Suku bunga yang meningkat, perkembangan kredit yang
menggeliat, ditambah kondisi global yang masih mengancam membuat likuiditas
sektor keuangan akan bertambah ketat. Persaingan perebutan dana di bank-bank
kelas menengah diprediksi akan lebih sengit lagi.
Setiap bank sentral menaikkan bunga acuan, bisa dipastikan
prediksi makin ketatnya likuiditas mengemuka kemudian. Hal itu lumrah dan sudah
menjadi rumus umum dalam sistem keuangan.
Gejala akan mengetatnya likuiditas tahun ini sejatinya sudah
diprediksi sejak awal tahun terutama dilihat dari kecenderungan pertumbuhan
dana pihak ketiga, perkembangan loan to
deposit ratio (LDR), dan juga kebijakan moneter yang merespons kondisi
ekonomi.
Kini lonceng
tanda makin mengetatnya likuiditas sudah dibunyikan oleh otoritas. Bukan cuma
dari satu, bahkan tiga otoritas sudah mengingatkan bahwa likuiditas yang
beredar di pasar keuangan akan sedikit berkurang.
Bank
Indonesia, mengingatkan bahwa perkembangan ekonomi global pada paro kedua tahun
ini tetap memberikan ketidakpastian pada perekonomian negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Pemulihan global yang terus berlanjut yang ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi dunia yang naik menjadi 3,9 persen dari proyeksi sebelumnya
3,8 persen, serta perang dagang AS-China membuat ekonomi dunia tetap dalam
ketidakpastian. "Ini disertai kondisi likuiditas yang mengetat dan
ketidakpastian yang masih tinggi," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza
Adityaswara. “Ke depan tantangan itu tidak semakin ringan.”
Pernyataan itu seolah melanjutkan
peringatan bank sentral sebulan lalu saat menaikkan suku bunga acuan menjadi
5,25 persen. “Perekonomian global ditandai likuiditas global yang mengetat dan
ketidakpastian pasar keuangan tetap tinggi, di tengah kenaikan pertumbuhan
ekonomi global 2018 yang diprakirakan terus berlanjut,” kata siaran pers BI.
Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) yang bertugas memberikan garansi pada deposito yang
ditaruh masyarakat di perbankan juga memberikan peringatan serupa. LPS
menaikkan suku bunga penjaminan sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen untuk
simpanan rupiah dan 1,5 persen untuk simpanan valuta asing di bank umum. Serta
menaikkan angka penjaminan menjadi 8,75 persen untuk BPR. Keputusan itu tidak
terlepas dari meningkatnya risiko likuiditas dari perbankan.
Lembaga
itu melihat merebaknya risiko likuiditas dari indikasi meningkatnya rasio
penyaluran dana dibandingkan dengan dana yang dikelola perbankan (LDR). Halim
Alamsyah, Ketua Dewan Komisioner LPS mengakui, risiko likuiditas perbankan
dalam beberapa bulan terakhir mengalami kenaikan. “Beberapa waktu terakhir,
risiko likuiditas bank sedikit mengalami kenaikan,” kata Halim.
Risiko
terbesar berasal dari kelompok bank menengah yang menghuni kelompok bank
bermodal antara Rp5 triliun sampai Rp30 triliun, yang masuk bank BUKU 3.
Kelompok bank ini boleh dibilang merupakan tulang punggung industri karena jumlahnya
paling banyak jika digabungkan seluruh permodalannya.
Menurut
LPS, likuiditas bank-bank di BUKU 3 adalah yang paling ketat di antara
bank-bank kelompok lain karena angka LDR berada di atas 100 persen. Sampai Mei
2018 pertumbuhan kredit industri sebesar 10,26 persen atau lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan dana sebesar 6,4 persen. LDR perbankan pada Mei
2018, merupakan yang tertinggi dibandingkan bulan-bulan lain di tahun ini. Untuk
pertumbuhan kredit kelompok bank BUKU 3 sebesar 9,19 persen atau lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan DPK di kelompok itu yang hanya 4,03 persen.
“Sejak
Mei 2017, LDR bank BUKU 3 memang sudah tercatat tinggi dibandingkan bank
kelompok lainnya. Pada tahun lalu, LDR bank BUKU 3 mencapai 97,3 persen,
sedangkan BUKU 4 hanya 86,6 persen, BUKU 2 ada di level 75,9 persen dan
sementara BUKU 1 berada di 67,9 persen,” kata Direktur Eksekutif LPS Fauzi
Ichsan.
Hal ini berlanjut pada Mei 2018
dengan rasio kredit kelompok BUKU 3 mencapai 102,13 persen. Penyebabnya adalah pertumbuhan
kredit bank kategori tersebut meningkat dari 4,02 persen pada Mei 2017 menjadi
9,19 persen pada Mei 2018. “Dari awal, LDR BUKU 3 sudah tinggi,” kata Fauzi.
Persaingan Makin
Sengit
Risiko likuiditas merupakan
risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo
dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi
yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Selain berasal dari penyaluran
dana yang lebih besar ketimbang penyerapan dana, penyebab lainnya pengetatan
likuiditas adalah pasar uang yang mulai mengetat. Saat ini berdasarkan data 5
Juli 2018, suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) overnight berada di level
4,9 persen. Angka itu meningkat sejak meningkatnya suku bunga acuan Bank
Indonesia pada 29 Juni 2018 lalu. Transaksi PUAB secara rata-rata mengalami kenaikan
37,6 persen secara tahunan menjadi Rp 18,2 triliun. Transaksi overnight tercatat Rp 10,6 triliun atau
naik 33,9 persen tahunan.
Situasi
likuiditas yang makin mengetat juga dirasakan oleh pelaku industri perbankan.
Setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga 7 Day Repo Rate sebanyak 100 basis
poin dalam dua bulan berturut-turut menjadi 5,25 persen, pengelola bank sudah
bersiap mengikuti langkah itu.
Adhi Brahmantya, Direktur Bank
Bukopin, mengakui, saat ini situasi pasar dan tingkat suku bunga memang
cenderung ketat. "Kami akan fokus pada peningkatan dana ritel dan
mengoptimalkan jaringan distribusi bank," kata Adhi.
Ketika kondisi likuiditas yang
cukup ketat seperti saat ini, Bank Bukopin juga berusaha akan menjaga
keseimbangan antara pertumbuhan dana dengan ekspansi kredit. Bank meningkatkan
penyaluran kredit secara selektif dengan fokus pada kredit ritel di sektor UMKM
dan sektor konsumer.
Tantangan bank juga tidak
bertambah ringan jika ikut mengaitkan dampak dari dibolehkannya perusahaan
nonbank untuk menerbitkan instrumen pembiayaan jangka pendek melalui pasar uang
atau biasa disebut utang komersial atau commercial
paper. Aturan yang tertuang dalam PBI Nomor 19/9/PBI/2017, tentu akan
membuat persaingan mendapatkan likuiditas di masyarakat bertambah sengit. Aturan
itu berlaku sejak tanggal 4 September 2017, korporasi yang hendak menerbitkan commercial paper baru bisa efektif
mengeluarkan surat utang itu 2 Januari 2018.
Presiden Direktur PT Bank Central
Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan, aturan commercial paper bisa
menjadi tantangan perbankan dalam memberikan kredit. Sebab, bila bunga
commercial paper lebih murah dari kredit, perusahaan-perusahaan akan lari ke
surat instrumen itu.
Menurutnya,
ke depan, BI harus mencermati manajemen risiko pada aturan surat utang
komersial tersebut. "Jangan sampai korporasi non-bank terlalu gampang
mengeluarkan instrumen ini," ujar Jahja.
Sementara itu direktur Keuangan
dan Treasury PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Iman Nugroho Soeko menilai,
dampak penerbitan surat utang komersial perusahaan terhadap likuiditas
perbankan akan terjadi secara gradual.
Jika investor tidak menempatkan
dana di bank dam mereka menggunakan dana-dananya untuk membeli commercial paper, kondisi itu akan
memengaruhi likuiditas dan kredit bank secara seimbang. "Karena
pengurangan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) diikuti dengan pengurangan
pertumbuhan kredit yang setara,” kata Iman.
Di sisi lain, kondisi likuiditas
juga terancam akan bertambah ketat jika pemerintah memanfaatkan situasi naiknya
suku bunga di perbankan untuk meningkatkan penerbitan surat utang. Seperti
rumus umum yang berlaku di pasar keuangan, kenaikan suku bunga perbankan akan
membuat pasar obligasi diminati pasar.
“Jika agresifitas pemerintah
dalam perburuan pendanaan melalui utang meningkat, maka perang bunga akibat
berkurangnya likuiditas di pasar tidak dapat terhindarkan,” kata Eko Listyanto,
peneliti Indef. “Lebih dari itu, obral obligasi di tengah situasi kontraksi
ekonomi dapat berakibat pengetatan likuiditas yang berlebihan.”
Belum
lagi jika turut memperhitungkan faktor global ketika bank sentral AS jadi
menaikkan suku bunga acuannya lagi di saat Ketua Federal Reserve Jerome Powell
memberikan indikasi kuat akan tetap menaikkannya untuk menjaga inflasi. “FOMC (semacam
rapat dewan gubernur bank sentral) percaya, saat ini, tetap menaikkan Federal
Funds rate secara bertahap adalah cara terbaik," kata Powell di depan
Senate Banking Committee, Selasa (17/7), seperti dikutip Bloomberg.
Menurut dia, The Fed tak bisa menaikkan
bunga terlalu pelan karena akan melejitkan inflasi. Tapi, kenaikan bunga
terlalu cepat akan melemahkan ekonomi dan membuat inflasi tertinggal di
belakang target.
(dipublikasikan Juli-Agustus 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar