Tidak mudah untuk tidak bersedih melihat kondisi ekonomi
makro Indonesia hingga pertengahan tahun ini. Pengumuman Badan Pusat Statistik awal
Agustus tampaknya hanya menambah kesedihan itu. Sedih dan cemas, saat ini
seolah menjadi satu. Pada awal tahun, tanda-tanda itu sejatinya sudah mulai
muncul ketika nilai tukar rupiah mulai melemah meskipun pada akhir tahun
subsidi bahan bakar minyak sudah tidak ada lagi. Padahal salah satu tujuan
pencabutan subsidi itu untuk menghindari dampak buruk pada ekonomi kita.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hingga
paro pertama tahun ini terlewati indikator-indikator perekonomian belum
menampakkan pesan yang menggembirakan. Di depan publik bisa jadi para ekonom
terbelah mengenai kondisi ini. Ada yang masih bertahan bahwa ekonomi ‘baik-baik
saja’ dan menganggap pelemahan indikator yang ada hanya fenomena sesaat, ada
yang sudah terang-terangan bahwa alarm krisis sejatinya sudah berbunyi dan
pemerintah harus segera bergerak.
Ironisnya lagi, beberapa peristiwa-peristiwa di bidang
politik dan keamanan, disebut-sebut menjadi alat pengalihan perhatian publik
pada beberapa peristiwa besar ekonomi terutama perjanjian antara negara dan
korporasi asing.
Awal tahun ini, ketika muncul kasus KPK vs Kepolisian,
sebagian besar perhatian masyarakat Indonesia luput dari sebuah peristiwa
penting. Pemerintahan melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
bersepakat dengan PT Freeport Indonesia untuk memperpanjang pembahasan
amandemen kontrak hingga enam bulan ke depan.
Media-media pendukung pemerintah tampaknya memiliki andil
besar mengaburkan perhatian publik terhadap kondisi ekonomi sebenarnya.
Sehingga tampak seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Selain itu, makin banyaknya indikator ekonom yang memburuk
tidak lantas membuat pemerintah menyegerakan langkah-langkah konkret untuk
membenahinya. Pemerintah tampaknya hilang fokus kepada ekonomi. Alih-alih
memberikan pesan dan upaya yang jelas kepada perbaikan ekonomi, pemerintah
malah sibuk mengurusi hal lain: soal penghinaan kepada Presiden.
Pemerintah kini sangat bersemangat untuk mengajukan pasal
penghinaan Presiden yang sebelumnya sudah dihilangkan dari Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Mahkamah Konstitusi.
Akan tetapi, alih-alih menghentikan keinginan itu,
pemerintah saat ini menyatakan bahwa keinginan untuk menghidupkan ‘pasal karet’
itu dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Bahkan Presiden dengan enteng
mengatakan, "Namanya juga rancangan, terserah di Dewan dong. Itu rancangan
saja kok ramai."
Mungkin pemerintah harus kembali diingatkan soal penyebab
timbulnya kejahatan, bahwa ia timbul karena ada niat dan kesempatan. Mungkin
harus ada pula yang mengingatkan bahwa banyak rakyatnya yang bersedih, meski
tidak pernah diungkapkan dan tak pernah berniat mengalihkan isu kesedihan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar