Guncangan di sektor keuangan sepanjang Juli-Agustus lalu
ternyata membawa konsekuensi yang cukup besar buat perbankan. Bersamaan dengan
pengetatan yang dilakukan otoritas sebelumnya dan pasca turbulensi, kinerja
perbankan dinilai akan melambat.
“Nilai tukar adalah gorden,” kata ekonom senior Hartojo
Wignyowijoto suatu kali di awal krisis 1998 lalu. “Begitu ia dibuka,
kelihatanlah seisi rumahnya.”
Kalimat dari ekonom nyentrik itu kembali menemukan
momentumya tahun ini ketika sejak Juni lalu, nilai tukar rupiah atas dollar AS mulai
terguncang. Dan Ketika ‘tirai penutup jendela’ dibuka tampak jelas kerentanan
perekonomian Indonesia terpapar dari luar.
Sampai pekan kedua September nilai rupiah terus merosot
hingga 16 persen lebih rendah dari posisinya di awal tahun. Meski sempat
menguat saat pengumuman The Federal Reserve, rupiah kemudian kembali ke posisi
Rp11.400-an per dollar AS. Dan level itu tampaknya menjadi keseimbangan baru
bagi sang tirai, nilai tukar rupiah.
Ketika tirai dibuka akan terlihatlah sektor keuangan yang
mulai menyesuaikan diri dengan posisi tersebut. Yang pertama terlihat bisa jadi
adalah industri perbankan. Guncangan di sektor keuangan pada Agustus lalu menambah
panjang daftar ujian-ujian yang dihadapi perbankan. Sebelumnya, beberapa aturan
otoritas di sektor properti dan otomotif sudah cukup untuk menohok perbankan
yang selama satu dasawarsa ini selalu mencatat pertumbuhan bisnis yang menawan.
Oleh karena itu banyak pihak yang memprediksi bahwa mulai
saat ini perbankan nasional akan mulai mengurangi kecepatan dalam menjalankan
bisnis demi menghindari risiko yang bisa mengancam kinerjanya. Dan hal itu tentu
akan membuat laba perbankan juga akan sedikit melambat.
Berdasarlan data dari statistik perbankan milik Bank
Indonesia, pertumbuhan laba bersih bank per Juli 2013 tercatat Rp59,39 triliun,
atau tumbuh 16,19 persen dibandingkan sebulan sebelumnya. Ini adalah
pertumbuhan laba terendah sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini. dalam
periode Januari- Mei laba perbankan tumbuh di atas 20 persen bahkan sempat di
atas 50 persen. Laba bersih bank umum pada Juli 2013 juga hanya tumbuh 12,31
persen dibanding Juli 2012. Sementara pada periode setahun sebelumnya laba bank
secara industri tumbuh 24,74 persen.
Turbulensi yang terjadi sepanjang Juli-Agustus lalu memang
menjadi pukulan terbesar bagi perbankan. Perbankan harus berhadapan dengan
risiko pasar yang lebih besar terkait melemahnya nilai tukar rupiah dan
meningkatnya suku bunga. Sebelumnya bank sudah tertekan oleh aturan otoritas
terkait pengetatan di sektor properti dan otomotif lewat skema regulasi loan to value (LTV).
Oleh karena itu tidaklah mengheranka jika pada paro pertama
tahun ini, rata-rata pertumbuhan laba lima bank besar terlihat menurun. Hingga
Juli laba bank-bank itu tercatat 17,96 persen. Angka itu lebih rendah dibanding
pertumbuhan semester pertama tahun lalu
sebesar 19,74 persen.
Jika mau ditelaah lebih dalam lagi, pelemahan laba itu juga
sudah terlihat pada Bank Rakyat Indonesia. Bank yang selama ini selalu
mencatatkan laba terbesar di industri, pada semester pertama tahun ini sebesar
Rp10 triliun atau tumbuh 16,3 persen. Pertumbuhan labanya lebih rendah jika
dibanding pertumbuhan laba semester yang sama tahun lalu yaitu Rp8,61 triliun
dengan pertumbuhan laba 26,83 persen.
Juga pada bank milik investor mancanegara macam CIMB Niaga.
Pertumbuhan laba bank yang dikuasai raksasa keuangan Malaysia ini turun paling
dalam, yaitu dari tumbuh 28 persen pada semester pertama 2012 menjadi tumbuh
hanya 8 persen pada enam bulan pertama tahun ini.
Meski demikian, bank lain terutama milik negara masih
membukukan pertumbuhan laba lebih tinggi dibanding tahun lalu. Seperti Bank
Mandiri. Bank beraset terbesar itu mencatatkan pertumbuhan laba 16 persen paro
pertama tahun ini dengan nilai Rp8,3 triliun, sedangkan periode lalu hanya sebesar
13 persen. Pertumbuhan laba paling tinggi diduduki BNI yang mencapai 30,2
persen pada tahun ini sebesar Rp4,28 triliun. Sedangkan tahun lalu, labanya
tumbuh 20,4 persen sebesar Rp3,29 triliun.
Konservatif
Menurut pelaku perbankan, melambatnya laba ini disebabkan
beberapa faktor seperti perlambatan ekonomi, tingginya inflasi, kenaikan BI Rate,
dan ketidakpastian ekonomi global yang membuat rupiah melemah.
Untuk itu para pengelola bank akan menerapkan strategi meningkatkan
pencadangan kredit sebagai langkah konservatif menghadapi penurunan ekonomi. “Untuk
kondisi ekonomi seperti saat ini, konservatif merupakan langkah terbaik,"
ujar Direktur Utama Bank Mandiri, Budi G Sadikin.
Sementara itu, bankir lain memperkirakan bahwa pertumbuhan
laba perbankan pada akhir tahun akan lebih rendah dibanding semester pertama tahun
ini. Direktur Keuangan BRI Achmad Baiquni memperkirakan perolehan laba akhir
tahun diperkirakan hanya tumbuh 14-15 persen. “Kedepannya pertumbuhan laba
Semester II akan lebih menurun," ujar dia.
Kondisi perekonomian yang agak melandai dan beberapa
pengetatan aturan akan membuat penyaluran kredit agak tertahan bahkan cenderung
menurun. Menurut data Bank Indonesia rata-rata pertumbuhan kredit enam bulan
pertama tahun ini mencapai 21,8 persen, lebih rendah dibanding tahun lalu
sebesar 23,64 persen.
Pertumbuhan bisnis bank yang menurun itu merupakan imbas
dari melemahnya ekonomi Indonesia setelah dua bulan diterjang krisis mini.
Guncangan ekonomi Agustus lalu membuat perekonomian hanya tumbuh di kisaran 5,9
persen, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 6,3 persen. Inflasi juga
telah melonjak 8,6 persen pada Juli dan akan membuat tekanan pada konsumsi
masyarakat. Sementara itu nilai tukar terdepresiasi 14 persen lebih dan dan
indeks saham juga merosot 7 persen lebih. Hal itu sebagai imbas dari
hengkangnya dana-dana asing di instrumen saham dan obligasi negara.
Turbulensi ekonomi yang terjadi dua bulan lalu itu seperti
sebuah rambu bagi bank bahwa sudah saatnya mereka mengurangi kecepatan dan
kembali masuk jalur lambat. Trauma krisis akhir 1990-an kembali terngiang
ketika sektor perbankan Indonesia runtuh setelah rupiah kehilangan sekitar 85
persen dari nilainya terhadap dollar AS. Hal itu menyebabkan pinjaman luar
negeri meroket dan membuat banyak utang menjadi default.
Pada 2008, RI juga sempat terhujam krisis global yang sempat
membuat perbankan terhuyung. Pada saat itu nilai tukar rupiah terdepresiasi
sebesar 38 persen sepanjang tiga bulan September hingga November. Rupiah mulai
terdepresiasi pada awal September 2008 dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dollar
AS pada akhir September. Per 31 Oktober, rupiah kembali melemah menjadi Rp
11.050 per dollar AS. Puncak pelemahan rupiah terjadi pada 24 November menjadi
Rp 12.650 per dollar AS.
Dan baru-baru ini penurunan mata uang rupiah terhadap dollar
AS telah mencapai 14 persen dibanding posisinya pada awal tahun dan defisit transaksi
berjalan yang besar telah menghidupkan kembali kenangan tidak nyaman pada masa-masa
itu.
Lebih Ketat
Namun demikian banyak orang yang akan berpendapat bahwa ini
bukan tahun 1990-an lagi. Kini bank-bank di Indonesia memiliki rasio modal yang
tinggi yang rata-rata mencapai hampir 18 persen pada Juli. Di sisi lain pertumbuhan
kredit telah melaju pada tingkat tahunan sekitar 20 persen dalam beberapa tahun
terakhir dan banyak dibiayai oleh deposito daripada utang dengan mata uang
dollar AS. Kredit yang tak bagus, sementara itu, angkanya hanya 2 persen dari total kredit.
Sementara itu, Bank Indonesia sudah lebih siap dalam
mengantisipasi kondisi terburuk guna menghindari pengalaman pahit krisis 97-98.
Bank sentral sejak awal 2000-an sudah menerbitkan beragam aturan ketat dan
pruden untuk lebih memperkokoh industri perbankan dalam negeri.
Bahkan untuk pengelolaan pinjaman luar negeri yang dilakukan
perbankan, BI dianggap sudah jauh lebih baik. Bank dapat menerima dana dari luar
negeri baik yang berjangka pendek maupun berjangka panjang namun harus menerapkan
prinsip kehati-hatian. Bank yang akan masuk pasar untuk memperoleh utang jangka
panjang wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari BI dan rencana wajib
dicantumkan dalam rencana bisnis bank. Bank wajib membatasi posisi saldo harian
utang jangka pendek paling tinggi 30 persen dari modal.
Pengetatan itu kembali menjadi perhatian otoritas setelah
gejolak pasar modal Agustus lalu. Dalam dua bulan, BI telah menaikkan suku
bunga acuannya sebesar 75 basis poin menjadi 7,25 persen. malahan BI sempat
menaikkannya dalam suatu rapat dewan gubernur yang dilakukan di luar jadwal normal.
Bank sentral juga menginginkan agar sektor perbankan
mengurangi laju penyaluran kreditnya agar bisa menghindari risiko munculnya
kredit macet dalam jangka pendek. “Seluruh negara di dunia mengalami
pertumbuhan ekonomi yang melambat. Oleh karena itu wajar kalau kita tidak bisa
berlari terlalu kencang sementara yang lain melambat," kata Deputi
Gubernur BI Perry Warjiyo.
Apa yang sudah dilakukan BI dalam rangka merespons kondisi
yang berlangsung belakangan ini, dinilai bukanlah tindakan pengetatan yang berlebihan.
Hal itu dilakukan untuk mengamankan perekonomian terutama neraca transaksi
berjalan. “Masalah kita sekarang ini adalah defisit current account yang besar, itu harus turun. Impor-impor harus
turun karena kita tidak bisa mendorong ekspor terlalu lanjut," kata dia.
Selain itu, Perry menilai jika kenaikan BI Rate merupakan
hal yang wajar karena kebijakan yang dilakukan tak lain salah satunya untuk
kembali menggairahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Dan wajar memang berbagai policy yang kita lakukan memang karena domestic demand melambat. Dengan suku bunga, nilai tukar,
pengendalian kredit dan lain-lain. Kita juga berpegangan dengan erat dengan
pemerintah untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian ini, agar kita menuju kepada
soft landing,” kata Perry.
Tahun lalu, kredit perbankan pada kuartal pertama tumbuh 24
persen dan pada kuartal pertama tahun ini, kredit hanya tumbuh 22,2 persen. BI
mencatat perlambatan terjadi di sektor kredit modal kerja menjadi 23,7 persen
lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 25,2 persen. Kredit
investasi juga melambat menjadi 23,2 persen, dari tahun lalu sebesar 30,6
persen. Dari kredit konsumsi menjadi 18,9 persen dari tahun lalu sebesar 20,5
persen.
Kucuran kredit ke sektor korporasi, juga mengalami
perlambatan dan terjadi di beberapa sektor industri. Untuk industri
pertambangan tahun lalu kredit berhasil tumbuh 34,4 persen, sedangkan realisasi
kredit ke sektor pertambangan kuartal pertama tahun ini sebesar 19 persen.
Kredit ke sektor pertanian tahun lalu mencapai 30,7 persen, sedangkan tiga
bulan pertama tahun ini hanya 26,6 persen.
Kredit ke sektor konstruksi juga mengalami penurunan menjadi
17,6 persen dari 22 persen pada kuartal pertama tahun lalu. Beberapa sektor
mengalami penurunan kucuran kredit secara drastis, seperti sektor jasa sosial
menurun drastis dari 21,6 persen menjadi 9,6 persen. Listrik menurun dari 77,3
persen menjadi 4,6 persen.
Perlambatan tersebut, kendati demikian, dinilai BI mengarah
kepada pertumbuhan yang lebih normal setelah dalam beberapa tahun terakhir
melaju sangat kencang. “Ini justru mengarah dari yang dulu lebih cepat ini
mengarah ke yang lebih normal,” kata Perry.
Perubahan memang akan datang untuk industri perbankan
nasional. Sektor yang dalam beberapa tahun terakhir selalu menjadi sektor yang
paling menguntungkan di dunia ini kini harus sedikit memperlambat lajunya dan
kembali ke jalur lambat.
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
CAR 19,31 19,29
19,08 18,74 18,68 18,08 18,08
Laba 8.727 16.085 25.132 32.647 42.699 51.118 59.395
Kredit 2.705.601 2.736.684 2.787.372 2.844.812 2.909.085 2.982.436 3.045.511
CAR dalam persen
Laba dan Kredit dalam triliun
rupiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar