Praktik digital dalam bidang ekonomi sudah tidak bisa
dibendung lagi. Otoritas sudah seharusnya merespons dengan menyiapkan aturan
agar transaksi digital bisa berpengaruh positif pada ekonomi Indonesia.
Ekonomi digital yang sebelumnya masih belum dipahami, kini
seolah sudah menjadi praktik sehari-hari. Hampir semua pihak sudah menganggap
praktik ini tidak bisa lagi dianggap hanya urusan sektor teknologi semata.
Bahkan berdasarkan publikasi
McKinsey Global Institute pada 2016, ekonomi digital memberikan kontribusi
sebesar 22 persen terhadap output ekonomi global. Selain itu, dikatakan bahwa
aplikasi teknologi digital diperkirakan akan meningkatkan PDB global sebesar 2
trilliun dollar AS pada tahun 2020.
Sayangnya, pemanfaatan ekonomi
digital di Indonesia sendiri sampai saat ini masih belum optimal. Seperti
dilaporkan Asian Development Bank pada 2016 bahwa kontribusi perdagangan
elektronik (e-commerce) pada
pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kurang dari 1 persen. Sangat minim jika dibandingkan
dengan Tiongkok yang kontribusi e-commerce-nya
mencapai 9-10 persen.
Otoritas sektor keuangan, sebagai
salah satu pihak yang paling concern
dengan praktik ekonomi digital, akan tetapi tidaklah berdiam diri. Sejak
setahun belakangan, lembaga itu mencari cara untuk membuat praktik digital itu
tumbuh di satu pihak, namun tidak memberikan ancaman kepada ekonomi di pihak
lain.
Yang terbaru, Otoritas Jasa
Keuangan berjanji akan merilis sebuah peraturan baru terkait pihak-pihak yang
memiliki bisnis pada bidang ekonomi digital terutama di bidang pembayaran dan
pinjam meminjam atau biasa disebut dengan perusahaan fintech. Nantinya aturan
tersebut akan fokus mengatur mengenai perusahaan fintech yang bisa menyalurkan
pendanaan ke masyarakat dari kas internalnya sendiri atau on balance sheet.
Sebelumnya, lembaga itu sudah
merilis aturan mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi yang diterbitkan akhir 2016 lalu. Regulasi itu diterbitkan khusus untuk mengatur fintech
berbasis peer to peer lending alias
usaha fintech yang melakukan penyaluran modal dari pemilik modal ke penerima
dana.
"Targetnya (peraturan baru
terbit) sebelum saya mengakhiri tugas saya di Dewan Komisioner OJK. Mudah-mudahan
April-Mei bisa selesai," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan
Non Bank OJK Firdaus Djaelani.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 Tentang OJK, lembaga itu sudah menyiapkan regulasi terkait
ekonomi digital. Institusi tersebut bahkan membentuk “Tim Pengembangan Inovasi
Digital Ekonomi dan Keuangan” yang terdiri dari gabungan sejumlah satuan kerja
di OJK untuk mengkaji dan mempelajari perkembangan fintech dan menyiapkan
peraturan, serta strategi pengembangannya.
“OJK secara intensif terus
mempelajari perkembangan fenomena fintech ini, agar OJK dapat mengawal evolusi
ekonomi ini supaya mampu mendukung perkembangan industri jasa keuangan ke depan
dan terus menjamin perlindungan konsumen,” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner
OJK Rahmat Waluyanto, di Jakarta.
Kehadiran fintech, bagi OJK
sebagai otoritas jasa keuangan merupakan peluang untuk terus meningkatkan
perkembangan sektor tersebut terutama untuk mendorong program inklusi keuangan.
akan tetapi sebagai lembaga pengawas OJK juga harus memastikan keandalan,
efisiensi dan keamanan dari transaksi online agar tidak merugikan konsumen.
Rencana tersebut antara lain
peluncuran Fintech Innovation Hub sebagai sentra pengembangan dan menjadi one
stop contact Fintech nasional untuk berhubungan dan bekerja sama dengan
institusi dan lembaga yang menjadi pendukung ekosistem keuangan digital. Selain
itu menindaklanjuti perjanjian bersama Kominfo, OJK menyiapkan Certificate
Authority (CA) di sektor jasa keuangan.
CA sebagai penerbit sertifikat
suatu tanda tangan digital pelaku jasa keuangan, dapat menjamin bahwa suatu
transaksi elektronik yang ditandatangani secara digital telah diamankan dan
berkekuatan hukum sesuai ketentuan yang ada di Indonesia.
Rencana lainnya adalah penerbitan
Sandbox Regulatory untuk fintech. Peraturan ini mengatur hal-hal yang minimal
agar tumbuh kembang fintech memiliki landasan hukum untuk menarik investasi,
efisiensi, melindungi kepentingan konsumen dan tumbuh berkelanjutan.
Selain OJK, bank sentral juga
tidak kalah sigap dalam menyikapi perkembangan ekonomi digital. Pada akhir
tahun lalu, Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran bahkan sudah
meresmikan fintech office, untuk mendukung perkembangan transaksi keuangan
berbasis teknologi.
Menurut BI, fintech office didirikan dengan empat tujuan utama. Pertama, memfasilitasi perkembangan
inovasi dalam ekosistem keuangan berbasis teknologi di Indonesia. Kedua, mempersiapkan Indonesia untuk
mengoptimalkan perkembangan teknologi dalam rangka pengembangan perekonomian. Ketiga, meningkatkan daya saing industri
keuangan berbasis teknologi Indonesia. Keempat,
menyerap informasi dan memberikan umpan balik untuk mendukung perumusan
kebijakan Bank Indonesia, sebagai respons terhadap perkembangan berbasis
teknologi.
Untuk mencapai tujuan utama
tersebut, fintech office akan
beroperasi dengan empat fungsi, yaitu fungsi katalisator atau fasilitator,
fungsi business intelligence, fungsi asesmen, serta fungsi koordinasi dan
komunikasi. “Bank Indonesia Fintech Office dilengkapi pula dengan regulatory
sandbox, yang memungkinkan unit usaha fintech melakukan kegiatan secara
terbatas, tentunya setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia,” kata Direktur Department Komunikasi BI, Arbonas Hutabarat, dalam
pernyataan resminya.
Respons Pemerintah
Respons yang sigap tidak hanya
ditunjukkan oleh otoritas keuangan, pemerintah daerah pun tidak mau ketinggalan
untuk memanfaatkan perkembangan ekonomi digital. Salah satunya, adalah
Kotamadya Bandung, Jawa Barat. Kota yang terkenal akan kreatifitasnya ini sudah
terlebih dahulu memproklamirkan diri sebagai kota yang ramah digital.
Sejak 2011, kota tersebut telah
menginisiasi pembentukan Bandung Digital Valley (BDV) yang memang terinspirasi
konsep Sillicon Valley yang ada di Amerika Serikat yang menjadi lokasi tempat
bernaungnya perusahaan-perusahaan IT terkemuka dunia, seperti Google.
“Keunggulan kompetitif masyarakat
bukan karena penguasaan terhadap sumber daya alam, melainkan ditentukan oleh
kemampuan mengolah sumber daya buatan,” demikian sambutan tertulis Wali Kota
Bandung, Ridwan Kamil pada Lokakarya dan Jaring Masukan Daerah Peluang dan
Tantangan Pengembangan Ekonomi Digital di Indonesia, Kamis (9/3) di Bandung,
Jawa Barat.
Hal itulah yang mendorong Bandung
yang secara faktual tidak memiliki sumber daya alam berlimpah memilih untuk
menguatkan sumber daya manusia dan berorientasi pada pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi. Konsep ekonomi kreatif ini menjadikan Bandung sebagai
salah satu kota dengan pertumbuhan eknomi terbaik di Indonesia, yakni sebesar
8,5 persen di akhir tahun 2015.
Pemerintah
sendiri tengah menyiapkan roadmap
pengembangan e-commerce di Indonesia
agar dapat membantu menciptakan ekosistem yang mendukung guna terwujudnya 1.000
technopreneurs dan mendongkrak nilai e-commerce
Indonesia sebesar 130 milliar dollar AS di tahun 2020.
Tahun
lalu, pemerintah telah mengumumkan akan menerbitkan aturan mengenai peta jalan
perdagangan elektronik. Melalui Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin
nasution, pemerintah berjanji akan memberikan kepastian dan kemudahan berusaha
dalam memanfaatkan e-commerce dengan menyediakan arah dan panduan strategis
untuk mempercepat pelaksanaan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik
pada periode 2016-2019.
Kebijakan ini nantinya akan
mengutamakan dan melindungi kepentingan nasional, khususnya terhadap UMKM serta
pelaku usaha pemula (start-up).
Selain itu, juga mengupayakan peningkatan keahlian sumber daya manusia pelaku
e-commerce. Kebijakan ini akan menjadi acuan bagi Pemerintah serta pemangku
kepentingan lainnya dalam menetapkan atau menyesuaikan kebijakan sektoral demi
pengembangan e-commerce.
“Selama ini kita memang belum
memiliki peta jalan pengembangan e-commerce nasional yang menjadi acuan
pemangku kepentingan, di samping adanya berbagai peraturan/ketentuan yang tidak
mendorong tumbuh kembangnya e-commerce,” kata Darmin.
Sementara itu, di tataran
internasional, pembahasan ekonomi digital semakin bergulir, diantaranya di
forum G20, WTO dan APEC. Diskursus di WTO yang pada saat ini fokus kepada
pembahasan moratorium pengenaan bea masuk bagi bisnis e-commerce juga menjadi pekerjaan rumah bagi setiap anggota dalam
konteks perundingan di WTO.
(dipublikasikan Maret-April 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar