Selasa, 19 Januari 2016

Kembali ke Jalur Lambat

Kebijakan devaluasi dari bank sentral China benar-benar menghantam ekonomi RI setelah didera ketidakpastian dari kebijakan bank sentral AS. Tak pelak hal itu membuat ekonomi RI kembali masuk jalur lambat.

Menteri Koordinator Perekonomian pemerintahan sebelumnya, Chairul Tanjung di masa-masa akhir jabatannya yang singkat mengatakan bahwa Indonesia memiliki siklus ekonomi tujuh tahunan. Artinya dalam perputaran waktu tersebut Indonesia diprediksi mengalami krisis ekonomi. "Terakhir krisis tahun 2008. Jadi yang akan datang antara 2015 atau 2016,” kata dia. Pertumbuhan ekonomi pada 2009 merosot menjadi 4,4 persen, dari 6 persen tahun sebelumnya.
Chairul adalah seorang pengusaha bukanlah seorang peramal. Akan tetapi kata-katanya yang diucapkan setahun lalu ketika berbicara pada Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa di Surabaya, tidak bisa dinafikan begitu saja ketika melihat situasi ekonomi saat ini.
Kebijakan otoritas China mendevaluasikan mata uangnya seperti sebuah gong penanda dimulainya tekanan ekonomi yang lebih berat bagi pertumbuhan Indonesia melanjutkan tekanan sebelumnya yang berasal dari ketidakpastian kenaikan bunga acuan di AS.
Sejak triwulan pertama tahun ini tekanan dari eksternal memang menjadi kambing hitam atas melemahnya pertumbuhan. Ekonomi yang tadinya ditargetkan tumbuh 5,7 persen, karena melihat pertumbuhan di triwulan pertama yang melempem di angka 4,71 persen, diturunkan menjadi 5,4 persen. Dan kejutan dari otoritas China akan kembali menekan pertumbuhan, meski hingga kini angka resminya belum dikeluarkan pemerintah.
Kondisi ekonomi global yang tetap kelabu terutama disebabkan kekisruhan ekonomi Yunani dan ketidakpastian kebijakan suku bunga AS, menambah beban Indonesia yang tengah tertekan oleh kejatuhan harga komoditas.
Nilai tukar sejak awal tahun tidak pernah beranjak dari level Rp13.000 per dollar, bahkan rupiah diperdagangkan mendekati Rp14.000 memasuki pertengahan kedua Agustus. Jika dirata-rata sejak awal tahun sampai 18 Agustus, kurs rupiah masih bertengger di level Rp13.152, masih jauh di atas target pemerintah pada APBN tahun ini yang dipatok Rp12.500 per dollar AS. (Indonesia pernah mencapai pelemahan nilai tukar terbesar pada Juni 1998 ketika dollar AS saat itu menyentuh Rp16.650).
Di kawasan Asia Tenggara, kurs rupiah mengalami pelemahan terparah bersama ringgit Malaysia. Hingga pekan kedua Agustus, rupiah melemah lebih dari 10 persen dari posisi awal tahun dan ringgit lebih besar lagi. Kedua negara memang tertampar melorotnya harga komoditas yang merupakan andalan ekspor selama ini.
Malaysia sepanjang tahun lalu, sudah berupaya mengurangi ketergantungannya pada minyak yang menguasai 30 persen dari pendapatan. Sementara Indonesia, meski sudah menjadi menjadi importer bersih minyak, masih mengandalkan 60 persen pendapatannya dari komoditas. Menurut indeks komoditas yang dibuat oleh majalah ekonomi ternama, The Economist, harga komoditas tidak termasuk minyak, telah menurun hampir 20 persen sepanjang tahun lalu.
Sementara itu, di sisi neraca perdagangan, situasi tak kalah mengkhawatirkan ketika pada Juli menurut pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS), angkanya surplus sebesar 1,3 miliar dollar AS. Persoalannya surplus tersebut tidak berasal dari kinerja ekspor dan impor yang meningkat. Sebaliknya, baik ekspor maupun impor justru mencatatkan kinerja terendah dalam tiga tahun terakhir.
Nilai ekspor pada Juli sebesar 11,4 miliar dollar AS atau turun 19,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini merupakan kinerja terburuk sejak Agustus 2012. Di sisi lain, impor mencatatkan angka 10,1 miliar dollar AS, turun 28,4 persen dibandingkan tahun lalu. 
Tekanan berlanjut ketika Badan Pusat Statistik mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan kedua justru semakin melemah dengan hanya mencatatkan pertumbuhan 4,67 persen dibanding setahun lalu atau 3,78 persen secara triwulanan. Triwulan sebelumnya tanda-tanda pelemahan sudah terlihat dengan ekonomi hanya tumbuh 4,71 persen. dengan capaian itu, target pertumbuhan di atas 5 persen tampaknya akan seperti pungguk merindukan bulan saja.

Birokrasi Tidur
Ada beberapa hal yang menjadi catatan, kenapa ekonomi makin lamban berjalan. Namun alih-alih disebabkan faktor eksternal seperti yang sering diutarakan pemerintah, ekonom Indef, Enny Sri Hartati melihatnya dari sisi internal. Pertama, adalah peran pemerintah yang sepertinya terus berkurang.
Hingga akhir Juni, realisasi penyerapan anggaran pemerintah masih di bawah 30 persen. Akibatnya, kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 2,28 persen dengan porsi yang berkurang menjadi 7,9 persen. Padahal, secara historis, rata-rata pertumbuhan konsumsi pemerintah selalu di atas 5 persen dengan porsi 8-9 persen. “Hal ini menunjukkan tidak hanya terjadi keterlambatan penyerapan anggaran, tetapi aparat birokrasi benar-benar tidur. Belanja yang digelontorkan tidak memiliki efektivitas sebagai stimulus perekonomian,” kata Enny dalam sebuah tulisan yang dipublikasikan sebuah harian nasional.
Kedua, tekanan harga kebutuhan pokok. Inflasi sepanjang April-Juni memang cukup rendah yang membuat pemerintah terbuai, seolah-olah stabilitas perekonomian terkendali. Padahal, inflasi bahan makanan pada Juni 2015 sebesar 1,6 persen. Pemerintah lupa, tingginya inflasi kebutuhan pokok pasti berimplikasi menggerus daya beli masyarakat. “Pendapatan masyarakat akan terkuras untuk memenuhi kebutuhan pokok sehingga tidak tersisa dana untuk mengonsumsi produk-produk industri,” ujar Enny.
Hal itu kemudian menyebabkan hal yang ketiga, yaitu terkurasnya daya beli masyarakat. Sekalipun pertengahan Juli memasuki hari raya Lebaran, sebagian besar masyarakat sudah tidak terpikir lagi untuk membeli baju, apalagi produk industri lain di luar kebutuhan pokok. “Karena pendapatan mereka sudah menyusut,” kata dia.
Keempat, sektor riil macet. Sinyal lampu kuning dan alarm tanda peringatan sebenarnya mulai menyala sejak triwulan pertama 2015, dengan sektor industri manufaktur yang hanya tumbuh 3,8 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, pertumbuhan kredit pembiayaan perbankan juga terus turun. Artinya, secara keseluruhan investasi mandek. Proses produksi sektor riil tidak mampu lagi berlangsung, sebagai dampak rendahnya daya beli masyarakat. Hal ini akan mengantarkan ekonomi ke jalur lambat mengingat selama ini pertumbuhan selalu didorong oleh konsumsi.

Sikap Pemerintah
Melihat kondisi itu, mau tidak mau pemerintah akan mengeluarkan jurus andalan yaitu menggelontorkan anggaran yang bisa mendongkrak pertumbuhan. Sejauh ini sektor infrastruktur terus menjadi Kartu As pemerintah ketika ditanya soal menggerakkan ekonomi.
Akan tetapi, belum apa-apa strategi itu dipandang pesimist oleh Sofjan Wanandi, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Menurut pengusaha dan itu, rencana pemerintah untuk menggenjot belanja kementerian dan penyertaan modal negara (PMN) yang dititipkan melalui badan usaha milik negara (BUMN) di sisa tahun ini tidak akan cukup mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi. pasalnya saat ini, pelaku ekonomi juga terdesak oleh pelemahan kurs.
"Kami sedang mendorong agar uang itu keluar dari APBN untuk proyek-proyek besar segera ditandatangani. Idealnya Agustus itu harus sudah mulai keluar semua. Tetapi untuk menjaga dollar AS, pengusaha juga harus memangkas pos pengeluaran yang tidak bersinggungan langsung dengan produksi,” ujar Sofjan.
Untuk itu, dia mendesak menteri-menteri ekonomi baru hasil reshuffle benar-benar melakukan tugasnya untuk mengendalikan nilai tukar. Hal tersebut akan mengoptimalkan belanja yang akan digenjot pemerintah. “Sebab, masih banyak barang-barang impor yang dibutuhkan para kontraktor untuk mengerjakan proyek infrastruktur pemerintah. Semakin rendah nilai dollar AS, maka akan tercipta optimalisasi anggaran,” kata Sofjan.
Hingga akhir Juli, realisasi belanja anggaran pemerintah baru mencapai Rp913,5 triliun, atau berkisar 46 persen dari total anggaran belanja yang mencapai Rp 1.984 triliun.
Menteri-menteri hasil reshuffle Agustus lalu, secara khusus ditugaskan oleh Presiden Joko Widodo untuk menstabilkan rupiah agar bisa memberi ruang bagi perekonomian untuk bergerak.
"(Tugas menteri-menteri ekonomi baru hasil perombakan) yang paling utama sekarang persoalan currency," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, sesaat setelah dilantik. Pramono adalah salah satu pejabat yang baru ditunjuk Presiden di lingkungan sekretariat negara.
Secara khusus pula, dia meminta agar Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution segera melakukan koordinasi dengan menteri-menteri lainnya. Hal itu untuk menyusun langkah cepat untuk menstabilkan rupiah. Sebab, jika tidak segera diatasi, pemerintah khawatir hal itu dapat mengganggu perekonomian dalam negeri. “Itulah yang menjadi beban utama pemerintahan saat ini," kata Pramono.
Sementara itu, Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian yang baru, hasil reshuffle bulan lalu, mengatakan agar pemerintah melupakan dahulu soal pertumbuhan ekonomi. Mantan Gubernur Bank Indonesia itu menegaskan, saat ini kestabilan ekonomi Indonesia jauh lebih penting ketimbang mengejar statistik pertumbuhan.
Darmin tentu bukan peramal, tetapi dia tahu bahwa target pertumbuhan tidak mungkin lagi dapat dicapai.

 ----------------------------------------
 Pertumbuhan ekonomi RI

2005       5,5
2006       5,6
2007       6,3
2008       6,0
2009       4,4
2010       6,1
2011       6,5
2012      6,23
2013       5,58
2014       5,02
2015       5,4*          

*target APBN hasil revisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar