Kamis, 11 Juli 2019

Akrobat dan Atraksi Proses Divestasi


Perjanjian divestasi dinilai akan melalui proses berliku sebelum akhirnya benar-benar terwujud, dan berpotensi menimbulkan risiko yang bakal mengagetkan semua pihak.


Membahas soal divestasi Freeport adalah menonton akrobat dan drama. Akrobat dan atraksi banyak diperlihatkan oleh PT Freeport Indonesia maupun Freeport McMoran, induknya yang bermarkas di Arkansas, Amerika Serikat. Sementara, drama biasanya menjadi bagian dari pemerintah Indonesia.
                Akrobat dan drama pada akhirnya memancing perhatian publik dan memunculkan kegaduhan politik. Meski demikian ujung-ujungnya hampir selalu dipastikan Indonesia menempati posisi yang ‘dikalahkan’.
Perjanjian yang menjadi dasar dibolehkannya perusahaan tambang asal AS menggali di Indonesia itu sejatinya baru habis pada 2021, dan pembahasannya soal kelanjutan kontrak seharusnya dilanjutkan tahun depan, tahun 2019. Namun demikian pada 12 Juli lalu, Pemerintah dan induk Freeport telah menekan perjanjian awal divestasi kepemilikan saham PT Freeport Indonesia (PTFI).
Banyak yang bertanya-tanya alasan pemerintahan Joko Widodo mengeluarkan keputusan yang dianggap tergesa-gesa itu. Padahal jika dibiarkan saja kontrak itu selesai tahun depan maka Freeport dinilai akan otomatis menjadi milik pemerintah Indonesia.
                “Masalah Freeport selalu muncul karena bobot politiknya lebih besar bahkan dibandingkan bobot masalah Freeport itu sendiri. Setiap perundingan atau perjanjian kontrak Freeport selalu muncul bobot politik yang tinggi,” kata Said Didu, pengamat bisnis badan usaha milik negara (BUMN).
Freeport-McMoRan Inc, perusahaan penggali tambang dunia, pemilik PTFI sudah menambang sejak tahun 1967 dan selalu menjadi salah satu isu besar di Tanah Air sejak itu. Perusahaan itu awalnya menambang tembaga dan belakangan emas di tambang Ertsberg dan tambang Grasberg yang terletak di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Papua.
                Kesepakatan Juli lalu dalam bentuk Head of Agreement (HoA), bahkan disebut-sebut bisa memunculkan akrobat baru dari Freeport dan drama baru dari pemerintah. Sementara itu, drama bagian pertama sudah muncul dengan perayaan dini dari kesepakatan awal itu dan seolah-oleh kedaulatan tambang Freeport sudah berhasil digenggam pemerintah.    
                Padahal pada kenyataannya, HoA adalah langkah awal dari beberapa langkah yang harus ditempuh kedua belah pihak sebelum akhirnya divestasi 51 persen saham Freeport bisa terealisasi. Setidaknya ada tiga tahap lagi yang harus dilewati yaitu Perjanjian Jual Beli Saham, Perjanjian Antarpemegang Saham dan Perjanjian Pertukaran Informasi.
“HoA bukan perjanjian yang mengindikasikan telah selesainya transaksi jual beli saham dari Freeport, sehingga Indonesia melalui Inalum telah menjadi pemegang saham 51 persen dari PT FI. Ada baiknya klaim yang mengatakan Indonesia telah berhasil menjadi pemegang saham 51 persen dihentikan,” kata Guru Besar Hukum  Internasional UI Hikmahanto Juwana yang di dapat Stabilitas, Agustus lalu.
Drama berikutnya muncul ketika pada akhir Agustus, pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia. Ini merupakan perpanjangan keenam yang diberikan pemerintah kepada perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.
Freeport mendapatkan perpanjangan IUPK sementara pertama kali sejak 10 Februari 2017 hingga 10 Oktober 2017. Kemudian diperpanjang hingga 31 Desember 2017. Lalu diperpanjang sampai 30 Juni 2018. Setelah itu, mendapatkan perpanjangan selama satu bulan hingga 31 Juli 2018, dan mendapatkan perpanjangan lagi higga 31 Agustus 2018.
Padahal menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batub ara, Freeport dilarang mengekspor hasil tambang dalam bentuk mentah (konsentrat) dan harus membangun pabrik pengolahan (smelter). Artinya UU yang telah berumur delapan tahun tersebut dalam praktiknya belum juga bisa ditegakkan di hadapan Freeport.
Susah untuk tidak mengatakan bahwa proses deal divestasi akan panjang dan digunakan Freeport untuk terus memperoleh fasilitas izin konsentrat. Bahkan Direktur Jendral Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono pernah mengatakan kemungkinan IUPK PTFI akan diperpanjang sampai proses divestasi rampung.

Potensi Akrobat Ekstra
Selain itu, drama dan akrobat juga berpotensi akan muncul lagi. Pasalnya perjanjian dalam HoA masih akan dilanjutkan dalam perjanjian yang lebih terperinci. Namun demikian pembahasan divestasi lanjutan itu akan memuat isu yang sangat krusial, seperti soal stabilisasi investasi dan perpajakan.
Menurut Hikmahanto, isu tersebut janggal bila harus diserahkan kepada Inalum karena perseroan bukan regulator yang menentukan besaran pajak dan royalti. Pihak yang menentukan pajak dan royalti adalah pemerintah. “Sehingga tidak seharusnya isu besaran pajak dan royalti diatur dalam HoA. Tidak mungkin Inalum memerintahkan pemerintah. Freeport seharusnya menandatangani perjanjian stabilisasi investasi dengan pemerintah," kata dia.
"Namun bila pemerintah melakukan hal ini berarti kedaulatan negara akan dibelenggu dengan sebuah kontrak atau perjanjian oleh entitas swasta. Bila ini terjadi maka Indonesia seolah kembali ke era VOC dimana sebuah perusahaan swasta membelenggu berbagai kerajaan di Nusantara," tambah dia.
Hikmahanto menambahkan, perjanjian stabilisasi investasi sangat bertentangan dengan Pasal 169 Undang-undang Mineral dan Batubara yang menyatakan setelah Kontrak Karya berakhir maka tidak ada lagi perjanjian. Perjanjian stabilisasi antara Freeport dengan pemerintah pun akan bertentangan dengan pasal 1337 KUHPerdata yang intinya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hal janggal lain, kata dia, dalam HoA adalah diaturnya perubahan dari Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).  “Mengapa janggal? Janggal karena seharusnya masalah ini sudah tidak ada lagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2017. Dalam PP tersebut bagi Freeport apabila tetap ingin melakukan ekspor maka KK mereka menjadi IUPK. Bila tidak maka pemerintah sudah seharusnya melarang ekspor dilakukan. Hasil tambang Freeport harus dimurnikan di Indonesia,” kata dia dalam siaran persnya.
Akrobat lainnya yang bakal muncul adalah mengenai intrepretasi pasal-pasal dalam perjanjian antara pemerintah dan Freeport. Juli lalu dikabarkan bahwa Freeport McMoRan Inc (FCX) dan pemerintah Indonesia memiliki interpretasi yang berbeda mengenai isi pasal 31-2 KK (Term Clause).
Pengertian FCX adalah Kontrak Karya (KK) akan berakhir di tahun 2021 namun FCX berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun hingga tahun 2041. Dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".
Berdasarkan pengertian dari FCX tersebut, jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai 2041 maka perbedaan penegertian itu dijadikan landasakan dasar bagi FCX untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional. Sementara peluang pemerintah untuk memenangkan arbitrase itu tak terjamin 100 persen.
Bahkan, jika proses arbitrase memakan waktu, dianggap akan menimbulkan permasalahan seperti ketidakpastian operasi dan berpotensi membahayakan kelangsungan tambang. Hal itu bisa berdampak pada sosio-ekonomi bagi Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua. Diketahui, operasional PT Freeport Indonesia (PTFI) menyumbang GDP sebesar 45% untuk provinsi, dan 90 persen GDP untuk kabupaten.
Merujuk pada KK pasal 22-2 (Termination Value), di akhir masa kontrak semua asset PTFI akan ditawarkan ke pemerintah minimal sama dengan harga pasar atau harga buku. Jika pemerintah tidak berminat, maka aset tersebut bisa ditawarkan ke pasar. Di tahun 2017 nilai buku aset PTFI ada di kisaran 6 miliar dollar AS atau setara Rp 86 Triliun.
Menurut Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro, meski seandainya Indonesia menang dalam arbitrase, pemerintah tidak serta merta bisa mendapatkan 51 persen saham PT Freeport Indonesia secara gratis.
"Jika diasumsikan Indonesia menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited, diestimasi sekitar 6 miliar dollar AS," kata Komaidi.

(dipublikasikan Agustus-September 2018) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar