Kebijakan devaluasi dari bank sentral China benar-benar
menghantam ekonomi RI setelah didera ketidakpastian dari kebijakan bank sentral
AS. Tak pelak hal itu membuat ekonomi RI kembali masuk jalur lambat.
Menteri Koordinator Perekonomian pemerintahan sebelumnya,
Chairul Tanjung di masa-masa akhir jabatannya yang singkat mengatakan bahwa
Indonesia memiliki siklus ekonomi tujuh tahunan. Artinya dalam perputaran waktu
tersebut Indonesia diprediksi mengalami krisis ekonomi. "Terakhir krisis
tahun 2008. Jadi yang akan datang antara 2015 atau 2016,” kata dia. Pertumbuhan
ekonomi pada 2009 merosot menjadi 4,4 persen, dari 6 persen tahun sebelumnya.
Chairul adalah seorang pengusaha bukanlah seorang peramal.
Akan tetapi kata-katanya yang diucapkan setahun lalu ketika berbicara pada
Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa di Surabaya, tidak bisa dinafikan begitu
saja ketika melihat situasi ekonomi saat ini.
Kebijakan otoritas China mendevaluasikan mata uangnya
seperti sebuah gong penanda dimulainya tekanan ekonomi yang lebih berat bagi
pertumbuhan Indonesia melanjutkan tekanan sebelumnya yang berasal dari
ketidakpastian kenaikan bunga acuan di AS.
Sejak triwulan pertama tahun ini tekanan dari eksternal
memang menjadi kambing hitam atas melemahnya pertumbuhan. Ekonomi yang tadinya
ditargetkan tumbuh 5,7 persen, karena melihat pertumbuhan di triwulan pertama
yang melempem di angka 4,71 persen, diturunkan menjadi 5,4 persen. Dan kejutan
dari otoritas China akan kembali menekan pertumbuhan, meski hingga kini angka
resminya belum dikeluarkan pemerintah.
Kondisi ekonomi global yang tetap kelabu terutama disebabkan
kekisruhan ekonomi Yunani dan ketidakpastian kebijakan suku bunga AS, menambah
beban Indonesia yang tengah tertekan oleh kejatuhan harga komoditas.
Nilai tukar sejak awal tahun tidak pernah beranjak dari
level Rp13.000 per dollar, bahkan rupiah diperdagangkan mendekati Rp14.000
memasuki pertengahan kedua Agustus. Jika dirata-rata sejak awal tahun sampai 18
Agustus, kurs rupiah masih bertengger di level Rp13.152, masih jauh di atas
target pemerintah pada APBN tahun ini yang dipatok Rp12.500 per dollar AS. (Indonesia
pernah mencapai pelemahan nilai tukar terbesar pada Juni 1998 ketika dollar AS
saat itu menyentuh Rp16.650).
Di kawasan Asia Tenggara, kurs rupiah mengalami pelemahan
terparah bersama ringgit Malaysia. Hingga pekan kedua Agustus, rupiah melemah
lebih dari 10 persen dari posisi awal tahun dan ringgit lebih besar lagi. Kedua
negara memang tertampar melorotnya harga komoditas yang merupakan andalan
ekspor selama ini.
Malaysia sepanjang tahun lalu, sudah berupaya mengurangi
ketergantungannya pada minyak yang menguasai 30 persen dari pendapatan.
Sementara Indonesia, meski sudah menjadi menjadi importer bersih minyak, masih
mengandalkan 60 persen pendapatannya dari komoditas. Menurut indeks komoditas yang
dibuat oleh majalah ekonomi ternama, The
Economist, harga komoditas tidak termasuk minyak, telah menurun hampir 20
persen sepanjang tahun lalu.
Sementara itu, di sisi neraca perdagangan, situasi tak kalah
mengkhawatirkan ketika pada Juli menurut pengumuman Badan Pusat Statistik
(BPS), angkanya surplus sebesar 1,3 miliar dollar AS. Persoalannya surplus
tersebut tidak berasal dari kinerja ekspor dan impor yang meningkat. Sebaliknya,
baik ekspor maupun impor justru mencatatkan kinerja terendah dalam tiga tahun
terakhir.
Nilai ekspor pada Juli sebesar 11,4 miliar dollar AS atau
turun 19,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini merupakan
kinerja terburuk sejak Agustus 2012. Di sisi lain, impor mencatatkan angka 10,1
miliar dollar AS, turun 28,4 persen dibandingkan tahun lalu.
Tekanan berlanjut ketika Badan Pusat Statistik mengumumkan
bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan kedua justru semakin melemah dengan hanya
mencatatkan pertumbuhan 4,67 persen dibanding setahun lalu atau 3,78 persen
secara triwulanan. Triwulan sebelumnya tanda-tanda pelemahan sudah terlihat
dengan ekonomi hanya tumbuh 4,71 persen. dengan capaian itu, target pertumbuhan
di atas 5 persen tampaknya akan seperti pungguk merindukan bulan saja.
Birokrasi Tidur
Ada beberapa hal yang menjadi catatan, kenapa ekonomi makin
lamban berjalan. Namun alih-alih disebabkan faktor eksternal seperti yang sering
diutarakan pemerintah, ekonom Indef, Enny Sri Hartati melihatnya dari sisi
internal. Pertama, adalah peran
pemerintah yang sepertinya terus berkurang.
Hingga akhir Juni, realisasi penyerapan anggaran pemerintah
masih di bawah 30 persen. Akibatnya, kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap
pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 2,28 persen dengan porsi yang berkurang
menjadi 7,9 persen. Padahal, secara historis, rata-rata pertumbuhan konsumsi
pemerintah selalu di atas 5 persen dengan porsi 8-9 persen. “Hal ini
menunjukkan tidak hanya terjadi keterlambatan penyerapan anggaran, tetapi
aparat birokrasi benar-benar tidur. Belanja yang digelontorkan tidak memiliki
efektivitas sebagai stimulus perekonomian,” kata Enny dalam sebuah tulisan yang
dipublikasikan sebuah harian nasional.
Kedua, tekanan
harga kebutuhan pokok. Inflasi sepanjang April-Juni memang cukup rendah yang
membuat pemerintah terbuai, seolah-olah stabilitas perekonomian terkendali.
Padahal, inflasi bahan makanan pada Juni 2015 sebesar 1,6 persen. Pemerintah
lupa, tingginya inflasi kebutuhan pokok pasti berimplikasi menggerus daya beli
masyarakat. “Pendapatan masyarakat akan terkuras untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehingga tidak tersisa dana untuk mengonsumsi produk-produk industri,” ujar
Enny.
Hal itu kemudian menyebabkan hal yang ketiga, yaitu terkurasnya daya beli masyarakat. Sekalipun
pertengahan Juli memasuki hari raya Lebaran, sebagian besar masyarakat sudah
tidak terpikir lagi untuk membeli baju, apalagi produk industri lain di luar
kebutuhan pokok. “Karena pendapatan mereka sudah menyusut,” kata dia.
Keempat, sektor
riil macet. Sinyal lampu kuning dan alarm tanda peringatan sebenarnya mulai
menyala sejak triwulan pertama 2015, dengan sektor industri manufaktur yang
hanya tumbuh 3,8 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi,
pertumbuhan kredit pembiayaan perbankan juga terus turun. Artinya, secara
keseluruhan investasi mandek. Proses produksi sektor riil tidak mampu lagi
berlangsung, sebagai dampak rendahnya daya beli masyarakat. Hal ini akan
mengantarkan ekonomi ke jalur lambat mengingat selama ini pertumbuhan selalu
didorong oleh konsumsi.
Sikap Pemerintah
Melihat kondisi itu, mau tidak mau
pemerintah akan mengeluarkan jurus andalan yaitu menggelontorkan anggaran yang
bisa mendongkrak pertumbuhan. Sejauh ini sektor infrastruktur terus menjadi
Kartu As pemerintah ketika ditanya soal menggerakkan ekonomi.
Akan tetapi, belum apa-apa
strategi itu dipandang pesimist oleh Sofjan Wanandi, Ketua Tim Ahli Wakil
Presiden Jusuf Kalla.
Menurut pengusaha dan itu, rencana
pemerintah untuk menggenjot belanja kementerian dan penyertaan modal negara
(PMN) yang dititipkan melalui badan usaha milik negara (BUMN) di sisa tahun ini
tidak akan cukup mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi. pasalnya saat ini, pelaku
ekonomi juga terdesak oleh pelemahan kurs.
"Kami sedang mendorong agar uang itu keluar dari APBN
untuk proyek-proyek besar segera ditandatangani. Idealnya Agustus itu harus
sudah mulai keluar semua. Tetapi untuk menjaga dollar AS, pengusaha juga harus
memangkas pos pengeluaran yang tidak bersinggungan langsung dengan produksi,”
ujar Sofjan.
Untuk itu, dia mendesak menteri-menteri ekonomi baru hasil reshuffle benar-benar melakukan tugasnya
untuk mengendalikan nilai tukar. Hal tersebut akan mengoptimalkan belanja yang
akan digenjot pemerintah. “Sebab, masih banyak barang-barang impor yang
dibutuhkan para kontraktor untuk mengerjakan proyek infrastruktur pemerintah.
Semakin rendah nilai dollar AS, maka akan tercipta optimalisasi anggaran,” kata
Sofjan.
Hingga akhir Juli, realisasi belanja anggaran pemerintah baru
mencapai Rp913,5 triliun, atau berkisar 46 persen dari total anggaran belanja
yang mencapai Rp 1.984 triliun.
Menteri-menteri hasil reshuffle
Agustus lalu, secara khusus ditugaskan oleh Presiden Joko Widodo untuk
menstabilkan rupiah agar bisa memberi ruang bagi perekonomian untuk bergerak.
"(Tugas menteri-menteri ekonomi baru hasil perombakan)
yang paling utama sekarang persoalan currency,"
kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta,
sesaat setelah dilantik. Pramono adalah salah satu pejabat yang baru ditunjuk
Presiden di lingkungan sekretariat negara.
Secara khusus pula, dia meminta agar Menteri Koordinator
bidang Perekonomian Darmin Nasution segera melakukan koordinasi dengan
menteri-menteri lainnya. Hal itu untuk menyusun langkah cepat untuk
menstabilkan rupiah. Sebab, jika tidak segera diatasi, pemerintah khawatir hal
itu dapat mengganggu perekonomian dalam negeri. “Itulah yang menjadi beban
utama pemerintahan saat ini," kata Pramono.
Sementara itu, Darmin Nasution, Menteri Koordinator
Perekonomian yang baru, hasil reshuffle
bulan lalu, mengatakan agar pemerintah melupakan dahulu soal pertumbuhan
ekonomi. Mantan Gubernur Bank Indonesia itu menegaskan, saat ini kestabilan
ekonomi Indonesia jauh lebih penting ketimbang mengejar statistik pertumbuhan.
Darmin tentu bukan peramal, tetapi dia tahu bahwa target
pertumbuhan tidak mungkin lagi dapat dicapai.
2005 5,5
2006 5,6
2007 6,3
2008 6,0
2009 4,4
2010 6,1
2011 6,5
2012 6,23
2013 5,58
2014 5,02
2015 5,4*
*target APBN hasil revisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar