Selasa, 11 Agustus 2015

Setelah Persepsi Disamakan


Bertahun-tahun lalu mekanisme lindung nilai tidak pernah disentuh oleh perusahaan negara karena belum adanya kesepahaman bahwa strategi itu hanyalah sebuah siasat manajemen risiko belaka. Namun sejak tahun lalu, setelah disusun prosedur dan tata cara standar dalam melakukan transaksi tersebut, hedging mulai marak digunakan.


Hedging sejatinya adalah praktik lazim para pelaku pasar keuangan terutama untuk menekan kerugian di neraca keuangannya karena risiko nilai tukar. Para trader biasanya melakukan hedging untuk melindungi investasinya dalam mata uang tertentu –misalkan dollar AS, dengan mata uang lain seperti euro. Ketika trader membeli dollar AS dengan menggunakan rupiah, untuk berjaga-jaga terhadap pelemahan mata uang itu, dia juga membeli euro pada saat bersamaan. Jika dollar AS melemah yang membuat investasi berkurang, trader berharap pada saat bersamaan euro menguat agar investasinya bertambah dan bisa menutup kerugian dari investasi dollar AS. Itu adalah praktik hedging jangka pendek.
Untuk perusahaan-perusahaan besar yang ingin menyelamatkan utang valuta asingnya dari pembengkakan akibat pelemahan kurs, hedging dilakukan dengan cara yang lebih kompleks dan dalam waktu yang lebih panjang. Mereka meminjam dana valas dari bank untuk digunakan dalam beberapa waktu yang akan datang namun dengan kurs yang berbeda dengan yang saat ini berlaku. Dalam praktik ini, bank juga mengenakan biaya tambahan atas transaksi itu yang disebut premi.
Namun, meski transaksi tersebut itu sudah biasa dilakukan di dunia bisnis, tidak demikian bagi perusahaan milik negara di Indonesia. Strategi yang disebut lindung nilai itu sempat dianggap horor oleh badan usaha milik negara, meskipun mereka sangat membutuhkannya.
Bagi BUMN dan perusahaan yang memiliki penyertaan modal negara, selisih nilai dalam kasus hedging bisa disalahtafsirkan sebagai tindakan yang merugikan keuangan negara dan berimplikasi hukum. Jadi ada semacam ketakutan dari para pengelola BUMN terutama bank, jikalau strategi itu kemudian dianggap merugikan negara dan malah membawa mereka ke balik jeruji besi.
Padahal di sisi lain, ketika kurs rupiah melemah atas dollar AS, perusahaan pelat merah ketar-ketir karena utang valasnya atau biaya produksi yang biasa dikeluarkan menggunakan dollar AS akan melonjak. Hasil akhir yang bisa terlihat di neraca keuangan mereka adalah munculnya kerugian selisih kurs. Neraca keuangan yang buruk tentu akan memunculkan rapor merah pada para pengelolanya.
Sementara BUMN adalah pihak yang paling membutuhkan valuta asing. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, BUMN mendominasi pembelian valas di pasar domestik, terutama oleh Pertamina dan PLN yang pembeliannya mencapai sekitar 30 persen dari total pembelian valas korporasi. Kebutuhan harian Pertamina berkisar antara 150 juta sampai 200 juta dollar AS, sementara PLN butuh sekitar 20 juta dollar AS per hari.
Ketika beberapa BUMN mulai turun ke pasar valas harian (spot) untuk mencari dollar AS, kurs rupiah kemudian melemah karena pasokan dalam negeri yang minim. Karena itu BI sangat berkepentingan untuk mendorong penggunaan hedging lebih luas lagi.
“Stok valas di Indonesia masih sangat tipis, hal ini kemudian sering memunculkan spekulasi pada nilai tukar rupiah,” kata Hartadi Agus Sarwono, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia. “Bank Indonesia selalu berupaya mengurangi volatilitas rupiah atas dollar AS.”
Pasar valuta asing, berdasarkan data BI pada 2014, yang dihitung dari nilai transaksi harian rata-rata hanya sebesar 5 miliar dollar AS, tidak sampai separo transaksi di Malaysia dan Thailand, terlebih lagi Singapura. Transaksi valas juga didominasi spot yang mencapai 68 persen, sementara swap sebesar 28 persen dan forward sebesar 4 persen.
Itulah sebabnya, bank sentral, sejak beberapa tahun lalu bergerilya mendatangi lembaga-lembaga negara yang terkait untuk menyamakan persepsi bahwa hedging adalah transaksi bisnis biasa sebagai bagian dari manajemen risiko.


Kesamaan Persepsi
Akan tetapi pada tahun ini keadaan mulai berubah. Beberapa BUMN mulai menggunakan hedging untuk pembelian valasnya. Adalah kehadiran standard operational procedur (SOP) yang disepakati oleh setidaknya delapan lembaga negara yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kementerian BUMN, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan dan Kepolisian.
Di dalam SOP itu dibeberkan mengenai mekanisme transaksi lindung nilai yang disepakati yang berisi persiapan transaksi, pelaksanaan transaksi, dan monitoring transaksi hedging. Tak lupa juga dijelaskan mengenai jatuh temponya.
Pedoman SOP setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, pedoman penyusunan SOP hanya diperuntukkan untuk perusahaan BUMN. Kedua, pedoman SOP ini hanya untuk transaksi hedging yang mencakup risiko nilai tukar. Ketiga, pengaturan minimum yang harus ada pada setiap tahapan dalam transaksi hedging yakni tahap persiapan, pelaksanaan, monitoring, penyelesaian, evaluasi hingga tahap dokumentasi
Sejak ditekennya SOP itu, maka kekhawatiran mengenai risiko hukum buat BUMN lambat laun sirna. Mulai dua bulan lalu, beberapa perusahaan negara mulai menghedging utang-utang dan transaksi valasnya. Awalnya Garuda dan PLN yang menggunakan transaksi ini, dan yang baru-baru saja adalah Pertamina, yang semuanya menggunakan fasilitas dari bank-bank pelat merah juga.
Dengan adanya lampu hijau dari pihak-pihak yang selama menjadi sumber kekhawatiran perusahaan maka strategi hedging seharusnya sudah bisa menjadi pilihan bagi seluruh BUMN. Dan jika perusahaan negara sudah banyak yang menggunakan maka sektor swasta tentu akan ikut meramaikannya.
Menurut General Manager Treasury Bank Negara Indonesia Ario Bimo Notowidagdo, melalui SOP yang ada maka pihaknya semakin percaya diri untuk melakukan lindung nilai. Dari sisi infrastruktur Bimo menyatakan perseroan siap memfasilitasi korporasi dan BUMN sejak tahun lalu untuk lindung nilai. Dia mengatakan, kebutuhan lindung nilai bisa beragam, yakni lindung nilai terhadap nilai tukar dan suku bunga. “Kami saat ini sedang membantu perusahaan BUMN dan swasta untuk hedging,” kata Bimo.
Memang cara terbaik untuk memahami hedging adalah dengan menganggapnya sebagai asuransi. Ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk melakukan transaksi lindung nilai, maka mereka mengasuransikan perusahaan terhadap peristiwa negatif. Langkah tersebut memang tidak mencegah peristiwa negatif terjadi, tetapi jika itu tidak terjadi dan hedging sudah dilakukan, maka dampak dari peristiwa itu pada neraca keuangan perusahaan akan berkurang.
Meski begitu bukan berarti auditor negara tidak akan memeriksa transaksi tersebut. Menurut Agus Joko Pramono, Anggota II BPK, pihaknya tetap akan mengaudit keempat tahap dari pelaksanaan hedging. “Dalam tahap persiapan kami melakukan asesmen dan menganalisa kebutuhan lindung nilai itu bagi BUMN. Kemudian juga memastikan underlying dan melakukan price checking di pasar,” kata dia dalam sebuah seminar awal Mei lalu. Bahkan tambah dia, pemeriksa dari BPK akan menguji risiko-risiko yang ditetapkan oleh perusahaan sejak perencanaan hingga monitoring marked to market.

Hal itu memang harus tetap dilakukan agar transaksi yang lazim ini tidak membuka pintu kecurangan atau fraud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar