Selasa, 22 Oktober 2013

Menguji Harapan Atas OJK

Otoritas Jasa Keuangan tengah menghadapi ujian sesungguhnya saat sektor keuangan menghadapi gejolak pada Agustus lalu. Dan semua respons yang dilakukan akan menentukan, apakah harapan yang disematkan kepada lembaga itu bisa terwujud atau tidak.

Di Pulau Nias, ada tradisi lompat batu, yang telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi yang disebut hombo batu atau fahombo oleh orang Nias ini lestari bersama budaya megalit di Pulau seluas 5.625 km² yang berada dalam Provinsi Sumatra Utara.
Awalnya lompat batu dilakukan sebagai tes akhir seorang pemuda untuk menjadi prajurit. Harapannya, saat berperang si pemuda dapat dengan mudah melompati pagar benteng yang tingginya sekitar 2 meter dan mengelilingi wilayah musuh. Namun kini tradisi yang persiapannya dilakukan seorang anak lelaki sejak kecil  ini dilakukan sebagai tes awal bahwa seorang lelaki dianggap dewasa dan matang secara fisik. Jika berhasil maka si pemuda dinilai sudah boleh menikah.
Ini bukanlah soal cerita budaya atau adat istiadat daerah, bukan pula kisah soal destinasi wisata. Ini adalah soal harapan dan cobaan. Ya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru berdiri awal Januari tahun ini mengantongi banyak harapan dari masyarakat dan juga pelaku di sektor jasa keuangan.  Dan baru saja lembaga itu didirikan dan mulai menyelesaikan aturan internal, ujian besar sudah menghadang.
OJK sejatinya sudah digadang-gadang untuk dihadirkan di Indonesia sejak tahun 1999. Undang-Undang Bank Indonesia No 23 tahun 1999, menetapkan bahwa OJK harus sudah berdiri paling lambat 31 Desember 2002.
Namun hingga tahun 2002 berakhir lembaga itu belum juga muncul. Bukannya mempercepat kehadiran OJK yang memang sudah telat, pemerintah bersama DPR kompak mengamendemen UU BI dengan mengeluarkan UU No. 3/2004. Di dalamnya ada tengat waktu pembentukan OJK yang baru yaitu  harus dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Lagi-lagi target meleset. Dan baru pada tahun 2012, setelah hadirnya aturan mengenai Otoritas Jasa Keuangan, kepastian pendirian lembaga itu muncul. Dan pada awal Januari tahun ini OJK berdiri dan memulai tugasnya.
Meski kehadiran OJK di Indonesia nyaris berbarengan dengan berakhirnya masa operasi Financial Services Authority (FSA) di beberapa negara, pembuat UU tetap optimistis peran otoritas itu sangat diperlukan.
Konsep pengawasan terpadu yang diadopsi OJK memang meniru apa yang diterapkan pada FSA di negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Korea Selatan. Kendati telah berjalan lebih dulu, FSA di sana masih menghadapi  kelemahan, baik dari sisi kelembagaan, koordinasi maupun tata kelola yang baik. Kelemahan-kelemahan itulah yang katanya sudah ditutup oleh kehadiran OJK di Indonesia
Sementara itu bagi publik, pendirian otoritas itu dianggap sebagai jawaban dari banyaknya lubang-lubang dalam pengawasan sektor keuangan selama ini. Bagaimana pengawas perbankan lepas tangan atas kasus penipuan reksadana yang dilakukan sebuah bank dan menganggap itu wewenang otoritas pasar modal, adalah buktinya. Sehingga wajar kalau konsumen dan masyarakat berharap banyak pada otoritas baru itu.
Nah, situasi turbulensi dua bulan lalu ibarat ujian awal bagi kehadiran OJK di industri keuangan Tanah Air. Ketika gejolak sektor keuangan yang disebabkan wacana penghentian stimulus di AS itu muncul, OJK baru saja kelar menyelesaikan prosedur standar operasi internal.
Artinya tidak ada waktu buat santai sejenak. Beberapa hari setelah pasar keuangan mengalami pemburukan Agustus lalu ditandai oleh anjloknya indeks saham dan merosotnya nilai tukar rupiah atas dollar AS, pejabat OJK langsung mengadakan rapat. Pertemuan itu juga dihadiri otoritas lain yang masuk dalam anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Sebelumnya juga telah digelar pertemuan forum yang sama namun dihadiri oleh pejabat setingkat deputi.
Guncangan ini memang ibarat ujian awal bagi kehadiran OJK. Oleh karena itu otoritas tak mau main-main dan gegabah dalam memitigasi risiko yang bisa terjadi dari kisruh tersebut. Semua pikiran tercurah untuk mengantisipasi kemungkinan yang muncul dari pelemahan tersebut.
“Pak Muliaman sampai-sampai membatalkan rencana umrohnya,” kata sumber yang dekat dengan Muliaman D Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK.
Meski demikian, pasca mengamati situasi kondisi dan rapat yang digelar oleh forum, Muliaman menyimpulkan bahwa guncangan itu tidak berpotensi menimbulkan krisis keuangan. Kata mantan Deputi Gubernur BI ini, krisis terjadi apabila pasar keuangan terus menurun dalam jangka waktu tertentu. “Ada ukuran-ukuran internal, kalau dia turun di atas 10 persen dalam 3 hari sebetulnya kita harus mengantisipasi. ...tapi karena saham turun naik kita masih terus antisipasi secara dekat,” kata dia.
Benar saja, sebulan setelahnya pemerintah AS mengumumkan akan meneruskan langkah penyuntikan dana besar-besaran kepada sektor keuangan melalui program quantitative easing. Namun hal itu bukan berarti mengurangi kewaspadaan otoritas. Menurut Muliaman krisis masih terus mengancam sektor keuangan RI karena belum kuatnya struktur sektor tersebut. Namun forum penangkal krisis, kata dia sudah siap dalam memitigasi jika krisis tersebut benar-benar terjadi. Terlebih lagi Indonesia sudah memiliki pengalaman penanganan krisis keuangan tahun 2008.
Apa yang dikatakan Muliaman segendang sepenarian dengan penilaian Rahmat Waluyanto. Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK ini bahkan menilai bahwa potensi krisis masih mengintai sektor keuangan RI.
Pasalnya pembalikan modal yang menjadi penyebab guncangan kemarin itu masih akan terjadi jika situasi perekonomian global masih seperti sekarang. “Risk taking behaviour investor-investor sekarang ini meningkat setelah melihat yang terjadi di Amerika,” kata Rahmat.
Setelah pemerintah menggelontarkan dana besar-besaran sejak 2008 dalam program pelonggaran kuantitatif, investor menyerap semua instrumen investasi yang ada di pasar modal AS. Hal itu berlangsung dalam kurun waktu setahun sebelum akhirnya semua instrumen itu dianggap tidak lagi mencukupi hasrat mendapatkan return lebih tinggi. “Untuk memenuhi berinvestasi yang risk taker tadi maka investor td mulai menempatkan dana ke emerging market termasuk kita,” kata Rahmat.
Itulah penjelasan kenapa aset-aset dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat dan dinilai bubble oleh sebagian kalangan. Ketika aset-aset RI dinilai overvalue itulah, capital reversal sejatinya sudah mulai terjadi yaitu mulai tahun lalu. Dan sepanjang Juli-Agustus pembalikan modal itu membesar dan membuat pasar modal terbatuk-batuk. “Capital reversal yang belakangan ini membesar dan mencapai puncaknya bukanlah terjadi secara tiba-tiba,” kata Rahmat.

Pengalaman Krisis
Kendati tetap mewanti-wanti timbulnya krisis, namun otoritas optimistis bahwa Indonesia lebih siap menghadapi kemungkinan tersebut. Selain aturan-aturan terkait prudensial pada sektor keuangan sudah lebih lengkap, kini sektor keuangan sudah memiliki lembaga superbodi dalam diri OJK.
Pada 2008, sektor keuangan sempat terhuyung-huyung akibat ambruknya sektor properti di AS. Pada saat itu indeks saham dan nilai tukar juga sempat melorot dari nilai sebelumnya. Saat itu indeks harga saham gabungan turun 22 persen dari 1.426,94 pada ke level terendah 1.111,39 hanya dalam waktu sepekan.
Sementara itu, rupiah juga mengalami nasib serupa. Nilai tukar terdepresiasi dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dolar AS sepanjang September. Pelemahan itu berlangsung tiga bulan dan pada 24 November menjadi Rp 12.650 per dollar AS. Walhasil rupiah terdepresiasi 38 persen selama tiga bulan.
Meski memastikan bahwa guncangan pada 2013 ini tidak seperti 2008 dan tidak berpotensi menyebabk krisis, OJK tetap menganggap hal itu sebuah ancaman serius buat sektor keuangan nasional. Bahkan untuk menanggulangi krisis kecil Agustus lalu, OJK sudah menerbitkan aturan buyback saham oleh emiten tanpa melewati proses rapat umum pemegang saham.  
Selain itu OJK akan memperketat pengawasan pada seluruh lembaga keuangan yang ada. Ujian krisis kecil kemarin juga seperti mengingatkan membuat pengambil kebijakan bahwa kerentanan selalu ada, dan mereka harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Indonesia pernah mengalami guncangan krisis ekonomi 1998 dan 2008. Dari situ banyak pelaku ekonomi terutama dari kalangan industri jasa keuangan mampu menghadapi krisis tersebut dengan baik. Oleh karena itu, Muliaman sang nakhoda OJK berharap bahwa ujian di sektor keuangan dua bulan lalu tak akan membuat industri labil dan bisa melewatinya. “Saya berharap industri keuangan kita masih bisa bekerja. Ibarat naik pesawat, kita sedang kena turbulensi, sehingga perlu pakai sabuk pengaman," kata Muliaman.
Begitu juga masyarakat yang berharap agar OJK mampu membawa sektor keuangan melewati segala macam turbulensi yang kemungkinan dihadapi di masa mendatang.
                                                                                                                                             
=========================================================== 


Perbandingan Krisis 2008 dan ‘Krisis’ 2013

2008, IHSG
Dalam satu pekan, indeks turun 22 persen dari 1.426,94 pada 20 Oktober ke level terendah 1.111,39 di 28 Oktober. Jika dihitung selama tiga bulan, telah terjadi pelemahan sebesar 40 persen. Indeks terus mengalami fluktuasi dan berada level 1.355,41 pada penutupan akhir 2008, atau turun 51 persen dari posisi awal tahun.

2013, IHSG
Pada Selasa (20/8), IHSG ditutup 4.174,98, turun 11 persen atau 524,75 poin selama sepekan. Indeks pernah mencapai rekor tertinggi 5.214,97 pada 20 Mei. Jika dibandingkan dengan posisi tertinggi tersebut atau selama tiga bulan, IHSG telah merosot 19,94 persen. Namun jika dilihat sejak awal tahun, indeks hanya turun 3,28 persen.

Rupiah, 2008
Rupiah mulai terdepresiasi pada awal September 2008 dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dolar AS pada akhir September. Per 31 Oktober, rupiah kembali melemah menjadi Rp 11.050 per dolar AS. Puncak pelemahan rupiah terjadi pada 24 November menjadi Rp 12.650 per dolar AS, atau terdepresiasi 38 persen selama tiga bulan.

2013
Nilai tukar rupiah atas dollar yang terdalam berada di level 11.495 pada awal September, melemah 19 persen dari posisi terkuatnya tahun ini di 9.586. posisi ini juga merupakan posisi terendah sejak 14 tahun terakhir

Neraca Perdagangan
Pada 2008, neraca perdagangan Indonesia masih mengalami surplus US$ 7,8 miliar, meski mengalami penurunan sekitar 80 persen dibandingkan surplus tahun sebelumnya. Ini disebabkan meningkatnya impor sebesar 73 persen dari US$ 74,5 miliar menjadi US$ 129,2 miliar. Penurunan surplus disebabkan melemahnya harga komoditas global akibat krisis di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa.

2013
Sepanjang semester I, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$ 3,31 miliar. Total ekspor Indonesia sebesar US$ 91,05 miliar, turun 6,09 persen dibandingkan semester I-2012. BPS menyebutkan, penurunan ekspor terutama akibat turunnya nilai ekspor nonmigas, terutama batubara dan minyak sawit. Padahal keduanya merupakan kontributor terbesar masing-masing mencapai 17 persen dan 13 persen terhadap total ekspor.

Cadangan devisa
Pada awal 2008, cadangan devisa tercatat sebesar US$ 56,9 miliar setara dengan 5,3 bulan impor. Di akhir tahun, jumlahnya melorot menjadi US$ 51,6 miliar atau setara 4,8 bulan impor. Cadangan devisa sempat naik ke US$ 60,6 pada Juli, dan mencapai level terendah pada November sebesar US$ 50,2 miliar atau turun 17 persen akibat melemahnya nilai rupiah dan naiknya harga minyak mentah dunia.  Penurunan bulanan tertinggi terjadi pada Oktober sebesar 11 persen dari US$ 57,1 miliar pada September menjadi US$ 50,6 miliar.

2013
Dalam dua bulan, cadangan devisa Indonesia terkuras hingga US$12,5 miliar atau berkurang 12 persen menjadi US$ 92,99 pada akhir Agustus. Jumlah itu setara dengan 5,9 bulan impor. Sepanjang tahun ini, cadangan devisa berkurang lebih dari 18 persen dari posisi akhir 2012 sebesar US$112,8 miliar (7,2 bulan impor). Berkurangnya cadangan devisa itu digunakan untuk penyelamatan rupiah, selain pembayaran impor dan utang luar negeri.

Neraca Transaksi Berjalan
2008: Kecuali pada kuartal I yang mengalami surplus US$ 2,7 miliar, neraca transaksi berjalan Indonesia pada 2008 mengalami defisit. Pada kuartal II, defisit mencapai US$ 1 miliar atau 0,77 persen terhadap PDB. Pada kuartal berikutnya, defisit berkurang menjadi US$ 967 juta (0,69 persen) pada kuartal III dan US$ 637 juta (0,55 persen) di kuartal IV. Defisit tidak berlanjut di 2009 karena harga minyak mentah dunia mulai turun yang mengurangi beban impor minyak.

2013

Bank Indonesia menyebutkan, neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 mengalami defisit US$ 9,9 miliar atau sekitar 4,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah ini mengalami peningkatan 69 persen dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 5,8 miliar. Defisit tersebut sekaligus melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir sejak kuartal IV-2011. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar