Selasa, 11 Agustus 2015

Menangkal Ancaman Konglomerasi

Tekanan dari otoritas perbankan terjadi di hampir semua belahan dunia setelah ekonomi global mengalami beberapa kisruh keuangan. Salah satu isu penting yang menjadi perhatian adalah membenahi mitigasi risiko yang muncul dari praktik konglomerasi.

Salah satu pelajaran dari krisis keuangan yang sudah mendera dunia sepuluh tahun belakangan adalah pentingnya menilai dan merepons risiko-risiko apapun yang bisa mengancam stabilitas di level manapun dalam sektor keuangan. Malah jika dapat, potensi munculnya risiko harus bisa dipadamkan sebelum menyala.
Otoritas di semua negara di dunia ini, oleh karena itu, mengarahkan sektor keuangan –terutama perbankan, untuk meningkatkan ketahanan lembaga seperti permodalan, leverage dan likuiditas. Dengan begitu otoritas ingin mengatasi risiko sejak dari sumbernya.
Yang dirasakan oleh industri kemudian adalah munculnya berbagai aturan yang dinilai makin menekan bank. Laporan KPMG yang berjudul Evolving Bank Regulation yang diterbitkan Maret 2015, menunjukkan bahwa indeks tekanan peraturan di industri perbankan di hampir semua negara dunia terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. “Tekanan regulasi terus meningkat di bank. Bahkan jika laju inisiatif peraturan yang baru sudah mulai berkurang, dampak dari reformasi yang dilakukan sebelumnya mulai menjadi muncul,”kata laporan itu.
Di Eropa, hampir sepanjang 2014, otoritas melakukan finalisasi dan pelaksanaan elemen substansial dari peraturan perbankan. Dimulai dengan penerapan aturan permodalan dan aturan yang terkait dengan pasar modal. Yang lebih penting dari itu adalah ditunjuknya Bank Sentral Eropa (ECB) menjadi menjadi pengawas perbankan tunggal di wilayah tersebut.
Pengawasan ECB juga akan berarti bahwa bank-bank secara langsung tunduk tidak hanya untuk sebuah buku aturan tunggal, tetapi juga kepada otoritas pengawas tunggal yang menafsirkan dan menerapkan aturan.
Di tengah perlambatan ekonomi yang menimpa kawasan Eropa dalam beberapa tahun terakhir hingga kini, ECB memperketat perbankan di kawasan dengan mendesak mereka untuk memperkuat permodalan, likuiditas, standar kredit, serta manajemen risiko.
“Kami mulai melihat tanda awal dari tekanan pengawasan, ketika pengawas menggabungkan minat mereka yang meningkat pada analisis bisnis model dengan perhatian mereka pada dampak dari bank yang tidak bisa mempertahankan profit,” kata laporan KPMG.

Indonesia: Pengawasan Terintegrasi
Lembaga pengawas jasa keuangan di Indonesia, juga menerapkan hal yang sama. Sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi berdiri dua tahun lalu, dan menyempurnakan  tangan pengawasannya tahun lalu, pada November 2014 menerbitkan aturan yang serius untuk menangkal krisis. Dua aturan sekaligus yang dirilis ditujukan untuk mengendalikan konglomerasi keuangan melalui tata kelola dan manajemen risiko yang lebih terintegrasi.
Dalam beberapa belas tahun belakangan pasca sembuh dari krisis moneter, otoritas telah mendorong industri perbankan untuk konsolidasi. Pemilik modal global datang dan membeli bank di Indonesia, di samping investor dalam negeri, yang kemudian membuahkan konglomerasi keuangan.
Tidak bisa dipungkiri, saat ini beberapa lembaga keuangan sudah melengkapi tangan-tangan mereka di hampir semua layanan jasa keuangan. Untuk menghadapi tantangan tersebut, yaitu adanya keterkaitan antara lembaga jasa keuangan di berbagai subsektor, OJK memang sepatutnya memperlengkapi alat pengawasan mereka. Dari total 118 bank umum, OJK sudah memetakan 16 bank yang membentuk kelompok usaha keuangan yang jika dikonsolidasikan, telah menguasai kurang lebih 60 persen total aset keuangan nasional.
“Proses konglomerasi tersebut meningkatkan risiko-risiko yang telah ada, dan menimbulkan risiko-risiko baru, baik bagi kelompok usaha keuangan, maupun sistem keuangan secara keseluruhan,” kata kata Nelson Tampubolon, Komisioner OJK bidang Perbankan.
Untuk menangkal risiko-risiko yang bisa muncul dari maraknya konglomerasi maka sistem pengawasan yang terintegrasi mutlak dibutuhkan. Oleh karena itu dalam dua aturan yang diluncurkan, lembaga keuangan yang memiliki banyak anak usaha diwajibkan untuk memiliki Komite Tata Kelola Terintegrasi yang memitigasi hal-hal terkait mitigasi risiko yang ada dalam konglomerasi.
Dalam aturan soal manajemen risiko, entitas utama diwajibkan menerapkan manajemen risiko terintegrasi secara komprehensif dan efektif kepada seluruh anak usahanya.
Konglomerasi keuangan yang akan diawasi secara ketat oleh OJK tidak terbatas pada kelompok yang memiliki belasan atau banyak entitas usaha, tetapi juga mereka yang hanya terdiri dari dua atau tiga entitas. “Semakin besar sebuah konglomerasi maka eksposur risikonya juga akan semakin besar,” kata Nelson. “Apalagi jika risiko dari masing-masing entitas tidak terkelola dengan baik.”
Menurut dia lagi, aturan yang diterbitkan otoritas juga memberikan pesan bahwa jangan sampai ada praktik dalam konglomerasi yang menomorduakan anak usahanya misalnya dalam hal penempatan pegawai. Karena lazimnya, anak-anak usaha mendapatkan SDM yang kualitasnya jauh di bawah entitas usaha atau bahkan pensiunan dari entitas usaha itu sendiri. Hal itu tentu bisa memunculkan risiko. “Jika ada satu saja dari 16 yang terbesar saat ini konglomerasi keuangan bermasalah, maka tidak hanya entitas itu yang bermasalah tetapi juga stabilitas keuangan,”

AS: Tekanan Regulasi
Pengawasan yang ketat terhadap konglomerasi keuangan itu juga diterapkan oleh otoritas di Amerika Serikat. Di Negara Paman Sam, konglomerasi disebut-sebut sebagai bentuk usaha yang harus diawasi secara lebih ketat karena berpotensi untuk menimbulkan krisis. Dalam sebuah tulisan, Arthur E. Wilmarth, Jr Profesor hukum dari George Washington University Law School, mengatakan bahwa konglomerasi keuangan adalah katalis utama terjadinya bom kredit destruktif yang menyebabkan krisis keuangan subprime. “Mereka (konglomerasi keuangan) telah menjadi episentrum kekacauan keuangan global saat ini. Kerugian besar dialami oleh institusi keuangan besar dan bantuan luar biasa dari pemerintah yang mereka terima mengungkapkan kegagalan menakjubkan regulasi keuangan dan perluasan belum pernah terjadi sebelumnya dari dukungan pemerintah untuk pasar keuangan,” kata dia dalam artikel berjudul Dark Side of Universal Banking: Financial Conglomerates and the Origins of the Subprime Financial Crisis.
Sementara itu berdasarkan sebuah studi, perbankan dan lembaga kredit yang melakukan bisnis di Amerika Serikat, sejak dua tahun lalu, merasakan bahwa mereka berada di bawah tekanan lebih besar dari sebelumnya. Tekanan itu berasal dari berbagai persyaratan peraturan dan manajemen risiko baru dari otoritas yang mereka harus memenuhi.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Wolters Kluwer Financial Services, sebuah lembaga konsultasi manajemen risiko global, yang mengungkapkan hasil Regulatory & Risk Indicator Manajemen, sebagian besar pelaku industri di AS merasakan adanya tambahan tekanan.
Studi itu menyimpulkan, indeks tekanan berada pada level 136, hasil dari umpan balik 430 perusahaan yang disurvey mengenai tantangan industri. Penelitian ini menggunakan sepuluh faktor untuk menghitung risiko lingkungan untuk lembaga keuangan, tujuh di antaranya berdasarkan masukan langsung dari responden tentang keprihatinan utama mereka, sementara tiga didasarkan pada data peraturan terbaru.
Dalam hasil survei yang dipublikasikan Juni 2013, ada empat tekanan kunci yang mendorong indeks naik. Ini termasuk sejumlah peraturan perbankan yang baru dan peningkatan jumlah uang dikeluarkan untuk sanksi karena tidak patuh pada aturan tersebut.
Perusahaan juga harus mencurahkan umber daya dengan jumlah yang lebih besar untuk menangani masalah ini, sementara jajaran pemimpin perusahaan juga menghadapi tantangan ekstra ketika harus mengendalikan dan mengelola risiko dalam organisasi.
"Bank-bank dan lembaga kredit semakin concern dengan mengelola pertumbuhan jumlah perubahan peraturan di industri saat ini," kata Timothy Burniston, Wakil Presiden Eksekutif dan Direktur Senior Bidang Risiko Wolters Kluwer.
“Mereka juga mencari untuk tim eksekutif dan jajaran dewan untuk memainkan peran yang lebih signifikan dalam membantu mengurangi dan mengendalikan banyak risiko regulasi dan operasional yang mereka hadapi setiap hari.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar