Rabu, 27 September 2017

Hantu Pengurus Baru

Para komisioner di lembaga pengawas sektor keuangan akan menghadapi tantangan berat di industri yang makin berkembang. Akan tetapi sebelumnya, mereka harus melewati cobaan dalam menyelesaikan masalah koordinasi yang berpotensi mengganjal kerja mereka.


Setelah ribut-ribut pemilihan kepala daerah, publik akan segera mengalihkan perhatiannya pada pemilihan pengurus lembaga pengawas sektor keuangan paling super di negeri ini. Nama-nama kandidat yang akan mengisi jajaran Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sudah diserahkan Presiden kepada parlemen. Dari 14 nama yang diserahkan, DPR bertugas menyaringnya hingga hanya tujuh orang melalui tes kelayakan dan kepantasan.
                Tidak mudah menebak siapa saja yang bakal mengisi kursi –mulai dari ketua dewan komisioner hingga kepala pengawas setiap sektor–mengingat hampir semua nama memiliki keunggulan. Akan tetapi, karena hampir semua adalah muka-muka baru, bisa dipastikan para pengurus OJK nanti akan berhadapan dengan masalah yang lebih besar.
Tidak hanya akan menghadapi persoalan di sektor keuangan, mereka juga harus menghadapi tantangan internal yang berat karena harus memulai koordinasi dari awal. Padahal masalah koordinasilah yang menjadi penyebab pemerintah memaksakan diri untuk mendirikan lembaga yang mampu mengawasi lintas sektor industri keuangan pada 2012.
 Kabinet pertama di OJK, sudah selesai menghadapi masalah koordinasi, terutama di internal lembaganya sendiri. Maklum saja, dengan latar belakang dua lembaga negara yang berbeda –Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan– tentu akan sulit bagi OJK untuk mengawasi industri jika diinternalnya sendiri tidak satu suara. Fondasi itu dinilai banyak pihak selesai dibangun oleh pengurus awal OJK dan kini lembaga itu sudah bisa berjalan sebagai satu kesatuan.
Kini dengan kehilangan wajah-wajah lama di pucuk pimpinan maka tantangan tentu akan lebih berat dihadapi muka-muka baru petinggi OJK terutama dalam soal koordinasi internal. Hal itu diakui oleh peneliti dari Indef Abra PG Talattov.
Menurut dia, koordinasi internal akan menjadi isu penting yang harus diselesaikan oleh kabinet OJK yang baru nanti saat pertama kali berkantor di Lapangan Banteng. Koordinasi itu harus dilakukan antar Dewan Komisioner yang rata-rata baru pertama berkantor di OJK dan yang lebih penting lagi mempertahankan budaya kerja internal yang sudah dibangun pengurus yang lama.
“Tidak hanya konsolidasi antar DK OJK, tetapi sama pentingnya juga konsolidasi internal dengan seluruh pengawas dan pegawai di OJK,” kata Abra.
                Dengan latar belakan profesi yang berbeda dan juga kenyataan bahw mereka baru pertama kali disatukan dalam sebuah organisasi yang besar dan super, maka para anggota komisioner harus membangun Visi-Misi bersama dan komitmen yang kokoh sehingga OJK akan lebih kuat dalam menghadapi guncangan berbagai persoalan di depan. Selain itu, dengan jumlah pegawai mencapai 1.200 orang, tentunya butuh waktu bagi pengurus baru untuk meyakinkan bahwa yang akan mereka lakukan di internal tidak akan menabrak fondasi sistem yang sudah terbangun.
Setelah langkah memantapkan kembali koordinasi yang berpotensi melonggar, para petinggi OJK yang baru akan menghadapi tantangan membangun sinergi kebijakan dengan instansi terkait seperti Bank Indonesia dan Kementeri Keuangan. Di pundak OJK tetap ada ekspektasi tinggi dalam mendorong sektor keuangan lebih kontributif dalam pembangunan di tengah tekanan ekonomi.
“Lembaga itu harus mampu memastikan bahwa sektor keuangan tidak terlarut dalam upaya menyelamatkan dan memperkaya dirinya sendiri, tapi lupa atau enggan menstimulasi sektor-sektor lainnya terutama sektor produktif,” kata Abra.
Selanjutnya kabinet baru OJK juga harus sudah siap langsung bekerja, karena tidak boleh ada lagi masa penyesuaian dalam hal pengawasan lembaga keuangan. Pasalnya ancaman risiko sistemik bisa muncul kapan saja, atau yang lebih ringan adalah praktik-praktik fraud dan investasi bodong selalu mengintai.
Pengurus OJK baru harus sudah belajar dari pengalaman pahit Financial Services Authority (FSA) di Inggris yang gagal mengawasi dengan baik sektor keuangannya sehingga terjadilah kasus Northern Rock. Bank itu mengalami kesulitan likuiditas dan otoritas menyuntikkan dananya namun tetap tak bisa menolong bank itu. Akibat kasus tersebut, FSA pun akhirnya dibubarkan dan fungsi pengawasan perbankan akhirnya ditarik kembali ke Bank Sentral.
Di Indonesia kasus serupa pernah terjadi ketika Bank Century dinyatakan berisiko sistemik lalu pemerintah memutuskan untuk menyuntikkan modal. Langkah tersebut bermasalah karena bank itu dianggap menyalahi aturan karena fraud dari pemiliknya sendiri yang menggondol dana nasabah.

Tangkal Krisis
Sejatinya, untuk mengantisipasi ancaman krisis dan risiko sistemik, OJK sudah mengeluarkan tiga peraturan (POJK) sebagai landasan hukum dalam upaya mengatasi permasalahan stabilitas sistem keuangan. Hal itu sebagai tindak lanjut dari keluarnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).
"UU PPKSK memberikan landasan hukum bagi OJK dan lembaga atau otoritas lain untuk menangani stabilitas sistem keuangan serta melakukan tindakan dalam upaya mengatasi permasalahan stabilitas sistem keuangan berdasarkan tugas dan kewenangannya. Sebagai tindak lanjutnya kami keluarkan POJK ini,"ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad.
Tiga aturan itu terdiri dari pertama, POJK tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. Regulasi ini memuat aturan penanganan permasalahan bank, baik penanganan terhadap bank sistemik maupun selain bank sistemik. Dalam ketentuan ini, diatur status pengawasan bank terdiri dari tiga tahap, yakni pengawasan normal, intensif, dan pengawasan khusus.
Kedua, POJK tentang Bank Perantara, memuat aturan mengenai prosedur pendirian bank perantara, mulai dari proses pendirian, operasional, dan pengakhiran Bank Perantara. Bank Perantara hanya dapat didirikan dan dimilikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Ketiga, POJK tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi Bank Sistemik, memuat aturan kewajiban bank sistemik untuk mempersiapkan rencana dalam rangka mencegah dan mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di Bank Sistemik dengan cara menyusun suatu rencana aksi.
Saat ini, upaya menghindarikan ekonomi dari krisis dinilai lebih penting ketimbang mendorong pertumbuhan. Menurut Majalah the Economist edisi 8 April 2017 yang mengutip riset Stepehen Broadberry dari Oxford University dan John Wallis dari Universitas Maryland, peran untuk menangkal dan menyelesaikan krisis ekonomi adalah sangat penting.
 “Faster growth is not due to bigger booms, but to less shrinking in recessions” demikian salah satu kesimpulan dari dua ekonomi itu. (baca: Riset Tantangan Kabinet Baru OJK). Pandangan itu menunjukkan bahwa peran untuk menangkal dan menyelesaikan krisis ekonomi lebih penting ketimbang kebijakan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan.
Di dunia yang semakin maju dan modern seperti sekarang ini, konektivitas antar negara semakin erat, permasalahan krisis, terutama krisis finansial, akan semakin intens gejalanya(symptom). “Di sinilah peran otoritas keuangan di masing-masing negara menjadi sangat vital dalam mencegah dan mengelola krisis, termasuk Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan,” kata riset Stabilitas.

Tantangan Lain
Tantangan lain yang tak kalah gentingnya bakal dihadapi para komisioner baru adalah pelaksanaan Auotmatic Exchange of Information (AEoI) yang akan dimulai sejak 1 Januari 2018. Sebagai bagian dari komunitas negara-negara di dunia, sepakat atau tidak sepakat Indonesia juga harus turut menerapkan sistem tersebut.
“Bagaimana pun kita harus masuk karena semua negara juga sudah masuk ke sana. Maka calon komisioner harus paham tentang AeoI, tentang common reporting standard (CRS). Sejauh mana otoritas bisa membuka data bank. Kalau tidak hati-hati, aturan akan meleset, dan orang malah narik duit dari bank (rush money),” ujar ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI), Dradjad H Wibowo.
Meski berkaitan dengan data perbankan, potensi rush money yang bisa saja terjadi di masyarakat tentu tidak hanya semata-mata berpengaruh pada industri perbankan saja namun juga pada seluruh perekonomian dalam negeri. Tak terkecuali di industri pasar modal. Terlebih situasi ekonomi global sejauh ini juga masih belum stabil dan diperkirakan bakal terus berlanjut dalam beberapa tahun ke depan. 
(dipublikasikan April-Mei 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar