Tingginya permintaan dan melonjaknya harga perumahan membuat
otoritas khawatir bahwa sektor itu tengah menggelembung. Namun demikian bagi
pengembang dan perbankan hal itu bukanlah sesuatu yang menakutkan.
Dalam sebuah drama terkenal karya William Shakespeare,
Hamlet, mengatakan ungkapan terkenal: to
be or not to be. Pangeran Denmark, itu mempertanyakan makna hidup, dan
apakah berguna atau tidak untuk tetap hidup ketika hidup mengandung begitu
banyak kesulitan.
Bicara soal kesulitan dan masalah, perekonomian Indonesia
tak pernah sepi dari hal itu. Namun demikian otoritas telah banyak mengambil
pelajaran dari kesulitan-kesulitan itu, terutama kesulitan ekonomi yang terjadi
pada 1998.
Pengalaman pahit krisis ekonomi 97-98, tidak hanya membekas
tetapi juga telah mengukir di dalam pikiran dan benak para pengambil kebijakan.
Oleh karena itu setiap kemungkinan atau simptom yang akan membawa perekonomian
Indonesia ke lembah kekisruhan seperti 15 tahun lalu itu, buru-buru akan
diredam, tak peduli bagaimanapun sulitnya, berapapun biayanya.
Kebijakan pemerintah yang menyuntikkan dana kepada Bank
Century bisa dijadikan contoh nyata. Para pemilik otoritas bidang ekonomi
memutuskan untuk menolong bank yang dinilai akan memberi efek domino pada
sektor keuangan jika dibiarkan mengalami default,
meski belakangan kebijakan tersebut menuai kritik bahkan hingga ke ranah
politik.
Dan kini, di mata otoritas perbankan gejala itu mulai terlihat
pada sektor properti. Harga-harga perumahan, apartemen maupun tempat usaha
terus melenting. Harga properti residensial di Jakarta dalam lima tahun
terakhir mencapai pertumbuhan hingga 80 persen. Sementara itu, konsultan
properti, Cushman & Wakefield dalam risetnya menyatakan harga rumah di
Jakarta sudah naik sekitar 100 persen dalam tiga tahun terakhir. Bandingkan
dengan tingkat inflasi Jakarta yang pada periode yang sama hanya 16,3 persen.
Kondisi ini membuktikan bahwa Indonesia, khususnya Jakarta merupakan salah satu
lokasi investasi properti paling menarik di Emerging Market
Karena itu pulalah Ibukota negara Indonesia dinobatkan
sebagai lokasi investasi prospektif nomor satu di Asia Pasifik. Dalam
pemeringkatan tahunan yang dilakukan Pricewaterhouse Coopers dan Urban Land
Institute, posisi Jakarta – Indonesia melonjak drastis dari ranking 11 pada
tahun 2012 menjadi jawara nomor satu di tahun 2013.
Alih-alih membuat jumawa, peringkat nomor wahid itu justru
membuat otoritas semakin khawatir bahwa kondisi tersebut berpotensi akan
membawa Indonesia kembali ke masa krisis. Kenaikan harga-harga properti yang
terus menerus mendekatkan perekonomian pada kemungkinan gelembung (bubble) di sektor itu. Indonesia pernah
mengalami bubble properti pada
pertengahan tahun 1997 yang kemudiaan pecah dan mengakibatkan krisis ekonomi di
sepanjang tahun 1998-2000.
Kenaikan harga properti yang drastis saat itu tercermin dari
melesatnya penyaluran kredit properti dalam bentuk kredit pemilikan rumah (KPR)
atau sejenisnya. Pada tahun 1995 atau di saat harga properti sedang melonjak,
laju kredit sektor properti mencapai 29 persen sedangkan rata-rata pertumbuhan
kredit berbankan nasional waktu itu 24 persen. Setahun berikutnya, harga
properti semakin meroket dan mendongkrak kredit yang disalurkan ke sektor ini menjadi
diatas 30 persen. Pada masa itu, tingkat inflasi sebesar 8,6 persen.
Kemudian pada 1997, berbarengan dengan nilai tukar rupiah
yang anjlok, gelembung tersebut pecah dan membuat kredit di sektor properti
menjadi macet sehingga membuat Indonesia terperosok ke dalam krisis. Perekonomian
pun harus tertatih-tatih terlebih dahulu selama lebih hampir lima tahun sebelum
akhirnya benar-benar bangkit. Ketika itu, kredit macet sektor properti di
perbankan nasional yang kemudian dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) mencapai Rp 70 triliun.
Trauma itu terus membekas di benak otoritas hingga kini dan
mereka bertekad hal itu tidak boleh terulang. Melalui sebuah survei, Bank
Indonesia memberi sinyal bahwa sektor properti tengah berjalan dengan penutup
maka ke arah bubble.
Berdasarkan Survei Properti Komersial yang dikeluarkan oleh
BI, penyaluran kredit properti hingga Juni 2013, mencapai Rp433,31 triliun.
Jumlah tersebut tumbuh sekitar 12,78 persen dibanding kuartal sebelumnya atau
20,89 persen dibanding 12 bulan sebelumnya.
Kredit properti tersebut memberikan kontribusi sebesar 14,47
persen dari total outstanding kredit
bank umum atau sekitar Rp2.993,6 triliun. Secara triwulanan, pertumbuhan
terbesar dialami oleh kredit konstruksi yang tumbuh sebesar 17,07 persen. Lalu
diikuti perumahan dan apartemen (KPR dan KPA) yang tumbuh 12,30 persen.
Sementara proporsi dalam kredit properti tidak mengalami
perubahan signifikan dari triwulan terakhir. Kredit perumahan masih merupakan
pangsa terbesar dalam kredit properti yakni sebesar 59,97 persen, diikuti
dengan kredit kontruksi sebesar 25 persen dan kredit real estate sekitar 15,03
persen.
Hal itu cukup membuat BI khawatir bahwa sektor perumahan
akan mengalami bubble jika tidak
segera dimitigasi. Apalagi sebelumnya pada Juni tahun lalu, BI sudah
memperketat aturan pembelian rumah dengan mengeluarkan regulasi loan to value (LTV). Akan tetapi
tampaknya aturan itu tidak mempan sehingga BI merasa perlu memperketatnya
kembali. “Untuk jenis (tipe rumah) tertentu mungkin, kemungkinannya besar itu bubble,” ujar Deputi Gubernur BI Halim
Alamsyah beberapa waktu lalu.
Menurut laman investopedia, bubble sektor perumahan adalah
sebuah kondisi melonjaknya harga perumahan yang didorong oleh permintaan dan
spekulasi. Gelembung sektor perumahan biasanya dimulai dengan peningkatan
permintaan. Spekulan kemudian memasuki pasar, dan mencoba memancing keuntungan
melalui pembelian jangka pendek untuk dijual kembali. Hal ini semakin memicu permintaan.
Pada titik tertentu, permintaan menurun atau mandeg pada saat pasokan
meningkat, dan hal itu mengakibatkan penurunan tajam pada harga dan gelembung
pun pecah.
Berdasarkan pengertian itu, tidak salah jika bank sentral
menilai busa di sektor perumahan memang tengah menggelembung. Bahkan indikator
maraknya aksi spekulasi yang muncul di sektor itu ditemukan oleh BI dalam
sebuah survei.
Dalam survey yang diumumkan dua bulan lalu, BI menemukan
bahwa saat ini banyak orang yang berinvestasi di sektor properti. Bahkan ada
ribuan orang yang bisa membeli 9 rumah sekaligus melalui kredit di perbankan.
BI mencatat nasabah KPR yang membeli lebih dari dua rumah
berjumlah 35,2 ribu orang dengan portofolio kredit mencapai Rp 31,8 triliun.
Kemudian yang tengah mencicil dua rumah melalui skema KPR itu sekitar 31,3 ribu
orang dengan nilai Rp 29 triliun. Sementara yang mencicil dua hingga sembilan
rumah melalui KPR terdapat 35,2 ribu orang. Terdapat juga 3.884 debitur yang
mencicil 3 bahkan sampai 9 rumah melalui skema KPR di bank. “Ada juga yang
mencicil 9 sampai 12 bahkan 12 sampai 15 rumah. Dan jumlahnya juga ribuan,”
kata Halim Alamsyah.
Masih Jauh
Meski demikian tidak semua pihak sepakat dengan kesimpulan
otoritas. Yang paling menolak tentu adalah para pengembang properti. Kendati
harga-harga terus naik konsisten setiap bulannya, mereka tetap tidak menerima
kesimpulan bahwa sektor properti mulai menggelembung.
Potensi gelembung (bubble)
ekonomi di sektor properti, menurut mereka masih jauh. Kenaikan harga rumah di
lokasi-lokasi tertentu dalam beberapa tahun terakhir memang bergerak cepat,
namun kenaikan tidak merata di semua lokasi. Lalu adanya kontrol yang cukup
ketat dari otoritas perbankan juga turut menjaga stabilitas pasar properti
terutama di Jakarta, yang makin menjauhkan adanya potensi bubble dalam jangka pendek.
Olivia Surodjo, Sekretaris Perusahaan PT Metropolitan Land
Tbk (MTLA) menyebutkan kondisi pasar properti di dalam negeri jauh berbeda dari
Amerika Serikat. Dia menilai campur tangan Bank Indonesia dengan menaikkan uang
muka kredit pemilikan rumah (KPR) menjadi minimal 30 persen dianggap positif,
karena sedikit menahan laju penjualan.
Tahun lalu, tepatnya pada Juni 2012, BI mengeluarkan aturan
yang mewajibkan setiap nasabah yang membeli rumah bertipe 70 meter persegi atau
lebih besar dari itu dengan menggunakan kredit bank, wajib menyiapkan uang muka
sebesar 30 persen dari harga rumah.
Sementara itu menurut pengembang yang lain, masih jauhnya
potensi bubble properti di Indonesia
karena kenaikan harga yang terjadi belum masif dan besar-besaran seperti yang
terjadi di AS sebelum 2008 atau Jepang sebelum 1995.
Hal itu diungkapkan oleh Presiden Direktur PT Bakrieland
Development Tbk Hiramsyah S Thaib. Menurut dia lagi, kenaikan harga yang
terjadi di Indonesia juga belum berlangsung terlalu lama, setelah terjerembab
krisis ekonomi 97-98. Negara-negara di kawasan ASEAN rata-rata pulih dari krisis
ekonomi 1997 pada tahun 2000 dan masalah kredit macet sudah bisa diatasi.
Berbeda dengan Indonesia yang baru selesai mengatasi krisis
1998 pada tahun 2004. Harga properti pun cenderung datar sepanjang 1997-2004. Setelah
itu, tahun 2006 baru mulai naik. Tapi terkena dampak krisis ekonomi 2008,
kenaikan harga pun berhenti lagi dan mulai bergerak pelan lagi pada 2010. “Artinya,
sebetulnya kita di properti Indonesia sudah menahan harga dari tahun
1997," ujar Hiramsyah.
Over Value bukan Bubble
Apa yang diyakini oleh pengembang mendapat dukungan dari
pengamat properti Panangian Simanungkalit. Menurut dia, untuk saat ini
gelembung properti sulit terjadi di Indonesia. Selain karena kondisi makro
ekonomi relatif baik, secara keseluruhan kredit perbankan untuk sektor properti
masih di bawah rata-rata kredit nasional.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hingga kini masih berada
pada level 6 persen dengan tingkat inflasi 4,5 persen plus minus 1. Sedangkan
kredit yang disalurkan perbankan ke sektor properti hanya 14 persen, sementara
rata-rata kredit perbankan 21 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang konsisten selama lima tahun
terakhir juga membuat lapisan kelas menengah terus bertambah. Menurut McKinsey
Global Institute, saat ini jumlah kelas menengah di Indonesia sekitar 50 juta
orang, dan pada tahun 2030 diperkirakan akan meningkat jadi 170 orang. Kelas
menengah di sini adalah penduduk dengan pendapatan bersih per tahun di atas
3.600 dollar AS.
Dengan potensi itu tak pelak, kata sebagian besar pengamat,
pasar properti Indonesia akan terus mengalami kenaikan. Ali Tranghanda adalah
pengamat properti yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW)
mengatakan dalam sebuah artikel bahwa sejak 2009 siklus properti Indonesia
memasuki tahap percepatan dan diperkirakan tahun ini mencapai titik tertinggi.
Saat ini besarnya permintaan KPR, kata dia, merupakan
gambaran permintaan pasar konsumen yang tinggi, khususnya end user yang menguasai 75 persen pengguna KPR. “Dengan demikian,
pasar konsumen relatif lebih nyata dibandingkan pasar investor (spekulan) yang
merupakan pasar semu,” kata Ali.
Peranan konsumen investor, oleh karena itu, sangat
mempengaruhi peningkatan pasar properti yang tinggi. Namun, diakui memasuki
tahun 2013, pasar relatif sudah menunjukkan kejenuhan karena harga yang sudah
mulai terlalu tinggi. “ (Tetapi) yang terjadi adalah over value, bukan bubble,”
kata Ali.
Kenaikan harga yang signifikan hanya terjadi di segmen
menengah atas dan terjadi khususnya di sektor hunian tapak (landed residential), apartemen, dan harga
sewa perkantoran. Itupun hanya terjadi di beberapa lokasi, sehingga tidak
menggambarkan pasar properti secara keseluruhan.
“Dari sisi perbankan kredit, rasio kredit bermasalah pun
masih dibawah 3 persen dengan rasio kredit properti terhadap keseluruhan kredit
masih dibawah 15 persen sehingga terlalu dini menyebutkan pasar properti sudah
mengalami bubble,” jelas Ali.
Bagi pengembang dan perbankan selama permintaan tetap tinggi
maka sektor properti masih jauh dari bubble. Apalagi hingga saat ini ada
kesenjangan antara kebutuhan rumah bagi masyarakat Indonesia dan pasokan dari
pengembang. Selain itu porsi kredit KPR terhadap yang masih minim dibandingkan
dengan produk domestik bruto membuat optimisme itu membesar.
Berdasarkan catatan dari Bank Tabungan Negara (BTN),
permintaan rumah mencapai 800.000 unit setiap tahunnya, sedangkan pasokannya
hanya mencapai separonya saja. “Selisih kebutuhan itu terus membesar karena
adanya backlog perumahan yang belum
terselesaikan,” kata Direktur Utama BTN Maryono. "Kami yakin Indonesia
masih jauh dari bubble.”
Menurut dia, porsi KPR dan PDB Indonesia masih di kisaran di
bawah 5 persen, jauh di bawah AS yang mencapai 88 persen atau Malaysia yang hampir
30 persenan, Australia sekitar 80 persen dan Thailand 15 persen.
Boleh jadi apa yang dikatakan pengembang, perbankan dan
pengamat memang benar bahwa bubble
belum akan datang dalam waktu dekat ke perekonomian Indonesia. Namun seperti
dalam drama Hamlet, di mana dia sampai pada kesimpulan bahwa alasan utama
manusia tetap hidup adalah ketakutan akan kematian, boleh dibilang para
pengembang dan perbankan juga demikian. Artinya optimisme mereka bahwa tidak
akan terjadi gelembung sektor properti bukan berarti mereka berani menghadapi
risiko bubble, melainkan karena
mereka takut menghadapinya.
Jadi, bubble or not
bubble...
Harga Properti Residensial di Pasar Sekunder Jakarta
Triwulan I-2013
Wilayah
|
Harga Rumah (Rp/Unit)
|
Pertumbuhan (% yoy)
|
Harga Tanah (Rp/m2)
|
Pertumbuhan (% yoy)
|
Jakarta Barat
|
|
|
|
|
- Kelas Menengah
|
1.347.735.682
|
15,39%
|
7.343.916
|
17,53%
|
- Kelas Atas
|
3.107.688.633
|
15,72%
|
7.794.799
|
19,15%
|
Jakarta Utara
|
|
|
|
|
- Kelas Menengah
|
1.281.436.042
|
16,59%
|
10.695.769
|
18,66%
|
- Kelas Atas
|
3.925.662.698
|
17,76%
|
9.388.905
|
21,83%
|
Jakarta Pusat
|
|
|
|
|
- Kelas Menengah
|
878.077.974
|
16,45%
|
5.496.621
|
19,12%
|
- Kelas Atas
|
7.947.840.149
|
18,79%
|
16.421.537
|
22,42%
|
Jakarta Timur
|
|
|
|
|
- Kelas Menengah
|
1.016.720.282
|
15,78%
|
4.878.434
|
17,03%
|
- Kelas Atas
|
1.885.482.414
|
16,61%
|
5.532.022
|
19,10%
|
Jakarta Selatan
|
|
|
|
|
- Kelas Menengah
|
1.490.612.989
|
15,83%
|
7.526.167
|
17,22%
|
- Kelas Atas
|
7.196.043.493
|
18,14%
|
9.501.813
|
21,70%
|
Sumber: Bank
Indonesia/diolah
Keterangan:
Harga rumah mencakup
harga tanah dan bangunan. Harga rumah merupakan harga rata-rata menurut
pengelompokannya; Harga tanah merupakan harga rata-rata menurut
pengelompokannya
Pertumbuhan Tahunan
Indeks Harga Properti Residensial
Triwulan I-2013
Kota
|
Tipe Bangunan
|
|||
Kecil
|
Menengah
|
Besar
|
Total
|
|
Bandung
|
6,11%
|
10,91%
|
2,61%
|
5,78%
|
Bandar Lampung
|
16,37%
|
3,22%
|
6,93%
|
8,78%
|
Banjarmasin
|
5,53%
|
3,36%
|
3,19%
|
4,03%
|
Denpasar
|
8,82%
|
10,16%
|
18,73%
|
12,54%
|
Palembang
|
8,40%
|
11,97%
|
5,10%
|
8,47%
|
Semarang
|
3,88%
|
5,00%
|
5,39%
|
4,76%
|
Yogyakarta
|
5,56%
|
3,73%
|
2,77%
|
4,02%
|
Padang
|
12,24%
|
5,70%
|
1,66%
|
6,55%
|
Medan
|
22,22%
|
8,30%
|
9,88%
|
13,41%
|
Makassar
|
18,49%
|
14,40%
|
6,97%
|
13,25%
|
Manado
|
10,41%
|
10,86%
|
2,28%
|
7,84%
|
Surabaya
|
16,28%
|
11,47%
|
19,47%
|
15,75%
|
Pontianak
|
11,29%
|
10,29%
|
0,00%
|
7,13%
|
Jabodebek-Banten
|
19,96%
|
10,79%
|
6,56%
|
12,39%
|
Gabungan 14 Kota
|
16,27%
|
10,03%
|
7,34%
|
11,19%
|
Sumber: Bank Indonesia
terima kasih atas tulisan nya pak, jadi agak paham sedikit tentang bubble dari perekonomian
BalasHapus