Rabu, 27 September 2017

Solusi Jitu 'Mengikat' Karyawan

Keterlibatan penuh karyawan kepada perusahaan tempat dia bekerja menjadi senjata ampuh untuk mempertahankan kinerja bisnis. Leadership yang kuat, kebanggan terhadap tempat kerja dan juga jalinan komunikasi yang mantap adalah beberapa prasyaratnya.


Strategi mengelola pegawai dalam industri keuangan –terutama perbankan, akan selalu dikaitkan dengan risiko operasional. Lembaga keuangan memiliki segudang taktik agar pegawainya melaksanakan tugas sesuai prosedur operasional standar yang digariskan oleh pengawas industri keuangan. Ya, untuk urusan regulasi, sektor perbankan menjadi salah satu kalau tidak satu-satunya industri yang memiliki aturan super-ketat (highly regulated).
Regulasi yang ketat, namun begitu, juga dibarengi dengan bayaran yang tinggi. Berdasarkan survei dari sebuah lembaga, perbankan secara rata-rata selalu menjadi sektor teratas dalam hal memberikan salary yang tinggi kepada karyawannya, dibanding sektor lainnya seperti pertambangan, properti atau migas.
Akan tetapi gaji tinggi tidak melulu menjadi jaminan moncernya kinerja perusahaan, atau paling tidak berfungsinya proses internal bahkan minimnya kesalahan pegawai. Malahan boleh dibilang, risiko tinggi dari fraud karyawan terus menghantui lembaga-lembaga keuangan terutama perbankan meski pendapatan mereka sudah tinggi.
Risiko operasional lazimnya muncul dari faktor manusia dan juga sistem yang mempengaruhi jalannya bisnis bank. Risiko itu dapat menimbulkan kerugian keuangan secara langsung maupun tidak langsung, atau minimal dapat mengakibatkan kerugian potensial atas hilangnya kesempatan memperoleh keuntungan.
Risiko ini, sebagaimana disebut oleh otoritas lembaga keuangan, merupakan risiko yang melekat pada setiap aktivitas bank, seperti kegiatan intermediasi, tresuri, dan investasi. Selain itu juga risiko yang muncul pada pengelolaan sumber daya manusia perbankan itu sendiri.
Buat perbankan, risiko operasional merupakan ancaman yang paling sering terjadi yang pada akhirnya berujung pada pembobolan dana bank. Menurut pakar hukum dari Universitas Trisakti Yenti Garnasih, pembobolan itu kerapkali terjadi disebabkan ulah karyawan bank itu sendiri. “Sebetulnya sulit sekali membobol bank tanpa ada kerja sama dengan pihak bank, apalagi bila sistem kontrol berjalan dengan baik yang didukung dengan kecanggihan teknologi perbankan,” kata dia.
Lalu mengapa di industri yang memberikan gaji selangit dan tingkat kesejahteraan tinggi, masih ada saja karyawannya yang ‘mencuri’ atau melakukan tindakan yang merugikan perusahaannya sendiri? Jawabannya, bisa jadi, karena kurangnya kepuasan karyawan dalam bekerja atau juga kurangnya rasa memiliki perusahaan. Lebih dari itu, menurut pengalaman beberapa perusahaan global, penyebab yang lebih mendasar adalah kurang engaged-nya karyawan terhadap perusahaan.
Kepuasan karyawan (employee satisfaction) saja, pada saat ini sudah dianggap kurang memadai bagi organisasi untuk menunjang kinerja karyawan. Bisa saja terjadi karyawan yang memiliki kepuasan tinggi, justru tidak termotivasi untuk menunjukkan kinerja yang terbaik atau minimal berkontribusi positif pada perusahaan. Ironisnya ada sebagian di antaranya justru hanya menerima kepuasan dari fasilitas dan gaji yang diberikan perusahaan tanpa memberikan kontribusi untuk kesuksesan perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang paham dalam pengelolaan SDM yang baik, biasanya memiliki apa yang dinamakan “paket kesejahteraan”. Paket Kesejahteraan yang bagus merupakan hal penting dalam menarik talenta terbaik di pasar tenaga kerja kompetitif. Perusahaan-perusahaan yang kini banyak berkantor di Silicon Valley, banyak yang mengkonsep hal itu.
Banyak dari perusahaan itu menyulap kantornya seperti taman bermain bahkan karyawannya bisa makan gratis, bermain bilyar, mini golf, karaoke, bahkan tidur di kantor. Sekilas karyawan akan merasa nyaman di kantor dan merasa puas bekerja di perusahaan itu.
Namun fasilitas yang mentereng dan program-program kesejahteraan yang mahal itu ternyata tidak lantas membuat talenta-talenta perusahaan lebih engaged dengan perusahaan. Berdasarkan riset global yang dipublikasikan Harvard Business Review pada 2013, fasilitas ‘wah’ tersebut justru bisa menumbuhkan “disengagement” sehingga organisasi justru akan diisi oleh orang-orang yang tidak tepat.

Engagement bukan Satisfaction
Hal itu diakui oleh Willy Saelan, Direktur Sumber Daya Manusia Unilever Indonesia, yang mengatakan bahwa karyawan tidak melulu merasa puas dengan gaji tinggi ataupun tingkat kesejahteraan yang baik. “Ada keinginan lain dari mereka terutama untuk memuaskan batinnya. Kalau saya sendiri misalnya, merasa puas kalau bisa berkontribusi terhadap lingkungan sosial,” kata dia.
Ketika banyak karyawan puas atas pekerjaannya tetapi perusahaannya justru tidak mendapatkan kontribusi maksimal dari si karyawan, maka bisa dipastikan belum ada employee engagement di sana. Employee engagement atau bisa dipadankan dengan istilah keterlibatan karyawan, akan terlihat jelas pada kinerja perusahaan yang menanjak berkesinambungan.
Namun demikian, strategi itu belumlah menjadi strategi populer bagi industri keuangan dalam mendongkrak ataupun menjaga kinerja bisnisnya. Padahal employee engagement mampu mendorong karyawan melakukan pekerjaannya secara luar biasa, bahkan lebih dari ekspektasi perusahaan. Sebaliknya strategi employee satisfaction, hanya mendorong seorang karyawan untuk memikirkan kesuksesan dirinya sendiri.
                Untuk meningkatkan engagement karyawan, di Unilever, kata Willy, karyawannya diwajibkan untuk menuliskan apa tujuannya (purpose) dalam hidup dan dalam bekerja. Perusahaan melalui manajernya, kemudian, bersama karyawan itu mencari jalan agar bisa mewujudkan dan mengembangkan purpose tersebut. “Sehingga karyawan tidak melulu meminta gaji lebih tinggi. Dia sudah mendapatkan kepuasan karena my purpose of life has been serve,” kata dia.
Dalam sistem internal Unilever, lanjut Willy, dalam satu tahun setelah berdiskusi dengan manajernya, harus membuat peta purpose dari kondisi setahun belakangan dan bagaimana purpose tersebut mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
                Sementara itu, berdasarkan penelitian Harvard seperti yang disebutkan di atas dikatakan, karyawan yang melibatkan diri dengan sepenuh hati terhadap pekerjaannya (highly-engaged employee) adalah solusi dari pertumbuhan maupun strategi bertahan hidup dalam bisnis. Highly-engaged employee, bisa diibaratkan sebagai pasukan tempur khusus yang dimiliki perusahaan untuk menjamin perusahaan tetap berkinerja baik meski dalam kondisi ekonomi yang berat.
Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap tumbuhnya employee engagement. Menurut studi Harvard yang sama, tiga pendorong teratas adalah recognition for high performers, clear understanding how job contributes to strategy, dan communication strategy from senior leadership.
Dalam sambutannya dalam acara Indonesia Employee Engagement Award yang diselenggarakan oleh Majalah Stabilitas 1 Maret lalu, Ketua Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad mengatakan bahwa karyawan yang engaged itu akan sangat memengaruhi kinerja perusahaan. “Sudah banyak survei dan juga penelitian yang mengaitkan antara engagement dengan performance atau engagement dengan kinerja perusahaan,” kata dia.
Menurut Muliaman, ada tiga hal penting dalam mewujudkan keterlibatan penuh karyawan pada perusahaan. Pertama, adalah kepemimpinan (leadership) yang kuat. Hal itu penting karena seorang leader yang baik lazimnya bisa memberikan perspektif mau dibawa ke mana organisasi atau perusahaan itu. Perspektif menggambarkan cakupan berbagai hal yang dihadapi oleh perusahaan, kemudian ini memberikan kesempatan bagi karyawan untuk memikirkan positioning masing-masing di dalam menyusun perjalanan ke depan perusahaan itu.
“Jadi kalau disurvei, engagement yang baik itu biasanya selalu diasosiasikan dengan leadership yang kuat. Menurut saya ini menjadi salah satu prasyarat penting membangun leadership yang kuat yang kemudian mampu memberikan perspektif di dalam organisasi. Ini kemudian akan menghasilkan engagement yang baik,” jelas Muliaman.
Faktor kedua adalah, adanya kebanggaan bekerja pada organisasi atau perusahaan tersebut yang kemudian menimbulkan antusiasme dari karyawan dan akhirnya mengasilkan output kinerja yang baik. Kebanggaan menjadi karyawan suatu perusahaan itu menjadi satu hal yang penting, kata Muliaman, walaupun kebangaan itu satu hasil, satu proses dari beberapa elemen yang mengakibatkan munculnya rasa bangga menjadi karyawan organisasi. “Ini sangat straight power, sangat common sense. Orang begitu bangga menjadi karyawan kemudian antusias, ini tentu saja menjadi suatu engagement tinggi nantinya,” ujar dia.
Faktor terakhir, kata Muliaman adalah hubungan yang harmonis lewat membangun komunikasi yang baik. Menurut dia, hal ini juga menjadi satu elemen yang saling berkaitan satu sama lain. “Pemimpin yang baik tentu saja bisa membangun iklim komunikasi yang baik dan komunikasi yang baik ini yang pada dasarnya mendorong engagement yang saya kira juga meningkat,” ujar dia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar