Jumat, 12 Juli 2019

Mengukur Janji Ekonomi Capres


Program-program ekonomi yang dijanjikan pasangan calon presiden memiliki tantangan yang sama ketika harus diimplementasikan lima tahun ke depan. Namun program yang realistis dan terukur tentu akan lebih mudah diwujudkan dan tidak tersisa hanya menjadi janji manis.


Ini seperti deja vu. Kita seperti diantarkan pada suatu kondisi yang rasanya familiar dengan yang pernah kita alami sebelumnya. Ya, pemilihan umum kali ini yang menghadirkan dua calon presiden yang sama dengan lima tahun lalu, membuat publik menebak bahwa pertempurannya akan relatif sama.
            Tidaklah berlebihan jika masyarakat menebaknya demikian. Pasalnya hal-hal yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari masing-masing kontestan sudah relatif diketahui oleh masing-masing pesaingnya.          
Namun begitu tidak dengan janji-janji ekonomi yang disiapkan masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Kondisi dan tantangan ekonomi yang bakal dihadapi pemerintahan pada lima tahun ke depan jelas berbeda dengan sebelumnya. Apalagi dengan bekal prestasi ekonomi sepanjanga lima tahun lalu yang tidak bisa terlalu dibanggakan.
Menurut kalangan pengamat, presiden yang akan datang –siapapun dia– akan  tetap berhadapan dengan ancaman pertumbuhan yang lambat. Salah satunya datang dari Eric Aleksander Sugandi. Menurut pengamat ekonomi yang juga Project Consultant Asian Development Bank beberapa tantangan akan tetap menjadi faktor penghambat perekonomian Indonesia, baik dari domestik maupun eksternal. Dari dalam negeri, pemerintah masih harus berhadapan dengan defisit dalam current account (CAD), dan share dana asing yang masih signifikan di bursa saham. “Sehingga rupiah masih akan rentan terhadap capital outflows,” kata dia.
            Dari eksternal, normalisasi suku bunga di negara-negara maju, utamanya kenaikan bunga dari The Federal Reserve akan menjadi tantangan utama tim ekonomi pemerintah yang akan datang. Selain itu kondisi eskalasi konflik dagang yang terjadi antara AS dengan China juga akan menjadi faktor yang akan mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia.
             Selain itu, perkembangan sektor komoditas juga akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. “ Seperti penurunan harga minyak dunia, walau penurunan tersebut bisa menurunkan CAD, tetapi jika terlalu tajam dan persisten bisa berpengaruh negatif pada ekspor Indonesia dan penerimaan Pemerintah,” kata Eric.
                Di samping itu semua jangan lupakan juga tantangan berupa pengangguran dan pemberdayaan ekonomi masyarakat terutama di sektor mikro yang dalam beberapa tahun belakangan eskalasinya cukup meningkat.
Sementara itu pengamat ekonomi dan politik internasional, Asmiati Malik menganalisis bahwa siapapun pasangan yang menang akan menghadapi situasi ketidakpastian ekonomi dan politik. Pada semester pertama 2019, kata dia akan dipenuhi oleh ketidakpastian ekonomi dan politik.
Sementara pada semester kedua, apabila pasangan Jokowi-Ma’ruf tidak terpilih, maka tahun 2019, akan dilewati dengan perubahan dan transisi pola dan penyesuaian kebijakan ekonomi politik dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo.
Penyesuaian kebijakan dalam pergantian presiden biasanya membutuhkan waktu setidaknya setahun lebih sejak terpilih. Sehingga kemungkinan besar, realisasi dan dampak kebijakan baru akan terlihat pada tahun 2021.
Dalam istilah Keynesian Ekonomi, dikenal dengan Time Lags, yang secara sederhana berarti setiap kebijakan membutuhkan waktu untuk bisa terlihat dampaknya. Oleh karena itu, pergerakan ekonomi Indonesia, tahun 2019-2021 tidak akan menunjukkan pertumbuhan GDP yang cukup signifikan. Perkiraan saya, pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka 5-5,5 persen,” jelas Asmiati.
Sementara itu, apabila Jokowi-Ma’ruf terpilih pada tahun 2019, maka sudah pasti program yang sama akan terus dijalankan, sehingga secara hitungan ekonomis lebih bermanfaat buat pasar dan investor. Pasalnya pasar dan investor sudah familiar dengan pola kebijakan Jokowi pada pemerintahan sebelumnya, sehingga mereka bisa melakukan hitungan ekonomis yang lebih jelas.
Meskipun demikian, Indonesia tidak serta merta bebas dari berbagai permasalahan ekonomi yang kemungkinan besar akan lebih berat pada tahun 2019. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak akan menunjukkan pergerakan yang signifikan, kemungkinan besar akan berada pada 5-5,7%. Hal ini disebabkan belum ada pergerakan ekonomi yang berarti dari segi peningkatan pendapatan negara, serta belum adanya kerangka yang jelas dan hitungan empiris yang pasti  bagaimana mengatasi permasalahan tersebut.
Siapapun presiden yang terpilih, mereka akan berhadapan dengan permasalahan menahun yang dialami juga oleh Presiden Indonesia sebelumnya sejak orde baru, yaitu tingkat produktivitas yang sangat rendah. Kemudian, ketergantungan pada impor bahan bakar minyak,” terang Asmiati.
Dua permasalahan ini akan terus menghantui nilai pergerakan rupiah, inflasi, dan kesehatan keuangan negara. Minimnya pendapatan negara dari sektor pajak, yang disebabkan oleh rendahnya nilai ekspor akan terus menggerus keuangan negara.
Di lain pihak, untuk meningkatkan produktivitas yang berbasis teknologi terapan dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Kalau dilihat dari kondisi pembangunan sumber daya manusia dari tingkat competitiveness index di tahun 2018 menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-45, jauh tertinggal dari negara tetangga terdekat, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura, meskipun dalam kurun sepuluh tahun Indonesia sudah naik 10 digit dari posisi 55 ke posisi 45.
Ini harus menjadi perhatian utama dari Pemerintah Indonesia, siapapun presidennya, permasalahan kualitas pendidikan Indonesia harus menjadi target dan capaian utama dalam pembangunan jangka panjang,” ujar Asmiati.

Janji-Janji Ekonomi
                Tantangan ke depan yang tidak ringan itu tentunya harus sudah diantisipasi oleh kedua calon pasangan pucuk pimpinan pemerintahan yang tengah bertarung ini. Maka tidaklah mengherankan jika dua kandidat yang bertarung pada pemilihan kali ini memiliki sederet janji-janji ekonomi yang bakal dijalankan jika menang nanti.
                Pasangan Jokowi-Ma’ruf memiliki program ekonomi yang masih terbilang umum, setidaknya jika dilihat dari janji-janji yang sudah dipublikasikan di media sejak awal kampanye. Pasangan mengelompokkan program ekonominya menjadi empat kelompok besar.
                Pertama, menumbuhkan kewirausahaan Bonus demografi dan hadirnya Revolusi Industri 4.0 harus dihadapi dengan menumbuhkan wirausahawan-wirausahawan baru terutama dari kalangan generasi muda/milenial. Kedua, menguatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
                Ketiga,  menciptakan struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing. Dan keempat, pembangunan yang merata dan berkeadilan.
                Di sisi lain, pasangan Prabowo-Sandi, memiliki program ekonomi yang lebih spesifik dengan mengeluarkan janji-janji mencapai 36 poin. Di antaranya adalah, pertama, menyelenggarakan politik pembangunan yang memprioritaskan rakyat, melalui penyusunan anggaran pro-rakyat, kebijakan ekonomi pro-penciptaan lapangan kerja, kebijakan fiskal yang pro daya beli masyarakat, kebijakan subsidi yang mendorong kemampuan produksi, kebijakan menjadi harga yang terjangkau dan stabil serta pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan yang mendukung berkembangnya sektor produktif.
Kedua, membangun industri hulu dan industri manufaktur nasional berbasis inovasi nasional untuk meningkatkan daya saing, berbahan baku lokal guna memberikan nilai tambah bagi komoditas dalam negeri, mendorong berkembangnya industri rakyat, serta menyokong penyerapan angkatan kerja.
Ketiga, membangun kembali industri strategis nasional yang mampu memproduksi barang-barang modal, untuk mengurangi ketergantungan impor barang modal. Keempat, membenahi BUMN sebagai benteng pertahanan ekonomi nasional. (daftar lengkapnya pada info grafis).
                Publik tinggal membandingkan antara janji-janji dengan realisasi nanti ketika pemenangnya nanti memerintah dalam lima tahun ke depan. Jika perlu masyarakat menagih kembali janji-janji ekonomi itu persis seperti yang tertulis dalam program ekonomi yang diusung pemenang kontestasi ketika kampanye.
                Kita semua tentunya tidak mau lagi mengalami déjà vu pertumbuhan ekonomi seperti lima tahun belakangan ini.

(dipublikasikan Apr-Mei 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar