Rabu, 27 September 2017

Menyiapkan Pendorong Ekonomi Digital

Praktik digital dalam bidang ekonomi sudah tidak bisa dibendung lagi. Otoritas sudah seharusnya merespons dengan menyiapkan aturan agar transaksi digital bisa berpengaruh positif pada ekonomi Indonesia.


Ekonomi digital yang sebelumnya masih belum dipahami, kini seolah sudah menjadi praktik sehari-hari. Hampir semua pihak sudah menganggap praktik ini tidak bisa lagi dianggap hanya urusan sektor teknologi semata.
Bahkan berdasarkan publikasi McKinsey Global Institute pada 2016, ekonomi digital memberikan kontribusi sebesar 22 persen terhadap output ekonomi global. Selain itu, dikatakan bahwa aplikasi teknologi digital diperkirakan akan meningkatkan PDB global sebesar 2 trilliun dollar AS pada tahun 2020.
Sayangnya, pemanfaatan ekonomi digital di Indonesia sendiri sampai saat ini masih belum optimal. Seperti dilaporkan Asian Development Bank pada 2016 bahwa kontribusi perdagangan elektronik (e-commerce) pada pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kurang dari 1 persen. Sangat minim jika dibandingkan dengan Tiongkok yang kontribusi e-commerce-nya mencapai 9-10 persen.
Otoritas sektor keuangan, sebagai salah satu pihak yang paling concern dengan praktik ekonomi digital, akan tetapi tidaklah berdiam diri. Sejak setahun belakangan, lembaga itu mencari cara untuk membuat praktik digital itu tumbuh di satu pihak, namun tidak memberikan ancaman kepada ekonomi di pihak lain.
Yang terbaru, Otoritas Jasa Keuangan berjanji akan merilis sebuah peraturan baru terkait pihak-pihak yang memiliki bisnis pada bidang ekonomi digital terutama di bidang pembayaran dan pinjam meminjam atau biasa disebut dengan perusahaan fintech. Nantinya aturan tersebut akan fokus mengatur mengenai perusahaan fintech yang bisa menyalurkan pendanaan ke masyarakat dari kas internalnya sendiri atau on balance sheet.
Sebelumnya, lembaga itu sudah merilis aturan mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang diterbitkan akhir 2016 lalu. Regulasi itu  diterbitkan khusus untuk mengatur fintech berbasis peer to peer lending alias usaha fintech yang melakukan penyaluran modal dari pemilik modal ke penerima dana.
"Targetnya (peraturan baru terbit) sebelum saya mengakhiri tugas saya di Dewan Komisioner OJK. Mudah-mudahan April-Mei bisa selesai," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Firdaus Djaelani.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK, lembaga itu sudah menyiapkan regulasi terkait ekonomi digital. Institusi tersebut bahkan membentuk “Tim Pengembangan Inovasi Digital Ekonomi dan Keuangan” yang terdiri dari gabungan sejumlah satuan kerja di OJK untuk mengkaji dan mempelajari perkembangan fintech dan menyiapkan peraturan, serta strategi pengembangannya.
“OJK secara intensif terus mempelajari perkembangan fenomena fintech ini, agar OJK dapat mengawal evolusi ekonomi ini supaya mampu mendukung perkembangan industri jasa keuangan ke depan dan terus menjamin perlindungan konsumen,” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto, di Jakarta.
Kehadiran fintech, bagi OJK sebagai otoritas jasa keuangan merupakan peluang untuk terus meningkatkan perkembangan sektor tersebut terutama untuk mendorong program inklusi keuangan. akan tetapi sebagai lembaga pengawas OJK juga harus memastikan keandalan, efisiensi dan keamanan dari transaksi online agar tidak merugikan konsumen.
Rencana tersebut antara lain peluncuran Fintech Innovation Hub sebagai sentra pengembangan dan menjadi one stop contact Fintech nasional untuk berhubungan dan bekerja sama dengan institusi dan lembaga yang menjadi pendukung ekosistem keuangan digital. Selain itu menindaklanjuti perjanjian bersama Kominfo, OJK menyiapkan Certificate Authority (CA) di sektor jasa keuangan.
CA sebagai penerbit sertifikat suatu tanda tangan digital pelaku jasa keuangan, dapat menjamin bahwa suatu transaksi elektronik yang ditandatangani secara digital telah diamankan dan berkekuatan hukum sesuai ketentuan yang ada di Indonesia.
Rencana lainnya adalah penerbitan Sandbox Regulatory untuk fintech. Peraturan ini mengatur hal-hal yang minimal agar tumbuh kembang fintech memiliki landasan hukum untuk menarik investasi, efisiensi, melindungi kepentingan konsumen dan tumbuh berkelanjutan.
Selain OJK, bank sentral juga tidak kalah sigap dalam menyikapi perkembangan ekonomi digital. Pada akhir tahun lalu, Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran bahkan sudah meresmikan fintech office, untuk mendukung perkembangan transaksi keuangan berbasis teknologi.
Menurut BI, fintech office didirikan dengan empat tujuan utama. Pertama, memfasilitasi perkembangan inovasi dalam ekosistem keuangan berbasis teknologi di Indonesia. Kedua, mempersiapkan Indonesia untuk mengoptimalkan perkembangan teknologi dalam rangka pengembangan perekonomian. Ketiga, meningkatkan daya saing industri keuangan berbasis teknologi Indonesia. Keempat, menyerap informasi dan memberikan umpan balik untuk mendukung perumusan kebijakan Bank Indonesia, sebagai respons terhadap perkembangan berbasis teknologi. 
Untuk mencapai tujuan utama tersebut, fintech office akan beroperasi dengan empat fungsi, yaitu fungsi katalisator atau fasilitator, fungsi business intelligence, fungsi asesmen, serta fungsi koordinasi dan komunikasi. “Bank Indonesia Fintech Office dilengkapi pula dengan regulatory sandbox, yang memungkinkan unit usaha fintech melakukan kegiatan secara terbatas, tentunya setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,” kata Direktur Department Komunikasi BI, Arbonas Hutabarat, dalam pernyataan resminya.

Respons Pemerintah

Respons yang sigap tidak hanya ditunjukkan oleh otoritas keuangan, pemerintah daerah pun tidak mau ketinggalan untuk memanfaatkan perkembangan ekonomi digital. Salah satunya, adalah Kotamadya Bandung, Jawa Barat. Kota yang terkenal akan kreatifitasnya ini sudah terlebih dahulu memproklamirkan diri sebagai kota yang ramah digital. 
Sejak 2011, kota tersebut telah menginisiasi pembentukan Bandung Digital Valley (BDV) yang memang terinspirasi konsep Sillicon Valley yang ada di Amerika Serikat yang menjadi lokasi tempat bernaungnya perusahaan-perusahaan IT terkemuka dunia, seperti Google.
“Keunggulan kompetitif masyarakat bukan karena penguasaan terhadap sumber daya alam, melainkan ditentukan oleh kemampuan mengolah sumber daya buatan,” demikian sambutan tertulis Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil pada Lokakarya dan Jaring Masukan Daerah Peluang dan Tantangan Pengembangan Ekonomi Digital di Indonesia, Kamis (9/3) di Bandung, Jawa Barat.
Hal itulah yang mendorong Bandung yang secara faktual tidak memiliki sumber daya alam berlimpah memilih untuk menguatkan sumber daya manusia dan berorientasi pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Konsep ekonomi kreatif ini menjadikan Bandung sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan eknomi terbaik di Indonesia, yakni sebesar 8,5 persen di akhir tahun 2015.
                Pemerintah sendiri tengah menyiapkan roadmap pengembangan e-commerce di Indonesia agar dapat membantu menciptakan ekosistem yang mendukung guna terwujudnya 1.000 technopreneurs dan mendongkrak nilai e-commerce Indonesia sebesar 130 milliar dollar AS di tahun 2020.
                Tahun lalu, pemerintah telah mengumumkan akan menerbitkan aturan mengenai peta jalan perdagangan elektronik. Melalui Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin nasution, pemerintah berjanji akan memberikan kepastian dan kemudahan berusaha dalam memanfaatkan e-commerce dengan menyediakan arah dan panduan strategis untuk mempercepat pelaksanaan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik pada periode 2016-2019.
Kebijakan ini nantinya akan mengutamakan dan melindungi kepentingan nasional, khususnya terhadap UMKM serta pelaku usaha pemula (start-up). Selain itu, juga mengupayakan peningkatan keahlian sumber daya manusia pelaku e-commerce. Kebijakan ini akan menjadi acuan bagi Pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dalam menetapkan atau menyesuaikan kebijakan sektoral demi pengembangan e-commerce.
“Selama ini kita memang belum memiliki peta jalan pengembangan e-commerce nasional yang menjadi acuan pemangku kepentingan, di samping adanya berbagai peraturan/ketentuan yang tidak mendorong tumbuh kembangnya e-commerce,” kata Darmin.
Sementara itu, di tataran internasional, pembahasan ekonomi digital semakin bergulir, diantaranya di forum G20, WTO dan APEC. Diskursus di WTO yang pada saat ini fokus kepada pembahasan moratorium pengenaan bea masuk bagi bisnis e-commerce juga menjadi pekerjaan rumah bagi setiap anggota dalam konteks perundingan di WTO.
(dipublikasikan Maret-April 2017)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar