Kamis, 11 Juli 2019

Ancaman Nyata Likuiditas Ketat


Suku bunga yang meningkat, perkembangan kredit yang menggeliat, ditambah kondisi global yang masih mengancam membuat likuiditas sektor keuangan akan bertambah ketat. Persaingan perebutan dana di bank-bank kelas menengah diprediksi akan lebih sengit lagi.


Setiap bank sentral menaikkan bunga acuan, bisa dipastikan prediksi makin ketatnya likuiditas mengemuka kemudian. Hal itu lumrah dan sudah menjadi rumus umum dalam sistem keuangan.
Gejala akan mengetatnya likuiditas tahun ini sejatinya sudah diprediksi sejak awal tahun terutama dilihat dari kecenderungan pertumbuhan dana pihak ketiga, perkembangan loan to deposit ratio (LDR), dan juga kebijakan moneter yang merespons kondisi ekonomi.
                Kini lonceng tanda makin mengetatnya likuiditas sudah dibunyikan oleh otoritas. Bukan cuma dari satu, bahkan tiga otoritas sudah mengingatkan bahwa likuiditas yang beredar di pasar keuangan akan sedikit berkurang.
                Bank Indonesia, mengingatkan bahwa perkembangan ekonomi global pada paro kedua tahun ini tetap memberikan ketidakpastian pada perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pemulihan global yang terus berlanjut yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang naik menjadi 3,9 persen dari proyeksi sebelumnya 3,8 persen, serta perang dagang AS-China membuat ekonomi dunia tetap dalam ketidakpastian. "Ini disertai kondisi likuiditas yang mengetat dan ketidakpastian yang masih tinggi," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara. “Ke depan tantangan itu tidak semakin ringan.”
Pernyataan itu seolah melanjutkan peringatan bank sentral sebulan lalu saat menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,25 persen. “Perekonomian global ditandai likuiditas global yang mengetat dan ketidakpastian pasar keuangan tetap tinggi, di tengah kenaikan pertumbuhan ekonomi global 2018 yang diprakirakan terus berlanjut,” kata siaran pers BI.
                Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang bertugas memberikan garansi pada deposito yang ditaruh masyarakat di perbankan juga memberikan peringatan serupa. LPS menaikkan suku bunga penjaminan sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen untuk simpanan rupiah dan 1,5 persen untuk simpanan valuta asing di bank umum. Serta menaikkan angka penjaminan menjadi 8,75 persen untuk BPR. Keputusan itu tidak terlepas dari meningkatnya risiko likuiditas dari perbankan.
                Lembaga itu melihat merebaknya risiko likuiditas dari indikasi meningkatnya rasio penyaluran dana dibandingkan dengan dana yang dikelola perbankan (LDR). Halim Alamsyah, Ketua Dewan Komisioner LPS mengakui, risiko likuiditas perbankan dalam beberapa bulan terakhir mengalami kenaikan. “Beberapa waktu terakhir, risiko likuiditas bank sedikit mengalami kenaikan,” kata Halim.
                Risiko terbesar berasal dari kelompok bank menengah yang menghuni kelompok bank bermodal antara Rp5 triliun sampai Rp30 triliun, yang masuk bank BUKU 3. Kelompok bank ini boleh dibilang merupakan tulang punggung industri karena jumlahnya paling banyak jika digabungkan seluruh permodalannya.
                Menurut LPS, likuiditas bank-bank di BUKU 3 adalah yang paling ketat di antara bank-bank kelompok lain karena angka LDR berada di atas 100 persen. Sampai Mei 2018 pertumbuhan kredit industri sebesar 10,26 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan dana sebesar 6,4 persen. LDR perbankan pada Mei 2018, merupakan yang tertinggi dibandingkan bulan-bulan lain di tahun ini. Untuk pertumbuhan kredit kelompok bank BUKU 3 sebesar 9,19 persen atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK di kelompok itu yang hanya 4,03 persen.
                “Sejak Mei 2017, LDR bank BUKU 3 memang sudah tercatat tinggi dibandingkan bank kelompok lainnya. Pada tahun lalu, LDR bank BUKU 3 mencapai 97,3 persen, sedangkan BUKU 4 hanya 86,6 persen, BUKU 2 ada di level 75,9 persen dan sementara BUKU 1 berada di 67,9 persen,” kata Direktur Eksekutif LPS Fauzi Ichsan.
Hal ini berlanjut pada Mei 2018 dengan rasio kredit kelompok BUKU 3 mencapai 102,13 persen. Penyebabnya adalah pertumbuhan kredit bank kategori tersebut meningkat dari 4,02 persen pada Mei 2017 menjadi 9,19 persen pada Mei 2018. “Dari awal, LDR BUKU 3 sudah tinggi,” kata Fauzi.

Persaingan Makin Sengit
Risiko likuiditas merupakan risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Selain berasal dari penyaluran dana yang lebih besar ketimbang penyerapan dana, penyebab lainnya pengetatan likuiditas adalah pasar uang yang mulai mengetat. Saat ini berdasarkan data 5 Juli 2018, suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) overnight berada di level 4,9 persen. Angka itu meningkat sejak meningkatnya suku bunga acuan Bank Indonesia pada 29 Juni 2018 lalu. Transaksi PUAB secara rata-rata mengalami kenaikan 37,6 persen secara tahunan menjadi Rp 18,2 triliun. Transaksi overnight tercatat Rp 10,6 triliun atau naik 33,9 persen tahunan.
                Situasi likuiditas yang makin mengetat juga dirasakan oleh pelaku industri perbankan. Setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga 7 Day Repo Rate sebanyak 100 basis poin dalam dua bulan berturut-turut menjadi 5,25 persen, pengelola bank sudah bersiap mengikuti langkah itu.
Adhi Brahmantya, Direktur Bank Bukopin, mengakui, saat ini situasi pasar dan tingkat suku bunga memang cenderung ketat. "Kami akan fokus pada peningkatan dana ritel dan mengoptimalkan jaringan distribusi bank," kata Adhi.
Ketika kondisi likuiditas yang cukup ketat seperti saat ini, Bank Bukopin juga berusaha akan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dana dengan ekspansi kredit. Bank meningkatkan penyaluran kredit secara selektif dengan fokus pada kredit ritel di sektor UMKM dan sektor konsumer.
Tantangan bank juga tidak bertambah ringan jika ikut mengaitkan dampak dari dibolehkannya perusahaan nonbank untuk menerbitkan instrumen pembiayaan jangka pendek melalui pasar uang atau biasa disebut utang komersial atau commercial paper. Aturan yang tertuang dalam PBI Nomor 19/9/PBI/2017, tentu akan membuat persaingan mendapatkan likuiditas di masyarakat bertambah sengit. Aturan itu berlaku sejak tanggal 4 September 2017, korporasi yang hendak menerbitkan commercial paper baru bisa efektif mengeluarkan surat utang itu 2 Januari 2018.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan, aturan commercial paper bisa menjadi tantangan perbankan dalam memberikan kredit. Sebab, bila bunga commercial paper lebih murah dari kredit, perusahaan-perusahaan akan lari ke surat instrumen itu.
                Menurutnya, ke depan, BI harus mencermati manajemen risiko pada aturan surat utang komersial tersebut. "Jangan sampai korporasi non-bank terlalu gampang mengeluarkan instrumen ini," ujar Jahja.
Sementara itu direktur Keuangan dan Treasury PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Iman Nugroho Soeko menilai, dampak penerbitan surat utang komersial perusahaan terhadap likuiditas perbankan akan terjadi secara gradual.
Jika investor tidak menempatkan dana di bank dam mereka menggunakan dana-dananya untuk membeli commercial paper, kondisi itu akan memengaruhi likuiditas dan kredit bank secara seimbang. "Karena pengurangan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) diikuti dengan pengurangan pertumbuhan kredit yang setara,” kata Iman.
Di sisi lain, kondisi likuiditas juga terancam akan bertambah ketat jika pemerintah memanfaatkan situasi naiknya suku bunga di perbankan untuk meningkatkan penerbitan surat utang. Seperti rumus umum yang berlaku di pasar keuangan, kenaikan suku bunga perbankan akan membuat pasar obligasi diminati pasar.
“Jika agresifitas pemerintah dalam perburuan pendanaan melalui utang meningkat, maka perang bunga akibat berkurangnya likuiditas di pasar tidak dapat terhindarkan,” kata Eko Listyanto, peneliti Indef. “Lebih dari itu, obral obligasi di tengah situasi kontraksi ekonomi dapat berakibat pengetatan likuiditas yang berlebihan.”
                Belum lagi jika turut memperhitungkan faktor global ketika bank sentral AS jadi menaikkan suku bunga acuannya lagi di saat Ketua Federal Reserve Jerome Powell memberikan indikasi kuat akan tetap menaikkannya untuk menjaga inflasi. “FOMC (semacam rapat dewan gubernur bank sentral) percaya, saat ini, tetap menaikkan Federal Funds rate secara bertahap adalah cara terbaik," kata Powell di depan Senate Banking Committee, Selasa (17/7), seperti dikutip Bloomberg.
Menurut dia, The Fed tak bisa menaikkan bunga terlalu pelan karena akan melejitkan inflasi. Tapi, kenaikan bunga terlalu cepat akan melemahkan ekonomi dan membuat inflasi tertinggal di belakang target.


(dipublikasikan Juli-Agustus 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar