Jumat, 12 Juli 2019

Momentum Mendongkrak Bank Syariah


Perbankan syariah segera mendapatkan momentum untuk mendongkrak pertumbuhan asetnya ketika bank-bank segera mengaplikasikan aturan formal soal itu. Bagaimana pelaku industri perbankan syariah menanggapinya?


Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, 225 juta dari total 265 juta, Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi yang terbesar di industri syariah. Akan tetapi, sejak batu loncatan pertama industri keuangan syariah hadir pada awal 90-an, Indonesia tetap tidak juga menempati posisi penting dalam industri perbankan syariah.
                Berdasarkan Laporan Islamic Financial Services Board (IFSB), aset perbankan syariah Indonesia masih tertahan di peringkat ke-9 secara global yang mencapai 28,08 miliar dollar AS. Di atasnya ada pemimpin pasar yaitu Malaysia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Kuwait dan lainnya.
                Laporan dari otoritas moneter juga mengonfirmasi bahwa perbankan Indonesia –selanjutnya bisa disebut iB–masih kalah dari negara-negara tersebut, terutama negara jiran Malaysia. Sampai tahun lalu, pangsa iB dalam aset mencapai sekitar 6 persen dari semua bank di Indonesia. Sementara di Malaysia, bank-bank syariahnya memiliki porsi 25 persen dibandingkan industri.
                Tentu, harus diakui, ada yang salah pada pengelolaan bank-bank nirbunga yang selama ini dipraktikkan di Indonesia selama ini. Banyak pihak yang menilai bahwa salah satu faktor utama landainya perkembangan iB selama ini adalah minimnya dukungan pemerintah.
                Penilaian ini dibenarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang pada 2017 meluncurkan peta jalan pengembangan industri keuangan syariah Indonesia. Di dalamnya, juga berisi enam tantangan lainnya. Yaitu permodalan yang terbatas; masalah Sumber Daya Manusia (SDM); produk yang belum inovatif; model bisnis, infrastruktur dan prosedur yang lebih rumit; saluran distribusi yang belum efisien; dan literasi keuangan syariah yang masih rendah.
                Akan tetapi, dukungan pemerintah bukanlah satu-satunya faktor yang membuat iB di Indonesia bergerak layaknya bekicot, yang sejak 90-an akhir hingga 2019, asetnya masih nongkrong di kisaran 5-6 persen. Seperti kata OJK, ada juga faktor minimnya permodalan, produk dan layanan yang kurang inovatif, dan masalah SDM.
                Baik pemerintah maupun otoritas, namun demikian, bukannya tidak pernah memberikan dukungan untuk perkembangan perbankan syariah. Salah satu dukungan yang tampaknya akan memberi dorongan besar adalah penerapan Undang-Undang Perbankan Syariah yang terbit tahun 2008, dan akan terlihat tuahnya pada 2023 nanti.
                Dalam regulasi itu, bank-bank konvensional yang masih memiliki unit usaha syariah, harus sudah memutuskan bahwa unitnya itu akan dipisahkan menjadi bank syariah tersendiri (spin off). Atau pilihan lain, justru bank induknya yang mau mengubah layanannya menjadi syariah (konversi).
                Berkaca pada Bank NTB, yang telah mengonversi layanannya menjadi syariah tahun lalu, bank tersebut sudah menetapkan strategi konversi sejak 2015. Proses perencanaan, internalisasi program, serta perubahan kultur serta  sistem dan lainnya, memerlukan waktu sedikitnya tiga tahun.
Artinya agar 2023 semua bank bisa memenuhi Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, maka mulai tahun ini harus sudah memiliki keputusan apakah akan spin off atau konversi. Sehingga diprediksi tahun ini hingga tahun depan sudah akan pengumuman ke publik mengenai keputusan tersebut.
“Memang keputusan untuk spin off dan konversi membutuhkan waktu minimal dua tahun. Waktu tersebut terutama banyak yang terkait dengan pemegang saham khususnya bila pemegang saham adalah pemerintah daerah yang terdiri dari pemerintah provinsi atau kabupaten kota,” kata Edi Setiady, Staf Ahli Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). “Namun untuk bank-bank swasta non BPD akan relatif lebih bisa cepat karena pemegang sahamnya tidak banyak.”
Selanjutnya, mantan regulator di lini perbankan syariah itu juga mengatakan bahwa keputusan baik itu spin off atau konversi, selain bergantung pada pemegang saham juga sangat bergantung pada tingkat kesehatan bank dan juga permodalan.
Di dalam PBI Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah, mewajibkan calon bank umum syariah memiliki modal Rp1 triliun paling lambat 10 tahun setelah izin diberikan.
Modal tersebut bisa bersumber dari suntikan induknya, pemegang saham, atau investor eksternal. Persyaratan ini memang dimaksudkan agar kualitas pelayanan bank hasil spin off itu tidak menurun setelah menjadi BUS dengan alasan keterbatasan modal.
Selanjutnya ada juga peraturan mengenai tingkat kesehatan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di dalam POJK Nomor 36/POJK.03/2017 disebutkan, ketika melepas anaknya, bank induk harus memiliki tingkat kesehatan dengan nilai komposit 1 atau 2 selama empat semester berturut-turut.
“Karena untuk pilihan spin off dan konversi selain harus diputuskan pemegang saham juga aspek permodalan yang cukup dan persyaratan tingkat kesehatan. Untuk spin off bank induk harus sehat,” kata Edi, yang saat ini juga menjabat Komisaris Utama Bank Muamalat.
Apa yang diutarakan Edi memang ada benarnya. Adalah Bank Kalsel, salah satu bank pembangunan daerah di wilayah Kalimantan Selatan yang mengatakan bahwa untuk memenuhi aturan tersebut memang ada persyaratan yang tidak ringan. “Bagi kami, baik spin off maupun konversi, keduanya adalah keputusan yang berat jika dilihat dari syarat-syaratnya,” kata Agus Syabaruddin, Dirut Bank Kalsel.
Manajemen bank memang sudah menyiratkan bahwa pihaknya akan mengikuti ketentuan undang-undang tersebut dan sampai sekarang keputusan tersebut masih dibahas oleh pemegang saham. Ketika ditanyakan, oleh Stabilitas apakah akan memilih konversi ketimbang spin off, Agus tidak menjawab meski menyiratkan lebih memilih konversi.
“Kalau melihat historisnya, Kalsel itu sering disebut sebagai “Serambi Mekkah-nya” Kalimantan. Dan masyarakat cenderung untuk menghindari transaksi yang mengandung riba,” jelas dia.

Pendongkrak Lain
                Selain adanya Undang-Undang mengenai Perbankan Syariah, sebenarnya peluang mendongkrak performa bank syariah juga berasal dari mulai munculnya komitmen pemerintah dan otoritas. Pada 2017 lalu pemerintah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia secara serius.
                KNKS telah meluncurkan Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia dan juga Masterplan Industri Halal. Keduanya berisi strategi memperkuat infrastruktur keuangan syariah, pendalaman pasar, pengembangan bank syariah dan industri keuangan non-bank lainnya.
Selain itu, otoritas moneter di tahun yang sama juga memberikan dukungan dengan melansir Cetak Biru Ekonomi dan Keuangan Syariah. Di dalamnya ada tiga pilar strategis utama, yaitu pertama, pemberdayaan dan penguatan ekonomi syariah melalui pengembangan rantai nilai halal. Kedua, pendalaman pasar keuangan syariah untuk mendukung pembiayaan syariah. Ketiga, memperkuat penelitian, penilaian dan pendidikan ekonomi dan keuangan syariah untuk meningkatkan literasi publik mengenai ekonomi dan keuangan syariah.
Terkait pilar pertama, pemberdayaan dan penguatan ekonomi syariah dicapai melalui penguatan rantai nilai halal dengan mengembangkan ekosistem dari berbagai tingkat bisnis syariah, termasuk pesantren, UKM, dan perusahaan dalam rantai hubungan bisnis untuk memperkuat struktur ekonomi yang inklusif. Program ini dilaksanakan di empat sektor utama, yaitu industri makanan halal dan halal, sektor pariwisata halal, sektor pertanian dan sektor energi terbarukan.
Dalam pilar kedua, BI mendukung distribusi pembiayaan syariah untuk pengembangan rantai nilai halal melalui pendalaman pasar keuangan syariah untuk meningkatkan efisiensi manajemen likuiditas pasar keuangan syariah.
“Ke depan, untuk meningkatkan peran dan kontribusi ekonomi dan keuangan syariah secara global dan nasional, diperlukan peran aktif semua pihak, baik pembuat kebijakan, pelaku ekonomi maupun dunia pendidikan. BI senantiasa mendorong koordinasi langkah-langkah untuk mensinergikan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah,” kata Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI.
                Dukungan-dukungan tersebut, namun demikian membutuhkan aksi nyata di lapangan.
Karena seperti KNKS yang telah dibentuk hampir dua tahun yang lalu itu, pelaku usaha iB belum merasakan pengaruhnya karena master plan ekonomi syariah belum mulai terwujud. “Kita masih harus tunggu hasil kerja mereka. Dan selama waktu ini, praktis perbankan syariah ini belum bisa mendapatkan insentif untuk tumbuh lebih tinggi,” kata Direktur Syariah Banking CIMB Niaga, Pandji P. Djajanegara.


(dipublikasikan Mei-Juni 2019) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar