Pasar modal
Indonesia, sempat mendapatkan predikat terbaik berdasarkan penilaian pada
kinerja sepanjang triwulan pertama tahun ini. Bursa saham Indonesia hanya kalah
dari Nikkei Jepang. Hingga akhir Maret lalu, indeks sebesar 614 poin atau
sebesar 14,46 persen, sementara indeks Nikkei naik 1900 poin atau setara 18,67
persen.
Akan tetapi
menjelang triwulan kedua berakhir, keadaan berubah. Sejak awal Juni, indeks
saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) tampak tertekan dan anjlok. Padahal
beberapa hari sebelumnya mencatatkan level tertingginya dalam sejarah yaitu
sebesar 5.200. Hingga pekan kedua Juli, indeks harga saham gabungan (IHSG)
berada pada kisaran 4.420 dan terus merosot jika tak ada perkembangan positif.
Hengkangnya
investor asing dari bursa disebut-sebut sebagai biang keladinya melorotnya IHSG
dari posisi terkuatnya. Bahkan keluarnya dana asing sudah dimulai sejak akhir
Mei. Aksi jual oleh para investor asing itu didorong kabar bahwa Bank Sentral
Amerika Serikat akan menghentikan secara bertahap kebijakan pelonggaran moneter
(quantitative easing/QE) seiring
perbaikan ekonomi negara adidaya tersebut.
Sebenarnya,
dana-dana asing yang hengkang dan merontokkan indeks saham tidak hanya terjadi
di Indonesia. Namun demikian, pasar modal Indonesia dinilai terjerembap relatif
lebih dalam dibandingkan bursa lainnya. Mengapa demikian? Jawaban yang paling
mudah diutarakan adalah karena banyaknya investor asing yang bermain di pasar
modal Indonesia, bahkan cenderung begitu dominan.
Jadi ada ataupun
tidak ada pemicu –seperti membaiknya perekonomian AS atau kebijakan The Fed,
jika investor asing kompak untuk mengalihkan dananya ke luar Indonesia, maka
bursa saham akan langsung bergolak. Dengan kata lain, pemodal asing masih masih
sangat mempengaruhi (kalau tidak mau dibilang menguasai) pasar modal Indonesia.
Menurut
data otoritas pengawas bursa, Bapepam LK, sebelum dilebur ke dalam Otoritas
Jasa Keuangan, meskipun selalu mengalami pertumbuhan dalam beberapa tahun,
jumlah rekening efek pemodal domestik masih berkisar 300 rekening. Sementara dari
sisi jumlah investor, angkanya masih berada di kisaran 400 ribu orang. Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia angka itu hanya hanya mencapai 1
persen, sementara di negara-negara kawasan Asia Tenggara angkanya bisa mencapai
10 hingga 30 persen.
Saat ini, menurut
data yang sama, perbandingan antara investor mancanegara dan domestik adalah
55-45. Lebih jauh lagi, jika dilihat dari porsi kepemilikan sahamnya, dominasi
investor asing bisa mencapai 58 persen. Porsi itu jelas membuat pasar modal
Tanah Air rentan dengan aksi hit and run.
Investor asing yang rata-rata bermodal kakap bisa dengan mudah memindahkan
dana-dananya di sini ketika melihat pasar modal negara lain lebih
menguntungkan.
Seperti
yang terjadi dua bulan belakangan ini. Bahkan seperti dilansir oleh Otoritas
Jasa Keuangan, dana asing yang keluar selama sebulan kisruh pasar modal atau
selama bulan Juni, mencapai Rp5 triliun. Penarikan dana asing bahkan sudah
dimulai sejak Mei. Menurut data dari creative trading system.com selama Mei
dana asing yang keluar adalah sebesar Rp7,8 triliun. Jumlah itu dinilai sebagai
outflow bulanan kedua terbesar
sepanjang sejarah pasar modal nasional.
Menurut
laman itu, sampai awal di awal bulan Mei total dana asing yang masuk sejak awal
tahun sebesar Rp18,5T, artinya sebesar 42 persen dari yang sudah masuk
sepanjang tahun 2013 keluar sepanjang Mei.
Asing, kata
laman itu lagi, sedang mempraktikkan istilah ‘sell in May and go away’. “...(istilah
itu) bukan hanya mengindikasikan saham-saham akan bergerak turun di bulan Mei,
melainkan dimulai bulan Mei sampai bulan Oktober,” kata laman itu.
Pengaruh
asing yang kebanyakan merupakan pemodal besar, telah mendominasi bursa saham
selam bertahun-tahun. Besarnya peran investor mancanegara itu disebabkan oleh
minimnya investor domestik yang terjun ke pasar saham. Fakta itu –bersama dengan
masih sedikitnya instrumen yang ada –yang membuat pasar modal Indonesia
seringkali disebut ‘masih dangkal’. Ibarat kolam yang dangkal, jika sedikit
saja ada gerakan dari ikan yang besar maka kolam itu akan beriak dan bergolak.
Maka dari
itu tidaklah mengherankan jika pasar modal Indonesia kerap kali menjadi ajang
spekulasi bagi pemodal-pemodal kakap yang biasanya berasal dari mancanegara. Dana-dana
milik investor asing bisa dengan mudah keluar begitu melihat risiko yang bisa
mengikis dananya di pasar dalam negeri atau melihat potensi lebih besar di
pasar negara lain. Guncangan di pasar modal pada Mei dan Juni lalu membuktikan
betapa gerakan investor asing selalu menggoyang bursa.
Regulator
bukannya tidak mengetahui kenyataan itu. Masalah, minimnya investor lokal dan
investor ritel sudah menghantui pikiran sejak beberapa tahun lalu. Sejak tiga
tahun lalu, sejak masih di tangan Bapepam LK, otoritas sudah menggulirkan
rencana induk untuk mengembangkan pasar modal.
Terkait
peningkatan jumlah investor lokal dan ritel, Bapepam sejak 2010 sudah
mewajibkan perusahaan efek yang merupakan anggota bursa untuk memiliki pemodal
domestik dalam jumlah tertentu. Di sisi lain, otoritas juga akan melakukan
edukasi dan sosialisasi yang akan difokuskan untuk mendongkrak investor ritel
di pasar modal.
Akan
tetapi, selain masalah minimnya investor, pasar modal juga dihinggapi masalah
minimnya perusahaan yang sudah terbuka atau telah menjadi emiten. Saat ini
tercatat hanya sekitar 400 persusahaan saja yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia (BEI). Jumlah itu tentu tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang
ada pada perekonomian nasional.
Minimnya
minat perusahaan-perusahaan untuk menerbitkan saham perdana atau IPO tidak bisa
dilepaskan dari proses dan persyaratan yang ada yang dinilai terlalu panjang
dan merepotkan. Dokumen yang dipersyaratkan akan bertambah banyak jumlahnya
jika calon emiten memiliki banyak anak perusahaan, karena dokumen tersebut
mencakup dokumen emiten sendiri maupun dokumen yang terkait dengan anak-anak perusahaannya.
Karena itulah
untuk memancing lebih banyak perusahaan agar go public, otoritas melakukan beragam penyederhanaan prosedur dan
aturan. Lembaga pengawas sebelum OJK sejatinya sudah melakukan beberapa kajian
untuk menyederhanakan proses dan prosedur penawaran umum. Hasil kajian tersebut
antara lain rekomendasi untuk menerapkan skema shelf registration dalam rangka penerbitan efek. Skema shelf registration adalah kegiatan
penawaran umum atas efek bersifat utang dan atau sukuk yang dilakukan secara
bertahap,dalam jangka waktu tertentu dan dalam jumlah tertentu.
Dengan
skema ini, emiten cukup menyampaikan satu) kali pernyataan pendaftaran yang
kemudian dapat dipergunakan untuk beberapa kali emisi efek dalam suatu periode
tertentu, misalnya dua tahun. Meski dipermudah, kebijakan ini tidak dimaksudkan
untuk mengurangi kualitas keterbukaan informasi dan jumlah informasi yang harus
disampaikan ke publik karena informasi tersebut akan tetap tersedia secara
berkala walaupun dalam dokumen yang lebih sederhana. “Skema ini dapat membantu
Emiten untuk dapat segera melakukan penawaran umum ketika terdapat kebutuhan dana,”
kata dokumen resmi Bapepam-LK yang terbit pada 2009.
Kebijakan
lain yang akan diterapkan adalah e-registration
untuk menyampaikan pernyataan pendaftaran. Penerapan e-registration diharapkan akan mengurangi biaya yang dikeluarkan
Emiten dan meningkatkan kemudahan serta kecepatan emiten dalam menyampaikan
pernyataan pendaftaran kepada Bapepam-LK.
Masalah Lain
Sejatinya,
masalah yang menggelayuti pasar modal nasional bukan cuma berasal dari dominasi
pemodal asing dan sekaligus minimnya investor lokal saja. Menurut Ketua Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad setidaknya ada tiga
masalah fundamental dalam pasar modal yaitu infrastruktur pendukung,
keterbukaan pasar dan penegakkan hukum.
Ketiga hal
itu dinilai akan menjadi faktor pendorong pendalaman pasar (market deepening) di bursa nasional.
“Pasar yang chetek cenderung akan
mudah diombang-ambingkan dan selalu menghadapi masalah likuiditas,”ujar
Muliaman.
Untuk
memperdalam pasar OJK juga sudah menyiapkan rencana agar lebih banyak perusahaan
yang go public serta lebih banyak investor.
Selain itu otoritas juga akan merangsang tumbuhnya produk-produk investasi di
pasar modal agar investor bisa memiliki pilihan yang beragam dalam menempatkan
dananya.
Maka dari
itu, OJK sejak berdirinya sudah berancang-ancang untuk segera mengembangkan
pasar yang dinilai masih relatif sepi yaitu obligasi. “Perkembangan di pasar
obligasi kecil sekali, dan kami akan membuatnya lebih menarik buat investor,”
ujar Muliaman.
Menurut
mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia itu, jika pasar obligasi baik pemerintah
maupun korporasi mulai ramai maka pembiayaan korporasi akan ikut marak.
Selanjutnya pembangunan infrastruktur diharapkan akan mulai bergerak lebih
semarak dan pertumbuhan ekonomi bisa terdongkrak.
Selama ini,
pembiayaan sektor riil masih bergantung kepada kredit perbankan. Padahal
dana-dana perbankan masih didominasi oleh deposito yang berbunga mahal dan
berjangka pendek. “Bagaimana bank bisa leluasa membiayai kredit-kredit
infrastruktur kalau sumbernya berasal dari dana-dana deposito jangka pendek?”
tanya dia.
Oleh karena itu, kebijakan mendorong pasar obligasi yang
akan diterapkan OJK diharapkan tidak hanya akan membuat pasar modal lebih dalam
tetapi juga bisa menjadi solusi pembiayaan infrastruktur.
Tahap awal, OJK akan melakukan sosialisasi dan edukasi
mengenai investasi di obligasi karena banyak yang belum paham. Otoritas juga
sudah memulai langkah untuk memangkas hambatan-hambatan dari sisi pajak ketika
awal Juli lalu bersama dengan Direktorat Jenderal Pajak menandatangani nota
kesepahaman untuk mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan di sektor
perpajakan dan jasa keuangan.
Sementara itu, untuk meningkatkan jumlah emiten, OJK juga
memiliki beberapa program seperti penyederhanaan prosedur penawaran umum,
rasionalisasi kewajiban keterbukaan bagi emiten. “Serta upaya mendorong
perusahaan untuk go public,” kata
Anggota Dewan Komisioner OJK bidang Pasar Modal, Nurhaida.
