Perjanjian divestasi dinilai akan melalui proses berliku
sebelum akhirnya benar-benar terwujud, dan berpotensi menimbulkan risiko yang
bakal mengagetkan semua pihak.
Membahas soal divestasi Freeport adalah menonton akrobat dan
drama. Akrobat dan atraksi banyak diperlihatkan oleh PT Freeport Indonesia
maupun Freeport McMoran, induknya yang bermarkas di Arkansas, Amerika Serikat.
Sementara, drama biasanya menjadi bagian dari pemerintah Indonesia.
Akrobat
dan drama pada akhirnya memancing perhatian publik dan memunculkan kegaduhan
politik. Meski demikian ujung-ujungnya hampir selalu dipastikan Indonesia
menempati posisi yang ‘dikalahkan’.
Perjanjian yang menjadi dasar
dibolehkannya perusahaan tambang asal AS menggali di Indonesia itu sejatinya
baru habis pada 2021, dan pembahasannya soal kelanjutan kontrak seharusnya dilanjutkan
tahun depan, tahun 2019. Namun demikian pada 12 Juli lalu, Pemerintah dan induk
Freeport telah menekan perjanjian awal divestasi kepemilikan saham PT Freeport
Indonesia (PTFI).
Banyak yang bertanya-tanya alasan
pemerintahan Joko Widodo mengeluarkan keputusan yang dianggap tergesa-gesa itu.
Padahal jika dibiarkan saja kontrak itu selesai tahun depan maka Freeport dinilai
akan otomatis menjadi milik pemerintah Indonesia.
“Masalah
Freeport selalu muncul karena bobot politiknya lebih besar bahkan dibandingkan bobot
masalah Freeport itu sendiri. Setiap perundingan atau perjanjian kontrak
Freeport selalu muncul bobot politik yang tinggi,” kata Said Didu, pengamat
bisnis badan usaha milik negara (BUMN).
Freeport-McMoRan Inc, perusahaan
penggali tambang dunia, pemilik PTFI sudah menambang sejak tahun 1967 dan
selalu menjadi salah satu isu besar di Tanah Air sejak itu. Perusahaan itu
awalnya menambang tembaga dan belakangan emas di tambang Ertsberg dan tambang
Grasberg yang terletak di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Papua.
Kesepakatan
Juli lalu dalam bentuk Head of Agreement
(HoA), bahkan disebut-sebut bisa memunculkan akrobat baru dari Freeport dan
drama baru dari pemerintah. Sementara itu, drama bagian pertama sudah muncul
dengan perayaan dini dari kesepakatan awal itu dan seolah-oleh kedaulatan
tambang Freeport sudah berhasil digenggam pemerintah.
Padahal
pada kenyataannya, HoA adalah langkah awal dari beberapa langkah yang harus
ditempuh kedua belah pihak sebelum akhirnya divestasi 51 persen saham Freeport
bisa terealisasi. Setidaknya ada tiga tahap lagi yang harus dilewati yaitu Perjanjian
Jual Beli Saham, Perjanjian Antarpemegang Saham dan Perjanjian Pertukaran
Informasi.
“HoA bukan perjanjian yang
mengindikasikan telah selesainya transaksi jual beli saham dari Freeport,
sehingga Indonesia melalui Inalum telah menjadi pemegang saham 51 persen dari
PT FI. Ada baiknya klaim yang mengatakan Indonesia telah berhasil menjadi pemegang
saham 51 persen dihentikan,” kata Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana yang di
dapat Stabilitas, Agustus lalu.
Drama berikutnya muncul ketika
pada akhir Agustus, pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) kembali memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport
Indonesia. Ini merupakan perpanjangan keenam yang diberikan pemerintah kepada
perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.
Freeport mendapatkan perpanjangan
IUPK sementara pertama kali sejak 10 Februari 2017 hingga 10 Oktober 2017.
Kemudian diperpanjang hingga 31 Desember 2017. Lalu diperpanjang sampai 30 Juni
2018. Setelah itu, mendapatkan perpanjangan selama satu bulan hingga 31 Juli 2018,
dan mendapatkan perpanjangan lagi higga 31 Agustus 2018.
Padahal menurut Undang Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batub ara, Freeport dilarang mengekspor
hasil tambang dalam bentuk mentah (konsentrat) dan harus membangun pabrik
pengolahan (smelter). Artinya UU yang
telah berumur delapan tahun tersebut dalam praktiknya belum juga bisa
ditegakkan di hadapan Freeport.
Susah untuk tidak mengatakan
bahwa proses deal divestasi akan
panjang dan digunakan Freeport untuk terus memperoleh fasilitas izin
konsentrat. Bahkan Direktur Jendral Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM
Bambang Gatot Ariyono pernah mengatakan kemungkinan IUPK PTFI akan diperpanjang
sampai proses divestasi rampung.
Potensi Akrobat
Ekstra
Selain itu, drama dan akrobat
juga berpotensi akan muncul lagi. Pasalnya perjanjian dalam HoA masih akan
dilanjutkan dalam perjanjian yang lebih terperinci. Namun demikian pembahasan
divestasi lanjutan itu akan memuat isu yang sangat krusial, seperti soal
stabilisasi investasi dan perpajakan.
Menurut Hikmahanto, isu tersebut
janggal bila harus diserahkan kepada Inalum karena perseroan bukan regulator
yang menentukan besaran pajak dan royalti. Pihak yang menentukan pajak dan
royalti adalah pemerintah. “Sehingga tidak seharusnya isu besaran pajak dan
royalti diatur dalam HoA. Tidak mungkin Inalum memerintahkan pemerintah.
Freeport seharusnya menandatangani perjanjian stabilisasi investasi dengan
pemerintah," kata dia.
"Namun bila pemerintah
melakukan hal ini berarti kedaulatan negara akan dibelenggu dengan sebuah
kontrak atau perjanjian oleh entitas swasta. Bila ini terjadi maka Indonesia
seolah kembali ke era VOC dimana sebuah perusahaan swasta membelenggu berbagai
kerajaan di Nusantara," tambah dia.
Hikmahanto menambahkan,
perjanjian stabilisasi investasi sangat bertentangan dengan Pasal 169
Undang-undang Mineral dan Batubara yang menyatakan setelah Kontrak Karya
berakhir maka tidak ada lagi perjanjian. Perjanjian stabilisasi antara Freeport
dengan pemerintah pun akan bertentangan dengan pasal 1337 KUHPerdata yang
intinya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Hal janggal lain, kata dia, dalam
HoA adalah diaturnya perubahan dari Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK). “Mengapa
janggal? Janggal karena seharusnya masalah ini sudah tidak ada lagi dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2017. Dalam PP tersebut bagi Freeport
apabila tetap ingin melakukan ekspor maka KK mereka menjadi IUPK. Bila tidak
maka pemerintah sudah seharusnya melarang ekspor dilakukan. Hasil tambang
Freeport harus dimurnikan di Indonesia,” kata dia dalam siaran persnya.
Akrobat lainnya yang bakal muncul
adalah mengenai intrepretasi pasal-pasal dalam perjanjian antara pemerintah dan
Freeport. Juli lalu dikabarkan bahwa Freeport McMoRan Inc (FCX) dan pemerintah
Indonesia memiliki interpretasi yang berbeda mengenai isi pasal 31-2 KK (Term
Clause).
Pengertian FCX adalah Kontrak
Karya (KK) akan berakhir di tahun 2021 namun FCX berhak mengajukan perpanjangan
dua kali 10 tahun hingga tahun 2041. Dan pemerintah tidak akan menahan atau
menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".
Berdasarkan pengertian dari FCX
tersebut, jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai 2041 maka
perbedaan penegertian itu dijadikan landasakan dasar bagi FCX untuk membawa
masalah tersebut ke arbitrase internasional. Sementara peluang pemerintah untuk
memenangkan arbitrase itu tak terjamin 100 persen.
Bahkan, jika proses arbitrase
memakan waktu, dianggap akan menimbulkan permasalahan seperti ketidakpastian
operasi dan berpotensi membahayakan kelangsungan tambang. Hal itu bisa
berdampak pada sosio-ekonomi bagi Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua.
Diketahui, operasional PT Freeport Indonesia (PTFI) menyumbang GDP sebesar 45%
untuk provinsi, dan 90 persen GDP untuk kabupaten.
Merujuk pada KK pasal 22-2
(Termination Value), di akhir masa kontrak semua asset PTFI akan ditawarkan ke
pemerintah minimal sama dengan harga pasar atau harga buku. Jika pemerintah
tidak berminat, maka aset tersebut bisa ditawarkan ke pasar. Di tahun 2017
nilai buku aset PTFI ada di kisaran 6 miliar dollar AS atau setara Rp 86
Triliun.
Menurut Direktur Reforminer
Komaidi Notonegoro, meski seandainya Indonesia menang dalam arbitrase,
pemerintah tidak serta merta bisa mendapatkan 51 persen saham PT Freeport
Indonesia secara gratis.
"Jika diasumsikan Indonesia
menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia
sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara
gratis. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar
nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited, diestimasi sekitar 6
miliar dollar AS," kata Komaidi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar