Keterlibatan penuh karyawan kepada perusahaan tempat dia bekerja menjadi
senjata ampuh untuk mempertahankan kinerja bisnis. Leadership yang kuat, kebanggan terhadap tempat kerja dan juga
jalinan komunikasi yang mantap adalah beberapa prasyaratnya.
Strategi mengelola pegawai dalam industri keuangan –terutama perbankan,
akan selalu dikaitkan dengan risiko operasional. Lembaga keuangan memiliki
segudang taktik agar pegawainya melaksanakan tugas sesuai prosedur operasional
standar yang digariskan oleh pengawas industri keuangan. Ya, untuk urusan
regulasi, sektor perbankan menjadi salah satu kalau tidak satu-satunya industri
yang memiliki aturan super-ketat (highly
regulated).
Regulasi yang ketat, namun begitu, juga dibarengi
dengan bayaran yang tinggi. Berdasarkan survei dari sebuah lembaga, perbankan
secara rata-rata selalu menjadi sektor teratas dalam hal memberikan salary yang tinggi kepada karyawannya,
dibanding sektor lainnya seperti pertambangan, properti atau migas.
Akan tetapi gaji tinggi tidak melulu
menjadi jaminan moncernya kinerja perusahaan, atau paling tidak berfungsinya
proses internal bahkan minimnya kesalahan pegawai. Malahan boleh dibilang,
risiko tinggi dari fraud karyawan terus
menghantui lembaga-lembaga keuangan terutama perbankan meski pendapatan mereka
sudah tinggi.
Risiko operasional lazimnya muncul dari faktor
manusia dan juga sistem yang mempengaruhi jalannya bisnis bank. Risiko itu dapat
menimbulkan kerugian keuangan secara langsung maupun tidak langsung, atau
minimal dapat mengakibatkan kerugian potensial atas hilangnya kesempatan
memperoleh keuntungan.
Risiko ini, sebagaimana disebut oleh
otoritas lembaga keuangan, merupakan risiko yang melekat pada setiap aktivitas bank,
seperti kegiatan intermediasi, tresuri, dan investasi. Selain itu juga risiko yang
muncul pada pengelolaan sumber daya manusia perbankan itu sendiri.
Buat perbankan, risiko operasional
merupakan ancaman yang paling sering terjadi yang pada akhirnya berujung pada
pembobolan dana bank. Menurut pakar hukum dari Universitas Trisakti Yenti
Garnasih, pembobolan itu kerapkali terjadi disebabkan ulah karyawan bank itu
sendiri. “Sebetulnya sulit sekali membobol bank tanpa ada kerja sama dengan
pihak bank, apalagi bila sistem kontrol berjalan dengan baik yang didukung
dengan kecanggihan teknologi perbankan,” kata dia.
Lalu mengapa di industri yang memberikan
gaji selangit dan tingkat kesejahteraan tinggi, masih ada saja karyawannya yang
‘mencuri’ atau melakukan tindakan yang merugikan perusahaannya sendiri?
Jawabannya, bisa jadi, karena kurangnya kepuasan karyawan dalam bekerja atau juga
kurangnya rasa memiliki perusahaan. Lebih dari itu, menurut pengalaman beberapa
perusahaan global, penyebab yang lebih mendasar adalah kurang engaged-nya karyawan terhadap
perusahaan.
Kepuasan karyawan (employee
satisfaction) saja, pada saat ini sudah dianggap kurang memadai bagi
organisasi untuk menunjang kinerja karyawan. Bisa saja terjadi karyawan yang
memiliki kepuasan tinggi, justru tidak termotivasi untuk menunjukkan kinerja
yang terbaik atau minimal berkontribusi positif pada perusahaan. Ironisnya ada
sebagian di antaranya justru hanya menerima kepuasan dari fasilitas dan gaji
yang diberikan perusahaan tanpa memberikan kontribusi untuk kesuksesan
perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang paham dalam pengelolaan SDM yang baik,
biasanya memiliki apa yang dinamakan “paket kesejahteraan”. Paket Kesejahteraan
yang bagus merupakan hal penting dalam menarik talenta terbaik di pasar tenaga
kerja kompetitif. Perusahaan-perusahaan yang kini banyak berkantor di Silicon
Valley, banyak yang mengkonsep hal itu.
Banyak dari perusahaan itu menyulap kantornya seperti taman bermain
bahkan karyawannya bisa makan gratis, bermain bilyar, mini golf, karaoke,
bahkan tidur di kantor. Sekilas karyawan akan merasa nyaman di kantor dan
merasa puas bekerja di perusahaan itu.
Namun fasilitas yang mentereng dan program-program kesejahteraan yang
mahal itu ternyata tidak lantas membuat talenta-talenta perusahaan lebih engaged dengan perusahaan. Berdasarkan riset
global yang dipublikasikan Harvard Business Review pada 2013, fasilitas ‘wah’ tersebut
justru bisa menumbuhkan “disengagement”
sehingga organisasi justru akan diisi oleh orang-orang yang tidak tepat.
Engagement bukan Satisfaction
Hal itu diakui oleh Willy Saelan, Direktur
Sumber Daya Manusia Unilever Indonesia, yang mengatakan bahwa karyawan tidak
melulu merasa puas dengan gaji tinggi ataupun tingkat kesejahteraan yang baik.
“Ada keinginan lain dari mereka terutama untuk memuaskan batinnya. Kalau saya
sendiri misalnya, merasa puas kalau bisa berkontribusi terhadap lingkungan
sosial,” kata dia.
Ketika banyak karyawan puas atas
pekerjaannya tetapi perusahaannya justru tidak mendapatkan kontribusi maksimal
dari si karyawan, maka bisa dipastikan belum ada employee engagement di sana. Employee
engagement atau bisa dipadankan dengan istilah keterlibatan karyawan, akan
terlihat jelas pada kinerja perusahaan yang menanjak berkesinambungan.
Namun demikian, strategi itu belumlah
menjadi strategi populer bagi industri keuangan dalam mendongkrak ataupun
menjaga kinerja bisnisnya. Padahal
employee engagement mampu mendorong
karyawan melakukan pekerjaannya secara luar biasa, bahkan lebih dari ekspektasi
perusahaan. Sebaliknya strategi employee
satisfaction, hanya mendorong seorang karyawan untuk memikirkan kesuksesan
dirinya sendiri.
Untuk meningkatkan engagement karyawan, di Unilever, kata
Willy, karyawannya diwajibkan untuk menuliskan apa tujuannya (purpose) dalam hidup dan dalam bekerja.
Perusahaan melalui manajernya, kemudian, bersama karyawan itu mencari jalan
agar bisa mewujudkan dan mengembangkan purpose
tersebut. “Sehingga karyawan tidak melulu meminta gaji lebih tinggi. Dia sudah
mendapatkan kepuasan karena my purpose of
life has been serve,” kata dia.
Dalam sistem internal Unilever, lanjut Willy, dalam satu tahun setelah
berdiskusi dengan manajernya, harus membuat peta purpose dari kondisi setahun belakangan dan bagaimana purpose tersebut mengubah dirinya menjadi
pribadi yang lebih baik lagi.
Sementara itu, berdasarkan penelitian
Harvard seperti yang disebutkan di atas dikatakan, karyawan yang melibatkan
diri dengan sepenuh hati terhadap pekerjaannya (highly-engaged employee) adalah solusi dari pertumbuhan maupun
strategi bertahan hidup dalam bisnis. Highly-engaged
employee, bisa diibaratkan sebagai pasukan tempur khusus yang dimiliki
perusahaan untuk menjamin perusahaan tetap berkinerja baik meski dalam kondisi
ekonomi yang berat.
Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap tumbuhnya employee engagement. Menurut studi
Harvard yang sama, tiga pendorong teratas adalah recognition for high performers, clear understanding how job
contributes to strategy, dan communication
strategy from senior leadership.
Dalam sambutannya dalam acara Indonesia Employee Engagement Award yang
diselenggarakan oleh Majalah Stabilitas 1 Maret lalu, Ketua Komisioner Otoritas
Jasa Keuangan Muliaman D Hadad mengatakan bahwa karyawan yang engaged itu akan sangat memengaruhi kinerja
perusahaan. “Sudah banyak survei dan juga penelitian yang mengaitkan antara engagement dengan performance atau engagement
dengan kinerja perusahaan,” kata dia.
Menurut Muliaman, ada tiga hal penting dalam mewujudkan keterlibatan
penuh karyawan pada perusahaan. Pertama,
adalah kepemimpinan (leadership) yang
kuat. Hal itu penting karena seorang leader
yang baik lazimnya bisa memberikan perspektif mau dibawa ke mana organisasi
atau perusahaan itu. Perspektif menggambarkan cakupan berbagai hal yang
dihadapi oleh perusahaan, kemudian ini memberikan kesempatan bagi karyawan untuk
memikirkan positioning masing-masing di dalam menyusun perjalanan ke depan
perusahaan itu.
“Jadi kalau disurvei, engagement
yang baik itu biasanya selalu diasosiasikan dengan leadership yang kuat. Menurut saya ini menjadi salah satu prasyarat
penting membangun leadership yang
kuat yang kemudian mampu memberikan perspektif di dalam organisasi. Ini
kemudian akan menghasilkan engagement
yang baik,” jelas Muliaman.
Faktor kedua adalah, adanya
kebanggaan bekerja pada organisasi atau perusahaan tersebut yang kemudian menimbulkan
antusiasme dari karyawan dan akhirnya mengasilkan output kinerja yang baik. Kebanggaan menjadi karyawan suatu
perusahaan itu menjadi satu hal yang penting, kata Muliaman, walaupun kebangaan
itu satu hasil, satu proses dari beberapa elemen yang mengakibatkan munculnya
rasa bangga menjadi karyawan organisasi. “Ini sangat straight power, sangat common
sense. Orang begitu bangga menjadi karyawan kemudian antusias, ini tentu
saja menjadi suatu engagement tinggi
nantinya,” ujar dia.
Faktor terakhir, kata Muliaman adalah hubungan yang harmonis lewat membangun
komunikasi yang baik. Menurut dia, hal ini juga menjadi satu elemen yang saling
berkaitan satu sama lain. “Pemimpin yang baik tentu saja bisa membangun iklim
komunikasi yang baik dan komunikasi yang baik ini yang pada dasarnya mendorong engagement yang saya kira juga
meningkat,” ujar dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar