Program-program
ekonomi yang dijanjikan pasangan calon presiden memiliki tantangan yang sama
ketika harus diimplementasikan lima tahun ke depan. Namun program yang
realistis dan terukur tentu akan lebih mudah diwujudkan dan tidak tersisa hanya
menjadi janji manis.
Ini seperti deja vu.
Kita seperti diantarkan pada suatu kondisi yang rasanya familiar dengan yang pernah
kita alami sebelumnya. Ya, pemilihan umum kali ini yang menghadirkan dua calon presiden yang sama dengan lima tahun
lalu, membuat publik menebak bahwa pertempurannya akan relatif sama.
Tidaklah berlebihan jika
masyarakat menebaknya demikian. Pasalnya hal-hal yang menjadi kekuatan dan
kelemahan dari masing-masing kontestan sudah relatif diketahui oleh
masing-masing pesaingnya.
Namun begitu tidak dengan janji-janji ekonomi
yang disiapkan masing-masing
pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Kondisi dan tantangan ekonomi
yang bakal dihadapi pemerintahan pada lima tahun ke depan jelas berbeda
dengan sebelumnya. Apalagi
dengan bekal prestasi ekonomi sepanjanga lima tahun lalu yang tidak bisa
terlalu dibanggakan.
Menurut kalangan pengamat, presiden yang
akan datang –siapapun dia– akan tetap berhadapan dengan ancaman pertumbuhan
yang lambat. Salah satunya datang dari Eric
Aleksander Sugandi. Menurut pengamat ekonomi
yang juga Project Consultant Asian Development Bank beberapa tantangan akan tetap menjadi faktor penghambat
perekonomian Indonesia, baik dari domestik maupun eksternal. Dari dalam negeri,
pemerintah masih harus berhadapan dengan defisit dalam current account (CAD), dan share
dana asing yang masih signifikan di bursa saham. “Sehingga rupiah masih akan
rentan terhadap capital outflows,”
kata dia.
Dari
eksternal, normalisasi suku bunga di negara-negara maju, utamanya kenaikan
bunga dari The Federal Reserve akan menjadi tantangan utama tim ekonomi
pemerintah yang akan datang. Selain itu kondisi eskalasi konflik dagang yang
terjadi antara AS dengan China juga akan menjadi faktor yang akan mempengaruhi
kondisi ekonomi Indonesia.
Selain itu, perkembangan sektor
komoditas juga akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. “ Seperti penurunan
harga minyak dunia, walau penurunan tersebut bisa menurunkan CAD, tetapi jika
terlalu tajam dan persisten bisa berpengaruh negatif pada ekspor Indonesia dan
penerimaan Pemerintah,” kata
Eric.
Di samping itu semua jangan
lupakan juga tantangan berupa pengangguran dan pemberdayaan ekonomi masyarakat
terutama di sektor mikro yang dalam beberapa tahun belakangan eskalasinya cukup
meningkat.
Sementara itu pengamat ekonomi dan politik
internasional, Asmiati Malik menganalisis bahwa siapapun pasangan yang menang akan menghadapi
situasi ketidakpastian ekonomi dan politik. Pada semester pertama 2019, kata dia akan dipenuhi oleh
ketidakpastian ekonomi dan politik.
Sementara pada semester kedua,
apabila pasangan Jokowi-Ma’ruf tidak terpilih, maka tahun 2019, akan dilewati
dengan perubahan dan transisi pola dan penyesuaian kebijakan ekonomi politik
dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo.
Penyesuaian kebijakan dalam
pergantian presiden biasanya membutuhkan waktu setidaknya setahun lebih sejak
terpilih. Sehingga
kemungkinan besar, realisasi
dan dampak kebijakan baru akan terlihat pada tahun 2021.
Dalam istilah Keynesian Ekonomi,
dikenal dengan Time Lags, yang secara sederhana berarti setiap kebijakan
membutuhkan waktu untuk bisa terlihat dampaknya. “Oleh karena itu, pergerakan ekonomi
Indonesia, tahun 2019-2021 tidak akan menunjukkan pertumbuhan GDP yang cukup
signifikan. Perkiraan saya, pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka 5-5,5 persen,” jelas Asmiati.
Sementara itu, apabila
Jokowi-Ma’ruf terpilih pada tahun 2019, maka sudah pasti program yang sama akan
terus dijalankan, sehingga secara hitungan ekonomis lebih bermanfaat buat pasar
dan investor. Pasalnya
pasar dan investor sudah familiar dengan pola kebijakan Jokowi pada pemerintahan sebelumnya,
sehingga mereka bisa melakukan hitungan ekonomis yang lebih jelas.
Meskipun demikian, Indonesia
tidak serta merta bebas dari berbagai permasalahan ekonomi yang kemungkinan
besar akan lebih berat pada tahun 2019. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga
tidak akan menunjukkan pergerakan yang signifikan, kemungkinan besar akan
berada pada 5-5,7%. Hal ini disebabkan belum ada pergerakan ekonomi yang
berarti dari segi peningkatan pendapatan negara, serta belum adanya kerangka
yang jelas dan hitungan empiris yang pasti
bagaimana mengatasi permasalahan tersebut.
“Siapapun presiden yang terpilih, mereka
akan berhadapan dengan permasalahan menahun yang dialami juga oleh Presiden
Indonesia sebelumnya sejak orde baru, yaitu tingkat produktivitas yang sangat
rendah. Kemudian, ketergantungan pada impor bahan bakar minyak,” terang Asmiati.
Dua permasalahan ini akan terus
menghantui nilai pergerakan rupiah,
inflasi, dan kesehatan keuangan negara. Minimnya pendapatan negara dari sektor
pajak, yang disebabkan oleh rendahnya nilai ekspor akan terus menggerus
keuangan negara.
Di lain pihak, untuk meningkatkan
produktivitas yang berbasis teknologi terapan dibutuhkan kualitas sumber daya
manusia yang tinggi. Kalau dilihat dari kondisi pembangunan sumber daya manusia
dari tingkat competitiveness index di tahun 2018 menunjukkan Indonesia berada
di posisi ke-45, jauh tertinggal dari negara tetangga terdekat, seperti
Thailand, Malaysia, dan Singapura, meskipun dalam kurun sepuluh tahun Indonesia
sudah naik 10 digit dari posisi 55 ke posisi 45.
“Ini harus menjadi perhatian utama dari
Pemerintah Indonesia, siapapun presidennya, permasalahan kualitas pendidikan
Indonesia harus menjadi target dan capaian utama dalam pembangunan jangka
panjang,” ujar Asmiati.
Janji-Janji Ekonomi
Tantangan ke depan yang tidak
ringan itu tentunya harus sudah diantisipasi oleh kedua calon pasangan pucuk
pimpinan pemerintahan yang tengah bertarung ini. Maka tidaklah mengherankan
jika dua kandidat yang bertarung pada pemilihan kali ini memiliki sederet
janji-janji ekonomi yang bakal dijalankan jika menang nanti.
Pasangan Jokowi-Ma’ruf memiliki
program ekonomi yang masih terbilang umum, setidaknya jika dilihat dari
janji-janji yang sudah dipublikasikan di media sejak awal kampanye. Pasangan
mengelompokkan program ekonominya menjadi empat kelompok besar.
Pertama, menumbuhkan kewirausahaan Bonus demografi
dan hadirnya Revolusi Industri 4.0 harus dihadapi dengan menumbuhkan
wirausahawan-wirausahawan baru terutama dari kalangan generasi muda/milenial. Kedua, menguatkan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Ketiga, menciptakan struktur ekonomi yang
produktif, mandiri, dan berdaya saing. Dan keempat, pembangunan
yang merata dan berkeadilan.
Di sisi lain, pasangan
Prabowo-Sandi, memiliki program ekonomi yang lebih spesifik dengan mengeluarkan
janji-janji mencapai 36 poin. Di antaranya adalah, pertama, menyelenggarakan politik pembangunan yang
memprioritaskan rakyat, melalui penyusunan anggaran pro-rakyat, kebijakan
ekonomi pro-penciptaan lapangan kerja, kebijakan fiskal yang pro daya beli
masyarakat, kebijakan subsidi yang mendorong kemampuan produksi, kebijakan
menjadi harga yang terjangkau dan stabil serta pembangunan infrastruktur
pertanian dan pedesaan yang mendukung berkembangnya sektor produktif.
Kedua, membangun industri hulu dan
industri manufaktur nasional berbasis inovasi nasional untuk meningkatkan daya
saing, berbahan baku lokal guna memberikan nilai tambah bagi komoditas dalam
negeri, mendorong berkembangnya industri rakyat, serta menyokong penyerapan
angkatan kerja.
Ketiga, membangun kembali industri
strategis nasional yang mampu memproduksi barang-barang modal, untuk mengurangi
ketergantungan impor barang modal. Keempat, membenahi BUMN sebagai benteng pertahanan ekonomi
nasional. (daftar lengkapnya
pada info grafis).
Publik tinggal membandingkan antara
janji-janji dengan realisasi nanti ketika pemenangnya nanti memerintah dalam
lima tahun ke depan. Jika perlu masyarakat menagih kembali janji-janji ekonomi
itu persis seperti yang tertulis dalam program ekonomi yang diusung pemenang
kontestasi ketika kampanye.
Kita
semua tentunya tidak mau lagi mengalami déjà
vu pertumbuhan ekonomi seperti lima tahun belakangan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar