Selasa, 22 Oktober 2013

Berakhirnya Era Pelonggaran

Sinyal berakhirnya kebijakan stimulus moneter bank sentral AS telah mengguncang pasar keuangan dunia. Dan apabila rencana tersebut benar-benar terwujud maka hal itu menjadi pertanda bahwa era pengetatan moneter dimulai.

Mungkin pertanyaan yang paling banyak muncul di dalam benak para pelaku ekonomi saat ini adalah, kapankah The Fed benar-benar mengakhiri kebijakan stimulusnya. Karena jawaban dari pertanyaan itu bisa menjadi titik awal sebuah era baru dalam perekonomian global.
Tak pernah dalam sejarah ekonomi modern suku bunga di beberapa negara sudah sangat rendah dalam jangka waktu yang cukup lama. Lihat saja Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan kawasan Eropa di mana suku bunganya sudah sangat rendah, bahkan ada yang kurang dari 1 persen. Indonesia juga termasuk negara yang mengikuti tren itu sejak bank sentral dipimpin oleh Darmin Nasution yang membawa bunga acuan ke level terendah sepanjang masa, 5,75 persen.
Pebisnis, investor, dan perbankan benar-benar memanfaatkan peluang tersebut. Di AS misalnya, langkah The Fed untuk mengguyur dana lewat pasar obligasi digunakan pelaku ekonomi untuk meminjam uang di pasar obligasi, mengunci pembiayaan murah dalam beberapa tahun ke depan. Di Indonesia pun demikian, meski hanya tampak di sebagian sektor saja. Kebijakan suku bunga rendah Bank Indonesia yang direspons dengan makin murahnya bunga kredit perumahan membuat sektor ini mulai booming. Pasar properti dalam negeri sangat bergairah hingga memaksa bank sentral beberapa kali mengingatkan akan bahaya bubble.
Akan tetapi semua itu tidak lama lagi akan berakhir, dan sinyal yang ditunggu adalah sirene berakhirnya kebijakan quantitatave easing The Fed. Kebijakan stimulus ekonomi dengan mengguyur dana ke perekonomian lewat pembelian obligasi langsung di pasar ini telah berlangsung empat tahun. Dan menurut beberapa analis dan ekonom, bank sentral AS tengah bersiap untuk mengurangi secara bertahap kebijakan stimulusnya karena melihat beberapa indikator keuangan mulai memperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Bank sentral AS sudah menggelontarkan triliunan dollar untuk mempertahankan ekonominya agar tidak ambruk akibat krisis 2008 dalam tiga kali periode pemberian stimulus. Kebijakan pertama keluar pada akhir 2008 untuk menyelamatkan ekonominya dari krisis dengan menyuntikkan likuiditas sebanyak 1,75 triliun dollar AS atau lebih dari Rp16.625 triliun. Kebijakan ronde kedua keluar pada November 2010 dengan memberi infus sebesar 600 miliar dollar AS atau sebesar Rp5.700 triliun karena ekonomi dinilai masih lambat dan angka pengangguran hampir berjumlah 10 persen. Dan kebijakan stimulus ketiga mulai pada September 2012 yang berisi dana 40 miliar dollar AS atau sekitar Rp380 triliun dan empat bulan kemudian meningkat menjadi 85 miliar dollar AS.
Lalu pada awal tahun ini tanda-tanda bahwa kebijakan itu akan diakhiri muncul. Imbal hasil obligasi dan suku bunga KPR di negeri Paman Sam itu mulai merangkak naik, menjauhi posisi terendah dalam sejarah. “Jika data-data selanjutnya konsisten dengan prediksi ini, Komite akan  mengantisipasi bahwa hal itu akan menjadi saat yang tepat untuk menormalkan laju pembelian (obligasi) bulanan pada akhir tahun ini,” kata Gubernur The Fed Ben Bernanke dalam pertemuan dengan parlemen pada Juni lalu.
Pernyataan itu dibaca oleh pasar sebagai pertanda bahwa kebijakan stimulus keuangan AS akan segera berakhir. Akhirnya investor pun meresponsnya dengan memindahkan aset-aset mereka dari negara-negara seperti Indonesia kembali ke dollar AS yang telah menjadi safe haven lagi.
Perekonomian Indonesia kemudian mengalami turbulensi selama dua bulan ini. Nilai tukar rupiah dan indeks saham anjlok di tengah masih defisitnya neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan. Dan ketidakpastian kapan pluit resmi tanda berakhirnya kebijakan pelonggaran kuantitatif itu ditiup oleh The Fed makin membuat perekonomian dengan 240 juta orang ini makin berguncang.
Bank Indonesia dan pemerintah secara hampir bersamaan mengeluarkan kebijakan untuk mengantisipasi agar pelemahan perekonomian tidak berlanjut. BI memberikan ruang yang lebih luas bagi pelaku ekonomi untuk menyimpan dollar AS di dalam negeri, sementara pemerintah menekan impor (barang mewah) sekaligus mendorong ekspor serta memastikan tidak ada korban pemutusan kerja dari sektor industri.
Meski begitu, persoalan tidak selesai begitu saja. Dewan Gubernur BI menilai ketidakpastian pengurangan bertahap (tapering) stimulus moneter oleh the Fed terus akan terus memberikan tekanan pada pasar keuangan di berbagai negara. Penarikan modal dan meningkatnya risiko investasi menyebabkan penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, dan pelemahan nilai tukar. Dan itu terjadi di hampir semua emerging market.
Tekanan yang tinggi pada pasar keuangan global ini terjadi di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dan kawasan Asia, termasuk China dan India, serta terus menurunnya harga komoditas primer, kecuali harga minyak. “Kondisi ini akan terus memberikan tekanan pada kinerja perdagangan dan pasar keuangan Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah dalam siaran persnya.
BI juga melakukan langkah tak biasa dengan menaikkan suku bunga acuan dua kali dalam periode kurang dari satu bulan, yaitu pada awal dan akhir Agustus. Otoritas menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps dari 6,5 persen menjadi 7 persen. BI juga menaikkan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 7 persen dan suku bunga deposit facility sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen.

Jaga Inflasi
Langkah menaikkan BI Rate itu diharapkan dapat memperkuat pengendalian ekspektasi inflasi dan memitigasi risiko pengaruh pelemahan rupiah terhadap inflasi dan sebaliknya. “Kebijakan ini juga sebagai bagian dari langkah untuk menekan defisit transaksi berjalan menuju pada tingkat yang sehat dan berkesinambungan,” kata BI lagi.
Level suku bunga 7 persen terakhir kali terjadi empat tahun lalu, tepatnya pada Juni 2009. Saat itu, suku bunga turun dari tingkat 7,25 persen yang ditetapkan sebulan sebelumnya. BI sendiri sejak 9 Februari 2012, tidak pernah menaikkan tingkat suku bunga. Mereka mempertahankan suku bunga di posisi 5,75 persen dalam 15 bulan hingga Mei 2013. Adapun suku bunga tertinggi terjadi pada periode 6 Desember 2005 sampai dengan 5 April 2006, yaitu di angka 12,75 persen.
Di sisi lain sampai 28 Agustus 2013 lalu, rupiah ditutup pada Rp10.945 per dolar AS, atau terdepresiasi sebesar 11,9 persen secara point-to-point dari posisi akhir Desember 2012.
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengatakan kebijakan menaikkan suku bunga acuan dilakukan demi menjaga inflasi dan nilai tukar. Langkah tersebut juga sudah mempertimbangkan kondisi global yaitu kemungkinan bank sentral AS akan melakukan pengurangan quantitative easing  pada September dan kemungkinan melonjaknya harga minyak karena gejolak di Suriah dan Mesir. “Ini adalah kondisi yang kita perlu respons karena kita tidak ingin (inflasi) ini menjadi dua digit,” ujar Agus yang memprediksi bahwa inflasi akan berada di level 9-9,8 persen dengan kenaikan BI Rate ini.
Berdasarkan survei yang dilakukan Wall Street Journal terhadap 50 ekonom pada Maret lalu didapati sebuah prediksi mengenai kapan kebijakan stimulus The Fed akan berakhir. Ekonom-ekonom tersebut memprediksi bahwa kebijakan pembelian obligasi masih akan berlangsung setidaknya setahun lagi. sementara suku bunga jangka pendek rendah akan bertahan dalam dua tahun ke depan.
Para ekonom yang disurvei juga menyimpulkan bahwa pada November 2013, Mei 2014, dan Juni 2015 akan berlangsung peristiwa penting. Mereka memprediksi pada waktu-waktu itu, The Fed akan mulai mengurangi pembelian obligasi bulanannya, menghentikan pembelian obligasi dan mulai mempertimbangkan secara serius untuk menaikkan suku bunga jangka pendek.
Maka dari itu mata para investor dan regulator di seluruh dunia saat ini tengah tertuju pada bank sentral AS tak terkecuali Bank Dunia. Jika The Fed menaikkan suku bunga maka tak pelak hal itu akan diikuti oleh lebih banyak otoritas di negara lain. Oleh karena itu lembaga donor itu mengkhawatirkan dampak ekonomi yang terjadi jika bank sentral di berbagai negara mulai menghentikan kebijakan pelonggaran moneter.
Maka dari itu Bank Dunia kini memonitor secara ketat segala kemungkinan dari kebijakan-kebijakan moneter tersebut, terutama implikasinya bagi dana bantuan pembangunan. Selama hampir lima tahun belakangan bank-bank sentral negara maju telah melancarkan sejumlah pelonggaran moneter yang bertujuan merangsang ekonomi mereka. Langkah yang diambil mencakup suku bunga yang sangat rendah serta program pembelian obligasi guna menjaga bunga kredit jangka panjang tetap rendah.
 “Salah satu kehawatiran kami adalah apa yang akan terjadi jika kelonggaran ini mendadak dihentikan dan apa dampaknya bagi permodalan untuk negara-negara berkembang,” kata Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim.

Ekonomi Mengetat
Di lain pihak, keputusan bank sentral yang menaikkan BI Rate menjadi 7 persen dinilai beberapa kalangan tidak efektif untuk mengatasi inflasi dan menghambat merosotnya nilai rupiah terhadap dollar AS. Langkah itu hanya akan meningkatkan suku bunga kredit dan menurunkan daya beli masyarakat.
Menurut Rektor Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII), Anthony Budiawan kebijakan menaikkan suku bunga tidak tepat diambil. "Sebetulnya inflasi yang terjadi di Indonesia ini bukan karena moneter, sehingga tidak tepat apabila kebijakan moneter yang diambil," kata dia.
Inflasi yang terjadi, kata Anthony, disebabkan karena dua hal, yaitu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kelangkaan barang. Pemerintah sudah menaikkan harga BBM bersubsidi sejak Juni dan hampir bersamaan dengan itu terjadi kelangkaan pada beberapa komoditas kebutuhan pokok masyarakat . “Jadi, mau naik berapapun BI Rate itu, tetap saja inflasi,” kata Anthony.
Senada dengan itu, pengamat ekonomi dari STIE Prasetya Mulya, Djoko Wintoro menerangkan, keputusan menaikkan BI Rate sebesar 50 basis poin dalam satu bulan adalah langkah yang kurang pas diambil di masa seperti saat ini.
Menurut dia, dinaikkannya BI Rate berpotensi memberikan dampak domino yang pada akhirnya justru akan membebani kalangan usaha dan pemerintah sendiri dari sisi pajak. “Dengan adanya BI Rate ini dipandang perbankan sebagai minimum rate yang harus ditanggung untuk dinaikkan. Kalau bunga kredit dinaikkan maka beban bunga utang yang ditanggung pengusaha juga meningkat," kata Djoko.
Jika beban bunga meningkat, lanjut Djoko, beban pokok usaha juga akan ikut meningkat. Sementara beban pokok usaha meningkat, pengusaha juga sulit melakukan penaikan harga jual produk lantaran daya beli masyarakat menurun.
Sementara itu pelaku usaha menilai bahwa langkah menaikkan BI Rate sebagai sinyal penjelas kepada pasar setelah otoritas mengeluarkan beberapa paket kebijakan yang dinilai belum jelas. “Begitu terjadi pelemahan rupiah tidak ada action dari otoritas moneter pasar mulai merasa takut. Ya takut, ini arahnya mau ke mana. Sementara, kita tahu lelang pemerintah kemarin SUN sudah hampir 8,7 persen untuk yang sepuluh tahun, sementara BI Rate masih 6,5 persen. Nah, disparitasnya terlalu jauh, pasar bingung, ini mau kemana,” kata pengusaha Chairul Tanjung yang juga Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar