Rabu, 27 September 2017

Strategi Perang Bank Daerah


Ketika bank umum dan pemerintah tengah bertarung memperebutkan dana masyarakat, bank daerah mau tak mau harus ikut dalam persaingan itu. Meski demikian, tantangan yang dihadapi oleh bank-bank milik pemerintah daerah dalam memperoleh likuiditas itu lebih rumit.

Ada cerita menarik ketika organisasi bank sentral dunia menelurkan aturan memperkuat modal yang harus dipenuhi oleh bank-bank di seluruh dunia. Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) yang tadinya ingin menerapkan aturan yang menekankan pada permodalan pada 2008, kemudian harus merevisinya karena meletusnya krisis sektor keuangan di AS. Kemudian aturan Basel II
yang semula hanya menekankan pada permodalan bank untuk mengcover risiko, disempurnakan menjadi Basel III yang menitikberatkan pada pengelolaan likuiditas.
                Kini aturan tersebut diaplikasikan oleh hampir semua bank terutama yang berasal dari negara-negara anggota G-20. Dengan diterapkannya Basel III menunjukkan bahwa likuiditas menjadi faktor penting yang bagi perbankan, sekaligus menjadi tantangan.
Di Indonesia, tantangannya tidak hanya dirasakan oleh bank umum, tetapi juga oleh bank daerah. Bahkan bagi bank-bank milik pemerintah provinsi dan kabupaten ini, kondisi lebih rumit. Menurut Ketua Umum Asosiasi Bank-bank Daerah (Asbanda), Kresno Sediarsi, setidaknya ada tiga faktor yang harus dihadapi Bank Pembangunan Daerah.
Pertama, BPD harus menghadapi tantangan likuiditas yang rutin karena siklus keuangan pemerintah daerah. “Cyclical cash flow pada akhir tahun dimana likuiditas pasar biasanya cenderung mengetat, BPD harus berjuang mempertahankan likuiditasnya karena banyak dana Pemda ditarik untuk penyerapan anggaran daerah,” jata Kresno.
Kedua, terkait dengan pencairan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari Pemda yang selama ini merupakan komponen utama likuiditas BPD yang tidak dapat diperkirakan jadwal pencairannya. Sehingga BPD kerap mengalami permasalahan dalam pengaturan ataupun proyeksi cash flow.
“Sebagai contoh, Dana Bagi Hasil (DBH) Pemprov DKI Jakarta seharusnya masuk ke Bank DKI tiap triwulanan, namun pada pelaksanaannya DBH terhutang tahun 2015 baru masuk pada bulan Februari 2017 lalu dan DBH terhutang tahun 2016 masuk pada bulan Maret 2017,” kata dia yang juga Direktur Utama Bank DKI.
Ketiga, Rencana Pemerintah untuk mengganti penyaluran dana daerah dalam bentuk SPN yang non tradable. Hal itu tentu akan makin memperparah kondisi likuiditas BPD karena sumber likuiditas utamanya akan terkikis.
Kresno mengakui, hingga saat ini BPD sangat bergantungan pada penempatan dana pemda yang masih mencapai rata-rata 70 persen di setiap bank daerah. Kondisi ini menyebabkan perbankan daerah rentan mengalami pengetatan likuiditas ketika pemda sedang dalam musim menarik dananya, seperti untuk gajian dan di akhir tahun.
Keunikan kondisi yang harus dihadapi bank daerah itu membuat pengelolanya harus berpikir dan mengeluarkan strategi yang berbeda dari bank lain. Salah satu strateginya –seperti yang dijalankan oleh Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJB) –adalah terus berupaya mengurangi ketergantungan terhadap dana pemda dalam komposisi dana pihak ketiga
Wakil Pemimpin Divisi Komunikasi Korporat BJB Asadi Budiman mengatakan, porsi dana pemda di dalam tubuh BJB semakin rendah. Ini menjadi pendorong bagi perseroan yang kini sudah menyamai bank umum dalam soal permodalan, untuk terus melakukan pengalihan profiling dana dari mayoritas pemerintah daerah menjadi pihak ketiga lain. “Per Maret 2017, komposisi dana pemda yang ada pada kami tinggal 45 persen, biasanya melimpah dana pemda pada awal tahun karena berbagai macam dana masuk dan belum dipakai,” kata dia saat Seminar Risiko Likuiditas yang digelar Majalah Stabilitas, Mei lalu.
Namun demikian, BJB mengaku optimistis porsi dana pemda akan semakin berkurang. Guna menjaga likuiditas maka manajemen BPD dituntut untuk kreatif mencari sumber-sumber pendanaan yang lebih andal, misalnya dana pihak ketiga dari masyarakat. “Yang membuat BPD tergantung kepada pemda karena memang dana kas mereka di simpan pada kami. Kami ingin menggali lebih jauh potensi pendanaan dari masyarakat, makanya kami genjot layanan online BJB,” tutur Asadi.
Opsi lain yang bisa dilakukan BPD untuk memperkuat pendanaan, kata dia, adalah mencari sumber pendanaan secara nonkonvensional melalui penerbitan obligasi maupun medium term notes (MTN). Selain itu juga dengan meningkatkan CASA yang berasal dari retail dan institusi non Pemda alias korporat juga dengan meningkatkan kerjasama dengan bank lain untuk kerjasama PUAB, Term Loans dan lainnya. “Satu lagi yang bisa dilakukan BPD adalah mengembangkan digital banking dan branchless banking,” kata Asadi.
Dalam hal pengembangan layanan digital perbankan, BJB tidak hanya meningkatkan pelayanan bagi nasabah umum melainkan pula untuk pemerintah daerah.  BJB mendukung pemda dari sisi infrastruktur agar proses penerimaan asli daerah lebih mudah. “Misalnya, pelayanan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor melalui e-channel BPD dan penerimaan PBB online melalui jaringan kantor BPD BJB,” tambah dia.
Meski begitu, likuiditas bank daerah saat ini tengah terdesak oleh kebijakan pemerintah khususnya terkait Dana Perimbangan yang berasal dari Pemerintah Pusat. Tahun lalu Kementerian Keuangan telah menerbitkan aturan Nomor 125/PMK.07/2016 Tentang Penundaan Penyaluran Sebagian Dana Alokasi Umum Tahun Anggaran 2016. Tahun sebelumnya ada juga aturan Nomor 235/PMK.07/2015 Tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non Tunai.


Pegang Dana BUMD
Sementara itu Kresno Sediarsi, Dirut Bank DKI menambahkan, untuk menambah dan mengamankan likuiditas, pihaknya mengupayakan agar semua transaksi dan manajemen kas perusahaan di bawah kontrol pemerintah DKI harus menggunakan banknya. “Kita minta seluruh dana operasional BUMD harus ada di kita. Lagipula buat apa ada di luar (Bank DKI) dan siapa yang mengontrol,” kata mantan bankir Bank Mandiri itu.
Upaya lain yang bisa dilakukan oleh bank daerah, lanjut Kresno, adalah dengan menjadi treasurer atau pengelola keuangan pemda dimana bank tersebut menjadi saluran bagi aliran pendapatan maupun biaya daerah bersangkutan. Pendapatan bisa berasa dari pajak daerah dan retribusi dan pendapatan lainnya, sedangkan biaya bisa dari biaya subsidi, pengeluaran rutin dan lainnya, termasuk pengeluaran dari BUMD.
Menurut Kresno, hal tersebut akan makin mudah ketika BPD bisa membangun sebuah sistem keuangan terintergrasi dengan semua perusahaan daerah. Bank DKI mengaplikasikan hal itu dengan membangun dan menerbitkan suatu sistem terintegrasi yang disebut dengan JakartaOne. “JakartaOne merupakan sistem terpadu pendukung pengelolaan kebijakan layanan publik yang melingkupi tiga fungsi yakni identifikasi profil pengguna,penyaluran kebijakan publik dan pendukung sistem pembayaran,” kata dia.
Karenanya tidak mengherankan jika kini di tempat-tempat rekreasi di Jakarta, masyarkat diminta untuk menggunakan kartu elektronik untuk sarana pembayaran, yang salah satu tujuannya agar pendapatan daerah bisa terkontrol.
Sementara itu di sisi kredit, Kresno mengatakan, permintaan kredit BPD tidak akan naik jika hanya mengandalkan realisasi proyek pemerintah pusat. Pasalnya, proses lelang kerap berjalan lambat sehingga pelaksanaan proyeknya pun lebih lambat. 
“Harusnya proyek pemda yang mendorong permintaan kredit BPD. Harus pemda sendiri yang mendorong daerah karena proses lelang yang dilakukan tentu lebih cepat selesai seperti di Pemda DKI,” kata dia.

 (dipublikasikan Mei-Juni 2017)


               




Tidak ada komentar:

Posting Komentar