Perbankan syariah segera mendapatkan momentum untuk
mendongkrak pertumbuhan asetnya ketika bank-bank segera mengaplikasikan aturan
formal soal itu. Bagaimana pelaku industri perbankan syariah menanggapinya?
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, 225
juta dari total 265 juta, Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi yang
terbesar di industri syariah. Akan tetapi, sejak batu loncatan pertama industri
keuangan syariah hadir pada awal 90-an, Indonesia tetap tidak juga menempati
posisi penting dalam industri perbankan syariah.
Berdasarkan
Laporan Islamic Financial Services Board (IFSB), aset perbankan syariah
Indonesia masih tertahan di peringkat ke-9 secara global yang mencapai 28,08
miliar dollar AS. Di atasnya ada pemimpin pasar yaitu Malaysia, Arab Saudi, Uni
Emirat Arab, Iran, Kuwait dan lainnya.
Laporan
dari otoritas moneter juga mengonfirmasi bahwa perbankan Indonesia –selanjutnya
bisa disebut iB–masih kalah dari negara-negara tersebut, terutama negara jiran
Malaysia. Sampai tahun lalu, pangsa iB dalam aset mencapai sekitar 6 persen dari
semua bank di Indonesia. Sementara di Malaysia, bank-bank syariahnya memiliki
porsi 25 persen dibandingkan industri.
Tentu,
harus diakui, ada yang salah pada pengelolaan bank-bank nirbunga yang selama
ini dipraktikkan di Indonesia selama ini. Banyak pihak yang menilai bahwa salah
satu faktor utama landainya perkembangan iB selama ini adalah minimnya dukungan
pemerintah.
Penilaian
ini dibenarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang pada 2017 meluncurkan
peta jalan pengembangan industri keuangan syariah Indonesia. Di dalamnya, juga
berisi enam tantangan lainnya. Yaitu permodalan yang terbatas; masalah Sumber
Daya Manusia (SDM); produk yang belum inovatif; model bisnis, infrastruktur dan
prosedur yang lebih rumit; saluran distribusi yang belum efisien; dan literasi
keuangan syariah yang masih rendah.
Akan
tetapi, dukungan pemerintah bukanlah satu-satunya faktor yang membuat iB di
Indonesia bergerak layaknya bekicot, yang sejak 90-an akhir hingga 2019,
asetnya masih nongkrong di kisaran
5-6 persen. Seperti kata OJK, ada juga faktor minimnya permodalan, produk dan
layanan yang kurang inovatif, dan masalah SDM.
Baik
pemerintah maupun otoritas, namun demikian, bukannya tidak pernah memberikan
dukungan untuk perkembangan perbankan syariah. Salah satu dukungan yang
tampaknya akan memberi dorongan besar adalah penerapan Undang-Undang Perbankan
Syariah yang terbit tahun 2008, dan akan terlihat tuahnya pada 2023 nanti.
Dalam
regulasi itu, bank-bank konvensional yang masih memiliki unit usaha syariah,
harus sudah memutuskan bahwa unitnya itu akan dipisahkan menjadi bank syariah
tersendiri (spin off). Atau pilihan
lain, justru bank induknya yang mau mengubah layanannya menjadi syariah
(konversi).
Berkaca
pada Bank NTB, yang telah mengonversi layanannya menjadi syariah tahun lalu,
bank tersebut sudah menetapkan strategi konversi sejak 2015. Proses
perencanaan, internalisasi program, serta perubahan kultur serta sistem dan lainnya, memerlukan waktu
sedikitnya tiga tahun.
Artinya agar 2023 semua bank bisa
memenuhi Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, maka mulai
tahun ini harus sudah memiliki keputusan apakah akan spin off atau konversi. Sehingga diprediksi tahun ini hingga tahun
depan sudah akan pengumuman ke publik mengenai keputusan tersebut.
“Memang keputusan untuk spin off dan konversi membutuhkan waktu
minimal dua tahun. Waktu tersebut terutama banyak yang terkait dengan pemegang
saham khususnya bila pemegang saham adalah pemerintah daerah yang terdiri dari
pemerintah provinsi atau kabupaten kota,” kata Edi Setiady, Staf Ahli Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). “Namun untuk bank-bank swasta non BPD
akan relatif lebih bisa cepat karena pemegang sahamnya tidak banyak.”
Selanjutnya, mantan regulator di
lini perbankan syariah itu juga mengatakan bahwa keputusan baik itu spin off atau konversi, selain
bergantung pada pemegang saham juga sangat bergantung pada tingkat kesehatan
bank dan juga permodalan.
Di dalam PBI Nomor 11/10/PBI/2009
tentang Unit Usaha Syariah, mewajibkan calon bank umum syariah memiliki modal
Rp1 triliun paling lambat 10 tahun setelah izin diberikan.
Modal tersebut bisa bersumber
dari suntikan induknya, pemegang saham, atau investor eksternal. Persyaratan
ini memang dimaksudkan agar kualitas pelayanan bank hasil spin off itu tidak menurun setelah menjadi BUS dengan alasan
keterbatasan modal.
Selanjutnya ada juga peraturan mengenai
tingkat kesehatan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di dalam POJK Nomor
36/POJK.03/2017 disebutkan, ketika melepas anaknya, bank induk harus memiliki
tingkat kesehatan dengan nilai komposit 1 atau 2 selama empat semester
berturut-turut.
“Karena untuk pilihan spin off dan konversi selain harus diputuskan
pemegang saham juga aspek permodalan yang cukup dan persyaratan tingkat kesehatan.
Untuk spin off bank induk harus sehat,”
kata Edi, yang saat ini juga menjabat Komisaris Utama Bank Muamalat.
Apa yang diutarakan Edi memang
ada benarnya. Adalah Bank Kalsel, salah satu bank pembangunan daerah di wilayah
Kalimantan Selatan yang mengatakan bahwa untuk memenuhi aturan tersebut memang
ada persyaratan yang tidak ringan. “Bagi kami, baik spin off maupun konversi, keduanya adalah keputusan yang berat jika
dilihat dari syarat-syaratnya,” kata Agus Syabaruddin, Dirut Bank Kalsel.
Manajemen bank memang sudah
menyiratkan bahwa pihaknya akan mengikuti ketentuan undang-undang tersebut dan
sampai sekarang keputusan tersebut masih dibahas oleh pemegang saham. Ketika
ditanyakan, oleh Stabilitas apakah akan memilih konversi ketimbang spin off, Agus tidak menjawab meski
menyiratkan lebih memilih konversi.
“Kalau melihat historisnya,
Kalsel itu sering disebut sebagai “Serambi Mekkah-nya” Kalimantan. Dan
masyarakat cenderung untuk menghindari transaksi yang mengandung riba,” jelas dia.
Pendongkrak Lain
Selain
adanya Undang-Undang mengenai Perbankan Syariah, sebenarnya peluang mendongkrak
performa bank syariah juga berasal dari mulai munculnya komitmen pemerintah dan
otoritas. Pada 2017 lalu pemerintah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah
(KNKS) untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia secara
serius.
KNKS telah
meluncurkan Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia dan juga Masterplan
Industri Halal. Keduanya berisi strategi memperkuat infrastruktur keuangan
syariah, pendalaman pasar, pengembangan bank syariah dan industri keuangan
non-bank lainnya.
Selain itu, otoritas moneter di
tahun yang sama juga memberikan dukungan dengan melansir Cetak Biru Ekonomi dan
Keuangan Syariah. Di dalamnya ada tiga pilar strategis utama, yaitu pertama, pemberdayaan dan penguatan
ekonomi syariah melalui pengembangan rantai nilai halal. Kedua, pendalaman pasar keuangan syariah untuk mendukung pembiayaan
syariah. Ketiga, memperkuat
penelitian, penilaian dan pendidikan ekonomi dan keuangan syariah untuk
meningkatkan literasi publik mengenai ekonomi dan keuangan syariah.
Terkait pilar pertama, pemberdayaan dan penguatan
ekonomi syariah dicapai melalui penguatan rantai nilai halal dengan
mengembangkan ekosistem dari berbagai tingkat bisnis syariah, termasuk
pesantren, UKM, dan perusahaan dalam rantai hubungan bisnis untuk memperkuat
struktur ekonomi yang inklusif. Program ini dilaksanakan di empat sektor utama,
yaitu industri makanan halal dan halal, sektor pariwisata halal, sektor
pertanian dan sektor energi terbarukan.
Dalam pilar kedua, BI mendukung
distribusi pembiayaan syariah untuk pengembangan rantai nilai halal melalui
pendalaman pasar keuangan syariah untuk meningkatkan efisiensi manajemen
likuiditas pasar keuangan syariah.
“Ke depan, untuk meningkatkan
peran dan kontribusi ekonomi dan keuangan syariah secara global dan nasional,
diperlukan peran aktif semua pihak, baik pembuat kebijakan, pelaku ekonomi
maupun dunia pendidikan. BI senantiasa mendorong koordinasi langkah-langkah
untuk mensinergikan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah,” kata Dody Budi
Waluyo, Deputi Gubernur BI.
Dukungan-dukungan
tersebut, namun demikian membutuhkan aksi nyata di lapangan.
Karena seperti KNKS yang telah dibentuk hampir dua tahun yang
lalu itu, pelaku usaha iB belum merasakan pengaruhnya karena master plan
ekonomi syariah belum mulai terwujud. “Kita masih harus tunggu hasil kerja
mereka. Dan selama waktu ini, praktis perbankan syariah ini belum bisa
mendapatkan insentif untuk tumbuh lebih tinggi,” kata Direktur Syariah Banking
CIMB Niaga, Pandji P. Djajanegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar