Ketika bank umum dan pemerintah tengah bertarung
memperebutkan dana masyarakat, bank daerah mau tak mau harus ikut dalam
persaingan itu. Meski demikian, tantangan yang dihadapi oleh bank-bank milik
pemerintah daerah dalam memperoleh likuiditas itu lebih rumit.
Ada cerita menarik ketika organisasi bank sentral dunia
menelurkan aturan memperkuat modal yang harus dipenuhi oleh bank-bank di
seluruh dunia. Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) yang tadinya ingin
menerapkan aturan yang menekankan pada permodalan pada 2008, kemudian harus
merevisinya karena meletusnya krisis sektor keuangan di AS. Kemudian aturan
Basel II
yang semula hanya menekankan pada permodalan bank untuk
mengcover risiko, disempurnakan menjadi Basel III yang menitikberatkan
pada pengelolaan likuiditas.
Kini
aturan tersebut diaplikasikan oleh hampir semua bank terutama yang berasal dari
negara-negara anggota G-20. Dengan diterapkannya Basel III menunjukkan bahwa
likuiditas menjadi faktor penting yang bagi perbankan, sekaligus menjadi
tantangan.
Di Indonesia, tantangannya tidak
hanya dirasakan oleh bank umum, tetapi juga oleh bank daerah. Bahkan bagi
bank-bank milik pemerintah provinsi dan kabupaten ini, kondisi lebih rumit.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Bank-bank Daerah (Asbanda), Kresno Sediarsi,
setidaknya ada tiga faktor yang harus dihadapi Bank Pembangunan Daerah.
Pertama, BPD harus menghadapi tantangan likuiditas yang rutin
karena siklus keuangan pemerintah daerah. “Cyclical
cash flow pada akhir tahun dimana likuiditas pasar biasanya cenderung
mengetat, BPD harus berjuang mempertahankan likuiditasnya karena banyak dana
Pemda ditarik untuk penyerapan anggaran daerah,” jata Kresno.
Kedua, terkait dengan pencairan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Bagi Hasil (DBH) dari Pemda yang selama ini merupakan komponen utama likuiditas
BPD yang tidak dapat diperkirakan jadwal pencairannya. Sehingga BPD kerap mengalami
permasalahan dalam pengaturan ataupun proyeksi cash flow.
“Sebagai contoh, Dana Bagi Hasil
(DBH) Pemprov DKI Jakarta seharusnya masuk ke Bank DKI tiap triwulanan, namun
pada pelaksanaannya DBH terhutang tahun 2015 baru masuk pada bulan Februari
2017 lalu dan DBH terhutang tahun 2016 masuk pada bulan Maret 2017,” kata dia
yang juga Direktur Utama Bank DKI.
Ketiga, Rencana Pemerintah untuk mengganti penyaluran dana daerah
dalam bentuk SPN yang non tradable. Hal
itu tentu akan makin memperparah kondisi likuiditas BPD karena sumber
likuiditas utamanya akan terkikis.
Kresno mengakui, hingga saat ini
BPD sangat bergantungan pada penempatan dana pemda yang masih mencapai
rata-rata 70 persen di setiap bank daerah. Kondisi ini menyebabkan perbankan
daerah rentan mengalami pengetatan likuiditas ketika pemda sedang dalam musim
menarik dananya, seperti untuk gajian dan di akhir tahun.
Keunikan kondisi yang harus
dihadapi bank daerah itu membuat pengelolanya harus berpikir dan mengeluarkan
strategi yang berbeda dari bank lain. Salah satu strateginya –seperti yang
dijalankan oleh Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJB)
–adalah terus berupaya mengurangi ketergantungan terhadap dana pemda dalam
komposisi dana pihak ketiga
Wakil Pemimpin Divisi Komunikasi
Korporat BJB Asadi Budiman mengatakan, porsi dana pemda di dalam tubuh BJB
semakin rendah. Ini menjadi pendorong bagi perseroan yang kini sudah menyamai
bank umum dalam soal permodalan, untuk terus melakukan pengalihan profiling dana dari mayoritas pemerintah
daerah menjadi pihak ketiga lain. “Per Maret 2017, komposisi dana pemda yang
ada pada kami tinggal 45 persen, biasanya melimpah dana pemda pada awal tahun
karena berbagai macam dana masuk dan belum dipakai,” kata dia saat Seminar
Risiko Likuiditas yang digelar Majalah Stabilitas, Mei lalu.
Namun demikian, BJB mengaku
optimistis porsi dana pemda akan semakin berkurang. Guna menjaga likuiditas
maka manajemen BPD dituntut untuk kreatif mencari sumber-sumber pendanaan yang
lebih andal, misalnya dana pihak ketiga dari masyarakat. “Yang membuat BPD
tergantung kepada pemda karena memang dana kas mereka di simpan pada kami. Kami
ingin menggali lebih jauh potensi pendanaan dari masyarakat, makanya kami
genjot layanan online BJB,” tutur
Asadi.
Opsi lain yang bisa dilakukan BPD
untuk memperkuat pendanaan, kata dia, adalah mencari sumber pendanaan secara
nonkonvensional melalui penerbitan obligasi maupun medium term notes (MTN). Selain
itu juga dengan meningkatkan CASA yang berasal dari retail dan institusi non
Pemda alias korporat juga dengan meningkatkan kerjasama dengan bank lain untuk
kerjasama PUAB, Term Loans dan lainnya. “Satu lagi yang bisa dilakukan BPD
adalah mengembangkan digital banking
dan branchless banking,” kata Asadi.
Dalam hal pengembangan layanan
digital perbankan, BJB tidak hanya meningkatkan pelayanan bagi nasabah umum
melainkan pula untuk pemerintah daerah.
BJB mendukung pemda dari sisi infrastruktur agar proses penerimaan asli
daerah lebih mudah. “Misalnya, pelayanan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor
melalui e-channel BPD dan penerimaan
PBB online melalui jaringan kantor
BPD BJB,” tambah dia.
Meski begitu, likuiditas bank
daerah saat ini tengah terdesak oleh kebijakan pemerintah khususnya terkait
Dana Perimbangan yang berasal dari Pemerintah Pusat. Tahun lalu Kementerian
Keuangan telah menerbitkan aturan Nomor 125/PMK.07/2016 Tentang Penundaan
Penyaluran Sebagian Dana Alokasi Umum Tahun Anggaran 2016. Tahun sebelumnya ada
juga aturan Nomor 235/PMK.07/2015 Tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil
dan/atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non Tunai.
Pegang Dana BUMD
Sementara itu Kresno Sediarsi,
Dirut Bank DKI menambahkan, untuk menambah dan mengamankan likuiditas, pihaknya
mengupayakan agar semua transaksi dan manajemen kas perusahaan di bawah kontrol
pemerintah DKI harus menggunakan banknya. “Kita minta seluruh dana operasional
BUMD harus ada di kita. Lagipula buat apa ada di luar (Bank DKI) dan siapa yang
mengontrol,” kata mantan bankir Bank Mandiri itu.
Upaya lain yang bisa dilakukan
oleh bank daerah, lanjut Kresno, adalah dengan menjadi treasurer atau pengelola keuangan pemda dimana bank tersebut
menjadi saluran bagi aliran pendapatan maupun biaya daerah bersangkutan.
Pendapatan bisa berasa dari pajak daerah dan retribusi dan pendapatan lainnya,
sedangkan biaya bisa dari biaya subsidi, pengeluaran rutin dan lainnya,
termasuk pengeluaran dari BUMD.
Menurut Kresno, hal tersebut akan
makin mudah ketika BPD bisa membangun sebuah sistem keuangan terintergrasi
dengan semua perusahaan daerah. Bank DKI mengaplikasikan hal itu dengan membangun
dan menerbitkan suatu sistem terintegrasi yang disebut dengan JakartaOne. “JakartaOne
merupakan sistem terpadu pendukung pengelolaan kebijakan layanan publik yang
melingkupi tiga fungsi yakni identifikasi profil pengguna,penyaluran kebijakan
publik dan pendukung sistem pembayaran,” kata dia.
Karenanya tidak mengherankan jika
kini di tempat-tempat rekreasi di Jakarta, masyarkat diminta untuk menggunakan
kartu elektronik untuk sarana pembayaran, yang salah satu tujuannya agar
pendapatan daerah bisa terkontrol.
Sementara itu di sisi kredit, Kresno
mengatakan, permintaan kredit BPD tidak akan naik jika hanya mengandalkan
realisasi proyek pemerintah pusat. Pasalnya, proses lelang kerap berjalan lambat
sehingga pelaksanaan proyeknya pun lebih lambat.
“Harusnya proyek pemda yang mendorong permintaan kredit BPD.
Harus pemda sendiri yang mendorong daerah karena proses lelang yang dilakukan
tentu lebih cepat selesai seperti di Pemda DKI,” kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar