banking dan syariah. Setelah
itu akan mengembangkan sektor mikro,” kata dia.
Tidak semua bank memang melewati
tahap-tahap itu secara sempurna, namun
sedikit banyak tahapan itu sudah dilewati oleh bank-bank yang berusia 50 tahun.
Lalu apa yang seharusnya didapat oleh bank-bank tersebut? Yang pasti bukan cuma
sekedar bertahan dan sekedar pengalaman.
1.
PT Bank Negara Indonesia
(Persero)
Tbk. IDX: BBNI
Berdiri: 5 Juli
1946
Kantor Cabang: 1.076
Aset: Rp252
Triliun (2011)
Modal: Rp15
Triliun
Website:
BNI.co.id
2.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
IDX: BBRI
Berdiri: 16 Desember 1895
Kantor cabang:
4.447
Aset: Rp371
Triliun
Modal: Rp15
triliun
Situs web :
www.bri.co.id
3.
PT Bank Tabungan Negara
(Persero) Tbk.
IDX: BBTN
Berdiri: 1897
Kantor Cabang: 182
Aset: Rp73 Triliun
Modal: Rp10 Triliun
Situs web: www.btn.co.id
4.
PT Bank Central Asia Tbk.
IDX: BBCA
Berdiri: 21 Februari 1957
Kantor Cabang: 902
Aset: Rp336 Triliun
Modal: Rp5,5 Triliun
Website KlikBCA.com
5.
PT CIMB Niaga Tbk.
IDX: BNGA
Berdiri: 1955
Kantor Cabang: 615
Aset: Rp150 Triliun
Modal: Rp3,4 Triliun
Website CIMB Niaga website
6.
PT. Bank Danamon Tbk.
IDX: BDMN
Berdiri: 1956
Kantor Cabang: 137
Aset: Rp118 Triliun
Modal: Rp11,6 Triliun
Website: www.danamon.co.id
7.
PT Bank Internasional Indonesia
Tbk.
IDX: BNII
Berdiri: 15 Mei 1959
Kantor Cabang: 337
Aset: Rp79 Triliun
Modal: Rp12,8 Triliun
Website: www.bii.co.id
8.
PT Bank OCBC NISP
IDX: NISP
Berdiri: 4 April 1941
Kantor Cabang: 408
Aset: Rp52 Triliun
Modal: Rp3,5 Triliun
Website: www.ocbcnisp.com
9.
PT Bank UOB
Berdiri: 1956
Kantor Cabang: 170
Aset: Rp43 Triliun
Modal: Rp9 Triliun
Website: www.uob.co.id/personal
10.
PT Bank Tabungan Pensiun
nasional
Berdiri: 1959
Kantor Cabang: 1.047
Aset: Rp39 Triliun
Modal: Rp150 Miliar
Website: www.btpn.com
(ditulis pada Februari 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar