Bertahun-tahun lalu mekanisme lindung nilai tidak pernah
disentuh oleh perusahaan negara karena belum adanya kesepahaman bahwa strategi
itu hanyalah sebuah siasat manajemen risiko belaka. Namun sejak tahun lalu,
setelah disusun prosedur dan tata cara standar dalam melakukan transaksi
tersebut, hedging mulai marak digunakan.
Hedging sejatinya
adalah praktik lazim para pelaku pasar keuangan terutama untuk menekan kerugian
di neraca keuangannya karena risiko nilai tukar. Para trader biasanya melakukan hedging
untuk melindungi investasinya dalam mata uang tertentu –misalkan dollar AS,
dengan mata uang lain seperti euro. Ketika trader
membeli dollar AS dengan menggunakan rupiah, untuk berjaga-jaga terhadap pelemahan
mata uang itu, dia juga membeli euro pada saat bersamaan. Jika dollar AS
melemah yang membuat investasi berkurang, trader
berharap pada saat bersamaan euro menguat agar investasinya bertambah dan bisa
menutup kerugian dari investasi dollar AS. Itu adalah praktik hedging jangka pendek.
Untuk perusahaan-perusahaan besar yang ingin menyelamatkan
utang valuta asingnya dari pembengkakan akibat pelemahan kurs, hedging dilakukan dengan cara yang lebih
kompleks dan dalam waktu yang lebih panjang. Mereka meminjam dana valas dari
bank untuk digunakan dalam beberapa waktu yang akan datang namun dengan kurs
yang berbeda dengan yang saat ini berlaku. Dalam praktik ini, bank juga
mengenakan biaya tambahan atas transaksi itu yang disebut premi.
Namun, meski transaksi tersebut itu sudah biasa dilakukan di
dunia bisnis, tidak demikian bagi perusahaan milik negara di Indonesia.
Strategi yang disebut lindung nilai itu sempat dianggap horor oleh badan usaha
milik negara, meskipun mereka sangat membutuhkannya.
Bagi BUMN dan perusahaan yang memiliki penyertaan modal
negara, selisih nilai dalam kasus hedging
bisa disalahtafsirkan sebagai tindakan yang merugikan keuangan negara dan
berimplikasi hukum. Jadi ada semacam ketakutan dari para pengelola BUMN
terutama bank, jikalau strategi itu kemudian dianggap merugikan negara dan
malah membawa mereka ke balik jeruji besi.
Padahal di sisi lain, ketika kurs rupiah melemah atas dollar
AS, perusahaan pelat merah ketar-ketir karena utang valasnya atau biaya
produksi yang biasa dikeluarkan menggunakan dollar AS akan melonjak. Hasil
akhir yang bisa terlihat di neraca keuangan mereka adalah munculnya kerugian selisih
kurs. Neraca keuangan yang buruk tentu akan memunculkan rapor merah pada para
pengelolanya.
Sementara BUMN adalah pihak yang paling membutuhkan valuta
asing. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, BUMN mendominasi pembelian valas
di pasar domestik, terutama oleh Pertamina dan PLN yang pembeliannya mencapai
sekitar 30 persen dari total pembelian valas korporasi. Kebutuhan harian
Pertamina berkisar antara 150 juta sampai 200 juta dollar AS, sementara PLN
butuh sekitar 20 juta dollar AS per hari.
Ketika beberapa BUMN mulai turun ke pasar valas harian
(spot) untuk mencari dollar AS, kurs rupiah kemudian melemah karena pasokan dalam
negeri yang minim. Karena itu BI sangat berkepentingan untuk mendorong
penggunaan hedging lebih luas lagi.
“Stok valas di Indonesia masih sangat tipis, hal ini
kemudian sering memunculkan spekulasi pada nilai tukar rupiah,” kata Hartadi
Agus Sarwono, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia. “Bank Indonesia selalu
berupaya mengurangi volatilitas rupiah atas dollar AS.”
Pasar valuta asing, berdasarkan data BI pada 2014, yang
dihitung dari nilai transaksi harian rata-rata hanya sebesar 5 miliar dollar
AS, tidak sampai separo transaksi di Malaysia dan Thailand, terlebih lagi
Singapura. Transaksi valas juga didominasi spot yang mencapai 68 persen,
sementara swap sebesar 28 persen dan forward sebesar 4 persen.
Itulah sebabnya, bank sentral, sejak beberapa tahun lalu
bergerilya mendatangi lembaga-lembaga negara yang terkait untuk menyamakan
persepsi bahwa hedging adalah
transaksi bisnis biasa sebagai bagian dari manajemen risiko.
Kesamaan Persepsi
Akan tetapi pada tahun ini keadaan mulai berubah. Beberapa
BUMN mulai menggunakan hedging untuk
pembelian valasnya. Adalah kehadiran standard
operational procedur (SOP) yang disepakati oleh setidaknya delapan lembaga
negara yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Komisi Pemberantasa Korupsi
(KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kementerian BUMN, Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan dan Kepolisian.
Di dalam SOP itu dibeberkan mengenai mekanisme transaksi
lindung nilai yang disepakati yang berisi persiapan transaksi, pelaksanaan
transaksi, dan monitoring transaksi hedging.
Tak lupa juga dijelaskan mengenai jatuh temponya.
Pedoman SOP setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, pedoman penyusunan SOP hanya
diperuntukkan untuk perusahaan BUMN. Kedua,
pedoman SOP ini hanya untuk transaksi hedging yang mencakup risiko nilai tukar.
Ketiga, pengaturan minimum yang harus
ada pada setiap tahapan dalam transaksi hedging
yakni tahap persiapan, pelaksanaan, monitoring, penyelesaian, evaluasi hingga
tahap dokumentasi
Sejak ditekennya SOP itu, maka kekhawatiran mengenai risiko
hukum buat BUMN lambat laun sirna. Mulai dua bulan lalu, beberapa perusahaan
negara mulai menghedging utang-utang dan transaksi valasnya. Awalnya Garuda dan
PLN yang menggunakan transaksi ini, dan yang baru-baru saja adalah Pertamina,
yang semuanya menggunakan fasilitas dari bank-bank pelat merah juga.
Dengan adanya lampu hijau dari pihak-pihak yang selama
menjadi sumber kekhawatiran perusahaan maka strategi hedging seharusnya sudah bisa menjadi pilihan bagi seluruh BUMN.
Dan jika perusahaan negara sudah banyak yang menggunakan maka sektor swasta
tentu akan ikut meramaikannya.
Menurut General Manager Treasury Bank Negara Indonesia Ario
Bimo Notowidagdo, melalui SOP yang ada maka pihaknya semakin percaya diri untuk
melakukan lindung nilai. Dari sisi infrastruktur Bimo menyatakan perseroan siap
memfasilitasi korporasi dan BUMN sejak tahun lalu untuk lindung nilai. Dia
mengatakan, kebutuhan lindung nilai bisa beragam, yakni lindung nilai terhadap
nilai tukar dan suku bunga. “Kami saat ini sedang membantu perusahaan BUMN dan
swasta untuk hedging,” kata Bimo.
Memang cara terbaik untuk memahami hedging adalah dengan menganggapnya sebagai asuransi. Ketika sebuah
perusahaan memutuskan untuk melakukan transaksi lindung nilai, maka mereka
mengasuransikan perusahaan terhadap peristiwa negatif. Langkah tersebut memang
tidak mencegah peristiwa negatif terjadi, tetapi jika itu tidak terjadi dan hedging
sudah dilakukan, maka dampak dari peristiwa itu pada neraca keuangan perusahaan
akan berkurang.
Meski begitu bukan berarti auditor
negara tidak akan memeriksa transaksi tersebut. Menurut Agus Joko Pramono,
Anggota II BPK, pihaknya tetap akan mengaudit keempat tahap dari pelaksanaan
hedging. “Dalam tahap persiapan kami melakukan asesmen dan menganalisa
kebutuhan lindung nilai itu bagi BUMN. Kemudian juga memastikan underlying dan melakukan price checking di pasar,” kata dia dalam
sebuah seminar awal Mei lalu. Bahkan tambah dia, pemeriksa dari BPK akan
menguji risiko-risiko yang ditetapkan oleh perusahaan sejak perencanaan hingga monitoring marked to market.
Hal itu memang harus tetap
dilakukan agar transaksi yang lazim ini tidak membuka pintu kecurangan atau fraud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar