Pelemahan ekonomi yang terus berlanjut, ditambah dengan
nilai tukar yang terus melorot menambah kecemasan akan datangnya krisis. Meski
begitu, otoritas masih meyakinkan bahwa krisis masih jauh dan jika datang pun
mereka sudah siap.
Tidak perlu bersusah payah untuk menyimpulkan bahwa
perekonomian Indonesia berada dalam tekanan dan menuju pelemahan. Tak banyak
yang bisa dibanggakan dari perkembangan indikator-indikator yang terjadi hingga
saat ini.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua tahun ini yang
kembali melemah menjadi 4,67 persen menambah daftar tekanan pada perekonomian.
Padahal triwulan sebelumnya, pertumbuhan hanya mencapai 4,71 persen yang
merupakan angka terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Nilai tukar rupiah, indikator lainnya, tak pernah
meninggalkan level 13.000 dan melanjutkan pelemehannya hingga memasuki semester
kedua ini. Ironisnya, depresiasi tersebut tidak menolong merangsang ekspor
karena angkanya tetap turun hingga akhir semester pertama.
Industri perbankan sebagai pembawa aliran darah pada
perekonomian pun mengalami tekanan melalui pelemahan kredit, peningkatan rasio
kredit bermasalah yang berujung pada mengempisnya profit.
Akan tetapi Indonesia termasuk anak baru dalam hal pelemahan
perekonomian yang hampir menyeluruh, setidaknya dalam sepuluh tahun belakangan.
Dunia sudah sejak 2007 sudah mengalami pelemahan, bahkan di antara
negara-negara di dunia banyak yang jalan di tempat bahkan mengalami kemunduran
dan resesi.
Menurut laporan IMF, pada 2015, untuk pertama kalinya sejak
tahun 2007 negara-negara ekonomi maju akan mulai berekspansi. Pertumbuhan
negara kaya akan melebihi 2 persen untuk pertama kalinya sejak 2010 di saat
kemungkinan bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga dari rekor
terendahnya. Dunia, meski demikian, masih akan terancam oleh saga utang Yunani
dan gejola pasar modal di China. Perekonomian global hingga saat ini pun masih
diselimuti oleh kerapuhan.
Bank Indonesia, tidak menutupi bahwa kondisi perekonomian
global masih akan mengancam ekonomi dalam negeri. Menurut keterangan resmi bank
sentral, pertumbuhan ekonomi global masih memperlihatkan kecenderungan yang
bias ke bawah dari perkiraan semula, di tengah pasar keuangan global yang masih
diliputi ketidakpastian. “Kecenderungan bias ke bawah tersebut terutama
disebabkan oleh perkiraan ekonomi AS yang tidak setinggi perkiraan semula dan
ekonomi China yang masih melambat,” kata keterangan tersebut.
Meski terdapat indikasi awal perbaikan, secara umum
perekonomian AS diperkirakan akan lebih rendah dari proyeksi semula. Sementara
itu, perekonomian China, dinilai BI, masih melambat, walaupun beberapa
indikator moneter mulai memperlihatkan perbaikan sejalan dengan berbagai
kebijakan pelonggaran yang ditempuh.
Sebaliknya, perekonomian Eropa membaik, ditopang oleh
permintaan domestik yang meningkat di tengah bergulirnya krisis Yunani. “Di
pasar keuangan global, ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed,
ketidakpastian krisis Yunani, serta anjloknya harga saham di Tiongkok
menunjukkan bahwa risiko di pasar keuangan global masih tinggi,” kata BI.
Nilai Tukar
Pada sisi nilai tukar, sejak awal
tahun ini hampir tidak ada penguatan pada mata uang rupiah jika berhadapan
dengan dollar AS. Bahkan akhir-akhir ini kecenderungan pelemahan makin sering
terjadi. Sampai awal Agustus, rupiah diperdagangkan pada level 13.500-an
berdasarkan kurs transaksi BI.
Pelemahan rupiah yang
berkepanjangan tentu akan membawa ekonomi pada trauma tahun 1997-1998 ketika
krisis moneter menerpa Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan,
pelemahan nilai tukar rupiah hingga level Rp 15.000 per dollar AS akan
menghantam perbankan. Setidaknya akan ada lima bank nasional yang akan
terhuyung-huyung.
Hal itu didasarkan hasil uji tekanan (stress test) yang
dilakukan Otoritas Jasa Keuangan. "Depresiasi rupiah terhadap dollar AS
jika sampai Rp 15.000 per dollar AS akan meng-hit (menghantam) permodalan satu
hingga lima bank nasional," ujar Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan
OJK Irwan Lubis.
Sehubungan dengan hasil tesebut OJK sudah memanggil
manajemen bank yang kinerjanya berpotensi terganggu oleh pelemahan rupiah. "(Tetapi)
Kalau rupiahnya Rp 14.000 per dollar AS, bank-bank di sini masih oke,"
kata Irwan.
Irwan menambahkan, jika depresiasi rupiah menembus Rp 15.000
per dollar AS, maka kondisi tersebut akan mengganggu stabilitas makro ekonomi.
Variabel pertumbuhan ekonomi dinilai akan mengalami penurunan, mengikuti
pelemahan rupiah.
Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan
hingga akhir Januari 2015 tercatat sebesar 21,01 persen, naik dibandingkan
Desember 2014 yang mencapai 19,57 persen. Menurut Irwan, peningkatan tersebut
disebabkan oleh membesarnya jumlah laba yang ditahan oleh bank. Rasio tersebut
juga dinilai masih jauh lebih tinggi dari batas normal yang sebesar 14 persen.
Krisis?
Menurut kesepakatan
ekonom-ekonom dunia, krisis moneter suatu negara bisa dilihat dari banyaknya
modal asing yang masuk ke dalam sektor keuangan negara tersebut. Tahap pertama
krisis ditandai dengan membanjirnya modal asing ke perbankan dan tahap kedua
modal asing masuk tidak lagi melalui perbankan, tetapi juga sudah membanjiri
pasar modal.
Pada tahap ketiga, dan
yang bisa membawa pada krisis moneter adalah ketika modal-modal asing tersebut hengkang
dari sebuah negara.
Saat ini, Indonesia sudah berada
di fase kedua yang mana modal asing masuk tidak lagi melalui perbankan, tetapi
juga sudah membanjiri pasar modal. Sekitar 60 persen saham asing yang beredar
di pasar modal nasional dan surat berharga negara sudah 40 persen dikuasai oleh
asing. “Artinya, jika investor asing suatu saat 'bermigrasi' dari Indonesia,
bukan hal yang tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis moneter,” kata
Kepala Departemen Pengembangan Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Imansyah suatu waktu.
Sementara itu, terkait dengan
krisis utang Yunani, Indonesia tidak akan bisa lepas dari dampak negatifnya. Kepala
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, I
Kadek Dian Sutrisna Artha, mengatakan krisis ekonomi Yunani dalam jangka pendek
akan memberi dampak terhadap pasar keuangan global, terutama nilai tukar euro
terhadap dollar AS yang menurun. Konsekuensinya, dollar AS kian kuat di dunia.
Di Indonesia, penguatan dollar AS
mengakibatkan nilai tukar rupiah dan situasi itu, menurut Kadek, merugikan
sektor riil Indonesia, terutama industri.
“Sebab, bahan baku bahkan barang
modal industri domestik banyak tergantung impor. Dengan terdepresiasinya rupiah
terhadap dolar AS, mengimpor bahan baku akan semakin mahal,” kata Kadek.
Antisipasi
Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas)
Sigit Pramono menyatakan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah adalah cara
mengelola krisis yang mungkin terjadi kapan saja. Pasalnya, otoritas yang
mengatur jika krisis terjadi tidak lagi hanya berada di tangan Bank Indonesia,
tetapi juga ada di tangan OJK.
''Dulu persoalan makro prudential dan mikro ada di tangan
BI. Artinya, bank diatur dan diawasi BI.
Sekarang mikronya ada di OJK. Makronya di BI yang menyangkut moneter.
Ini adalah batu ujian bagaimana bangsa ini mengelola krisis,'' kata Sigit.
Oleh karena itu, dia meminta pemerintah, BI, dan OJK untuk
saling berkoordinasi sebelum krisis moneter terjadi dan mendorong disahkannya
Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
“'Harus ada UU JPSK. Kalau tidak, nanti begitu ada ancaman
krisis, orang-orang yang mengambil keputusan akan diadili lagi secara politis,
secara pidana. Kita melihat pengalaman 2008, dengan mengambil alih Bank
Century,'' lanjutnya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto menuturkan
saat ini sudah sering dilakukan koordinasi antar deputi dan pimpinan dalam
lingkup BI, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Koordinasi itu dilakukan
untuk saling berbagi informasi terkait situasi pasar dan respon pasar terhadap
kebijakan otoritas yang ada.
Ia mengklaim koordinasi yang dilakukan selama ini sudah
merupakan bentuk antisipasi terhadap krisis moneter yang tidak dapat diprediksi
datangnya. ''Kita siap aja. Krisis itu bisa karena faktor domestik atau
internasional. Saling berkaitan. Yang penting semua bersiap. Kita akan
merumuskan kebijakan dalam rangka merespon kondisi market,” kata Rahmat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar