Selasa, 22 Oktober 2013

Bubble or not Bubble

Tingginya permintaan dan melonjaknya harga perumahan membuat otoritas khawatir bahwa sektor itu tengah menggelembung. Namun demikian bagi pengembang dan perbankan hal itu bukanlah sesuatu yang menakutkan.

Dalam sebuah drama terkenal karya William Shakespeare, Hamlet, mengatakan ungkapan terkenal: to be or not to be. Pangeran Denmark, itu mempertanyakan makna hidup, dan apakah berguna atau tidak untuk tetap hidup ketika hidup mengandung begitu banyak kesulitan.
Bicara soal kesulitan dan masalah, perekonomian Indonesia tak pernah sepi dari hal itu. Namun demikian otoritas telah banyak mengambil pelajaran dari kesulitan-kesulitan itu, terutama kesulitan ekonomi yang terjadi pada 1998.
Pengalaman pahit krisis ekonomi 97-98, tidak hanya membekas tetapi juga telah mengukir di dalam pikiran dan benak para pengambil kebijakan. Oleh karena itu setiap kemungkinan atau simptom yang akan membawa perekonomian Indonesia ke lembah kekisruhan seperti 15 tahun lalu itu, buru-buru akan diredam, tak peduli bagaimanapun sulitnya, berapapun biayanya.
Kebijakan pemerintah yang menyuntikkan dana kepada Bank Century bisa dijadikan contoh nyata. Para pemilik otoritas bidang ekonomi memutuskan untuk menolong bank yang dinilai akan memberi efek domino pada sektor keuangan jika dibiarkan mengalami default, meski belakangan kebijakan tersebut menuai kritik bahkan hingga ke ranah politik.
Dan kini, di mata otoritas perbankan gejala itu mulai terlihat pada sektor properti. Harga-harga perumahan, apartemen maupun tempat usaha terus melenting. Harga properti residensial di Jakarta dalam lima tahun terakhir mencapai pertumbuhan hingga 80 persen. Sementara itu, konsultan properti, Cushman & Wakefield dalam risetnya menyatakan harga rumah di Jakarta sudah naik sekitar 100 persen dalam tiga tahun terakhir. Bandingkan dengan tingkat inflasi Jakarta yang pada periode yang sama hanya 16,3 persen. Kondisi ini membuktikan bahwa Indonesia, khususnya Jakarta merupakan salah satu lokasi investasi properti paling menarik di Emerging Market
Karena itu pulalah Ibukota negara Indonesia dinobatkan sebagai lokasi investasi prospektif nomor satu di Asia Pasifik. Dalam pemeringkatan tahunan yang dilakukan Pricewaterhouse Coopers dan Urban Land Institute, posisi Jakarta – Indonesia melonjak drastis dari ranking 11 pada tahun 2012 menjadi jawara nomor satu di tahun 2013.
Alih-alih membuat jumawa, peringkat nomor wahid itu justru membuat otoritas semakin khawatir bahwa kondisi tersebut berpotensi akan membawa Indonesia kembali ke masa krisis. Kenaikan harga-harga properti yang terus menerus mendekatkan perekonomian pada kemungkinan gelembung (bubble) di sektor itu. Indonesia pernah mengalami bubble properti pada pertengahan tahun 1997 yang kemudiaan pecah dan mengakibatkan krisis ekonomi di sepanjang tahun 1998-2000.
Kenaikan harga properti yang drastis saat itu tercermin dari melesatnya penyaluran kredit properti dalam bentuk kredit pemilikan rumah (KPR) atau sejenisnya. Pada tahun 1995 atau di saat harga properti sedang melonjak, laju kredit sektor properti mencapai 29 persen sedangkan rata-rata pertumbuhan kredit berbankan nasional waktu itu 24 persen. Setahun berikutnya, harga properti semakin meroket dan mendongkrak kredit yang disalurkan ke sektor ini menjadi diatas 30 persen. Pada masa itu, tingkat inflasi sebesar 8,6 persen.
Kemudian pada 1997, berbarengan dengan nilai tukar rupiah yang anjlok, gelembung tersebut pecah dan membuat kredit di sektor properti menjadi macet sehingga membuat Indonesia terperosok ke dalam krisis. Perekonomian pun harus tertatih-tatih terlebih dahulu selama lebih hampir lima tahun sebelum akhirnya benar-benar bangkit. Ketika itu, kredit macet sektor properti di perbankan nasional yang kemudian dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mencapai Rp 70 triliun.
Trauma itu terus membekas di benak otoritas hingga kini dan mereka bertekad hal itu tidak boleh terulang. Melalui sebuah survei, Bank Indonesia memberi sinyal bahwa sektor properti tengah berjalan dengan penutup maka ke arah bubble.
Berdasarkan Survei Properti Komersial yang dikeluarkan oleh BI, penyaluran kredit properti hingga Juni 2013, mencapai Rp433,31 triliun. Jumlah tersebut tumbuh sekitar 12,78 persen dibanding kuartal sebelumnya atau 20,89 persen dibanding 12 bulan sebelumnya.
Kredit properti tersebut memberikan kontribusi sebesar 14,47 persen dari total outstanding kredit bank umum atau sekitar Rp2.993,6 triliun. Secara triwulanan, pertumbuhan terbesar dialami oleh kredit konstruksi yang tumbuh sebesar 17,07 persen. Lalu diikuti perumahan dan apartemen (KPR dan KPA) yang tumbuh 12,30 persen.
Sementara proporsi dalam kredit properti tidak mengalami perubahan signifikan dari triwulan terakhir. Kredit perumahan masih merupakan pangsa terbesar dalam kredit properti yakni sebesar 59,97 persen, diikuti dengan kredit kontruksi sebesar 25 persen dan kredit real estate sekitar 15,03 persen.
Hal itu cukup membuat BI khawatir bahwa sektor perumahan akan mengalami bubble jika tidak segera dimitigasi. Apalagi sebelumnya pada Juni tahun lalu, BI sudah memperketat aturan pembelian rumah dengan mengeluarkan regulasi loan to value (LTV). Akan tetapi tampaknya aturan itu tidak mempan sehingga BI merasa perlu memperketatnya kembali. “Untuk jenis (tipe rumah) tertentu mungkin, kemungkinannya besar itu bubble,” ujar Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah beberapa waktu lalu.
Menurut laman investopedia, bubble sektor perumahan adalah sebuah kondisi melonjaknya harga perumahan yang didorong oleh permintaan dan spekulasi. Gelembung sektor perumahan biasanya dimulai dengan peningkatan permintaan. Spekulan kemudian memasuki pasar, dan mencoba memancing keuntungan melalui pembelian jangka pendek untuk dijual kembali. Hal ini semakin memicu permintaan. Pada titik tertentu, permintaan menurun atau mandeg pada saat pasokan meningkat, dan hal itu mengakibatkan penurunan tajam pada harga dan gelembung pun pecah.
Berdasarkan pengertian itu, tidak salah jika bank sentral menilai busa di sektor perumahan memang tengah menggelembung. Bahkan indikator maraknya aksi spekulasi yang muncul di sektor itu ditemukan oleh BI dalam sebuah survei.
Dalam survey yang diumumkan dua bulan lalu, BI menemukan bahwa saat ini banyak orang yang berinvestasi di sektor properti. Bahkan ada ribuan orang yang bisa membeli 9 rumah sekaligus melalui kredit di perbankan.
BI mencatat nasabah KPR yang membeli lebih dari dua rumah berjumlah 35,2 ribu orang dengan portofolio kredit mencapai Rp 31,8 triliun. Kemudian yang tengah mencicil dua rumah melalui skema KPR itu sekitar 31,3 ribu orang dengan nilai Rp 29 triliun. Sementara yang mencicil dua hingga sembilan rumah melalui KPR terdapat 35,2 ribu orang. Terdapat juga 3.884 debitur yang mencicil 3 bahkan sampai 9 rumah melalui skema KPR di bank. “Ada juga yang mencicil 9 sampai 12 bahkan 12 sampai 15 rumah. Dan jumlahnya juga ribuan,” kata Halim Alamsyah.

Masih Jauh
Meski demikian tidak semua pihak sepakat dengan kesimpulan otoritas. Yang paling menolak tentu adalah para pengembang properti. Kendati harga-harga terus naik konsisten setiap bulannya, mereka tetap tidak menerima kesimpulan bahwa sektor properti mulai menggelembung.
Potensi gelembung (bubble) ekonomi di sektor properti, menurut mereka masih jauh. Kenaikan harga rumah di lokasi-lokasi tertentu dalam beberapa tahun terakhir memang bergerak cepat, namun kenaikan tidak merata di semua lokasi. Lalu adanya kontrol yang cukup ketat dari otoritas perbankan juga turut menjaga stabilitas pasar properti terutama di Jakarta, yang makin menjauhkan adanya potensi bubble dalam jangka pendek.
Olivia Surodjo, Sekretaris Perusahaan PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) menyebutkan kondisi pasar properti di dalam negeri jauh berbeda dari Amerika Serikat. Dia menilai campur tangan Bank Indonesia dengan menaikkan uang muka kredit pemilikan rumah (KPR) menjadi minimal 30 persen dianggap positif, karena sedikit menahan laju penjualan.
Tahun lalu, tepatnya pada Juni 2012, BI mengeluarkan aturan yang mewajibkan setiap nasabah yang membeli rumah bertipe 70 meter persegi atau lebih besar dari itu dengan menggunakan kredit bank, wajib menyiapkan uang muka sebesar 30 persen dari harga rumah.
Sementara itu menurut pengembang yang lain, masih jauhnya potensi bubble properti di Indonesia karena kenaikan harga yang terjadi belum masif dan besar-besaran seperti yang terjadi di AS sebelum 2008 atau Jepang sebelum 1995.
Hal itu diungkapkan oleh Presiden Direktur PT Bakrieland Development Tbk Hiramsyah S Thaib. Menurut dia lagi, kenaikan harga yang terjadi di Indonesia juga belum berlangsung terlalu lama, setelah terjerembab krisis ekonomi 97-98. Negara-negara di kawasan ASEAN rata-rata pulih dari krisis ekonomi 1997 pada tahun 2000 dan masalah kredit macet sudah bisa diatasi.
Berbeda dengan Indonesia yang baru selesai mengatasi krisis 1998 pada tahun 2004. Harga properti pun cenderung datar sepanjang 1997-2004. Setelah itu, tahun 2006 baru mulai naik. Tapi terkena dampak krisis ekonomi 2008, kenaikan harga pun berhenti lagi dan mulai bergerak pelan lagi pada 2010. “Artinya, sebetulnya kita di properti Indonesia sudah menahan harga dari tahun 1997," ujar Hiramsyah.

Over Value bukan Bubble
Apa yang diyakini oleh pengembang mendapat dukungan dari pengamat properti Panangian Simanungkalit. Menurut dia, untuk saat ini gelembung properti sulit terjadi di Indonesia. Selain karena kondisi makro ekonomi relatif baik, secara keseluruhan kredit perbankan untuk sektor properti masih di bawah rata-rata kredit nasional.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hingga kini masih berada pada level 6 persen dengan tingkat inflasi 4,5 persen plus minus 1. Sedangkan kredit yang disalurkan perbankan ke sektor properti hanya 14 persen, sementara rata-rata kredit perbankan 21 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang konsisten selama lima tahun terakhir juga membuat lapisan kelas menengah terus bertambah. Menurut McKinsey Global Institute, saat ini jumlah kelas menengah di Indonesia sekitar 50 juta orang, dan pada tahun 2030 diperkirakan akan meningkat jadi 170 orang. Kelas menengah di sini adalah penduduk dengan pendapatan bersih per tahun di atas 3.600 dollar AS.
Dengan potensi itu tak pelak, kata sebagian besar pengamat, pasar properti Indonesia akan terus mengalami kenaikan. Ali Tranghanda adalah pengamat properti yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) mengatakan dalam sebuah artikel bahwa sejak 2009 siklus properti Indonesia memasuki tahap percepatan dan diperkirakan tahun ini mencapai titik tertinggi.
Saat ini besarnya permintaan KPR, kata dia, merupakan gambaran permintaan pasar konsumen yang tinggi, khususnya end user yang menguasai 75 persen pengguna KPR. “Dengan demikian, pasar konsumen relatif lebih nyata dibandingkan pasar investor (spekulan) yang merupakan pasar semu,” kata Ali.
Peranan konsumen investor, oleh karena itu, sangat mempengaruhi peningkatan pasar properti yang tinggi. Namun, diakui memasuki tahun 2013, pasar relatif sudah menunjukkan kejenuhan karena harga yang sudah mulai terlalu tinggi. “ (Tetapi) yang terjadi adalah over value, bukan bubble,” kata Ali.
Kenaikan harga yang signifikan hanya terjadi di segmen menengah atas dan terjadi khususnya di sektor hunian tapak (landed residential), apartemen, dan harga sewa perkantoran. Itupun hanya terjadi di beberapa lokasi, sehingga tidak menggambarkan pasar properti secara keseluruhan.
“Dari sisi perbankan kredit, rasio kredit bermasalah pun masih dibawah 3 persen dengan rasio kredit properti terhadap keseluruhan kredit masih dibawah 15 persen sehingga terlalu dini menyebutkan pasar properti sudah mengalami bubble,” jelas Ali.
Bagi pengembang dan perbankan selama permintaan tetap tinggi maka sektor properti masih jauh dari bubble. Apalagi hingga saat ini ada kesenjangan antara kebutuhan rumah bagi masyarakat Indonesia dan pasokan dari pengembang. Selain itu porsi kredit KPR terhadap yang masih minim dibandingkan dengan produk domestik bruto membuat optimisme itu membesar.
Berdasarkan catatan dari Bank Tabungan Negara (BTN), permintaan rumah mencapai 800.000 unit setiap tahunnya, sedangkan pasokannya hanya mencapai separonya saja. “Selisih kebutuhan itu terus membesar karena adanya backlog perumahan yang belum terselesaikan,” kata Direktur Utama BTN Maryono. "Kami yakin Indonesia masih jauh dari bubble.”
Menurut dia, porsi KPR dan PDB Indonesia masih di kisaran di bawah 5 persen, jauh di bawah AS yang mencapai 88 persen atau Malaysia yang hampir 30 persenan, Australia sekitar 80 persen dan Thailand 15 persen.
Boleh jadi apa yang dikatakan pengembang, perbankan dan pengamat memang benar bahwa bubble belum akan datang dalam waktu dekat ke perekonomian Indonesia. Namun seperti dalam drama Hamlet, di mana dia sampai pada kesimpulan bahwa alasan utama manusia tetap hidup adalah ketakutan akan kematian, boleh dibilang para pengembang dan perbankan juga demikian. Artinya optimisme mereka bahwa tidak akan terjadi gelembung sektor properti bukan berarti mereka berani menghadapi risiko bubble, melainkan karena mereka takut menghadapinya.
Jadi, bubble or not bubble...




Harga Properti Residensial di Pasar Sekunder Jakarta
Triwulan I-2013
Wilayah
Harga Rumah (Rp/Unit)
Pertumbuhan (% yoy)
Harga Tanah (Rp/m2)
Pertumbuhan (% yoy)
Jakarta Barat




  - Kelas Menengah
  1.347.735.682
15,39%
           7.343.916
17,53%
  - Kelas Atas
  3.107.688.633
15,72%
           7.794.799
19,15%
Jakarta Utara




  - Kelas Menengah
  1.281.436.042
16,59%
        10.695.769
18,66%
  - Kelas Atas
  3.925.662.698
17,76%
           9.388.905
21,83%
Jakarta Pusat




  - Kelas Menengah
      878.077.974
16,45%
           5.496.621
19,12%
  - Kelas Atas
  7.947.840.149
18,79%
        16.421.537
22,42%
Jakarta Timur




  - Kelas Menengah
  1.016.720.282
15,78%
           4.878.434
17,03%
  - Kelas Atas
  1.885.482.414
16,61%
           5.532.022
19,10%
Jakarta Selatan




  - Kelas Menengah
  1.490.612.989
15,83%
           7.526.167
17,22%
  - Kelas Atas
  7.196.043.493
18,14%
           9.501.813
21,70%
Sumber: Bank Indonesia/diolah
Keterangan:
Harga rumah mencakup harga tanah dan bangunan. Harga rumah merupakan harga rata-rata menurut pengelompokannya; Harga tanah merupakan harga rata-rata menurut pengelompokannya


Pertumbuhan Tahunan Indeks Harga Properti Residensial
Triwulan I-2013
Kota
Tipe Bangunan
Kecil
Menengah
Besar
Total
Bandung
6,11%
10,91%
2,61%
5,78%
Bandar Lampung
16,37%
3,22%
6,93%
8,78%
Banjarmasin
5,53%
3,36%
3,19%
4,03%
Denpasar
8,82%
10,16%
18,73%
12,54%
Palembang
8,40%
11,97%
5,10%
8,47%
Semarang
3,88%
5,00%
5,39%
4,76%
Yogyakarta
5,56%
3,73%
2,77%
4,02%
Padang
12,24%
5,70%
1,66%
6,55%
Medan
22,22%
8,30%
9,88%
13,41%
Makassar
18,49%
14,40%
6,97%
13,25%
Manado
10,41%
10,86%
2,28%
7,84%
Surabaya
16,28%
11,47%
19,47%
15,75%
Pontianak
11,29%
10,29%
0,00%
7,13%
Jabodebek-Banten
19,96%
10,79%
6,56%
12,39%
Gabungan 14 Kota
16,27%
10,03%
7,34%
11,19%

Sumber: Bank Indonesia

1 komentar:

  1. terima kasih atas tulisan nya pak, jadi agak paham sedikit tentang bubble dari perekonomian

    BalasHapus