Selama lima tahun belakangan,
pasar modal Indonesia memang telah mencatatkan hasil yang cukup gemilang. Hal
itu dapat dilihat dari beberapa indikator mulai dari IHSG yang pada 2009 hanya
di level 2.534,36 dan kini telah menyentuh level 4.609 per 11 Juni 2013. Lalu
rata-rata harian perdagangan saham yang melonjak dari Rp 4 triliun di 2009
menjadi Rp 6,8 triliun. Hingga kapitalisasi pasar dari Rp 2.019 triliun dan
menjadi Rp 4.522 triliun.
OJK sepertinya punya kewajiban untuk menjaga tren tersebut
sekaligus meningkatkannya. Tujuannya tentu bukan untuk mencapai predikat pasar
modal terbaik namun lebih dari itu agar pasar modal bisa menjadi sumber
pembiayaan yang aman dan stabil agar mampu menjadi bahan bakar pertumbuhan
ekonomi.
Masalah yang dihadapi Pasar Modal di Indonesia
1. Tingkat bunga deposito yang tinggi, sehingga masyarakat
lebih tertarik mendepositokan uangnya daripada menanamkannnya dalam surat
berharga di pasar modal. kebijaksanaan dibidang deposito dengan fasilitas
perpajakannya yang ada masih lebih menarik dari pada investasi dengan membeli
surat berharga di pasar modal.
2. perusahaan umumnya masih dikelola secara tertutup dan
kurangnya minat untuk membuka penyertaan modal masyarakat luas.
3. kebijaksanaan kredit relatif lebih menarik bagi
perusahaan sebagai sumber pembiayaan dari pada menawarkan saham melalui pasa
modal. Persyaratan untuk memperoleh kredit relatif lebih mudah
4. Syarat pemeriksaan
akuntan publik untuk setiap laporan keuangan perusahaan selama ini
banyak tidak dipenuhi sehingga mempunyai pengaruh menyulitkan masyarakat untuk
menilai suatu perusahaan.
5. Keengganan perusahaan untuk IPO karena syarat-syarat
pemeriksaan laporan keuangan oleh akuntan publik masih harus diperiksa oleh
pihak pajak.
Sumber : dari berbagai sumber
Rencana Besar
Otoritas dan Strategi Pencapaiannya hingga 2014
Sumber pendanaan yang mudah diakses, efisien,
-
Mengurangi hambatan bagi dunia usaha untuk
mengakses pasar modal sebagai sumber pendanaan
-
Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap
lembaga pembiayaan dan penjaminan
-
Menyempurnakan peran profesi, lembaga penunjang,
dan penjamin emisi dalam penawaran umum
Sarana investasi yang kondusif
dan atraktif serta pengelolaan risiko yang handal
-
Meningkatkan penyebaran dan kualitas keterbukaan
informasi
-
Mendorong diversifikasi instrumen pasar modal
dan skema jasa keuangan non bank
-
Mengembangkan pasar modal dan industri keuangan
non bank berbasis syariah
-
Meningkatkan kemudahan dalam bertransaksi
-
Mengembangkan skema perlindungan investor dan
nasabah
-
Mengembangkan pasar sekunder surat utang dan
sukuk serta pengawasannya
Industri yang stabil, tahan uji,
dan likuid
-
Meningkatkan kualitas pelaku industri
-
Mendorong peningkatan kualitas tata kelola
perusahaan yang baik
-
Meningkatkan kemampuan industri dalam mengelola
risiko
-
Meningkatkan kapasitas pengawasan terhadap
pelaku industri
-
Meningkatkan basis investor domestik dan dana
jangka panjang
Kerangka regulasi yang menjamin
adanya kepastian hukum, adil, dan transparan
-
Meningkatkan kualitas penegakan hukum
-
Melakukan harmonisasi regulasi antar industri
dan pemenuhan standar internasional
-
Menyusun regulasi berdasarkan kebutuhan dan
pengembangan industri
-
Meningkatkan kualitas transparansi informasi
keuangan pelaku industri pasar modal
Infrastruktur yang kredibel, dapat
diandalkan (reliable) , dan berstandar internasional
-
Mengembangkan sistem perdagangan efek yang
terintegrasi (straight through processing)
-
mengembangkan sistem informasi yang handal
sumber : Master Plan Pasar Modal
dan IKNB 2010-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar