Rabu, 27 September 2017

Skil Komplet untuk Sektor Krusial

Risiko sistemik, praktik fraud dan juga pembobolan akan tetap menjadi perhatian utama otoritas pada sektor perbankan. Dibutuhkan komisioner yang mumpuni tidak hanya dalam bidang perbankan, namun juga manajemen risiko, makroekonomi, sekaligus  teknologi.


Sektor perbankan tetap menjadi concern utama Otoritas Jasa Keuangan ketika dibentuk lima tahun lalu dan diserahi tanggung jawab untuk memastikan industri dijalankan dengan manajemen risiko dan tata kelola yang baik. Meskipun pada saat berdiri tahun 2012, sektor perbankan belum berada di bawah pengawasan OJK dan baru Januari 2014 sektor itu masuk pengawasan lembaga itu.
Perhatian besar dari otoritas itu tidak berlebihan mengingat sektor tersebut masih mendominasi perekonomian Indonesia. Jika sektor itu terganggu tentu ekonomi secara keseluruhan akan terkena dampaknya. Pemerintah –yang menggagas pembentukan OJK, tentu tidak menginginkan hal itu.
Hingga akhir tahun 2016, aset perbankan mencapai Rp6.839 triliun sedangkan aset di industri keuangan nonbank jika semua disatukan hanya seperlimanya yaitu Rp1.827 triliun. Bahkan jika dibandingkan dengan kapitalisasi pasar di bursa saham pada 27 Maret 2017 yang sebesar Rp6.050, aset perbankan masih lebih besar.
                Oleh karena itu, ketika periode pertama tugas OJK menjelang berakhir dan ketika periode kedua akan diisi –hampir semua– oleh  orang-orang baru, publik pantas gelisah. Sederet pertanyaan pun mengemuka mengenai bagaimana kabinet baru otoritas yang menjadi lembaga super-power di sektor keuangan ini akan bekerja.
Pertanyaan utama yang dilontarkan publik adalah mengenai apakah ekonomi akan kisruh jika sektor perbankan guncang atau salah satu bank besar tiba-tiba harus tutup. Risiko sistemik memang menjadi perhatian otoritas, bahkan sejak pengawasan bank dipegang Bank Indonesia.
OJK telah meminta 12 bank besar yang dinilai bisa mengganggu perekonomian jika mereka tutup untuk menyusun rencana aksi (recovery plan). Permintaan itu tercantum dalam peraturan yang diterbitkan awal April sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Peraturan tersebut memberikan kejelasan dan ketegasan dalam penerapan kebijakan penanganan krisis di sektor keuangan.
“UU PPKSK ini memberikan landasan hukum bagi OJK dan lembaga atau otoritas lain untuk menangani stabilitas sistem keuangan serta melakukan tindakan dalam upaya mengatasi permasalahan stabilitas sistem keuangan berdasarkan tugas dan kewenangannya," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad.
Recovery plan itu harus memasukkan rencana dan strategi perbankan menghadapi serta mengantisipasi kesulitan keuangan, likuiditas, juga permodalan. Kewajiban pembuatan recovery plan itu dikenakan kepada bank-bank yang termasuk dalam kategori bank sistemik atau domestic systematically important bank (DSIB). Target yang diberikan oleh OJK adalah hingga 31 Desember 2017.
Bank sistemik merupakan bank-bank yang memiliki aset besar dan anak usaha yang terinterkoneksi. Bank-bank tersebut harus diawasi lebih ketat agar ketika krisis bank tersebut tidak jatuh dan membahayakan perekonomian Indonesia.
OJK telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan daya tahan sektor jasa keuangan. Misalnya mengeluarkan ketentuan terkait capital surcharge untuk bank-bank sistemik dan Peraturan OJK tentang penyediaan Modal Minimum Bank Umum, yang mewajibkan bank menyediakan capital conservation buffer, dan countercyclical buffer.
Dari sisi pengawasan, OJK juga meningkatkan kapasitas surveillance, sehingga dapat mengukur secara tepat kondisi sektor jasa keuangan dan memprediksi potensi tekanan di masa mendatang melalui early-warning system (EWS). Serta penggunaan berbagai alat ukur yang tepat dalam mendukung pengambilan keputusan terkait langkah-langkah antisipatif yang perlu dilakukan.
Menurut Abra PG Talattov, peneliti dari Indef, sebuah think tank ekonomi terkemuka di Indonesia, terkait risiko sistemik, OJK tidak boleh lengah sedikit pun terhadap gejala (symptom) risiko krisis di sektor keuangan itu sendiri, terutama dengan semakin terintegrasinya produk-produk investasi baik antar sektor (perbankan dan nonperbankan) maupun antar negara. “Jangan sampai ada celah atau loopholes terjadinya kecurangan dari pelaku sektor keuangan yang mengakibatkan krisis,” kata dia.

Pembobolan dan Fraud
                Pertanyaan berikutnya yang paling sering muncul terkait pengelolaan bank adalah mengenai pembobolan bank. Sejak 2012, saat OJK beroperasi, pembobolan bank mulai banyak bermunculan –meskipun bukan berarti sebelumnya tidak ada. Bahkan setahun sebelum itu, muncul kasus menghebohkan ketika bank sekelas Citibank bisa dibobol oleh pegawainya sendiri di layanan khusus nasabah kaya. Juga kasus Kepala Cabang Bank Mega yang menilep uang PT Elnusa setelah kongkalikong dengan pejabat perusahaan itu.
                Setelah itu, pembobolan bank atau praktik fraud di perbankan masih kerap terjadi. Bahkan yang terbaru adalah pembobolan Bank BTN oleh karyawannya sendiri. Modusnya adalah pemalsuan bilyet deposito oleh oknum karyawan yang dipakai untuk menawarkan produk deposito dan beroperasi di luar sistem perseroan.
                Pembobolan dan fraud memang masih menjadi ancaman konkret perbankan setiap saat. Parahnya lagi, kejahatan ini hampir selalu terjadi dan dilakukan oleh orang dalam, atau minimal ada bantuan dari pegawai bank itu sendiri. Hal itu diakui oleh Direktur Pengawasan Bank OJK Anung Herlianto. “Kasus pembobolan itu 90 persen selalu melibatkan orang dalam atau terjadi karena adanya peran orang dalam yang mengetahui celah dalam sistem,” kata dia.
                Akan tetapi hal itu bukan satu-satunya faktor penentu munculnya fraud atau pencurian uang di bank, karena nasabah sendiri sejatinya memiliki peran di dalamnya. Selain dilakukan oleh orang dalam, kata Anung, kebanyakan kasus fraud tersebut juga didukung oleh kurang pedulinya para nasabah dalam mengelola dana yang didepositokan dan terlalu percaya dengan pihak perbankan. “Kasus fraud di banyak bank terjadi karena nasabah malas berhubungan dengan administrasi bank. Lalu ada pegawai bank yang memanfaatkan hal itu. Jadinya duit nasabah dikelola orang lain,” kata Anung.
                Memang sulit untuk menghilangkan praktik fraud atau zero defect di perbankan. Meski begitu untuk mengikis jumlahnya OJK mendesak bank untuk selalu membenahi pengawasan internal. Tahun lalu, lembaga itu sudah melansir aturan tegas mengenai sistem pengendalian internal bank. Dalam aturan POJK NO 18 tahun 2016 itu, bank wajib melaksanakan sistem pengendalian internal secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan
operasional pada seluruh jenjang organisasi bank. Pelaksanaan sistem tersebut paling tidak harus
mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi.
                Pada pasal 14 dalam aturan tersebut, sistem pengendalian internal wajib memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan perundangundangan serta kebijakan atau ketentuan internal bank serta efektivitas budaya risiko (risk culture) pada organisasi bank secara menyeluruh.
                Yang tidak boleh dinafikan juga adalah dampak negatif dari perkembangan inovasi keuangan yang terus bergulir kencang hingga sekarang. Seperti terlihat pada fenomena financial technology (fintech) terlihat terus berlari bahkan lebih cepat dari regulasi yang ada. Nah, di sinilah perlunya sosok kepala pengawas perbankan yang mumpuni dalam pengetahuan dan praktik mengenai gabungan dari teknologi dan juga keuangan.
                “Anggota DK-OJK yang menjabat saat ini sudah melakukan upaya yang baik dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Yang perlu ditingkatkan adalah kecepatan OJK dalam membuat regulasi dan melakukan pengawasan terhadap inovasi-inovasi keuangan baru, misalnya fintech,” Eric Alexander Sugandi, Chief Economist di SIGC (SKHA Institute for Global Competitiveness).
                Ditambahkan dia, anggota DK-OJK yang baru juga harus meningkatkan kemampuan personil OJK dan rekrutmen tenaga profesional berpengalaman dari pasar finansial dan lembaga keuangan untuk menjadi regulator dengan seleksi yang ketat.
(dipublikasikan April-Mei 2017)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar