Sinyal berakhirnya kebijakan stimulus moneter bank sentral
AS telah mengguncang pasar keuangan dunia. Dan apabila rencana tersebut
benar-benar terwujud maka hal itu menjadi pertanda bahwa era pengetatan moneter
dimulai.
Mungkin pertanyaan yang paling banyak muncul di dalam benak
para pelaku ekonomi saat ini adalah, kapankah The Fed benar-benar mengakhiri
kebijakan stimulusnya. Karena jawaban dari pertanyaan itu bisa menjadi titik
awal sebuah era baru dalam perekonomian global.
Tak pernah dalam sejarah ekonomi modern suku bunga di
beberapa negara sudah sangat rendah dalam jangka waktu yang cukup lama. Lihat
saja Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan kawasan Eropa di mana suku bunganya
sudah sangat rendah, bahkan ada yang kurang dari 1 persen. Indonesia juga
termasuk negara yang mengikuti tren itu sejak bank sentral dipimpin oleh Darmin
Nasution yang membawa bunga acuan ke level terendah sepanjang masa, 5,75
persen.
Pebisnis, investor, dan perbankan benar-benar memanfaatkan
peluang tersebut. Di AS misalnya, langkah The Fed untuk mengguyur dana lewat
pasar obligasi digunakan pelaku ekonomi untuk meminjam uang di pasar obligasi,
mengunci pembiayaan murah dalam beberapa tahun ke depan. Di Indonesia pun
demikian, meski hanya tampak di sebagian sektor saja. Kebijakan suku bunga
rendah Bank Indonesia yang direspons dengan makin murahnya bunga kredit
perumahan membuat sektor ini mulai booming.
Pasar properti dalam negeri sangat bergairah hingga memaksa bank sentral
beberapa kali mengingatkan akan bahaya bubble.
Akan tetapi semua itu tidak lama lagi akan berakhir, dan
sinyal yang ditunggu adalah sirene berakhirnya kebijakan quantitatave easing The Fed. Kebijakan stimulus ekonomi dengan
mengguyur dana ke perekonomian lewat pembelian obligasi langsung di pasar ini
telah berlangsung empat tahun. Dan menurut beberapa analis dan ekonom, bank
sentral AS tengah bersiap untuk mengurangi secara bertahap kebijakan stimulusnya
karena melihat beberapa indikator keuangan mulai memperlihatkan tanda-tanda
perbaikan.
Bank sentral AS sudah menggelontarkan triliunan dollar untuk
mempertahankan ekonominya agar tidak ambruk akibat krisis 2008 dalam tiga kali
periode pemberian stimulus. Kebijakan pertama keluar pada akhir 2008 untuk
menyelamatkan ekonominya dari krisis dengan menyuntikkan likuiditas sebanyak
1,75 triliun dollar AS atau lebih dari Rp16.625 triliun. Kebijakan ronde kedua keluar
pada November 2010 dengan memberi infus sebesar 600 miliar dollar AS atau
sebesar Rp5.700 triliun karena ekonomi dinilai masih lambat dan angka
pengangguran hampir berjumlah 10 persen. Dan kebijakan stimulus ketiga mulai
pada September 2012 yang berisi dana 40 miliar dollar AS atau sekitar Rp380 triliun
dan empat bulan kemudian meningkat menjadi 85 miliar dollar AS.
Lalu pada awal tahun ini tanda-tanda bahwa kebijakan itu
akan diakhiri muncul. Imbal hasil obligasi dan suku bunga KPR di negeri Paman
Sam itu mulai merangkak naik, menjauhi posisi terendah dalam sejarah. “Jika
data-data selanjutnya konsisten dengan prediksi ini, Komite akan mengantisipasi bahwa hal itu akan menjadi
saat yang tepat untuk menormalkan laju pembelian (obligasi) bulanan pada akhir
tahun ini,” kata Gubernur The Fed Ben Bernanke dalam pertemuan dengan parlemen
pada Juni lalu.
Pernyataan itu dibaca oleh pasar sebagai pertanda bahwa
kebijakan stimulus keuangan AS akan segera berakhir. Akhirnya investor pun
meresponsnya dengan memindahkan aset-aset mereka dari negara-negara seperti
Indonesia kembali ke dollar AS yang telah menjadi safe haven lagi.
Perekonomian Indonesia kemudian mengalami turbulensi selama
dua bulan ini. Nilai tukar rupiah dan indeks saham anjlok di tengah masih
defisitnya neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan. Dan ketidakpastian
kapan pluit resmi tanda berakhirnya kebijakan pelonggaran kuantitatif itu
ditiup oleh The Fed makin membuat perekonomian dengan 240 juta orang ini makin
berguncang.
Bank Indonesia dan pemerintah secara hampir bersamaan mengeluarkan
kebijakan untuk mengantisipasi agar pelemahan perekonomian tidak berlanjut. BI
memberikan ruang yang lebih luas bagi pelaku ekonomi untuk menyimpan dollar AS
di dalam negeri, sementara pemerintah menekan impor (barang mewah) sekaligus
mendorong ekspor serta memastikan tidak ada korban pemutusan kerja dari sektor
industri.
Meski begitu, persoalan tidak selesai begitu saja. Dewan
Gubernur BI menilai ketidakpastian pengurangan bertahap (tapering) stimulus moneter oleh the Fed terus akan terus memberikan
tekanan pada pasar keuangan di berbagai negara. Penarikan modal dan
meningkatnya risiko investasi menyebabkan penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, dan pelemahan nilai
tukar. Dan itu terjadi di hampir semua emerging
market.
Tekanan yang tinggi pada pasar keuangan global ini terjadi
di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dan kawasan Asia, termasuk
China dan India, serta terus menurunnya harga komoditas primer, kecuali harga
minyak. “Kondisi ini akan terus memberikan tekanan pada kinerja perdagangan dan
pasar keuangan Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI
Difi A Johansyah dalam siaran persnya.
BI juga melakukan langkah tak
biasa dengan menaikkan suku bunga acuan dua kali dalam periode kurang dari satu
bulan, yaitu pada awal dan akhir Agustus. Otoritas menaikkan suku bunga
acuannya sebesar 50 bps dari 6,5 persen menjadi 7 persen. BI juga menaikkan
suku bunga lending facility sebesar
25 bps menjadi 7 persen dan suku bunga deposit facility sebesar 50 bps menjadi
5,25 persen.
Jaga Inflasi
Langkah menaikkan BI Rate itu
diharapkan dapat memperkuat pengendalian ekspektasi inflasi dan memitigasi
risiko pengaruh pelemahan rupiah terhadap inflasi dan sebaliknya. “Kebijakan
ini juga sebagai bagian dari langkah untuk menekan defisit transaksi berjalan
menuju pada tingkat yang sehat dan berkesinambungan,” kata BI lagi.
Level suku bunga 7 persen terakhir
kali terjadi empat tahun lalu, tepatnya pada Juni 2009. Saat itu, suku bunga
turun dari tingkat 7,25 persen yang ditetapkan sebulan sebelumnya. BI sendiri
sejak 9 Februari 2012, tidak pernah menaikkan tingkat suku bunga. Mereka
mempertahankan suku bunga di posisi 5,75 persen dalam 15 bulan hingga Mei 2013.
Adapun suku bunga tertinggi terjadi pada periode 6 Desember 2005 sampai dengan
5 April 2006, yaitu di angka 12,75 persen.
Di sisi lain sampai 28 Agustus
2013 lalu, rupiah ditutup pada Rp10.945 per dolar AS, atau terdepresiasi
sebesar 11,9 persen secara point-to-point
dari posisi akhir Desember 2012.
Gubernur Bank Indonesia Agus DW
Martowardojo mengatakan kebijakan menaikkan suku bunga acuan dilakukan demi
menjaga inflasi dan nilai tukar. Langkah tersebut juga sudah mempertimbangkan
kondisi global yaitu kemungkinan bank sentral AS akan melakukan pengurangan quantitative easing pada September dan kemungkinan melonjaknya harga
minyak karena gejolak di Suriah dan Mesir. “Ini adalah kondisi yang kita perlu
respons karena kita tidak ingin (inflasi) ini menjadi dua digit,” ujar Agus
yang memprediksi bahwa inflasi akan berada di level 9-9,8 persen dengan
kenaikan BI Rate ini.
Berdasarkan survei yang dilakukan
Wall Street Journal terhadap 50 ekonom pada Maret lalu didapati sebuah prediksi
mengenai kapan kebijakan stimulus The Fed akan berakhir. Ekonom-ekonom tersebut
memprediksi bahwa kebijakan pembelian obligasi masih akan berlangsung
setidaknya setahun lagi. sementara suku bunga jangka pendek rendah akan
bertahan dalam dua tahun ke depan.
Para ekonom yang disurvei juga
menyimpulkan bahwa pada November 2013, Mei 2014, dan Juni 2015 akan berlangsung
peristiwa penting. Mereka memprediksi pada waktu-waktu itu, The Fed akan mulai
mengurangi pembelian obligasi bulanannya, menghentikan pembelian obligasi dan
mulai mempertimbangkan secara serius untuk menaikkan suku bunga jangka pendek.
Maka dari itu mata para investor
dan regulator di seluruh dunia saat ini tengah tertuju pada bank sentral AS tak
terkecuali Bank Dunia. Jika The Fed menaikkan suku bunga maka tak pelak hal itu
akan diikuti oleh lebih banyak otoritas di negara lain. Oleh karena itu lembaga
donor itu mengkhawatirkan dampak ekonomi yang terjadi jika bank sentral di
berbagai negara mulai menghentikan kebijakan pelonggaran moneter.
Maka dari itu Bank Dunia kini
memonitor secara ketat segala kemungkinan dari kebijakan-kebijakan moneter
tersebut, terutama implikasinya bagi dana bantuan pembangunan. Selama hampir
lima tahun belakangan bank-bank sentral negara maju telah melancarkan sejumlah
pelonggaran moneter yang bertujuan merangsang ekonomi mereka. Langkah yang
diambil mencakup suku bunga yang sangat rendah serta program pembelian obligasi
guna menjaga bunga kredit jangka panjang tetap rendah.
“Salah satu kehawatiran kami adalah apa yang
akan terjadi jika kelonggaran ini mendadak dihentikan dan apa dampaknya bagi
permodalan untuk negara-negara berkembang,” kata Presiden Bank Dunia, Jim Yong
Kim.
Ekonomi Mengetat
Di lain pihak, keputusan bank
sentral yang menaikkan BI Rate menjadi 7 persen dinilai beberapa kalangan tidak
efektif untuk mengatasi inflasi dan menghambat merosotnya nilai rupiah terhadap
dollar AS. Langkah itu hanya akan meningkatkan suku bunga kredit dan menurunkan
daya beli masyarakat.
Menurut Rektor Institut Bisnis dan
Informatika Indonesia (IBII), Anthony Budiawan kebijakan menaikkan suku bunga
tidak tepat diambil. "Sebetulnya inflasi yang terjadi di Indonesia ini bukan
karena moneter, sehingga tidak tepat apabila kebijakan moneter yang
diambil," kata dia.
Inflasi yang terjadi, kata
Anthony, disebabkan karena dua hal, yaitu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan
kelangkaan barang. Pemerintah sudah menaikkan harga BBM bersubsidi sejak Juni
dan hampir bersamaan dengan itu terjadi kelangkaan pada beberapa komoditas
kebutuhan pokok masyarakat . “Jadi, mau naik berapapun BI Rate itu, tetap saja
inflasi,” kata Anthony.
Senada dengan itu, pengamat
ekonomi dari STIE Prasetya Mulya, Djoko Wintoro menerangkan, keputusan
menaikkan BI Rate sebesar 50 basis poin dalam satu bulan adalah langkah yang
kurang pas diambil di masa seperti saat ini.
Menurut dia, dinaikkannya BI Rate
berpotensi memberikan dampak domino yang pada akhirnya justru akan membebani
kalangan usaha dan pemerintah sendiri dari sisi pajak. “Dengan adanya BI Rate
ini dipandang perbankan sebagai minimum rate yang harus ditanggung untuk
dinaikkan. Kalau bunga kredit dinaikkan maka beban bunga utang yang ditanggung
pengusaha juga meningkat," kata Djoko.
Jika beban bunga meningkat, lanjut
Djoko, beban pokok usaha juga akan ikut meningkat. Sementara beban pokok usaha
meningkat, pengusaha juga sulit melakukan penaikan harga jual produk lantaran
daya beli masyarakat menurun.
Sementara itu pelaku usaha menilai
bahwa langkah menaikkan BI Rate sebagai sinyal penjelas kepada pasar setelah
otoritas mengeluarkan beberapa paket kebijakan yang dinilai belum jelas. “Begitu
terjadi pelemahan rupiah tidak ada action
dari otoritas moneter pasar mulai merasa takut. Ya takut, ini arahnya mau ke
mana. Sementara, kita tahu lelang pemerintah kemarin SUN sudah hampir 8,7
persen untuk yang sepuluh tahun, sementara BI Rate masih 6,5 persen. Nah, disparitasnya terlalu jauh, pasar
bingung, ini mau kemana,” kata pengusaha Chairul Tanjung yang juga Ketua Komite
Ekonomi Nasional (KEN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar