Pengelolaan perusahaan-perusahaan negara mendapat sorotan
tajam dalam masa pemerintahan sekarang ketika mereka mendapat ‘berkah’ dalam
program infrastruktur. Namun demikian persoalan utang dan juga politik menjadi
isu yang mendapat sorotan lebih tajam lagi.
“With great power
comes great responsibility”. Ungkapan tematik yang merupakan ucapan Paman
Ben dalam film karakter superhero Spiderman sering dikutip. Ungkapan ini juga cocok
disematkan kepada perusahaan negara saat ini dengan menambahkan, “With great power comes great responsibility
and great problems.”
Sejak awal milenium ini,
pembahasan mengenai BUMN makin menarik terutama ketika pada tahun 1999, ada
kementerian khusus mengenai lembaga itu. Bahkan sejak Presiden Joko Widodo
berkantor di Istana Negara pada 2014, peran BUMN makin terdongkrak seiring
dengan gegap gempitanya program infrastruktur. Sejak itu pun BUMN menunjukkan
tajinya dalam menggerakkan ekonomi nasional di tengah perlambanan pertumbuhan
domestik dan gejolak global.
Namun demikian dorong besar dari
perusahaan pelat merah itu menimbulkan dampak yang tak bisa dielakkan oleh
manajemen dan juga oleh negara. Infrastruktur yang dimaksudkan untuk mendorong
pertumbuhan namun pada kenyataannya malah menimbulkan banyak persoalan. Mulai
dari soal utang yang makin menumpuk, hingga dampak dari pekerjaan proyek yang
dikebut. Bahkan praktik penguasaan BUMN atas proyek infrastruktur membuat
sektor swasta menderita yang ditandai banyaknya perusahaan konstruksi yang bangkrut.
Tahun ini tampaknya akan menjadi
pembuktian apakah kebijakan BUMN dari pemerintahan sekarang berpengaruh baik
pada kinerja atau tidak. Hal itu akan dibuktikan dari laporan keuangan BUMN
secara keseluruhan.
Menteri BUMN, Rini Marini
Soemarno mengatakan berdasarkan prognosa laporan tahunan yang belum diaudit,
laba bersih perusahaan-perusahaan di bawah koordinasinya mencapai Rp188
triliun. Sementara prognosis realisasinya akan mencapai Rp200 triliun.
Jumlah itu, meski demikian lebih
rendah sedikit dari proyeksi kementerian yang diungkapkan akhir tahun lalu yang
mencapai Rp218 triliun. Dari sisi pendapatan, jumlah yang dikantongi memang
terus meningkat sepanjang 2015 sampai 2018. Pendapatan pada 2015 mencapai Rp1.699
triliun, setahun kemudian mencapai Rp1.710 triliun, dan pada 2017 sebanyak Rp2.027
triliun, hingga tahun lalu yang mencapai Rp2.339 triliun.
Akan
tetapi, prestasi itu tidak bisa menutupi melonjaknya utang yang dimiliki BUMN selama
rezim infrastruktur ini berlangsung. Di tengah keterbatasan anggaran negara
yang diestimasi mencapai Rp 4.700 triliun selama periode 2015-2019, membuka
pintu utang yang cukup lebar buat BUMN. Apalagi kemampuan dana internal BUMN
yang tidak mencukupi untuk membiayai pengerjaan proyek-proyek yang bernilai
triliunan. Di kantong BUMN hanya tersedia dana maksimal Rp1.034 triliun alias
22 persen dari kebutuhan.
Jumlah
utang perusahaan negara pun meningkat cukup massif sebesar 84,3 persen dalam
empat tahun terakhir, dari Rp 1.299 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 2.394 triliun
pada tahun 2018. Sementara dalam rentang tahunan, peningkatan utang BUMN
tertinggi terjadi pada tahun 2018 sebesar 47,5
persen.
“Pembiayaan
utang memang bukan suatu hal yang terlarang bagi BUMN, namun persoalannya
sejauh mana peningkatan utang linear dengan kinerja BUMN. Sebab, apabila
akumulasi utang BUMN semakin menumpuk tetapi performa bisnis BUMN tidak membaik
maka utang BUMN justru akan menyimpan risiko yang justru membahayakan BUMN itu
sendiri,” kata peneliti Indef Abra Talattov.
Menurut dia, penumpukan utang
BUMN tidak cukup dibarengi dengan performa bisnis yang semenjana yang
ditorehkan sepanjang 2018 di mana laba hanya naik tipis 1,08 persen dari Rp186
triliun pada 2017 menjadi Rp188 triliun pada 2018. Selain itu, penambahan
ekuitas BUMN juga hanya tumbuh 4,16 persen dari Rp2.380 triliun pada 2017
menjadi Rp2.479 triliun pada 2018.
“Pemerintah
tentunya perlu mewaspadai risiko yang timbul dari setiap pembangunan
infrastruktur yang bertumpu pada utang,” ujar Abra.
Salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk mendiagnosa risiko utang BUMN adalah debt to equityratio (DER). Rasio DER memperlihatkan komposisi utang
terhadap modal BUMN. Masalahnya, DER BUMN terus mengalami kenaikan dari hanya
0,68 pada 2017 menjadi 0,97 pada 2018.
Di samping itu, rasio utang terhadap aset (debt to asset ratio) juga
bertambah dari 0,23 pada 2017 menjadi 0,30 pada 2018. Kedua indikator tersebut
membuktikan bahwa utang BUMN yang terus melonjak tidak dibarengi dengan
peningkatan modal serta aset BUMN.
Pemerintah bukannya tidak
mengakui pembengkakkan utang BUMN sebagai akibat dari pengerjaan proyek
infrastruktur. Namun begitu, pemerintah mengatakan hal itu masih bisa ditolelir
melihat kemampuan bayar perusahaan-perusahaan tersebut.
Sekretaris Jenderal Kementerian
BUMN Imam Apriyanto Putro mengungkapkan tingkat utang BUMN tersebut masih
berada di level aman. “Namanya perusahaan, tumbuh berkembang besar," ujar
Imam Februari lalu.
Besarnya jumlah utang masih bisa
diimbangi dan dibayar oleh pendapatan BUMN serta besarnya aset yang dikelola.
Berdasarkan data sementara Kementerian BUMN, total aset BUMN meningkat 12,2
persen dari Rp7. 210 triliun menjadi Rp8.092 triliun pada 2018. “Amanlah kalau
bayar. Pendapatannya kan berapa ribu triliun itu. Kemampuan bayarnya kan
dilihat dari berapa besar pendapatannya," ujar Imam.
Isu Holding
Sementara
itu, isu lain yang menyeruak adalah keinginan Kementerian BUMN untuk
menyegerakan pembentukan induk usaha untuk masing-masing sektor yang menjadi
fokus perusahaan negara. Bahkan Menteri BUMN Rini Soemarno akan merampungkan
pembentukan delapan holding
perusahaan pelat merah sebelum bulan Maret berganti.
Alasannya
adalah mengejar perayaan hari jadi Kementerian BUMN yang ke-21 pada April
nanti. "Karena kita April Kementerian BUMN berumur 21 tahun. Jadi 21
tahun, sudah dianggap dewasa penuh maka selesaikan holding-holding," kata
Rini pertengahan Januari lalu.
Delapan
holding tersebut adalah untuk sektor infrastruktur, perumahan, asuransi,
pertahanan, farmasi, pelabuhan, semen, dan BUMN sektor kawasan. Adapun, tujuan
pembentukan holding juga agar pembinaan dan pengawasan BUMN menjadi lebih
terukur dan prudent. Selain itu,
pembentukan holding juga agar BUMN lincah dan mampu bersaing di kancah
internasional.
Selain itu, Rini juga meminta
kepada masing-masing Deputi Kementerian BUMN mencari para pegawai yang tepat
dalam menjalankan perusahaan. "Bukan saya nggak hargai ASN (aparatur sipil negara), tapi memang ke depannya
harus berfikir korporasi, karena pengawasan dan pembinaan itu dilakukan kalau nggak ngerti korporasi timing-nya
nggak sama," ungkap dia.
Akan
tetapi ketergesaan ini mendapat respons sinis dari kalangan pengamat. Menurut
Abra, dari Indef, ketergesaan ini tidak bisa menghindari munculnya kecurigaan
bahwa pemerintah ingin menghindari DPR. Karena saat ini tengah digodok
Rancangan Undang-Undang Tentang BUMN yang diinisiasi DPR. Draf itu pertama kali
diusulkan pada 2 Februari 2018 dan tahun 2019 ini kembali masuk Prolegnas
Prioritas. “Dalam draf RUU BUMN, DPR ingin adanya intervensi dalam proses
penggabungan BUMN, makanya pemerintah secepatnya ingin bentuk holding,” kata
Abra.
Menurut dia, RUU itu sebenarnya
ingin menjawab tantangan BUMN yang selama ini selalu terjerat intervensi
politik parlemen dan juga beban politik pemerintah. Namun demikian, dirinya
lebih khawatir jika BUMN semakin sulit lagi diawasi oleh Parlemen sebagai
perwakilan rakyat, maka ia justru berpotensi semakin terjerumus dijadikan alat
politik penguasa.
Oleh karena itu, lanjut Abra, meskipun
nantinya Holding dan Superholding BUMN terbentuk, tidak ada jaminan gerak
bisnis BUMN bebas dari intervensi penguasa. “Buktinya, beberapa direksi BUMN
acapkali dibongkar pasang dalam waktu yang relatif singkat karena sulitnya
menolak intervensi kebijakan pemerintah. Belum lagi, jabatan Direksi dan
Komisaris yang ditempati banyak “relawan” membuktikan tidak mudahnya
membebaskan BUMN dari cengkeraman kepentingan penguasa,” jelas dia.
Selain
itu, strategi holding juga tidak
menjamin perbaikan kinerja keuangan BUMN. Buktinya yang bisa dilihat adalah
dari holding Semen Indonesia (Persero) Tbk yang terbentuk akhir 2012 memiliki
kinerja yang tidak bisa dibilang ok.
Sebagai perusahaan holding, current ratio Semen Indonesia turun dari 220,9 persen per Desember
2014 menjadi 172,14 persen per September 2018, berdasarkan data Bursa Efek
Indonesia, Februari lalu. Sementara itu dividen juga turun dan earning per share juga turun dari Rp
938,35 menjadi Rp351,91 pada periode analisis yang sama.
(dipublikasikan Mar-Apr 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar