Bank Indonesia terus berupaya memperdalam pasar keuangan
Tanah Air setelah transaksi hedging
mulai digunakan oleh perusahaan negara. Beberapa aturan yang akan merelaksasi
pasar valas akan segera diterbitkan.
Mungkin tidak ada pihak yang memiliki keinginan begitu kuat
agar penggunaan transaksi hedging
bisa marak dan digunakan lebih banyak pihak, selain Bank Indonesia. Bukannya
mengecilkan peran dan keinginan lembaga lain yang sudah menggolkan aturan resmi
mekanisme hedging buat perusahaan
negara.
Namun, sebagai otoritas yang bertanggung jawab terhadap
kestabilan nilai tukar rupiah, keinginan ini adalah wajar. Selama ini,
ketiadaan peminat layanan hedging
membuat nilai tukar rupiah sangat fluktuatif karena ketika perusahaan besar
–biasanya milik negara, membutuhkan rupiah dan mencarinya di pasar, maka nilai
tukar akan sontak bergerak volatil. Hal itu tentu mempersulit tugas BI dalam
mengelola kestabilan rupiah.
Oleh karena itu sejak beberapa tahun lalu, BI bergerilya
mendatangi lembaga-lembaga negara menyamakan persepsi mengenai hedging agar strategi manajemen risiko
itu tidak lagi menjadi momok bagi BUMN. Dan tahun ini hasil dari kerja keras
itu membuahkan hasil ketika beberapa BUMN mulai menggunakan layanan transaksi hedging dari bank.
Tugas tersebut, kendati begitu, tidak selesai begitu saja.
Pasca mulai digunakannya mekanisme lindung nilai atas transaksi valuta asing,
BI tentu memiliki tugas lanjutan yaitu pendalaman pasar.
“Saat ini pelaku masih belum memiliki standar atas penetapan
premi dan juga harga kurs dari strategi lindung nilai,” kata mantan Deputi
Gubernur BI, Hartadi A Sarwono.
Memang, penentuan premi dan juga kurs yang digunakan dalam hedging dilakukan oleh kedua belah pihak
yang bersandarkan pada mekanisme pasar. Namun demikian, di pasar-pasar keuangan
yang infrastrukturnya sudah lengkap seperti di Singapura, Hong Kong, Amerika
Serikat, Inggris dan lainnya penentuan premi dan harga kurs bisa dilihat secara
transparan.
Di Indonesia, kondisi itu masih jauh dari ideal. Bahkan
minimnya infrastruktur pasar keuangan Indonesia dalam mendukung hedging terlihat dari masih belum
dimanfaatkannya fasilitas Swap yang disediakan oleh beberapa negara. Pada tahun
2003, BI menandatangani perjanjian fasilitas Bilateral Swap Arrangement (BSA)
dengan gubernur bank sentral Cina senilai 1 miliar dollar AS.
BSA adalah sebuah fasilitas bantuan keuangan jangka pendek
dalam bentuk penukaran mata uang asing (foreign
exchange swap) yang bertujuan untuk memperkuat cadangan devisa. BI juga
mendapatkan fasilitas itu dari Jepang, dan Korea. Pada 2009, BI juga mengadakan
perjanjian mengenai BSA dengan tiga negara tersebut, dengan Jepang yang
meningkatkan jumlahnya menjadi 12 miliar dollar AS dari 6 miliar dollar AS.
Pendalaman Pasar
Tahun ini, jalan ke arah pendalaman pasar keuangan sudah
terlihat setelah Bank Indonesia bersama beberapa lembaga negara dan lembaga
hukum menyepakati standard operational procedure (SOP) dalam penggunaan hedging. Meski satu tahap sudah
terwujud, namun masih terbentang tantangan Bank Indonesia untuk membuat pasar
keuangan khusunya pasar valuta asing lebih dalam dan stabil. Menurut Nanang
Hendarsah Nanang Hendarsah, Deputi Gugus Tugas Sektor Keuangan Bank Indonesia,
pendalaman pasar valas harus ditandai oleh ketersediaan likuiditas yang
memadai, kemudahan dalam pelaksanaan transaksi, harga yang wajar dan risiko
yang minimal guna menjaga stabilitas perekonomian.
Untuk mewujudkan pasar keuangan yang lebih dalam, BI dipastikan
akan menyempurnakan aturan yang sebelumnya sudah ada soal hedging. Sebelumnya BI memiliki aturan dalam PBI No. 16/18/PBI/2014
tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank yang merupakan revisi atas PBI
Nomor 15/8/PBI/2014.
“Penyempurnaan ini juga mendukung kegiatan ekonomi di Tanah
Air dengan mendukung dilakukannya lindung nilai (hedging) oleh pelaku ekonomi untuk memitigasi risiko pasar dan
likuiditas valas,” kata Nanang.
Setidaknya akan ada tiga PBI yang akan diterbitkan (sampai
tulisan ini dibuat, belum diterbitkan).
Dalam aturan itu BI akan menyempurnakan transaksi forward. Nantinya jika eksportir atau
importir yang memiliki utang luar negeri dan memiliki transaksi forwad tiga bulan, pada saat mendekati
bulan terakhir belum bisa bayar, eksportir bisa melakukan netting atau hanya membayar selisihnya.
“Nah, artinya kalau saat jatuh tempo, uangnya tidak ada,
mereka bisa melakukan netting. Dulu
tidak boleh dilakukan netting, harus full amount. Sekarang sudah boleh nett.
Jadi pada saat jatuh tempo, ekportir belum dapat uangnya, hitung forward-nya berapa, spot-nya berapa, yang dibayar selisihnya saja,” kata Nanang.
Dalam aturan baru nanti, netting
juga bisa dilakukan di tengah jalan ketika eksportir melihat hedging-nya tidak menguntungkan karena
biayanya sudah terlalu besar, sementara suku bunga turun. Pelaku bisnis bisa
membatalkannya melalui netting dengan
hanya menghitung selisih, tidak perlu full
delivery.
Selain itu, pada aturan sebelumnya BI mensyaratkan
perusahaan yang melakukan hedging,
underlying (transaksi yang mendasarinya) harus
dirinci oleh Bank Indonesia. Sekarang BI menentukan underlying yang hanya terkait dengan perdagangan dan investasi.
“BI minta list-nya dari bank, kira-kira banyak
yang dipakai yang mana, dan di-approved
oleh BI, tetapi ini akan disesuaikan terus,” ujar Nanang.
Perubahan juga terjadi pada persyaratan dokumen. Jika
sebelumnya dokumen yang di-submit nasabah ke bank, kalau dulu harus invoice impor final, sekarang tidak
begitu, yang penting datanya benar. Akan tetapi yang harus digarisbawahi BI
tidak mau kalau eksportir menjual forward
tanpa underlying dan hanya menjual forward hanya untuk dapat premi.
“Pokoknya, transaksi derivatif seperti forward, swap, option, kalau di atas 1 juta dollar AS harus
dibuktikan dengan dokumen underlying.
Nah, underlying ini diserahkan maksimum lima hari setelah deal terjadi.
Premi itu tergantung dua pihak, kita tidak mengatur, itu market create,” jelas Nanang.
Ringkasnya, transaksi ini akhirnya akan seperti non delivery forward (NDF), karena lebih
fleksibel. Saat ini Indonesia bisa netting,
hanya perlu underlying, sementara di
Singapura tidak perlu. Jadi ini yang memagari bahwa tranasi derivatif ini
benar-benar mencerminkan transaksi real perekonomian.
Dalam melakukan pendalaman pasar BI juga akan mengoptimalkan
kapasitas dan fleksibilitas perbankan untuk melakukan transaksi valas dengan
menghapus kewajiban bank dalam menjaga posisi devisa netto (PDN) setiap 30
menit, bersamaan dengan penyesuaian pengaturan transaksi valuta asing terhadap
rupiah.
“Itu dilakukan dengan melalui perluasan instrumen transaksi
derivatif berupa cross currency swap valas terhadap rupiah, kredit atau
pembiayaan sebagai underlying dan perluasan cakupan underlying transaksi,” kata
Nanang.
Aturan-aturan BI yang merelaksasi pasar valas juga ditujukan
memberikan kepastian pihak asing untuk mengoptimalkan instrumen-instrumen
derivatif sebagai instrumen hedging
atas investasinya di Indonesia. “Untuk itu, dilakukan penghapusan persyaratan
jangka waktu minimum transaksi derivatif selama sepekan untuk pihak asing,”
kata Nanang.
Namun demikian, penyesuaian pengaturan transaksi valas
terhadap rupiah, dilakukan secara pruden dan tetap memperhatikan dampaknya
terhadap stabilitas sistem keuangan dengan mewajibkan bank untuk memenuhi
pengaturan-pengaturan terkait mitigasi risiko sebagaimana yang telah diatur
oleh otoritas perbankan sebagai rujukan.
Dengan sejumlah relaksasi dan penyempurnaan aturan Bank
Sentral berharap makin banyak pihak yang menggunakan transaksi hedging dan infrastrukturnya pasar
semakin lengkap. Menurut Nanang, saat ini transaksi valas didominasi spot
sebesar 68 persen, sementara swap 28 pesen, dan forward 4 persen.
Bank Indonesia menargetkan pada tahun 2020, transaksi spot
harus berada di bawah angka 50 persen. “Ini tantangan kami di BI. Karena ekspor
impor kita di 2005 hanya 5 miliar dollar AS per bulan, sekarang sudah 25 miliar
dollar AS per bulan. Tetapi transaksi kita hanya begitu saja,” ujar Nanang
sambil menambahkan akan mengembangkan cross
currency swap agar hedging bisa
berkembang. (Sandy Romualdus berkontribusi pada tulisan ini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar