Risiko sistemik, praktik fraud
dan juga pembobolan akan tetap menjadi perhatian utama otoritas pada sektor
perbankan. Dibutuhkan komisioner yang mumpuni tidak hanya dalam bidang
perbankan, namun juga manajemen risiko, makroekonomi, sekaligus teknologi.
Sektor perbankan tetap menjadi concern utama Otoritas Jasa Keuangan ketika dibentuk lima tahun
lalu dan diserahi tanggung jawab untuk memastikan industri dijalankan dengan
manajemen risiko dan tata kelola yang baik. Meskipun pada saat berdiri tahun
2012, sektor perbankan belum berada di bawah pengawasan OJK dan baru Januari
2014 sektor itu masuk pengawasan lembaga itu.
Perhatian besar dari otoritas itu
tidak berlebihan mengingat sektor tersebut masih mendominasi perekonomian
Indonesia. Jika sektor itu terganggu tentu ekonomi secara keseluruhan akan terkena
dampaknya. Pemerintah –yang menggagas pembentukan OJK, tentu tidak menginginkan
hal itu.
Hingga akhir tahun 2016, aset
perbankan mencapai Rp6.839 triliun sedangkan aset di industri keuangan nonbank jika semua disatukan
hanya seperlimanya yaitu Rp1.827 triliun. Bahkan jika dibandingkan dengan kapitalisasi
pasar di bursa saham pada 27 Maret 2017 yang sebesar Rp6.050, aset perbankan
masih lebih besar.
Oleh
karena itu, ketika periode pertama tugas OJK menjelang berakhir dan ketika
periode kedua akan diisi –hampir semua– oleh
orang-orang baru, publik pantas gelisah. Sederet pertanyaan pun
mengemuka mengenai bagaimana kabinet baru otoritas yang menjadi lembaga
super-power di sektor keuangan ini akan bekerja.
Pertanyaan utama yang dilontarkan
publik adalah mengenai apakah ekonomi akan kisruh jika sektor perbankan guncang
atau salah satu bank besar tiba-tiba harus tutup. Risiko sistemik memang
menjadi perhatian otoritas, bahkan sejak pengawasan bank dipegang Bank
Indonesia.
OJK telah meminta 12 bank besar
yang dinilai bisa mengganggu perekonomian jika mereka tutup untuk menyusun
rencana aksi (recovery plan).
Permintaan itu tercantum dalam peraturan yang diterbitkan awal April sebagai
tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Peraturan tersebut memberikan
kejelasan dan ketegasan dalam penerapan kebijakan penanganan krisis di sektor
keuangan.
“UU PPKSK ini memberikan landasan
hukum bagi OJK dan lembaga atau otoritas lain untuk menangani stabilitas sistem
keuangan serta melakukan tindakan dalam upaya mengatasi permasalahan stabilitas
sistem keuangan berdasarkan tugas dan kewenangannya," ujar Ketua Dewan
Komisioner OJK Muliaman Hadad.
Recovery plan itu harus memasukkan rencana dan strategi perbankan
menghadapi serta mengantisipasi kesulitan keuangan, likuiditas, juga
permodalan. Kewajiban pembuatan recovery plan itu dikenakan kepada bank-bank
yang termasuk dalam kategori bank sistemik atau domestic systematically important bank (DSIB). Target yang
diberikan oleh OJK adalah hingga 31 Desember 2017.
Bank sistemik merupakan bank-bank
yang memiliki aset besar dan anak usaha yang terinterkoneksi. Bank-bank
tersebut harus diawasi lebih ketat agar ketika krisis bank tersebut tidak jatuh
dan membahayakan perekonomian Indonesia.
OJK telah mengeluarkan berbagai
kebijakan untuk meningkatkan daya tahan sektor jasa keuangan. Misalnya
mengeluarkan ketentuan terkait capital surcharge untuk bank-bank sistemik dan
Peraturan OJK tentang penyediaan Modal Minimum Bank Umum, yang mewajibkan bank
menyediakan capital conservation buffer,
dan countercyclical buffer.
Dari sisi pengawasan, OJK juga
meningkatkan kapasitas surveillance,
sehingga dapat mengukur secara tepat kondisi sektor jasa keuangan dan
memprediksi potensi tekanan di masa mendatang melalui early-warning system (EWS). Serta penggunaan berbagai alat ukur
yang tepat dalam mendukung pengambilan keputusan terkait langkah-langkah
antisipatif yang perlu dilakukan.
Menurut Abra PG Talattov,
peneliti dari Indef, sebuah think tank ekonomi terkemuka di Indonesia, terkait
risiko sistemik, OJK tidak boleh lengah sedikit pun terhadap gejala (symptom) risiko krisis di sektor
keuangan itu sendiri, terutama dengan semakin terintegrasinya produk-produk
investasi baik antar sektor (perbankan dan nonperbankan) maupun antar negara. “Jangan
sampai ada celah atau loopholes
terjadinya kecurangan dari pelaku sektor keuangan yang mengakibatkan krisis,”
kata dia.
Pembobolan dan Fraud
Pertanyaan
berikutnya yang paling sering muncul terkait pengelolaan bank adalah mengenai
pembobolan bank. Sejak 2012, saat OJK beroperasi, pembobolan bank mulai banyak
bermunculan –meskipun bukan berarti sebelumnya tidak ada. Bahkan setahun
sebelum itu, muncul kasus menghebohkan ketika bank sekelas Citibank bisa
dibobol oleh pegawainya sendiri di layanan khusus nasabah kaya. Juga kasus
Kepala Cabang Bank Mega yang menilep uang PT Elnusa setelah kongkalikong dengan
pejabat perusahaan itu.
Setelah
itu, pembobolan bank atau praktik fraud
di perbankan masih kerap terjadi. Bahkan yang terbaru adalah pembobolan Bank
BTN oleh karyawannya sendiri. Modusnya adalah pemalsuan bilyet deposito oleh
oknum karyawan yang dipakai untuk menawarkan produk deposito dan beroperasi di
luar sistem perseroan.
Pembobolan
dan fraud memang masih menjadi
ancaman konkret perbankan setiap saat. Parahnya lagi, kejahatan ini hampir
selalu terjadi dan dilakukan oleh orang dalam, atau minimal ada bantuan dari
pegawai bank itu sendiri. Hal itu diakui oleh Direktur Pengawasan Bank OJK
Anung Herlianto. “Kasus pembobolan itu 90 persen selalu melibatkan orang dalam
atau terjadi karena adanya peran orang dalam yang mengetahui celah dalam
sistem,” kata dia.
Akan
tetapi hal itu bukan satu-satunya faktor penentu munculnya fraud atau pencurian uang di bank, karena nasabah sendiri sejatinya
memiliki peran di dalamnya. Selain dilakukan oleh orang dalam, kata Anung,
kebanyakan kasus fraud tersebut juga
didukung oleh kurang pedulinya para nasabah dalam mengelola dana yang
didepositokan dan terlalu percaya dengan pihak perbankan. “Kasus fraud di banyak bank terjadi karena nasabah
malas berhubungan dengan administrasi bank. Lalu ada pegawai bank yang
memanfaatkan hal itu. Jadinya duit nasabah dikelola orang lain,” kata Anung.
Memang
sulit untuk menghilangkan praktik fraud
atau zero defect di perbankan. Meski
begitu untuk mengikis jumlahnya OJK mendesak bank untuk selalu membenahi
pengawasan internal. Tahun lalu, lembaga itu sudah melansir aturan tegas
mengenai sistem pengendalian internal bank. Dalam aturan POJK NO 18 tahun 2016
itu, bank wajib melaksanakan sistem pengendalian internal secara efektif
terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan
operasional pada seluruh jenjang organisasi bank.
Pelaksanaan sistem tersebut paling tidak harus
mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan
yang terjadi.
Pada
pasal 14 dalam aturan tersebut, sistem pengendalian internal wajib memastikan
kepatuhan terhadap peraturan dan perundangundangan serta kebijakan atau
ketentuan internal bank serta efektivitas budaya risiko (risk culture) pada organisasi bank secara menyeluruh.
Yang
tidak boleh dinafikan juga adalah dampak negatif dari perkembangan inovasi
keuangan yang terus bergulir kencang hingga sekarang. Seperti terlihat pada
fenomena financial technology
(fintech) terlihat terus berlari bahkan lebih cepat dari regulasi yang ada. Nah, di sinilah perlunya sosok kepala
pengawas perbankan yang mumpuni dalam pengetahuan dan praktik mengenai gabungan
dari teknologi dan juga keuangan.
“Anggota
DK-OJK yang menjabat saat ini sudah melakukan upaya yang baik dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan. Yang perlu ditingkatkan adalah kecepatan OJK dalam
membuat regulasi dan melakukan pengawasan terhadap inovasi-inovasi keuangan
baru, misalnya fintech,” Eric Alexander Sugandi, Chief Economist di SIGC (SKHA
Institute for Global Competitiveness).
Ditambahkan
dia, anggota DK-OJK yang baru juga harus meningkatkan kemampuan personil OJK
dan rekrutmen tenaga profesional berpengalaman dari pasar finansial dan lembaga
keuangan untuk menjadi regulator dengan seleksi yang ketat.
(dipublikasikan April-Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar