Jumat, 12 Juli 2019

Beban Ganda Perusahaan Pelat Merah


Pengelolaan perusahaan-perusahaan negara mendapat sorotan tajam dalam masa pemerintahan sekarang ketika mereka mendapat ‘berkah’ dalam program infrastruktur. Namun demikian persoalan utang dan juga politik menjadi isu yang mendapat sorotan lebih tajam lagi.


With great power comes great responsibility”. Ungkapan tematik yang merupakan ucapan Paman Ben dalam film karakter superhero Spiderman sering dikutip. Ungkapan ini juga cocok disematkan kepada perusahaan negara saat ini dengan menambahkan, “With great power comes great responsibility and great problems.”
Sejak awal milenium ini, pembahasan mengenai BUMN makin menarik terutama ketika pada tahun 1999, ada kementerian khusus mengenai lembaga itu. Bahkan sejak Presiden Joko Widodo berkantor di Istana Negara pada 2014, peran BUMN makin terdongkrak seiring dengan gegap gempitanya program infrastruktur. Sejak itu pun BUMN menunjukkan tajinya dalam menggerakkan ekonomi nasional di tengah perlambanan pertumbuhan domestik dan gejolak global.
Namun demikian dorong besar dari perusahaan pelat merah itu menimbulkan dampak yang tak bisa dielakkan oleh manajemen dan juga oleh negara. Infrastruktur yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan namun pada kenyataannya malah menimbulkan banyak persoalan. Mulai dari soal utang yang makin menumpuk, hingga dampak dari pekerjaan proyek yang dikebut. Bahkan praktik penguasaan BUMN atas proyek infrastruktur membuat sektor swasta menderita yang ditandai banyaknya perusahaan konstruksi yang bangkrut.
Tahun ini tampaknya akan menjadi pembuktian apakah kebijakan BUMN dari pemerintahan sekarang berpengaruh baik pada kinerja atau tidak. Hal itu akan dibuktikan dari laporan keuangan BUMN secara keseluruhan.
Menteri BUMN, Rini Marini Soemarno mengatakan berdasarkan prognosa laporan tahunan yang belum diaudit, laba bersih perusahaan-perusahaan di bawah koordinasinya mencapai Rp188 triliun. Sementara prognosis realisasinya akan mencapai Rp200 triliun.
Jumlah itu, meski demikian lebih rendah sedikit dari proyeksi kementerian yang diungkapkan akhir tahun lalu yang mencapai Rp218 triliun. Dari sisi pendapatan, jumlah yang dikantongi memang terus meningkat sepanjang 2015 sampai 2018. Pendapatan pada 2015 mencapai Rp1.699 triliun, setahun kemudian mencapai Rp1.710 triliun, dan pada 2017 sebanyak Rp2.027 triliun, hingga tahun lalu yang mencapai Rp2.339 triliun.
                Akan tetapi, prestasi itu tidak bisa menutupi melonjaknya utang yang dimiliki BUMN selama rezim infrastruktur ini berlangsung. Di tengah keterbatasan anggaran negara yang diestimasi mencapai Rp 4.700 triliun selama periode 2015-2019, membuka pintu utang yang cukup lebar buat BUMN. Apalagi kemampuan dana internal BUMN yang tidak mencukupi untuk membiayai pengerjaan proyek-proyek yang bernilai triliunan. Di kantong BUMN hanya tersedia dana maksimal Rp1.034 triliun alias 22 persen dari kebutuhan.
                Jumlah utang perusahaan negara pun meningkat cukup massif sebesar 84,3 persen dalam empat tahun terakhir, dari Rp 1.299 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 2.394 triliun pada tahun 2018. Sementara dalam rentang tahunan, peningkatan utang BUMN tertinggi terjadi pada tahun 2018 sebesar 47,5  persen.
                “Pembiayaan utang memang bukan suatu hal yang terlarang bagi BUMN, namun persoalannya sejauh mana peningkatan utang linear dengan kinerja BUMN. Sebab, apabila akumulasi utang BUMN semakin menumpuk tetapi performa bisnis BUMN tidak membaik maka utang BUMN justru akan menyimpan risiko yang justru membahayakan BUMN itu sendiri,” kata peneliti Indef Abra Talattov.
Menurut dia, penumpukan utang BUMN tidak cukup dibarengi dengan performa bisnis yang semenjana yang ditorehkan sepanjang 2018 di mana laba hanya naik tipis 1,08 persen dari Rp186 triliun pada 2017 menjadi Rp188 triliun pada 2018. Selain itu, penambahan ekuitas BUMN juga hanya tumbuh 4,16 persen dari Rp2.380 triliun pada 2017 menjadi Rp2.479 triliun pada 2018.
                “Pemerintah tentunya perlu mewaspadai risiko yang timbul dari setiap pembangunan infrastruktur yang bertumpu pada utang,” ujar Abra.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mendiagnosa risiko utang BUMN adalah debt to equityratio (DER). Rasio DER memperlihatkan komposisi utang terhadap modal BUMN. Masalahnya, DER BUMN terus mengalami kenaikan dari hanya 0,68 pada 2017 menjadi 0,97 pada 2018.  Di samping itu, rasio utang terhadap aset (debt to asset ratio) juga bertambah dari 0,23 pada 2017 menjadi 0,30 pada 2018. Kedua indikator tersebut membuktikan bahwa utang BUMN yang terus melonjak tidak dibarengi dengan peningkatan modal serta aset BUMN.
Pemerintah bukannya tidak mengakui pembengkakkan utang BUMN sebagai akibat dari pengerjaan proyek infrastruktur. Namun begitu, pemerintah mengatakan hal itu masih bisa ditolelir melihat kemampuan bayar perusahaan-perusahaan tersebut.
Sekretaris Jenderal Kementerian BUMN Imam Apriyanto Putro mengungkapkan tingkat utang BUMN tersebut masih berada di level aman. “Namanya perusahaan, tumbuh berkembang besar," ujar Imam Februari lalu.
Besarnya jumlah utang masih bisa diimbangi dan dibayar oleh pendapatan BUMN serta besarnya aset yang dikelola. Berdasarkan data sementara Kementerian BUMN, total aset BUMN meningkat 12,2 persen dari Rp7. 210 triliun menjadi Rp8.092 triliun pada 2018. “Amanlah kalau bayar. Pendapatannya kan berapa ribu triliun itu. Kemampuan bayarnya kan dilihat dari berapa besar pendapatannya," ujar Imam.

Isu Holding
                Sementara itu, isu lain yang menyeruak adalah keinginan Kementerian BUMN untuk menyegerakan pembentukan induk usaha untuk masing-masing sektor yang menjadi fokus perusahaan negara. Bahkan Menteri BUMN Rini Soemarno akan merampungkan pembentukan delapan holding perusahaan pelat merah sebelum bulan Maret berganti.
                Alasannya adalah mengejar perayaan hari jadi Kementerian BUMN yang ke-21 pada April nanti. "Karena kita April Kementerian BUMN berumur 21 tahun. Jadi 21 tahun, sudah dianggap dewasa penuh maka selesaikan holding-holding," kata Rini pertengahan Januari lalu.
                Delapan holding tersebut adalah untuk sektor infrastruktur, perumahan, asuransi, pertahanan, farmasi, pelabuhan, semen, dan BUMN sektor kawasan. Adapun, tujuan pembentukan holding juga agar pembinaan dan pengawasan BUMN menjadi lebih terukur dan prudent. Selain itu, pembentukan holding juga agar BUMN lincah dan mampu bersaing di kancah internasional.
Selain itu, Rini juga meminta kepada masing-masing Deputi Kementerian BUMN mencari para pegawai yang tepat dalam menjalankan perusahaan. "Bukan saya nggak hargai ASN (aparatur sipil negara), tapi memang ke depannya harus berfikir korporasi, karena pengawasan dan pembinaan itu dilakukan kalau nggak ngerti korporasi timing-nya nggak sama," ungkap dia.
                Akan tetapi ketergesaan ini mendapat respons sinis dari kalangan pengamat. Menurut Abra, dari Indef, ketergesaan ini tidak bisa menghindari munculnya kecurigaan bahwa pemerintah ingin menghindari DPR. Karena saat ini tengah digodok Rancangan Undang-Undang Tentang BUMN yang diinisiasi DPR. Draf itu pertama kali diusulkan pada 2 Februari 2018 dan tahun 2019 ini kembali masuk Prolegnas Prioritas. “Dalam draf RUU BUMN, DPR ingin adanya intervensi dalam proses penggabungan BUMN, makanya pemerintah secepatnya ingin bentuk holding,” kata Abra.
Menurut dia, RUU itu sebenarnya ingin menjawab tantangan BUMN yang selama ini selalu terjerat intervensi politik parlemen dan juga beban politik pemerintah. Namun demikian, dirinya lebih khawatir jika BUMN semakin sulit lagi diawasi oleh Parlemen sebagai perwakilan rakyat, maka ia justru berpotensi semakin terjerumus dijadikan alat politik penguasa.
Oleh karena itu, lanjut Abra, meskipun nantinya Holding dan Superholding BUMN terbentuk, tidak ada jaminan gerak bisnis BUMN bebas dari intervensi penguasa. “Buktinya, beberapa direksi BUMN acapkali dibongkar pasang dalam waktu yang relatif singkat karena sulitnya menolak intervensi kebijakan pemerintah. Belum lagi, jabatan Direksi dan Komisaris yang ditempati banyak “relawan” membuktikan tidak mudahnya membebaskan BUMN dari cengkeraman kepentingan penguasa,” jelas dia.
                Selain itu, strategi holding juga tidak menjamin perbaikan kinerja keuangan BUMN. Buktinya yang bisa dilihat adalah dari holding Semen Indonesia (Persero) Tbk yang terbentuk akhir 2012 memiliki kinerja yang tidak bisa dibilang ok.
Sebagai perusahaan holding, current ratio Semen Indonesia turun dari 220,9 persen per Desember 2014 menjadi 172,14 persen per September 2018, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, Februari lalu. Sementara itu dividen juga turun dan earning per share juga turun dari Rp 938,35 menjadi Rp351,91 pada periode analisis yang sama.

(dipublikasikan Mar-Apr 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar