Tekanan dari otoritas perbankan terjadi di hampir semua
belahan dunia setelah ekonomi global mengalami beberapa kisruh keuangan. Salah
satu isu penting yang menjadi perhatian adalah membenahi mitigasi risiko yang
muncul dari praktik konglomerasi.
Salah satu pelajaran dari krisis keuangan yang sudah mendera
dunia sepuluh tahun belakangan adalah pentingnya menilai dan merepons risiko-risiko
apapun yang bisa mengancam stabilitas di level manapun dalam sektor keuangan.
Malah jika dapat, potensi munculnya risiko harus bisa dipadamkan sebelum
menyala.
Otoritas di semua negara di dunia ini, oleh karena itu,
mengarahkan sektor keuangan –terutama perbankan, untuk meningkatkan ketahanan
lembaga seperti permodalan, leverage
dan likuiditas. Dengan begitu otoritas ingin mengatasi risiko sejak dari
sumbernya.
Yang dirasakan oleh industri
kemudian adalah munculnya berbagai aturan yang dinilai makin menekan bank. Laporan
KPMG yang berjudul Evolving Bank
Regulation yang diterbitkan Maret 2015, menunjukkan bahwa indeks tekanan peraturan
di industri perbankan di hampir semua negara dunia terus meningkat dalam tiga
tahun terakhir. “Tekanan regulasi terus meningkat di bank. Bahkan jika laju
inisiatif peraturan yang baru sudah mulai berkurang, dampak dari reformasi yang
dilakukan sebelumnya mulai menjadi muncul,”kata laporan itu.
Di Eropa, hampir sepanjang 2014,
otoritas melakukan finalisasi dan pelaksanaan elemen substansial dari peraturan
perbankan. Dimulai dengan penerapan aturan permodalan dan aturan yang terkait
dengan pasar modal. Yang lebih penting dari itu adalah ditunjuknya Bank Sentral
Eropa (ECB) menjadi menjadi pengawas perbankan tunggal di wilayah tersebut.
Pengawasan ECB juga akan berarti bahwa bank-bank secara
langsung tunduk tidak hanya untuk sebuah buku aturan tunggal, tetapi juga
kepada otoritas pengawas tunggal yang menafsirkan dan menerapkan aturan.
Di tengah perlambatan ekonomi yang menimpa kawasan Eropa
dalam beberapa tahun terakhir hingga kini, ECB memperketat perbankan di kawasan
dengan mendesak mereka untuk memperkuat permodalan, likuiditas, standar kredit,
serta manajemen risiko.
“Kami mulai melihat tanda awal dari tekanan pengawasan,
ketika pengawas menggabungkan minat mereka yang meningkat pada analisis bisnis
model dengan perhatian mereka pada dampak dari bank yang tidak bisa
mempertahankan profit,” kata laporan KPMG.
Indonesia: Pengawasan
Terintegrasi
Lembaga pengawas jasa keuangan di Indonesia, juga menerapkan
hal yang sama. Sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi berdiri dua tahun lalu,
dan menyempurnakan tangan pengawasannya tahun
lalu, pada November 2014 menerbitkan aturan yang serius untuk menangkal krisis.
Dua aturan sekaligus yang dirilis ditujukan untuk mengendalikan konglomerasi
keuangan melalui tata kelola dan manajemen risiko yang lebih terintegrasi.
Dalam beberapa belas tahun belakangan pasca sembuh dari
krisis moneter, otoritas telah mendorong industri perbankan untuk konsolidasi.
Pemilik modal global datang dan membeli bank di Indonesia, di samping investor
dalam negeri, yang kemudian membuahkan konglomerasi keuangan.
Tidak bisa dipungkiri, saat ini beberapa lembaga keuangan
sudah melengkapi tangan-tangan mereka di hampir semua layanan jasa keuangan. Untuk
menghadapi tantangan tersebut, yaitu adanya keterkaitan antara lembaga jasa
keuangan di berbagai subsektor, OJK memang sepatutnya memperlengkapi alat
pengawasan mereka. Dari total 118 bank umum, OJK sudah memetakan 16 bank yang
membentuk kelompok usaha keuangan yang jika dikonsolidasikan, telah menguasai
kurang lebih 60 persen total aset keuangan nasional.
“Proses konglomerasi tersebut meningkatkan risiko-risiko
yang telah ada, dan menimbulkan risiko-risiko baru, baik bagi kelompok usaha
keuangan, maupun sistem keuangan secara keseluruhan,” kata kata Nelson
Tampubolon, Komisioner OJK bidang Perbankan.
Untuk menangkal risiko-risiko yang bisa muncul dari maraknya
konglomerasi maka sistem pengawasan yang terintegrasi mutlak dibutuhkan. Oleh
karena itu dalam dua aturan yang diluncurkan, lembaga keuangan yang memiliki
banyak anak usaha diwajibkan untuk memiliki Komite Tata Kelola Terintegrasi
yang memitigasi hal-hal terkait mitigasi risiko yang ada dalam konglomerasi.
Dalam aturan soal manajemen risiko, entitas utama diwajibkan
menerapkan manajemen risiko terintegrasi secara komprehensif dan efektif kepada
seluruh anak usahanya.
Konglomerasi keuangan yang akan diawasi secara ketat oleh
OJK tidak terbatas pada kelompok yang memiliki belasan atau banyak entitas
usaha, tetapi juga mereka yang hanya terdiri dari dua atau tiga entitas.
“Semakin besar sebuah konglomerasi maka eksposur risikonya juga akan semakin
besar,” kata Nelson. “Apalagi jika risiko dari masing-masing entitas tidak
terkelola dengan baik.”
Menurut dia lagi, aturan yang diterbitkan otoritas juga
memberikan pesan bahwa jangan sampai ada praktik dalam konglomerasi yang
menomorduakan anak usahanya misalnya dalam hal penempatan pegawai. Karena
lazimnya, anak-anak usaha mendapatkan SDM yang kualitasnya jauh di bawah
entitas usaha atau bahkan pensiunan dari entitas usaha itu sendiri. Hal itu tentu
bisa memunculkan risiko. “Jika ada satu saja dari 16 yang terbesar saat ini
konglomerasi keuangan bermasalah, maka tidak hanya entitas itu yang bermasalah
tetapi juga stabilitas keuangan,”
AS: Tekanan Regulasi
Pengawasan yang ketat terhadap konglomerasi keuangan itu
juga diterapkan oleh otoritas di Amerika Serikat. Di Negara Paman Sam,
konglomerasi disebut-sebut sebagai bentuk usaha yang harus diawasi secara lebih
ketat karena berpotensi untuk menimbulkan krisis. Dalam sebuah tulisan, Arthur
E. Wilmarth, Jr Profesor hukum dari George Washington University Law School,
mengatakan bahwa konglomerasi keuangan adalah katalis utama terjadinya bom
kredit destruktif yang menyebabkan krisis keuangan subprime. “Mereka (konglomerasi keuangan) telah menjadi episentrum
kekacauan keuangan global saat ini. Kerugian besar dialami oleh institusi
keuangan besar dan bantuan luar biasa dari pemerintah yang mereka terima
mengungkapkan kegagalan menakjubkan regulasi keuangan dan perluasan belum
pernah terjadi sebelumnya dari dukungan pemerintah untuk pasar keuangan,” kata
dia dalam artikel berjudul Dark Side of
Universal Banking: Financial Conglomerates and the Origins of the Subprime
Financial Crisis.
Sementara itu berdasarkan sebuah studi, perbankan dan lembaga
kredit yang melakukan bisnis di Amerika Serikat, sejak dua tahun lalu,
merasakan bahwa mereka berada di bawah tekanan lebih besar dari sebelumnya. Tekanan
itu berasal dari berbagai persyaratan peraturan dan manajemen risiko baru dari
otoritas yang mereka harus memenuhi.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Wolters Kluwer
Financial Services, sebuah lembaga konsultasi manajemen risiko global, yang
mengungkapkan hasil Regulatory & Risk Indicator Manajemen, sebagian besar
pelaku industri di AS merasakan adanya tambahan tekanan.
Studi itu menyimpulkan, indeks tekanan berada pada level
136, hasil dari umpan balik 430 perusahaan yang disurvey mengenai tantangan
industri. Penelitian ini menggunakan sepuluh faktor untuk menghitung risiko
lingkungan untuk lembaga keuangan, tujuh di antaranya berdasarkan masukan
langsung dari responden tentang keprihatinan utama mereka, sementara tiga
didasarkan pada data peraturan terbaru.
Dalam hasil survei yang dipublikasikan Juni 2013, ada empat
tekanan kunci yang mendorong indeks naik. Ini termasuk sejumlah peraturan
perbankan yang baru dan peningkatan jumlah uang dikeluarkan untuk sanksi karena
tidak patuh pada aturan tersebut.
Perusahaan juga harus mencurahkan umber daya dengan jumlah
yang lebih besar untuk menangani masalah ini, sementara jajaran pemimpin
perusahaan juga menghadapi tantangan ekstra ketika harus mengendalikan dan
mengelola risiko dalam organisasi.
"Bank-bank dan lembaga kredit semakin concern dengan mengelola pertumbuhan
jumlah perubahan peraturan di industri saat ini," kata Timothy Burniston, Wakil
Presiden Eksekutif dan Direktur Senior Bidang Risiko Wolters Kluwer.
“Mereka juga mencari untuk tim eksekutif dan jajaran dewan untuk
memainkan peran yang lebih signifikan dalam membantu mengurangi dan
mengendalikan banyak risiko regulasi dan operasional yang mereka hadapi setiap
hari.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar