Selasa, 11 Agustus 2015

Pesimisme yang Berlanjut

Pertumbuhan ekonomi kembali direvisi menjadi 5,2 persen oleh pemerintah. sektor infrastruktur dan belanja pemerintah lain diharapkan bisa menolong pertumbuhan ekonomi dari pelemahan.

Sejak pertumbuhan ekonomi tiga bulan pertama tahun ini diumumkan, kekhawatiran mulai berhembus. Bahkan hingga kini, pertumbuhan sebesar 4,7 persen membawa pesimisme kepada target perekonomian sepanjang tahun ini. Pertumbuhan triwulanan itu menjadi lonceng penanda bahwa target tahun ini akan meleset.
Betul saja, pada Mei pemerintah merevisi pertumbuhan yang tadinya ditetapkan sebesar 5,7 persen pada APBN-P 2015, menjadi 5,4 persen. Di hadapan DPR, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan bahwa pemerintah mencoba realistis setelah melihat realisasi pertumbuhan di kuartal pertama.
Perekonomian global yang masih melemah dan  kondisi negara mitra dagang Indonesia seperti Tiongkok, Jepang dan Eropa yang masih melesu menjadi alasan Menteri Keuangan mengubah target itu.
Akan tetapi belum genap dua bulan setelahnya Menteri Bambang lagi-lagi merevisi target tersebut dan menetapkan angka pertumbuhan di level 5,2 persen. Menurutnya revisi kali kedua ini adalah hal biasa. Sebab, International Monetary Fund (IMF) bahkan juga cukup sering merevisi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini. "Wajar kalau kami revisi lagi. Kami cari yang paling realistis," kata Bambang.
Dijelaskan Bambang, pertumbuhan ekonomi harus direvisi lagi karena kemungkinan besar serapan belanja modal pemerintah hingga akhir tahun di kisaran 87-90 persen. Itu sudah dengan berbagai upaya percepatan yang dilakukan. “Dari sisi pemerintah, belanja modal yang paling berpengaruh mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Bambang.
Daya serap APBN tidak bisa maksimal, lanjut dia, karena ini adalah tahun pertama pemerintahan Joko Widodo sehingga membutuhan perubahan APBN yang telah ditetapkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Banyak perubahan program dan membutuhkan waktu menyiapkan daftar isian pelaksanaan anggaran. "Kemudian juga karena adanya perubahan nomenklatur di kementerian teknis seperti Pekerjaan Umum," kata Bambang. 
Selain itu, belum membaiknya harga komoditas juga menjadi alasan penting lain mengapa pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi. Sebab, anjloknya harga komoditas membuat Indonesia tidak bisa mengandalkan ekspor untuk menggenjot pertumbuhan.
Menurut kalangan pengamat pertumbuhan ekonomi dalam negeri memang akan melemah. Bahkan
Ekonom Senior Standard Chartered Eric Sugandi bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun hanya mencapai 4,9 persen. "Awalnya kita sudah mulai dari 4,7 persen. Jadi berat kalau mau di atas lima persen," jelas Eric.
Dia menambahkan, sebenarnya bisa saja mencapai lima persen tapi berat bila sampai 5,4 persen atau di atasnya. Ia mengakui, pada kuartal kedua ini pertumbuhan memang agak membaik, tapi masih berat untuk sampai ke lima persen. "Anggap kuartal kedua kita tumbuh 4,9 atau 4,8 persen, agar sampai ke lima persen kan kita perlu tingkatkan di kuartal berikutnya. Nah bisa nggak?" kata dia.
Eric menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun. Pada 2010 mencapai 6,4 persen, 2011 turun menjadi 6,2 persen, lalu 2012 menjadi 6 persen. Selanjutnya 2013 tumbuh 5,6 persen, kemudian turun menjadi 5 persen pada 2014.
Menurutnya, ada empat faktor penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi. Pertama lemahnya harga komoditas, kedua pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ketiga stabilitas politik, dan terakhir lambatnya belanja modal.
Akan tetapi menunjuk kondisi global sebagai biang keladi melemahnya perekonomian tidak benar seratus persen. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan buruknya kualitas perekonomian bangsa tidak serta merta dapat kesalahan dari ekonomi global. Menurut dia, pemerintah seharusnya sudah mengetahui hal ini dan dapat mengantisipasinya.
"Pertumbuhan ekonomi kita semakin merosot. oke keadaan global wajar penurunan ekonomi tetapi kualitas pertumbuhan menurun ini juga yang sangat mengecewakan dan harus menjadi perhatian khusus," tutur Enny.
Menurutnya, banyak indikator yang menujukan kualitas perekonomian nasional memburuk. Seperti tidak sesuainya target pemerintah dan realisasinya. Presiden Joko Widodo sejak awal ingin berfokus untuk menumbuhkan sektor produksi, namun kenyataannya, sambung dia, justru sektor jasa yang semakin tinggi. Padahal, sektor produksilah yang jauh lebih banyak menyerap tenaga kerja.
"Padahal sektor-sektor tersebut relatif kedap dalam menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja formal. Struktur kontribusi lebih ke jasa, Jokowi lebih kepada penciptaan barang. Tapi justru sektor riil makin drop, yang tumbuh sektor jasa," ujar Enny.
Menurutnya buruknya kualitas pertumbuhan ekonomi itu merupakan salah satu dari 10 indikator perekonomian yang berada dalam lampu kuning. Oleh karena itu Jokowi diminta untuk cepat-cepat mengevaluasi menteri-menteri di bidang ekonomi.
"Publik ingin evaluasi, apakah evaluasi berujung reshuffle itu kewenangan presiden. Dalam kinerja ekonomi sampai triwulan I bukan sekedar penurunan ekonomi. Kabinet ini evaluasi tidak bisa per menteri karena hasil kerja ekonomi tidak semata-mata tim ekonomi," kata Enny lagi.
Pada tahun 2009, perekonomian nasional masih tumbuh baik meski sempat terkena imbas resesi global. Di saat puncak resesi dunia pada 2009, Indonesia tercatat menjadi salah satu negara yang membukukan pertumbuhan ekonomi positif, hanya kalah dari China dan India. Ekonomi Indonesia tumbuh 4,50 persen pada tahun itu. Dalam lima tahun terakhir, perekonomian nasional rata-rata tumbuh 5,97 persen per tahun. Jika tidak memperhitungan input dari minyak dan gas, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 6,42 persen pertahun.

Revisi Ramai-Ramai
Perubahan target pertumbuhan tidak hanya dilakukan pemerintah, malah lembaga-lembaga lain sudah banyak yang menyarankan kepada pemerintah agar merevisi targetnya. Awal Juni Bank Dunia mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan mencapai 4,7 persen, sama seperti pencapaian di kuartal pertama.
Pertumbuhan, menurut prediksi lembaga donor tersebut, baru akan mencapai level 5 persen mu            lai akhir tahun depan. “Pertumbuhan ekonomi RI akan mulai naik menjadi 5,5 persen pada 2016-2017. Pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh pemulihan investasi dan ekspor yang kuat," demikian Laporan Bank Dunia.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global, Bank Dunia menyatakan pertumbuhan ekonomi global akan mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,8 persen di 2015.
Bank Dunia menyatakan, negara-negara berkembang menghadapi serangkaian tantangan berat di 2015. Termasuk, adanya prospek biaya pinjaman yang lebih tinggi dan harus beradaptasi dengan era baru minyak dan komoditas penting lainnya yang lebih rendah.
"Semenjak krisis keuangan, negara berkembang adalah mesin pertumbuhan dunia. Tetapi sekarang mereka menghadapi kondisi ekonomi yang lebih sulit," kata Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim.
Ekonom senior Bank Dunia, Franziska Ohnsorge, mengatakan perlambatan yang berlarut-larut berlangsung di banyak negara berkembang. Disebabkan lemahnya bidang pertanian, listrik, transportasi, infrastruktur, dan layanan ekonomi penting lainnya. "Reformasi struktural di semua bidang semakin mendesak," dalam pengumuman yang sama.
Sebelumnya Bank Indonesia juga sudah menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai 5,4 persen, merevisi pernyataan sebelumnya yang mengatakan 5,1 persen.
Agus DW Martowardojo, Gubernur BI mengatakan, meskipun lebih rendah namun pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibanding tahun lalu. Pertumbuhan terutama di kuartal berikutnya, kata dia, akan didorong oleh konsumsi pemerintah dan investasi bangunan sejalan dengan pembangunan proyek infrastruktur.
Selain itu pertumbuhan ekspor juga diperkirakan akan tumbuh positif, meski memang akan tertahan karena lemahnya harga komoditas masih berlanjut. Untuk kuartal III dan IV, lanjut Agus juga akan didukung oleh keberlanjutan konsumsi dan investasi, realisasi fiskal pemerintah, dan juga relalisasi kredit perbankan. "Peningkatan penyaluran kredit masyarakat diharapkan mampu mendorong konsumsi rumah tangga," kata Agus.
Bulan lalu, BI merevisi aturan persyaratan penyaluran kredit konsumer di sektor perumahan dan kendaraan bermotor. Uang muka yang sebelumnya dipersyaratkan sebesar 30 persen setiap pembelian rumah tertentu, kini angkanya diturunkan lebih rendah.



Semua Merevisi Pertumbuhan 2015 (dalam persen)


Pemerintah                        5,7          5,4 (Mei)
Pemerintah                        5,4          5,2 (Juli)
Bank Indonesia                 5,4          5,1
LPS                                         5,3          5,0
Bank Dunia                         5,1          4,7


Tidak ada komentar:

Posting Komentar