Para komisioner di lembaga pengawas sektor keuangan akan menghadapi
tantangan berat di industri yang makin berkembang. Akan tetapi sebelumnya,
mereka harus melewati cobaan dalam menyelesaikan masalah koordinasi yang
berpotensi mengganjal kerja mereka.
Setelah ribut-ribut pemilihan kepala daerah, publik akan
segera mengalihkan perhatiannya pada pemilihan pengurus lembaga pengawas sektor
keuangan paling super di negeri ini. Nama-nama kandidat yang akan mengisi
jajaran Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sudah diserahkan Presiden
kepada parlemen. Dari 14 nama yang diserahkan, DPR bertugas menyaringnya hingga
hanya tujuh orang melalui tes kelayakan dan kepantasan.
Tidak
mudah menebak siapa saja yang bakal mengisi kursi –mulai dari ketua dewan
komisioner hingga kepala pengawas setiap sektor–mengingat hampir semua nama
memiliki keunggulan. Akan tetapi, karena hampir semua adalah muka-muka baru,
bisa dipastikan para pengurus OJK nanti akan berhadapan dengan masalah yang
lebih besar.
Tidak hanya akan menghadapi
persoalan di sektor keuangan, mereka juga harus menghadapi tantangan internal
yang berat karena harus memulai koordinasi dari awal. Padahal masalah
koordinasilah yang menjadi penyebab pemerintah memaksakan diri untuk mendirikan
lembaga yang mampu mengawasi lintas sektor industri keuangan pada 2012.
Kabinet pertama di OJK, sudah selesai menghadapi
masalah koordinasi, terutama di internal lembaganya sendiri. Maklum saja,
dengan latar belakang dua lembaga negara yang berbeda –Bank Indonesia dan
Kementerian Keuangan– tentu akan sulit bagi OJK untuk mengawasi industri jika
diinternalnya sendiri tidak satu suara. Fondasi itu dinilai banyak pihak
selesai dibangun oleh pengurus awal OJK dan kini lembaga itu sudah bisa
berjalan sebagai satu kesatuan.
Kini dengan kehilangan
wajah-wajah lama di pucuk pimpinan maka tantangan tentu akan lebih berat
dihadapi muka-muka baru petinggi OJK terutama dalam soal koordinasi internal.
Hal itu diakui oleh peneliti dari Indef Abra PG Talattov.
Menurut dia, koordinasi internal
akan menjadi isu penting yang harus diselesaikan oleh kabinet OJK yang baru
nanti saat pertama kali berkantor di Lapangan Banteng. Koordinasi itu harus
dilakukan antar Dewan Komisioner yang rata-rata baru pertama berkantor di OJK
dan yang lebih penting lagi mempertahankan budaya kerja internal yang sudah
dibangun pengurus yang lama.
“Tidak hanya konsolidasi antar DK OJK, tetapi sama
pentingnya juga konsolidasi internal dengan seluruh pengawas dan pegawai di OJK,”
kata Abra.
Dengan
latar belakan profesi yang berbeda dan juga kenyataan bahw mereka baru pertama
kali disatukan dalam sebuah organisasi yang besar dan super, maka para anggota
komisioner harus membangun Visi-Misi bersama dan komitmen yang kokoh sehingga
OJK akan lebih kuat dalam menghadapi guncangan berbagai persoalan di depan.
Selain itu, dengan jumlah pegawai mencapai 1.200 orang, tentunya butuh waktu
bagi pengurus baru untuk meyakinkan bahwa yang akan mereka lakukan di internal
tidak akan menabrak fondasi sistem yang sudah terbangun.
Setelah langkah memantapkan
kembali koordinasi yang berpotensi melonggar, para petinggi OJK yang baru akan
menghadapi tantangan membangun sinergi kebijakan dengan instansi terkait
seperti Bank Indonesia dan Kementeri Keuangan. Di pundak OJK tetap ada
ekspektasi tinggi dalam mendorong sektor keuangan lebih kontributif dalam
pembangunan di tengah tekanan ekonomi.
“Lembaga itu harus mampu
memastikan bahwa sektor keuangan tidak terlarut dalam upaya menyelamatkan dan memperkaya
dirinya sendiri, tapi lupa atau enggan menstimulasi sektor-sektor lainnya
terutama sektor produktif,” kata Abra.
Selanjutnya kabinet baru OJK juga
harus sudah siap langsung bekerja, karena tidak boleh ada lagi masa penyesuaian
dalam hal pengawasan lembaga keuangan. Pasalnya ancaman risiko sistemik bisa
muncul kapan saja, atau yang lebih ringan adalah praktik-praktik fraud dan investasi bodong selalu
mengintai.
Pengurus OJK baru harus sudah
belajar dari pengalaman pahit Financial Services Authority (FSA) di Inggris
yang gagal mengawasi dengan baik sektor keuangannya sehingga terjadilah kasus
Northern Rock. Bank itu mengalami kesulitan likuiditas dan otoritas
menyuntikkan dananya namun tetap tak bisa menolong bank itu. Akibat kasus
tersebut, FSA pun akhirnya dibubarkan dan fungsi pengawasan perbankan akhirnya
ditarik kembali ke Bank Sentral.
Di Indonesia kasus serupa pernah
terjadi ketika Bank Century dinyatakan berisiko sistemik lalu pemerintah
memutuskan untuk menyuntikkan modal. Langkah tersebut bermasalah karena bank
itu dianggap menyalahi aturan karena fraud
dari pemiliknya sendiri yang menggondol dana nasabah.
Tangkal Krisis
Sejatinya, untuk mengantisipasi
ancaman krisis dan risiko sistemik, OJK sudah mengeluarkan tiga peraturan
(POJK) sebagai landasan hukum dalam upaya mengatasi permasalahan stabilitas
sistem keuangan. Hal itu sebagai tindak lanjut dari keluarnya Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU
PPKSK).
"UU PPKSK memberikan
landasan hukum bagi OJK dan lembaga atau otoritas lain untuk menangani
stabilitas sistem keuangan serta melakukan tindakan dalam upaya mengatasi
permasalahan stabilitas sistem keuangan berdasarkan tugas dan kewenangannya.
Sebagai tindak lanjutnya kami keluarkan POJK ini,"ujar Ketua Dewan
Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad.
Tiga aturan itu terdiri dari pertama, POJK tentang Penetapan Status
dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. Regulasi ini memuat aturan penanganan
permasalahan bank, baik penanganan terhadap bank sistemik maupun selain bank
sistemik. Dalam ketentuan ini, diatur status pengawasan bank terdiri dari tiga
tahap, yakni pengawasan normal, intensif, dan pengawasan khusus.
Kedua, POJK tentang Bank Perantara, memuat aturan mengenai prosedur
pendirian bank perantara, mulai dari proses pendirian, operasional, dan
pengakhiran Bank Perantara. Bank Perantara hanya dapat didirikan dan dimilikan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Ketiga, POJK tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi Bank Sistemik, memuat aturan kewajiban bank
sistemik untuk mempersiapkan rencana dalam rangka mencegah dan mengatasi
permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di Bank Sistemik dengan cara
menyusun suatu rencana aksi.
Saat ini, upaya menghindarikan
ekonomi dari krisis dinilai lebih penting ketimbang mendorong pertumbuhan.
Menurut Majalah the Economist edisi 8 April 2017 yang mengutip riset Stepehen
Broadberry dari Oxford University dan John Wallis dari Universitas Maryland, peran
untuk menangkal dan menyelesaikan krisis ekonomi adalah sangat penting.
“Faster
growth is not due to bigger booms, but to less shrinking in recessions”
demikian salah satu kesimpulan dari dua ekonomi itu. (baca: Riset Tantangan Kabinet Baru OJK). Pandangan
itu menunjukkan bahwa peran untuk menangkal dan menyelesaikan krisis ekonomi lebih
penting ketimbang kebijakan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan.
Di dunia yang semakin maju dan
modern seperti sekarang ini, konektivitas antar negara semakin erat,
permasalahan krisis, terutama krisis finansial, akan semakin intens gejalanya(symptom). “Di sinilah peran otoritas
keuangan di masing-masing negara menjadi sangat vital dalam mencegah dan
mengelola krisis, termasuk Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan,” kata
riset Stabilitas.
Tantangan Lain
Tantangan lain yang tak kalah
gentingnya bakal dihadapi para komisioner baru adalah pelaksanaan Auotmatic
Exchange of Information (AEoI) yang akan dimulai sejak 1 Januari 2018. Sebagai
bagian dari komunitas negara-negara di dunia, sepakat atau tidak sepakat
Indonesia juga harus turut menerapkan sistem tersebut.
“Bagaimana pun kita harus masuk
karena semua negara juga sudah masuk ke sana. Maka calon komisioner harus paham
tentang AeoI, tentang common reporting standard (CRS). Sejauh mana otoritas
bisa membuka data bank. Kalau tidak hati-hati, aturan akan meleset, dan orang
malah narik duit dari bank (rush money),”
ujar ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI), Dradjad H Wibowo.
Meski berkaitan dengan data
perbankan, potensi rush money yang
bisa saja terjadi di masyarakat tentu tidak hanya semata-mata berpengaruh pada
industri perbankan saja namun juga pada seluruh perekonomian dalam negeri. Tak
terkecuali di industri pasar modal. Terlebih situasi ekonomi global sejauh ini
juga masih belum stabil dan diperkirakan bakal terus berlanjut dalam beberapa
tahun ke depan.
(dipublikasikan April-Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar