Rabu, 17 Juli 2019

Pengawasan Terpisah dan Kementerian Digital


Otoritas keuangan dan pemerintah mendapatkan tantangan serius yang harus segera ditanggulangi terkait perkembangan fintech yang pesat.

Dalam sejarah pengelolaan sektor keuangan di Indonesia, kasus Bank Century adalah noda hitam yang tampaknya masih akan bertahan dan mengotori rekam jejak otoritas. Di luar faktor politik, pengawasan lembaga keuangan yang terpisah-pisah disebut-sebut menjadi penyebabnya.
Sebelum 2012, pengawasan di industri keuangan terbagi pada dua lembaga. Pengawasan industri perbankan berada di tangan Bank Indonesia, dan untuk industri non bank –asuransi, multifinance, pasar modal, pegadaian, dana pensiun dll– berada  di Departemen Keuangan.
Kasus Bank Century, meledak karena perusahaan juga menjual produk-produk investasi milik Antaboga Sekuritas yang akhirnya menderita gagal bayar. Bank Century terseret. Singkatnya, bank itu harus menerima suntikan dana total Rp6,7 triliun setelah Komite Stabilitas Sektor Keuangan menetapkan Century sebagai Bank Gagal. Keputusan itu berdasarkan assessment BI bahwa jika bank tidak ditangani dengan benar akan berdampak sistemik.
Sampai sekarang banyak pihak masih mempertanyakan kesimpulan ‘berdampak sistemik’ yang dilekatkan di Bank Century ini. Dan tampaknya isu ini akan selalu muncul di waktu-waktu tertentu.
Boleh dibilang, itulah peristiwa besar terakhir di industri keuangan sebelum akhirnya pemerintah mendirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyatukan pengawasan lembaga keuangan dalam satu atap. Mulai 2013, OJK resmi berdiri dan menjawab persoalan yang kerap muncul karena terpisahnya pengawasan antara lembaga bank dan non bank.
Akan tetapi kelegaan itu hanya berlangsung seumur jagung. Seiring mencuatnya praktik layanan keuangan berbasis teknologi, kekhawatiran mengenai dampak pengawasan per kamar mulai mengemuka. Sebagaimana diketahui, dalam hal pengawasan, perusahaan yang dikenal dengan sebutan fintech ini memiliki dua otoritas. Perusahaan fintech yang bergerak di bidang penyaluran dan pengumpulan dana seperti peer to peer lending dan crowdfunding, diawasi oleh OJK. Sementara perusahaan fintech yang bergerak di layanan sistem pembayaran berada di bawah pengawasan Bank Indonesia.
Bibit masalah mulai terasa ketika muncul efek samping dari maraknya penawaran fintech ini, terutama yang bergerak di bisnis pengelolaan dana dan penyaluran dana. Beberapa nasabah mulai mengeluhkan cara-cara yang dipakai oleh perusahaan fintech. Mereka bahkan ada yang meneror nomor-nomor yang ada dalam daftar sumber yang ada di handphone sang nasabah. Bahkan ada yang bunuh diri karena hal ini.
Kasus lain, jika mau disebutkan tentu masih ada lagi. Malahan ancaman dari berkembangnya fintech ini akan meningkat ketika banyak perusahaan dari China yang melebarkan sayap bisnisnya ke Indonesia.
Baru-baru ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengumumkan bahwa sepanjang 2019 yang baru berjalan enam bulan ini, sudah ditemukan 543 entitas fintech P2P lending yang tak terdaftar. Jumlah itu bahkan lebih banyak dari yang ditemukan sepanjang tahun 2018 yang mencapai 404 entitas.
Tidak sulit menemukan entitas-entitas ini karena aplikasinya bisa dengan mudah diunduh di Playstore atau Appstore. Sebut saja nama-nama seperti Go Rupiah, Uang Instan, Ayo Uang, Bos Uang, Tunai Cepat, dan masih banyak lagi yang kebanyakan ilegal karena belum mendaftar di OJK.
Dengan pertumbuhan fintech yang cukup signifikan, Indonesia adalah pasar fintech yang paling menarik di Asia Tenggara. Asosiasi Fintech mencatat total investasi fintech di Indonesia meningkat 93 persen dibandingkan 2017. Jika dilihat berdasarkan jenisnya, untuk fintech pembiayaan atau pinjaman online, total penyaluran pinjaman di 2018 mencapai Rp22,6 triliun yang berasal dari 207.507 lender. Sedangkan jumlah peminjamnya di 2018 mencapai 4,35 juta nasabah.
Sementara untuk fintech pembayaran atau digital payment pada periode 2018 total transaksinya mencapai Rp47 triliun. Sedangkan secara volume transaksinya mencapai 2,9 miliar transaksi selama 2018.
Nah, dari banyak perusahaan yang ilegal itu berasal dari China. Sebut saja uang express, satu dari 200 platform asal China yang sudah diblokir OJK di 2018 silam. Aplikasinya sudah diunduh sebanyak ratusan ribu kali di Google Play Store sebelum akhirnya dihapus.
Melubernya perusahaan fintech asal Negeri Tirai Bambu itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan di sana yang mulai mengetat terhadap layanan ini. Pasalnya sejak 2018, setidaknya 165 platform fintech P2P lending mengalami kesulitan memenuhi permintaan penarikan tunai lantaran pemilik perusahaan melarikan dana investor. Bahkan bisnis tersebut makin oleng ketika banyak investor yang menuntut penarikan dana secara bersamaan. Hal itu tak pelak memunculkan krisis likuiditas di China.
Belajar dari yang terjadi di China dan mengantisipasi risiko yang mungkin muncul dari maraknya fintech ini sudah seharusnya otoritas segera bergegas. Beberapa pengamat bahkan mengatakan bahwa lembaga pengawas fintech yang masih terpisah ‘kamar’ antara BI dan OJK menyimpan ‘bom waktu’ koordinasi di industri keuangan seperti masa-masa sebelum OJK berdiri.
Saat ini kebutuhan tersebut sudah terlihat ketika penanganan dan koordinasi yang lambat antar lembaga banyak dikeluhkan pelaku dan juga publik. Pemerintah dan otoritas keuangan juga tampaknya harus sudah meniru Thailand yang sudah merespons perkembangan ini dengan cepat. Negeri yang sering terserang kudeta militer ini telah mentranformasikan Kementerian Informasi, Komunikasi dan Teknologinya menjadi Kementerian Digital Ekonomi dan Masyarakat pada 2006 lalu.


(dipublikasikan Juni-Juli 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar