Selasa, 11 Agustus 2015

Di Bawah Bayang-Bayang Krisis

Pelemahan ekonomi yang terus berlanjut, ditambah dengan nilai tukar yang terus melorot menambah kecemasan akan datangnya krisis. Meski begitu, otoritas masih meyakinkan bahwa krisis masih jauh dan jika datang pun mereka sudah siap.

Tidak perlu bersusah payah untuk menyimpulkan bahwa perekonomian Indonesia berada dalam tekanan dan menuju pelemahan. Tak banyak yang bisa dibanggakan dari perkembangan indikator-indikator yang terjadi hingga saat ini.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua tahun ini yang kembali melemah menjadi 4,67 persen menambah daftar tekanan pada perekonomian. Padahal triwulan sebelumnya, pertumbuhan hanya mencapai 4,71 persen yang merupakan angka terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Nilai tukar rupiah, indikator lainnya, tak pernah meninggalkan level 13.000 dan melanjutkan pelemehannya hingga memasuki semester kedua ini. Ironisnya, depresiasi tersebut tidak menolong merangsang ekspor karena angkanya tetap turun hingga akhir semester pertama.
Industri perbankan sebagai pembawa aliran darah pada perekonomian pun mengalami tekanan melalui pelemahan kredit, peningkatan rasio kredit bermasalah yang berujung pada mengempisnya profit.
Akan tetapi Indonesia termasuk anak baru dalam hal pelemahan perekonomian yang hampir menyeluruh, setidaknya dalam sepuluh tahun belakangan. Dunia sudah sejak 2007 sudah mengalami pelemahan, bahkan di antara negara-negara di dunia banyak yang jalan di tempat bahkan mengalami kemunduran dan resesi.
Menurut laporan IMF, pada 2015, untuk pertama kalinya sejak tahun 2007 negara-negara ekonomi maju akan mulai berekspansi. Pertumbuhan negara kaya akan melebihi 2 persen untuk pertama kalinya sejak 2010 di saat kemungkinan bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga dari rekor terendahnya. Dunia, meski demikian, masih akan terancam oleh saga utang Yunani dan gejola pasar modal di China. Perekonomian global hingga saat ini pun masih diselimuti oleh kerapuhan.
Bank Indonesia, tidak menutupi bahwa kondisi perekonomian global masih akan mengancam ekonomi dalam negeri. Menurut keterangan resmi bank sentral, pertumbuhan ekonomi global masih memperlihatkan kecenderungan yang bias ke bawah dari perkiraan semula, di tengah pasar keuangan global yang masih diliputi ketidakpastian. “Kecenderungan bias ke bawah tersebut terutama disebabkan oleh perkiraan ekonomi AS yang tidak setinggi perkiraan semula dan ekonomi China yang masih melambat,” kata keterangan tersebut.
Meski terdapat indikasi awal perbaikan, secara umum perekonomian AS diperkirakan akan lebih rendah dari proyeksi semula. Sementara itu, perekonomian China, dinilai BI, masih melambat, walaupun beberapa indikator moneter mulai memperlihatkan perbaikan sejalan dengan berbagai kebijakan pelonggaran yang ditempuh.
Sebaliknya, perekonomian Eropa membaik, ditopang oleh permintaan domestik yang meningkat di tengah bergulirnya krisis Yunani. “Di pasar keuangan global, ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed, ketidakpastian krisis Yunani, serta anjloknya harga saham di Tiongkok menunjukkan bahwa risiko di pasar keuangan global masih tinggi,” kata BI.

Nilai Tukar
Pada sisi nilai tukar, sejak awal tahun ini hampir tidak ada penguatan pada mata uang rupiah jika berhadapan dengan dollar AS. Bahkan akhir-akhir ini kecenderungan pelemahan makin sering terjadi. Sampai awal Agustus, rupiah diperdagangkan pada level 13.500-an berdasarkan kurs transaksi BI.
Pelemahan rupiah yang berkepanjangan tentu akan membawa ekonomi pada trauma tahun 1997-1998 ketika krisis moneter menerpa Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah hingga level Rp 15.000 per dollar AS akan menghantam perbankan. Setidaknya akan ada lima bank nasional yang akan terhuyung-huyung.
Hal itu didasarkan hasil uji tekanan (stress test) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan. "Depresiasi rupiah terhadap dollar AS jika sampai Rp 15.000 per dollar AS akan meng-hit (menghantam) permodalan satu hingga lima bank nasional," ujar Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Irwan Lubis.
Sehubungan dengan hasil tesebut OJK sudah memanggil manajemen bank yang kinerjanya berpotensi terganggu oleh pelemahan rupiah. "(Tetapi) Kalau rupiahnya Rp 14.000 per dollar AS, bank-bank di sini masih oke," kata Irwan.
Irwan menambahkan, jika depresiasi rupiah menembus Rp 15.000 per dollar AS, maka kondisi tersebut akan mengganggu stabilitas makro ekonomi. Variabel pertumbuhan ekonomi dinilai akan mengalami penurunan, mengikuti pelemahan rupiah.
Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan hingga akhir Januari 2015 tercatat sebesar 21,01 persen, naik dibandingkan Desember 2014 yang mencapai 19,57 persen. Menurut Irwan, peningkatan tersebut disebabkan oleh membesarnya jumlah laba yang ditahan oleh bank. Rasio tersebut juga dinilai masih jauh lebih tinggi dari batas normal yang sebesar 14 persen.

Krisis?
Menurut kesepakatan ekonom-ekonom dunia, krisis moneter suatu negara bisa dilihat dari banyaknya modal asing yang masuk ke dalam sektor keuangan negara tersebut. Tahap pertama krisis ditandai dengan membanjirnya modal asing ke perbankan dan tahap kedua modal asing masuk tidak lagi melalui perbankan, tetapi juga sudah membanjiri pasar modal.
Pada tahap ketiga, dan yang bisa membawa pada krisis moneter adalah ketika modal-modal asing tersebut hengkang dari sebuah negara.
Saat ini, Indonesia sudah berada di fase kedua yang mana modal asing masuk tidak lagi melalui perbankan, tetapi juga sudah membanjiri pasar modal. Sekitar 60 persen saham asing yang beredar di pasar modal nasional dan surat berharga negara sudah 40 persen dikuasai oleh asing. “Artinya, jika investor asing suatu saat 'bermigrasi' dari Indonesia, bukan hal yang tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis moneter,” kata Kepala Departemen Pengembangan Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Imansyah suatu waktu.
Sementara itu, terkait dengan krisis utang Yunani, Indonesia tidak akan bisa lepas dari dampak negatifnya. Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, I Kadek Dian Sutrisna Artha, mengatakan krisis ekonomi Yunani dalam jangka pendek akan memberi dampak terhadap pasar keuangan global, terutama nilai tukar euro terhadap dollar AS yang menurun. Konsekuensinya, dollar AS kian kuat di dunia.
Di Indonesia, penguatan dollar AS mengakibatkan nilai tukar rupiah dan situasi itu, menurut Kadek, merugikan sektor riil Indonesia, terutama industri.
“Sebab, bahan baku bahkan barang modal industri domestik banyak tergantung impor. Dengan terdepresiasinya rupiah terhadap dolar AS, mengimpor bahan baku akan semakin mahal,” kata Kadek.

Antisipasi

Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menyatakan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah adalah cara mengelola krisis yang mungkin terjadi kapan saja. Pasalnya, otoritas yang mengatur jika krisis terjadi tidak lagi hanya berada di tangan Bank Indonesia, tetapi juga ada di tangan OJK.
''Dulu persoalan makro prudential dan mikro ada di tangan BI. Artinya, bank diatur dan diawasi BI.  Sekarang mikronya ada di OJK. Makronya di BI yang menyangkut moneter. Ini adalah batu ujian bagaimana bangsa ini mengelola krisis,'' kata Sigit.
Oleh karena itu, dia meminta pemerintah, BI, dan OJK untuk saling berkoordinasi sebelum krisis moneter terjadi dan mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
“'Harus ada UU JPSK. Kalau tidak, nanti begitu ada ancaman krisis, orang-orang yang mengambil keputusan akan diadili lagi secara politis, secara pidana. Kita melihat pengalaman 2008, dengan mengambil alih Bank Century,'' lanjutnya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto menuturkan saat ini sudah sering dilakukan koordinasi antar deputi dan pimpinan dalam lingkup BI, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Koordinasi itu dilakukan untuk saling berbagi informasi terkait situasi pasar dan respon pasar terhadap kebijakan otoritas yang ada.

Ia mengklaim koordinasi yang dilakukan selama ini sudah merupakan bentuk antisipasi terhadap krisis moneter yang tidak dapat diprediksi datangnya. ''Kita siap aja. Krisis itu bisa karena faktor domestik atau internasional. Saling berkaitan. Yang penting semua bersiap. Kita akan merumuskan kebijakan dalam rangka merespon kondisi market,” kata Rahmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar