Selasa, 11 Agustus 2015

Tahun Kesedihan

Tidak mudah untuk tidak bersedih melihat kondisi ekonomi makro Indonesia hingga pertengahan tahun ini. Pengumuman Badan Pusat Statistik awal Agustus tampaknya hanya menambah kesedihan itu. Sedih dan cemas, saat ini seolah menjadi satu. Pada awal tahun, tanda-tanda itu sejatinya sudah mulai muncul ketika nilai tukar rupiah mulai melemah meskipun pada akhir tahun subsidi bahan bakar minyak sudah tidak ada lagi. Padahal salah satu tujuan pencabutan subsidi itu untuk menghindari dampak buruk pada ekonomi kita.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hingga paro pertama tahun ini terlewati indikator-indikator perekonomian belum menampakkan pesan yang menggembirakan. Di depan publik bisa jadi para ekonom terbelah mengenai kondisi ini. Ada yang masih bertahan bahwa ekonomi ‘baik-baik saja’ dan menganggap pelemahan indikator yang ada hanya fenomena sesaat, ada yang sudah terang-terangan bahwa alarm krisis sejatinya sudah berbunyi dan pemerintah harus segera bergerak.
Ironisnya lagi, beberapa peristiwa-peristiwa di bidang politik dan keamanan, disebut-sebut menjadi alat pengalihan perhatian publik pada beberapa peristiwa besar ekonomi terutama perjanjian antara negara dan korporasi asing.
Awal tahun ini, ketika muncul kasus KPK vs Kepolisian, sebagian besar perhatian masyarakat Indonesia luput dari sebuah peristiwa penting. Pemerintahan melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersepakat dengan PT Freeport Indonesia untuk memperpanjang pembahasan amandemen kontrak hingga enam bulan ke depan.
Media-media pendukung pemerintah tampaknya memiliki andil besar mengaburkan perhatian publik terhadap kondisi ekonomi sebenarnya. Sehingga tampak seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Selain itu, makin banyaknya indikator ekonom yang memburuk tidak lantas membuat pemerintah menyegerakan langkah-langkah konkret untuk membenahinya. Pemerintah tampaknya hilang fokus kepada ekonomi. Alih-alih memberikan pesan dan upaya yang jelas kepada perbaikan ekonomi, pemerintah malah sibuk mengurusi hal lain: soal penghinaan kepada Presiden.
Pemerintah kini sangat bersemangat untuk mengajukan pasal penghinaan Presiden yang sebelumnya sudah dihilangkan dari Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Mahkamah Konstitusi.
Akan tetapi, alih-alih menghentikan keinginan itu, pemerintah saat ini menyatakan bahwa keinginan untuk menghidupkan ‘pasal karet’ itu dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Bahkan Presiden dengan enteng mengatakan, "Namanya juga rancangan, terserah di Dewan dong. Itu rancangan saja kok ramai."
Mungkin pemerintah harus kembali diingatkan soal penyebab timbulnya kejahatan, bahwa ia timbul karena ada niat dan kesempatan. Mungkin harus ada pula yang mengingatkan bahwa banyak rakyatnya yang bersedih, meski tidak pernah diungkapkan dan tak pernah berniat mengalihkan isu kesedihan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar