Otoritas Jasa Keuangan tengah
menghadapi ujian sesungguhnya saat sektor keuangan menghadapi gejolak pada
Agustus lalu. Dan semua respons yang dilakukan akan menentukan, apakah harapan
yang disematkan kepada lembaga itu bisa terwujud atau tidak.
Di Pulau Nias, ada tradisi lompat
batu, yang telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi yang disebut hombo batu atau fahombo oleh orang Nias ini lestari bersama budaya megalit di Pulau
seluas 5.625 km² yang berada dalam Provinsi Sumatra Utara.
Awalnya lompat batu dilakukan
sebagai tes akhir seorang pemuda untuk menjadi prajurit. Harapannya, saat
berperang si pemuda dapat dengan mudah melompati pagar benteng yang tingginya
sekitar 2 meter dan mengelilingi wilayah musuh. Namun kini tradisi yang
persiapannya dilakukan seorang anak lelaki sejak kecil ini dilakukan sebagai tes awal bahwa seorang
lelaki dianggap dewasa dan matang secara fisik. Jika berhasil maka si pemuda
dinilai sudah boleh menikah.
Ini bukanlah soal cerita budaya
atau adat istiadat daerah, bukan pula kisah soal destinasi wisata. Ini adalah
soal harapan dan cobaan. Ya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru berdiri
awal Januari tahun ini mengantongi banyak harapan dari masyarakat dan juga
pelaku di sektor jasa keuangan. Dan baru
saja lembaga itu didirikan dan mulai menyelesaikan aturan internal, ujian besar
sudah menghadang.
OJK sejatinya sudah digadang-gadang
untuk dihadirkan di Indonesia sejak tahun 1999. Undang-Undang Bank Indonesia No
23 tahun 1999, menetapkan bahwa OJK harus sudah berdiri paling lambat 31
Desember 2002.
Namun hingga tahun 2002 berakhir
lembaga itu belum juga muncul. Bukannya mempercepat kehadiran OJK yang memang sudah
telat, pemerintah bersama DPR kompak mengamendemen UU BI dengan mengeluarkan UU
No. 3/2004. Di dalamnya ada tengat waktu pembentukan OJK yang baru yaitu harus dilaksanakan selambat-lambatnya 31
Desember 2010.
Lagi-lagi target meleset. Dan baru
pada tahun 2012, setelah hadirnya aturan mengenai Otoritas Jasa Keuangan,
kepastian pendirian lembaga itu muncul. Dan pada awal Januari tahun ini OJK
berdiri dan memulai tugasnya.
Meski kehadiran OJK di Indonesia
nyaris berbarengan dengan berakhirnya masa operasi Financial Services Authority
(FSA) di beberapa negara, pembuat UU tetap optimistis peran otoritas itu sangat
diperlukan.
Konsep pengawasan terpadu yang
diadopsi OJK memang meniru apa yang diterapkan pada FSA di negara-negara
seperti Inggris, Australia, dan Korea Selatan. Kendati telah berjalan lebih
dulu, FSA di sana masih menghadapi
kelemahan, baik dari sisi kelembagaan, koordinasi maupun tata kelola
yang baik. Kelemahan-kelemahan itulah yang katanya sudah ditutup oleh kehadiran
OJK di Indonesia
Sementara itu bagi publik, pendirian
otoritas itu dianggap sebagai jawaban dari banyaknya lubang-lubang dalam
pengawasan sektor keuangan selama ini. Bagaimana pengawas perbankan lepas
tangan atas kasus penipuan reksadana yang dilakukan sebuah bank dan menganggap
itu wewenang otoritas pasar modal, adalah buktinya. Sehingga wajar kalau
konsumen dan masyarakat berharap banyak pada otoritas baru itu.
Nah,
situasi turbulensi dua bulan lalu ibarat ujian awal bagi kehadiran OJK di
industri keuangan Tanah Air. Ketika gejolak sektor keuangan yang disebabkan
wacana penghentian stimulus di AS itu muncul, OJK baru saja kelar menyelesaikan
prosedur standar operasi internal.
Artinya tidak ada waktu buat santai
sejenak. Beberapa hari setelah pasar keuangan mengalami pemburukan Agustus lalu
ditandai oleh anjloknya indeks saham dan merosotnya nilai tukar rupiah atas
dollar AS, pejabat OJK langsung mengadakan rapat. Pertemuan itu juga dihadiri
otoritas lain yang masuk dalam anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem
Keuangan (FKSSK). Sebelumnya juga telah digelar pertemuan forum yang sama namun
dihadiri oleh pejabat setingkat deputi.
Guncangan ini memang ibarat ujian
awal bagi kehadiran OJK. Oleh karena itu otoritas tak mau main-main dan gegabah
dalam memitigasi risiko yang bisa terjadi dari kisruh tersebut. Semua pikiran
tercurah untuk mengantisipasi kemungkinan yang muncul dari pelemahan tersebut.
“Pak Muliaman sampai-sampai
membatalkan rencana umrohnya,” kata sumber yang dekat dengan Muliaman D Hadad,
Ketua Dewan Komisioner OJK.
Meski demikian, pasca mengamati
situasi kondisi dan rapat yang digelar oleh forum, Muliaman menyimpulkan bahwa
guncangan itu tidak berpotensi menimbulkan krisis keuangan. Kata mantan Deputi
Gubernur BI ini, krisis terjadi apabila pasar keuangan terus menurun dalam
jangka waktu tertentu. “Ada ukuran-ukuran internal, kalau dia turun di atas 10
persen dalam 3 hari sebetulnya kita harus mengantisipasi. ...tapi karena saham
turun naik kita masih terus antisipasi secara dekat,” kata dia.
Benar saja, sebulan setelahnya
pemerintah AS mengumumkan akan meneruskan langkah penyuntikan dana
besar-besaran kepada sektor keuangan melalui program quantitative easing. Namun hal itu bukan berarti mengurangi kewaspadaan
otoritas. Menurut Muliaman krisis masih terus mengancam sektor keuangan RI
karena belum kuatnya struktur sektor tersebut. Namun forum penangkal krisis,
kata dia sudah siap dalam memitigasi jika krisis tersebut benar-benar terjadi.
Terlebih lagi Indonesia sudah memiliki pengalaman penanganan krisis keuangan
tahun 2008.
Apa yang dikatakan Muliaman
segendang sepenarian dengan penilaian Rahmat Waluyanto. Wakil Ketua Dewan
Komisioner OJK ini bahkan menilai bahwa potensi krisis masih mengintai sektor
keuangan RI.
Pasalnya pembalikan modal yang
menjadi penyebab guncangan kemarin itu masih akan terjadi jika situasi
perekonomian global masih seperti sekarang. “Risk taking behaviour investor-investor sekarang ini meningkat
setelah melihat yang terjadi di Amerika,” kata Rahmat.
Setelah pemerintah menggelontarkan
dana besar-besaran sejak 2008 dalam program pelonggaran kuantitatif, investor
menyerap semua instrumen investasi yang ada di pasar modal AS. Hal itu
berlangsung dalam kurun waktu setahun sebelum akhirnya semua instrumen itu
dianggap tidak lagi mencukupi hasrat mendapatkan return lebih tinggi. “Untuk memenuhi berinvestasi yang risk taker
tadi maka investor td mulai menempatkan dana ke emerging market termasuk kita,” kata Rahmat.
Itulah penjelasan kenapa aset-aset
dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat dan dinilai bubble oleh sebagian kalangan. Ketika
aset-aset RI dinilai overvalue
itulah, capital reversal sejatinya
sudah mulai terjadi yaitu mulai tahun lalu. Dan sepanjang Juli-Agustus
pembalikan modal itu membesar dan membuat pasar modal terbatuk-batuk. “Capital reversal yang belakangan ini
membesar dan mencapai puncaknya bukanlah terjadi secara tiba-tiba,” kata
Rahmat.
Pengalaman Krisis
Kendati tetap mewanti-wanti
timbulnya krisis, namun otoritas optimistis bahwa Indonesia lebih siap
menghadapi kemungkinan tersebut. Selain aturan-aturan terkait prudensial pada
sektor keuangan sudah lebih lengkap, kini sektor keuangan sudah memiliki
lembaga superbodi dalam diri OJK.
Pada 2008, sektor keuangan sempat
terhuyung-huyung akibat ambruknya sektor properti di AS. Pada saat itu indeks
saham dan nilai tukar juga sempat melorot dari nilai sebelumnya. Saat itu
indeks harga saham gabungan turun 22 persen dari 1.426,94 pada ke level
terendah 1.111,39 hanya dalam waktu sepekan.
Sementara itu, rupiah juga mengalami nasib serupa. Nilai
tukar terdepresiasi dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dolar AS sepanjang September.
Pelemahan itu berlangsung tiga bulan dan pada 24 November menjadi Rp 12.650 per
dollar AS. Walhasil rupiah terdepresiasi 38 persen selama tiga bulan.
Meski memastikan bahwa guncangan pada 2013 ini tidak seperti
2008 dan tidak berpotensi menyebabk krisis, OJK tetap menganggap hal itu sebuah
ancaman serius buat sektor keuangan nasional. Bahkan untuk menanggulangi krisis
kecil Agustus lalu, OJK sudah menerbitkan aturan buyback saham oleh emiten tanpa melewati proses rapat umum pemegang
saham.
Selain itu OJK akan memperketat
pengawasan pada seluruh lembaga keuangan yang ada. Ujian krisis kecil kemarin
juga seperti mengingatkan membuat pengambil kebijakan bahwa kerentanan selalu
ada, dan mereka harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Indonesia pernah mengalami
guncangan krisis ekonomi 1998 dan 2008. Dari situ banyak pelaku ekonomi
terutama dari kalangan industri jasa keuangan mampu menghadapi krisis tersebut
dengan baik. Oleh karena itu, Muliaman sang nakhoda OJK berharap bahwa ujian di
sektor keuangan dua bulan lalu tak akan membuat industri labil dan bisa
melewatinya. “Saya berharap industri keuangan kita masih bisa bekerja. Ibarat
naik pesawat, kita sedang kena turbulensi, sehingga perlu pakai sabuk
pengaman," kata Muliaman.
Begitu juga masyarakat yang
berharap agar OJK mampu membawa sektor keuangan melewati segala macam
turbulensi yang kemungkinan dihadapi di masa mendatang.
Perbandingan Krisis
2008 dan ‘Krisis’ 2013
2008, IHSG
Dalam satu pekan, indeks turun 22 persen dari 1.426,94 pada
20 Oktober ke level terendah 1.111,39 di 28 Oktober. Jika dihitung selama tiga
bulan, telah terjadi pelemahan sebesar 40 persen. Indeks terus mengalami
fluktuasi dan berada level 1.355,41 pada penutupan akhir 2008, atau turun 51
persen dari posisi awal tahun.
2013, IHSG
Pada Selasa (20/8), IHSG ditutup 4.174,98, turun 11 persen
atau 524,75 poin selama sepekan. Indeks pernah mencapai rekor tertinggi
5.214,97 pada 20 Mei. Jika dibandingkan dengan posisi tertinggi tersebut atau
selama tiga bulan, IHSG telah merosot 19,94 persen. Namun jika dilihat sejak
awal tahun, indeks hanya turun 3,28 persen.
Rupiah, 2008
Rupiah mulai terdepresiasi pada awal September 2008 dari Rp
9.161 menjadi Rp 9.506 per dolar AS pada akhir September. Per 31 Oktober,
rupiah kembali melemah menjadi Rp 11.050 per dolar AS. Puncak pelemahan rupiah
terjadi pada 24 November menjadi Rp 12.650 per dolar AS, atau terdepresiasi 38
persen selama tiga bulan.
2013
Nilai tukar rupiah atas dollar yang terdalam berada di level
11.495 pada awal September, melemah 19 persen dari posisi terkuatnya tahun ini
di 9.586. posisi ini juga merupakan posisi terendah sejak 14 tahun terakhir
Neraca Perdagangan
Pada 2008, neraca perdagangan Indonesia masih mengalami
surplus US$ 7,8 miliar, meski mengalami penurunan sekitar 80 persen
dibandingkan surplus tahun sebelumnya. Ini disebabkan meningkatnya impor
sebesar 73 persen dari US$ 74,5 miliar menjadi US$ 129,2 miliar. Penurunan
surplus disebabkan melemahnya harga komoditas global akibat krisis di Amerika
Serikat dan sejumlah negara Eropa.
2013
Sepanjang semester I, defisit neraca perdagangan sudah
mencapai US$ 3,31 miliar. Total ekspor Indonesia sebesar US$ 91,05 miliar,
turun 6,09 persen dibandingkan semester I-2012. BPS menyebutkan, penurunan
ekspor terutama akibat turunnya nilai ekspor nonmigas, terutama batubara dan
minyak sawit. Padahal keduanya merupakan kontributor terbesar masing-masing
mencapai 17 persen dan 13 persen terhadap total ekspor.
Cadangan devisa
Pada awal 2008, cadangan devisa tercatat sebesar US$ 56,9
miliar setara dengan 5,3 bulan impor. Di akhir tahun, jumlahnya melorot menjadi
US$ 51,6 miliar atau setara 4,8 bulan impor. Cadangan devisa sempat naik ke US$
60,6 pada Juli, dan mencapai level terendah pada November sebesar US$ 50,2
miliar atau turun 17 persen akibat melemahnya nilai rupiah dan naiknya harga
minyak mentah dunia. Penurunan bulanan
tertinggi terjadi pada Oktober sebesar 11 persen dari US$ 57,1 miliar pada
September menjadi US$ 50,6 miliar.
2013
Dalam dua bulan, cadangan devisa Indonesia terkuras hingga
US$12,5 miliar atau berkurang 12 persen menjadi US$ 92,99 pada akhir Agustus.
Jumlah itu setara dengan 5,9 bulan impor. Sepanjang tahun ini, cadangan devisa
berkurang lebih dari 18 persen dari posisi akhir 2012 sebesar US$112,8 miliar
(7,2 bulan impor). Berkurangnya cadangan devisa itu digunakan untuk
penyelamatan rupiah, selain pembayaran impor dan utang luar negeri.
Neraca Transaksi Berjalan
2008: Kecuali pada kuartal I yang mengalami surplus US$ 2,7
miliar, neraca transaksi berjalan Indonesia pada 2008 mengalami defisit. Pada
kuartal II, defisit mencapai US$ 1 miliar atau 0,77 persen terhadap PDB. Pada
kuartal berikutnya, defisit berkurang menjadi US$ 967 juta (0,69 persen) pada
kuartal III dan US$ 637 juta (0,55 persen) di kuartal IV. Defisit tidak
berlanjut di 2009 karena harga minyak mentah dunia mulai turun yang mengurangi
beban impor minyak.
2013
Bank Indonesia menyebutkan, neraca transaksi berjalan
Indonesia pada kuartal II-2013 mengalami defisit US$ 9,9 miliar atau sekitar
4,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah ini mengalami
peningkatan 69 persen dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 5,8 miliar. Defisit
tersebut sekaligus melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir
sejak kuartal IV-2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar